Proses Penyusunan Shalawat Wahidiyah
1. Proses Penyusunan Shalawat Wahidiyah
Beberapa waktu kemudian, masih dalam tahun 1963, bertepatan dengan bulan Muharram, KH. Ma'roef kembali menyusun shalawat.
2 Tiga orang yang dia sebut sebagai pengamal percobaan itu ialah (1) Bapak Abdul Jalil (alm.), seorang tokoh tua ( sesepuh) dari desa Jamsaren, Kota Kediri, (2)
Bapak Muhtar, seorang pedagang dari desa Bandar Kidul, Kota Kediri, dan (3) Dahlan, seorang santri pondok Kedunglo asal Blora, Jawa Tengah.
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Adapun shalawat yang dimaksud adalah seperti yang tertera berikut
ini:
Shalawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam susunan Shalawat Wahidiyah. Oleh karena shalawat ini lahir pada bulan Muharram maka dia menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran Shalawat Wahidiyah yang ulang tahunnya diperingati dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro Wahidiyah pada setiap bulan tersebut.
Untuk mencoba khasiat shalawat yang kedua ini, KH. Ma’roef menyuruh beberapa orang supaya mengamalkannya, dan ternyata hasilnya lebih positif, yakni mereka dikaruniai oleh Allah ketenangan batin dan kesadaran hati kepada-Nya, dalam keadaan lebih mantap. Sejak saat itulah KH. Ma'roef memberi ijazah shalawat Allâhumma Yâ Wâhidu Yâ Ahadu ... dan Allâhumma kamâ Anta Ahluh ... tersebut secara umum, termasuk para tamu yang sowan (berkunjung) ke- padanya.
Selain itu, KH. Ma'roef juga menyuruh seorang santri untuk menulis shalawat tersebut dan mengirimkan kepada para kiai yang diketahui alamatnya dengan disertai surat pengantar yang dia tulis sendiri. Isi surat pengantar itu, antara lain, adalah agar shalawat itu dapat diamalkan oleh masyarakat setempat. Sejauh itu, tidak ada jawaban negatif dari para kiai yang dikirimi shalawat tersebut. Dari hari ke hari semakin banyak orang yang datang memohon ijazah amalan shalawat tersebut. Oleh karena itu, KH. Ma’roef memberikan ijazah secara mutlak: dalam arti bahwa selain shalawat tersebut di- amalkan sendiri juga supaya disiarkan kepada orang lain.
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Sejak sebelum lahirnya Shalawat Wahidiyah, di masjid Kedunglo
setiap malam Jum’at (secara rutin) diadakan pengajian kitab Al-Hikam yang dibimbing langsung oleh KH. Ma'roef. Pengajian tersebut diikuti oleh para santri, masyarakat sekitar, dan beberapa kiai dari sekitar kota Kediri. Pada suatu pengajian rutin tersebut, shalawat Allâhumma kamâ anta ahluh … ditulis di papan tulis dan kemudian dia menjelaskan hal-hal yang terkandung di dalamnya, kemudian memberi ijazah secara mutlak untuk diamalkan dan disiarkan, di samping shalawat Allâhumma yâ wâhidu …
Dengan semakin banyaknya orang yang memohon ijazah dua shalawat tersebut maka untuk memenuhi kebutuhan, KH. Mukhtar, dari Tulungagung, seorang pengamal yang juga ahli khathth (seni tulis arab), membuat Lembaran Shalawat Wahidiyah. Pembuatannya menggunakan kertas stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri dengan dibantu oleh beberapa orang pengamal dari Tulungagung.
Pengajian kitab Al-Hikam yang pada awalnya dilaksanakan pada setiap malam Jum’at, atas usulan dari para peserta yang kebanyakan bekerja sebagai karyawan, diubah menjadi hari Minggu pagi. Se- belum pengajian kitab Al-Hikam, lebih dahulu dilaksanakan shalat tasbih berjama’ah dan Mujahadah Shalawat Wahidiyah. Pada suatu pengajian kitab Al-Hikam (masih dalam tahun 1963), KH. Ma'roef menjelaskan tentang haqîqah al-wujûd dan penerapan bi al-haqîqah al-Muhammadiyyah yang di kemudian hari disempurnakan dengan penerapan lirrasul birrasul. Pada saat itu, tersusunlah shalawat yang ketiga yaitu:
Shalawat yang ketiga ini disebut shalawât tsalj al-qulûb (Shalawat salju/pendingin hati). Adapun nama lengkapnya adalah Shalawât
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah tsalj al-ghuyûb li tabrîdi harârat al-qulûb (Shalawat salju dari alam
gaib untuk mendinginkan hati yang panas). Ketiga rangkaian shalawat tersebut, yang diawali dengan surat
al-Fatihah, diberi nama “Shalawat Wahidiyah”. Kata wahidiyah itu sendiri diambil sebagai tabarrukan (mengambil berkah) pada salah satu dari Nama-Nama Allah Yang Indah (al-Asmâ’ al-Husnâ) yang terdapat dalam shalawat yang pertama, yaitu wâhidu, yang artinya “Mahasatu”.
Para ahli mengatakan bahwa di antara khawas (hasiat-hasiat) lafal al-wâhidu adalah bahwa ia dapat menghilangkan rasa bingung, sumpek, resah (gelisah), dan takut. Siapa yang membacanya 1.000 kali dengan sepenuh hati dan dengan merendahkan diri, insya-Allah dia akan dikaruniai oleh Allah perasaan tenang, tidak khawatir kepada sesama makhluk. Dia hanya takut kepada Allah semata. Siapa yang memperbanyak zikir al-wâhidu al-ahadu atau yâ wâhidu yâ ahadu maka Allah akan membuka hatinya untuk sadar bertauhid (meng- esakan Allah atau sadar billâh).