Pendapat Ulama tentang Shalawat

4. Pendapat Ulama tentang Shalawat

Banyak pandangan dan pendapat dari para ulama tentang shalawat. Ada shalawat yang diangkat dari kaidah-kaidah keagamaan, ada pula yang berdasar atas keyakinan dan pengalaman dzauqiyyah (afektif, perasaan) dan dari hasil-hasil mukâsyafah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa shalawat bisa menjadi jalan yang paling dekat (menuju wushul) kepada Allah, selain tentunya harus diikuti dengan memperbanyak membaca istighfar. 33 Selain itu, ada juga ulama yang menyatakan bahwa membaca shalawat kepada nabi (dapat) menerangi hati dan me-wushul-kan tanpa guru kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. 34

Di sisi lain, ada juga ulama yang menyatakan bahwa membaca shalawat kepada nabi dapat me-wushul-kan kepada Allah tanpa guru. Sebab, sesungguhnya guru dan sanad di dalam shalawat adalah shâhibush ash-shalawât (pemilik shalawat), yakni Rasulullah Saw. Ini berbeda dengan zikir-zikir selain shalawat, yang mengharuskan ada

33 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain ..., hlm. 35. 34 Ibid, hlm. 36.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural guru (mursyid) yang ‘ârif billâh. Sebab jika tidak, maka setan akan

masuk ke dalam zikir itu dan orang yang berzikir tidak dapat meme- roleh manfaat dari zikirnya”. 35

Sementara itu, dalam kitab Taqrîb al-Ushûl diterangkan: “Se- sungguhnya para ulama sudah sepakat bahwa semua amal ada yang diterima dan ada yang ditolak, terkecuali shalawat kepada Nabi Saw. Sesungguhnya shalawat kepada nabi itu maqbulatun qath’an (diterima secara pasti)”. 36

“Diterima secara pasti” dapat dipahami bahwa sekalipun se- seorang di dalam membaca shalawat kurang hudhûr, kurang khusyû’, bahkan sekalipun disertai dengan sikap ujub, riya, takabur, bacaan shalawatnya tetap diterima. Adapun ujub, riya dan takabur-nya ada perhitungan sendiri, dalam arti tidak menyebabkan ditolaknya sha- lawat. Hal ini berbeda dengan amalan selain shalawat yang di dalam- nya ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Kalau ketentuan- ketentuan itu tidak dipenuhi maka amalan tersebut tidak diterima oleh Allah. Suatu amal selain bacaan shalawat apabila dilaksanakan dengan riya, ujub, dan takabur maka amal itu tidak diterima oleh Allah.

Dalam kaitannya dengan hal ini, muallif Shalawat Wahidiyah menambahkan: “... jika shalawatnya diterima, otomatis nama si pem- baca shalawat dan nama orang tuanya diperkenalkan kepada Nabi Saw.” Dengan demikian, nabi secara pasti akan memberikan syafa’at- nya kepada orang yang mau membaca shalawat, dan Allah akan memberi rahmat dan ampunan kepadanya, begitu juga para malaikat akan ikut memohonkan rahmat dan ampunan baginya.

Lebih lanjut muallif menerangkan: “Membaca shalawat me- rupakan ibadah sunnat paling mudah yang diberi berbagai macam

35 Ibid, hlm. 90. 36 Sayyid Ahmad ibn Sayyid Zaini Dakhlan, Taqrîb al-Ushûl li Tashîl al-Ushûl fî Ma’rifah al-Rabb wa ar-Rasûl, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabiy wa Awlâduh,

1349 H.), hlm. 57. Bandingkan dengan Kifâyah al-Atqiyâ, hlm. 48.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah kebaikan yang tidak diperoleh ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti

zikir, membaca Al-Qur’an, shalat sunnah, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Kebaikannya, antara lain: sekali membaca shalawat, spontan disyafa’ati oleh Rasulullah Saw., di samping mendapat pahala dari membaca shalawat itu sendiri. Terlebih lagi jika membaca shalawat- nya dengan sungguh-sungguh ikhlas dan disertai tata krama lahir dan batin.

Sebagian dari kebaikan membaca shalawat adalah bahwa selain dia ingat kepada Nabi Saw., dia juga akan bertambah ingat kepada Allah. Dengan kata lain, membaca shalawat sudah mengandung zikir kepada Allah. Lebih jauh, di antara manfaat membaca shalawat adalah bahwa shalawat sudah mengandung istighfar (permohonan ampun) kepada Allah dan mengandung doa li qadhâ’ al-hâjât (demi ter- penuhinya hajat/keinginan).

Membaca shalawat dikatakan ibadah sunnah yang paling mudah sebab di dalamnya tidak ada syarat-syarat tertentu. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah sunnah yang lain, seperti zikir dan membaca Al-Q ur’an, yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Bahkan, ada ungkapan yang menyebutkan bahwa jika seseorang membaca Al- Qur’an tanpa disertai syarat-syaratnya maka bacaannya justru akan menimbulkan mudharat, seperti dikatakan oleh Anas bin Malik: “Banyak orang yang membaca Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’annya justru melaknati/mengecam pembacanya.” Hal tersebut disebabkan, antara lain, karena bacaannya kurang tepat dan tidak disertai dengan adab membaca Al-Qur’an; misalnya kurang tepat tajwid dan makhraj- nya.

Sementara itu, di dalam kitab Sa’âdah ad-Dârain diterangkan bahwa di antara manfaat yang paling besar membaca shalawat adalah terbayangnya hati si pembaca kepada Rasulullah Saw.: “Di antara manfaat membaca shalawat yang paling besar adalah tercetaknya shurah Rasulullah Saw. di dalam hati si pembaca shalawat”. 37

37 Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain…, hlm. 506.

Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Sehubungan dengan hal ini, dalam ajaran Wahidiyah sering

diserukan supaya melatih hati dengan istihdhâr, yakni merasa seolah- olah berada di hadapan Rasulullah, terutama ketika membaca sha- lawat, atau merasa seolah-olah seperti mengikuti Rasulullah di mana pun berada, dengan terus-menerus atau sering membaca Yâ sayyidî yâ rasûl Allâh. Sebab, orang yang hatinya selalu istihdhâr seperti itu, secara moral cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, tidak berani melanggar larangan-larangan Allah dan rasul-Nya, tidak berani melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Sebalik- nya, istihdhâr dapat menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati di dalam segala hal dan tingkah laku, takut kalau tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya. Dengan kondisi batiniah seperti itu, dia akan selalu mendapat tambahan pencaran nur kenabian (Nûr Nubuwwah). Dengan demikian, semakin kuat dan semakin mendalam istihdhâr- nya, niscaya semakin bertambah pancaran nur kenabian yang me- nyinari hati dan menembus kepada kesadaran budi pekerti serta melahirkan akhlak yang mulia (al-akhlaq al-karimah). Kondisi bati- niah seperti itu berkemungkinan menjadikan orang yang bersangkut- an senantiasa berakhlak seperti akhlaknya Rasulullah Saw.

Sementara secara sosial, orang yang senantiasa membaca shalawat dengan istihdhar niscaya kehidupannya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga keluarganya, membuahkan berkah bagi orang lain, masyarakat, bangsa, dan negaranya, bahkan bagi makhluk pada umum- nya. Dengan senantiasa istihdhâr kepada Rasulullah, seseorang akan benar-benar berkemungkinan menempati haqîqah al-mutâba’ah, yakni mengikuti tingkah laku, akhlak, perangai nabi, meniru cara-cara ber- buat dan bertindak nabi, melakukan apa yang disukai, lebih-lebih yang diperintah, dan menjauhi apa saja yang tidak disukai, lebih-lebih yang dilarang oleh nabi. Selain itu, dia juga akan mampu “melihat yang diikuti berada di samping segala sesuatu, bersama segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu”; dalam arti mampu melihat secara nyata dengan mata hati (ru’yah syuhûd). 38

38 Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain …, hlm. 35.

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Atas dasar keterangan di atas, jika seseorang benar-benar yakin

dalam mengikuti Rasulullah, seharusnya ia mampu melihatnya, di mana saja dan kapan saja. Kata “melihat” yang dimaksud di sini adalah melihat dengan mata hati yang disebut bashîrah. Dalam hal ini, tentu tidak sembarang hati yang dikaruniai kemampuan seperti itu. Hanya hati yang bersih dan jernih saja yang dapat menggapainya. Semakin bersih, semakin jernih, dan semakin suci hati seseorang, niscaya semakin tajam dan semakin kuat pula bashîrah-nya. Kemampu- an seperti itu disebut juga mukâsyafah, yakni kemampuan melihat Rasulullah yaqzhatan (dalam keadaan terjaga).

Orang yang ikut, apabila tidak mampu melihat kepada yang diikutinya, besar kemungkinan dia mengalami kebingungan, bahkan dapat tersesat jalan dan terpisah dari yang diikutinya tanpa terasa. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi diri bagi umat Islam yang selama ini mengaku sebagai pengikut atau umat Muhammad agar tidak mengalami keadaan seperti itu. Ibarat shalat berjamaah, umat Islam adalah makmum, sedang Rasulullah sebagai imam-nya. Apabila makmum tidak mengikuti gerakan imam maka batal shalatnya.

Terkait dengan hal ini, syaikh Abul Abbas al-Mursi pernah me- ngatakan: “Seandainya aku terhijab dari (tidak melihat atau meng- ingat) Rasulullah sekejap saja, aku tidak berani mengklaim diriku dari golongan kaum muslimin”. 39