Konteks Historis Dinamika Tasawuf

B. Konteks Historis Dinamika Tasawuf

Tasawuf memiliki khazanah kesejarahan tersendiri. Secara his- toris, tasawuf yang semula merupakan bentuk pemaknaan terhadap hadits nabi tentang ihsan, 25 telah menjadikan para sufi lebih suka bertapa atau berdiam diri dengan maksud agar terhindar dari berbuat dosa dan siksa neraka. Al-Q ur’an menjelaskan bahwa bentuk penyelamatan yang mereka cari juga semata-mata tergantung pada kehendak Allah, sebagai Zat yang akan memberi bimbingan kepada mereka yang beramal saleh, dan akan membiarkan mereka yang berlaku mungkar, tanpa kesediaan bertobat, senantiasa dalam kesesatan. Segala tindakan manusia akan dicatat dengan teliti oleh- Nya dan tiada sesuatu pun yang dapat mengubahnya. Yang pasti, apabila manusia menginginkan keselamatan maka hanya shalat, puasa, dan amal saleh sajalah yang akan mampu menyelamatkannya.

Menurut al-Kalabadzi, pada masa awal Islam, para sufi digambar- kan sebagai orang-orang yang tinggal di serambi masjid dan dengan berpakaian bulu domba. Mereka adalah orang-orang yang telah me- ninggalkan gemerlapnya dunia dan memilih pergi meninggalkan rumah dan sahabat-sahabatnya. Mereka berkelana ke seluruh negeri.

25 Lihat foot note nomor 1 pada bab ini.

Memahami Dunia Tasawuf Mereka mengambil benda-benda dunia sekadar untuk menutupi

ketelanjangan mereka dan untuk menghilangkan kelaparan. Oleh karena itu, mereka sering disebut sebagai “orang-orang asing” atau juga sering disebut “pengembara” karena seringnya mereka me- lakukan pengembaraan. Mereka juga sering berkelana dan keluar masuk gua pada waktu terdesak. Orang-orang tertentu di negeri itu menamai mereka dengan syikaftis (orang-orang yang hidup di gua-gua). Orang-orang Syria menamai mereka dengan “orang-or- ang yang lapar” sebab mereka hanya mau makan sekadar untuk mempertahankan hidup. 26

Hal di atas merupakan kenyataan hidup orang-orang yang tinggal di serambi masjid di masa Nabi Muhammad. Mereka semua adalah orang-orang asing, melarat, dan terbuang dari tempat tinggal dan harta milik mereka. Abu Hurairah dan Fudhalah bin Ubaid melukiskan: “Mereka hampir mati kelaparan sehingga orang-orang Baduwi menganggap mereka gila. Pakaian mereka terbuat dari bulu domba sehingga apabila mereka berkeringat maka bau badannya seperti bulu domba kehujanan”. Abu Musa al-Asy’ari juga pernah mengatakan: “Nabi pernah mengenakan bulu domba, mengendarai keledai, dan menerima undangan orang-orang jelata (untuk makan bersama mereka).” 27

Reynold A. Nicholson mengatakan, dengan melihat asal-usul dan juga sumbernya dari bahasa Arab, kata sufi mengandung arti “kemurnian”, atau membawa kepada pengertian bahwa orang sufi adalah orang yang “murni hatinya” atau insan “yang terpilih”. Akan

26 Ibn Abi Ishaq al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969), hlm. 25–26. 27 Ibid., hlm. 26–27. 28 R. A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1975), hlm. 3–4. 29 Team Penyusun, Pengantar llmu Tasawuf, hlm. 10. Upaya penerjemahan buku- buku Yunani ke dalam Islam berlangsung selama tiga fase: pertama, era al-

Mansur–Harun ar-Rashid. Pada fase ini, mayoritas buku-buku yang diterjemahkan adalah bidang astronomi dan mantiq. Kedua, era al-Ma’mun – 899 M. Pada fase ini, mayoritas buku yang diterjemahkan adalah bidang filsafat

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah tetapi, beberapa sarjana Eropa berpendapat bahwa kata tersebut

berasal dari kata sophos (bahasa Yunani), dalam pengertian sebagai- mana terdapat pada kata theosophi yang artinya kebijaksanaan. 28 Dalam hal ini, Jirji Zaidan berkeyakinan bahwa ada hubungan antara istilah Arab tasawuf dengan istilah Yunani theosophi. Dia beralasan bahwa ilmu mereka (orang Islam) belum muncul dan mereka belum mengenal sifat ini, kecuali setelah masa penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. 29

Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”-Nya atau bahwa Ia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di

hadapan-N ya. 30 D alam hubungan ini, H arun N asution mengatakan, tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam, mempunyai tujuan memeroleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadapan Tuhan. Intisari dari mistisisme atau sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. 31

Dalam kaitan ini, Seyyed Hossein Nasr menuturkan bahwa Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi keruhanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dari Islam maka ia tidak dapat dipisahkan dari Islam: hanya Islam yang dapat membimbing mereka mencapai istana batin, kesenangan dan

dan kedokteran. Ketiga, era setelah tahun 899 M. Pada fase ini, bidang-bidang keilmuan yang diterjemahkan semakin luas. Tentang hal ini, lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 55–56. 30 Nurcholish Madjid, “Pesantren dan Tasawuf’: “Pesantren dan Pembangunan”, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 100.

31 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56.

32 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 205.

Memahami Dunia Tasawuf kedamaian yang bernama tasawuf, dan hanya Islam yang merupakan

tempat mengintai “taman firdaus”. Sekali lagi, inilah ciri jalan kon- templatif Islam. Tasawuf dapat dipraktikkan di mana-mana dan di setiap langkah kehidupan. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahiriah dari dunia, tetapi didasarkan atas pembebasan batin, sebagaimana seorang sufi mengatakan: “Adalah bukan aku yang meninggalkan dunia, melainkan dunialah yang meninggalkan aku”. Pembebasan batin dalam kenyataan dapat berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. 32

Dengan demikian, konteks historis dinamika tasawuf—dengan ciri khas jalan komtemplatifnya— dapat tampil dalam segala aspek kehidupan yang tidak terpisah dari Islam. Tasawuf tidak dimaknai secara sempit sebagai pengasingan diri an sich dari kehidupan dunia. Akan tetapi, tasawuf dimaknai sebagai landasan moral dan jiwa Islam. Dengan makna ini, tasawuf tidak hanya menjadi otoritas para ‘alim yang sering kali lekat dengan jubah dan tasbihnya, tetapi sangat terbuka kemungkinan dapat diterapkan oleh siapa saja, tanpa harus meninggalkan atribut-atribut atau peran-perannya dalam kehidupan ini, misalnya: pendidik, pengusaha, pejabat, manajer, ataupun yang lainnya.

Dalam era sekarang ini, apa yang diperlukan oleh dunia Islam adalah format tasawuf yang konsisten dengan nilai-nilai Islam dan kompatibel terhadap kecenderungan perubahan gaya hidup masya- rakat. Modernisme memang merupakan realitas yang berkembang dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, ia tidak harus dibenci oleh tasawuf. Justru tasawuf diharapkan menjadi terapi dan kurasi baginya. Tasawuf tidak hanya diharapkan mampu menawarkan resep- resep ampuh, tetapi juga praktis bagi masyarakat di era sekarang ini. Jika hal ini dapat dilakukan maka akan tampillah tasawuf dengan formulasi barunya yang disebut “tasawuf modern”.