Publikasi dan Deklarasi Shalawat Wahidiyah

2. Publikasi dan Deklarasi Shalawat Wahidiyah

Pada tahun 1963, diadakan pertemuan (silaturrahmi) di mushala KH. Abdul Jalil (Jamsaren-Kediri), yang dipimpin oleh KH. Ma’roef sendiri sebagai muallif (pengarang) Shalawat Wahidiyah. Silaturahmi itu diikuti oleh para ulama (kiai) dan tokoh masyarakat yang sudah mengamalkan Shalawat Wahidiyah dari berbagai daerah, seperti dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang, dan Mojokerto. Di antara hasil dari silaturahmi tersebut adalah tersusunnya redaksi (kalimat) yang ditulis di dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah, termasuk garansinya. Redaksi garansi (jaminan) itu adalah atas usulan dari muallif sendiri yang disetujui oleh seluruh peserta musyawarah. Redaksinya adalah: Menawi sampun jangkep sekawan doso dinten boten wonten perobahan manah, kinging dipun tuntut dunyan wa ukhran (Jika sudah genap empat puluh hari tidak ada perubahan hati, dapat dituntut di dunia dan akhirat (Kedunglo Kediri).

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Pada awal tahun 1964, menjelang peringatan ulang tahun lahir-

nya Shalawat Wahidiyah yang pertama, dalam bulan Muharram, Lembaran Shalawat Wahidiyah mulai dicetak dengan klise yang per-

tama kalinya di kertas HVS putih sebanyak + 2.500 lembar. 3 Susunan dalam lembaran yang dicetak adalah: hadiah fatihah, Allâhumma yâ wâhidu ..., Allahûmma kamâ anta ahluh ..., Yâ syâfi’ al-khalqi ash- shalâtu wa as-salâm … tanpa Yâ sayyidî yâ rasûlallâh dengan dilengkapi keterangan tentang cara pengamalannya, termasuk garansi meng- amalkan Shalawat Wahidiyah tersebut. 4

Setelah lembaran Shalawat Wahidiyah beredar secara luas, ada banyak pihak yang menerimanya, meskipun juga ada yang me- nolaknya. Kebanyakan dari mereka yang menolak beralasan karena adanya garansi: menawi sampun jangkep sekawan doso dinten boten wonten perobahan manah, kenging dipun tuntut dunyan wa ukhron”. Mereka memberikan penafsiran tentang garansi dengan pemahaman yang jauh bertentangan dengan makna yang dimaksud oleh pembuat garansi. Pemahaman mereka terhadap “garansi” itu menjadi: “siapa yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah dijamin masuk surga”. Se- benarnya, kalimat garansi (pertanggungjawaban) tersebut merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar kita meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita lakukan.

Pada 1964, setelah pelaksanaan peringatan ulang tahun yang pertama, di Kedonglo diadakan Asrama Wahidiyah I yang diikuti oleh para kiai dan tokoh agama dari berbagai daerah, seperti Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Malang, Madiun, dan Ngawi. Asrama ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Kuliah-kuliah Wahidiyah diberikan langsung oleh muallif sendiri. Dalam asrama ini lahirlah kalimat nidak (seruan) Yâ sayyidî yâ rasûlallâh.

3 Adapun yang mengusahakan klise dan percetakan itu adalah KH. Mahfudz dari Ampel-Surabaya, atas biaya dari Ibu Hj. Ghanimah (istri KH. Nur AGN—anggota

fraksi NU DPR Pusat). 4 Hasil wawancara dengan KH. Moh. Ruhan Sanusi, di Mangunsari Tulungagung, (Kamis, 22 Februari 2007.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Kemudian kalimat nidak tersebut dimasukkan ke dalam Lembaran

Shalawat Wahidiyah. Pada 1965, Asrama Wahidiyah II dilaksanakan selama enam

hari (5–11 Oktober 1965), di Kedunglo. Dalam kuliah Wahidiyah tersebut, lahirlah shalawat rangkaian berikut:

Amalan tersebut merupakan suatu “jembatan emas” yang meng- hubungkan tepi jurang pertahanan nafsu di satu sisi dengan tepi kebahagiaan yang berupa kesadaran kepada Allah dan rasul-Nya di sisi yang lain. Para pengamal Shalawat Wahidiyah menyebutnya sebagai istighâtsah. Kalimat ini tidak langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Shalawat Wahidiyah dalam lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat. Akan tetapi, para pengamal yang sudah agak lama mengamalkan Shalawat Wahidiyah dianjurkan untuk mengamalkan rangkaian kalimat di atas, terutama dalam mujahadah- mujahadah khusus.

Pada 1965, muallif kembali memberi ijazah berupa kalimat nidak ‘seruan’ Fa firrû ila Allâh dan Wa qul jâ’a al-haqqu ... Pada saat itu, kalimat nidak ini belum dimasukkan ke dalam rangkaian Shalawat Wahidiyah, namun dibaca oleh imam dan makmum pada akhir setiap doa. Begitu juga kalimat wa qul jâ’a al-haqqu … belum dirangkaikan dengan kalimat fa firrû ila Allâh seperti yang ada sekarang.

Pada 1968, muallif kembali menyusun rangkaian kalimat sha- lawat. Adapun redaksinya adalah sebagai berikut:

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Kalimat Yâ ayyuhâ al-ghauts … dan shalawat ini kemudian di-

masukkan ke dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah dan diedarkan kepada masyarakat.

Pada 1971, menjelang pemilu, muallif kembali menganggit shalawat dengan redaksi sebagai berikut:

Redaksi shalawat ini kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah, dan diletakkan sesudah kalimat Yâ ayyuhâ al- ghauts … sebelum Yâ rabbanâ Allâhumma shalli ...

Pada 1973, KH. Ma’roef menambah doa Allâhumma bârik fîmâ khalaqta wa hâdzihi al-baldah. Kemudian, pada 1976 bacaan nidak Fa firrû ila Allâh dirangkaikan dengan kalimat wa qul jâ’a al-haqq … dan didahului dengan doa:

Pada 1976, mulai dilaksanakan nidak Fa firrû ila Allâh dengan cara berdiri menghadap ke empat penjuru, yakni pada saat acara mujahadah dalam rangka peletakan batu pertama masjid Tanjungsari Tulungagung (Masjid milik KH. Zaenal Fanani).

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Demikian penambahan dan penyempurnaan Shalawat Wahidiyah

secara berturut-turut seiring dengan pengembangan dan penyem- purnaan ajaran Wahidiyah yang diberikan oleh muallif, KH. Abdoel Madjid Ma'roef, sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pada 1978, KH. Ma'roef menambah kalimat doa Allâhumma bârik fî hâdzihi al-mujâhadah yâ Allâh yang diletakkan sesudah kalimat Allâhumma bârik fîmâ khalaqta wa hâdzihi al-baldah.

Kemudian, pada 1980, ada tambahan kalimat Ya Allah dalam shalawat ma’rifat, yang diletakkan sesudah bacaan wa tarzuqanâ tamâma maghfiratika. Demikian juga setelah kalimat wa tamâma ni’matika, dan seterusnya hingga wa tamâma ridhwânika ditambah kalimat yâ Allâh. Penambahan kalimat-kalimat tersebut dapat dilihat dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah yang ada sekarang ini.

Pada 1981, doa Allâhumma bârik fî mâ khalaqta wa hâdzihi al- baldah diberi tambahan kalimat yâ Allâh, sedangkan doa Allâhumma bârik fî hâdzihi al-mujâhadah yâ Allâh diubah menjadi wa fî hâdzihi al-mujâhadah yâ Allâh sehingga rangkaiannya menjadi Allâhumma bârik fîmâ khalaqta wa hâdzihi al-baldah yâ Allâh, wa fî hâdzihi al- mujâhadah yâ Allâh.

Pada 27 Jumadil Akhir 1401 H., bertepatan dengan 2 Mei 1981 M., Lembaran Shalawat Wahidiyah yang ditulis dengan huruf Arab diperbarui dan dilengkapi dengan petunjuk cara mengamalkannya. Susunan dalam Lembaran Shalawat Wahidiyah ini tidak ada perubahan sampai sekarang, kecuali beberapa kalimat dalam penjelasan keterang- an yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan bahasa.