Mahabbah (Cinta)
5. Mahabbah (Cinta)
Mahabbah atau cinta, menurut Wahidiyah, meliputi cinta ke- pada Allah, cinta kepada para nabi, para rasul, dan para malaikat, cinta kepada keluarga dan para sahabat nabi, cinta kepada para wali Allah, para ulama, pemimpin, orang tua, keluarga, dan cinta kepada segenap umat Islam serta kepada semua makhluk ciptaan Allah.
Cinta kepada Allah sebagai Khaliq (Pencipta) mengandung kon- sekuensi harus cinta juga kepada makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi, cinta kepada makhluk tentu saja tidak sama dengan cinta terhadap sang Khalik. Pada prinsipnya, kita mencintai makhluk karena ia adalah ciptaan Allah. Dalam Wahidiyah, cinta maupun benci harus didasari oleh prinsip lillâh-billâh bukan lin-nafs-bin-nafs. Cinta kepada makhluk hanyalah manisfestasi dari cinta kepada Allah. Memadu- kan antara cinta kepada Allah sebagai Khaliq dan cinta kepada makhluk tidaklah diperbolehkan. Lebih-lebih cinta kepada makhluk tidak boleh mengalahkan cinta kepada Sang Khalik. Dalam kaitan ini Allah berfirman:
Katakanlah (wahai Muhammad), jika bapak-bapak kamu sekalian, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, suami/istri kamu, keluarga kamu, harta benda yang kamu sekalian kumpulkan, perniagaan yang kamu sekalian takut menderita rugi, dan rumah tempat tinggal yang kamu sekalian senangi, jika semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan daripada berjuang di
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah
jalan-Nya maka bersiap-siaplah sampai Allah menurunkan perintah penyiksaan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS. At-Taubah [9]: 24).
Selain ayat di atas, Rasulullah juga memberikan penegasan: “Tidaklah sempurna iman salah satu dari kamu sekalian sehingga Aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, hartanya, dan semau manusia” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan Ibn Majah).
Dengan demikian, cinta kita kepada diri kita sendiri, kepada orang tua, kepada suami atau istri, dan juga kepada keluarga, se- harusnya sekadar hanya sebagai salah satu wujud rasa cinta kita kepada Allah dan rasul-Nya.
Menurut ajaran Wahidiyah, manifestasi cinta kepada Allah dapat timbul dari hati yang senantiasa menerapkan konsep lillâh-billâh, lirrasûl-birrasûl, dan lilghauts-bilghauts, serta rajin melakukan muja- hadah, serta memperbanyak tafakkur, yakni merenungi keagungan dan kebesaran Allah; serta merenungi kebesaran, kemuliaan, dan ke- luhuran budi Rasulullah; serta merenungi tentang keindahan- keindahan yang terdapat pada segenap makhluk Allah.
Cinta kepada Allah dapat bertambah mendalam dan murni dengan cinta pada rasul-Nya. Cinta pada rasul-Nya dapat menjadi subur antara lain dengan memperbanyak mengingatnya di mana saja kita berada. Yakni dengan memperbanyak membaca shalawat serta memperbaiki dan meningkatkan hubungan batin dengan ghauts hâdza az-zamân. Caranya, antara lain, adalah dengan mempraktikkan haqîqah al-mutâba’ah ru’yah al-matbû’ ‘inda kulli syay’in sebagaimana telah dibahas di muka. Sebab, salah satu wujud cinta kepada sesuatu adalah banyak menyebut nama yang dicintainya, seperti yang di- nyatakan oleh rasul. 79
79 Dalam sebuah hadits dinyatakan: “Siapa yang mencintai sesuatu, dia akan banyak menyebut (mengingat) sesuatu itu” (HR. Dailami). Dalam Hâsyiyah ash-Shâwi …
(juz III, hlm. 41) juga disebutrkan bahwa tidak disebut beriman orang yang tidak memiliki cinta.
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural Pengakuan iman dan mahabbah tidak cukup hanya dengan per-
nyataan lisan saja, tetapi harus meresap ke dalam hati dan diwujud- kan dalam tindakan nyata, baik tindakan yang berhubungan dengan Allah dan rasul-Nya maupun yang berhubungan dengan sesama makhluk Allah. Dalam kitab Sirâj ath-Thâlibîn dijelaskan: “Di surga tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripada kenikmatan orang- orang ahli mahabbah dan ma’rifat, dan di neraka tidak ada siksa yang lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada siksanya orang yang mengaku mahabbah dan ma’rifat tetapi tidak ada buktinya.”
Jika cinta kepada Allah dan rasul-Nya sungguh benar adanya maka apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya pasti dengan senang hati akan dijalankannya. Begitupun dengan apa yang dilarang, tentu juga akan dijauhinya. Amal ibadahnya sungguh-sungguh ikhlas tanpa pamrih, senantiasa lillâh dan lirrasul. Ia selalu ingat kepada yang dicintai dalam keadaan bagaimanapun juga. Ketika mengalami musibah, dia akan tetap sabar, ridha, dan gembira oleh karena yang mengujinya adalah yang ia cintai, yakni Allah.
Adapun dalam bermasyarakat, dia senantiasa berakhlak seperti akhlaknya Allah dan rasul-Nya (takhalluq bi akhlaqi mahbûbih). Dia menyayangi apa dan siapa saja yang dikasihi oleh kekasihnya. Dia bersikap pemaaf dan penyayang, senang memberi pertolongan kepada siapa saja. Tingkah lakunya juga selalu menyenangkan dan mem- buahkan manfaat bagi masyarakat. Selalu tawadhu’ dan ramah. Akan tetapi, ketika situasi menuntutnya bertindak tegas, dia akan bertindak tegas, yakni dalam membela kebenaran dan keadilan yang dikehen- daki oleh yang ia cintai, yakni Allah dan rasul-Nya.
Di antara tanda-tanda cinta secara umum adalah sifat “cemburu”. Rasa takut, resah, dan khawatir akan muncul jika ada orang lain yang ikut mencintai pihak yang dicintainya. Ini adalah tanda-tanda cinta antarsesama manusia. Akan tetapi, cinta Allah dan rasul-Nya justru menuntut hal yang sebaliknya. Rasa takut, resah, dan khawatir justru muncul ketika melihat orang lain tidak cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, ia berusaha agar orang lain ikut
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah mencintai Allah dan rasul-Nya dan jika perlu dengan segala pengorban-
an; apa yang ada pada dirinya dicurahkan agar orang lain ikut men- cintai Allah dan rasul-Nya.
Cinta atau mahabbah itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (a) mahabbah shifâtiyah, (b) mahabbah fi’liyah, dan (c) mahabbah dzâtiyah.
Pertama, mahabbah shifatiyah adalah cinta karena tertarik pada sifat-sifat dari pihak yang dicintainya, seperti tampan, cantik, sim- patik, lincah, dan pandai. Cinta semacam ini mudah berubah dan hilang. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau berubah maka cintanya pun akan berubah dan bisa hilang sama sekali, atau bahkan mungkin bisa berbalik menjadi benci.
Kedua, mahabbah fi’liyah adalah cinta karena tertarik pada pekerjaan, jabatan, atau kekayaan pihak yang dicintai. Cinta semacam ini juga tidak akan langgeng, mudah berubah seperti halnya mahabbah shifatiyah.
Ketiga, mahabbah dzâtiyah adalah cinta terhadap zat atau wujud dari yang dicintai, bagaimanapun keadaan dan rupa serta bentuknya. Inilah cinta sejati.
Dalam mahabbah kepada Allâh dan rasul-Nya sudah seharusnya terkumpul ketiga macam cinta tersebut. Hal ini dapat ditumbuhkan dengan cara melatih hati, memperbanyak tafakkur, dan melaksana- kan mujahadah wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bimbingan muallif-nya. Tafakkur dalam hal ini meliputi tafakkur terhadap keindahan (jamal), keagungan (jalal), dan kesempurnaan (kamal) Allah, serta berpikir tentang keluhuran budi dan kemuliaan Rasulullah dan terhadap jasa-jasanya yang sangat besar dan agung.
Di antara cara melatih mahabbah kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan cara membiasakan mengenali sifat Allah dan rasul- Nya, berdzikir, membaca shalawat, dan mencoba untuk selalu dekat dengan yang dicintainya. Sebab, kebiasaan seperti ini bisa menumbuh- kan rasa cinta. Cara-cara seperti itu dapat diterapkan untuk melatih
Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural hati agar bisa menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
Semua makhluk yang ada di alam ini adalah milik Allah dan berasal dari Nur Muhammad. Oleh karena itu, ketika kita melihat, men- dengar, atau merasakan sesuatu, seharusnya kita langsung ingat ke- pada Allah dan rasul-Nya. Cara demikian akan dapat melatih hati dalam menghadapi segala sesuatu sehingga lama-kelamaan akan tum- buh perasaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya dan akhirnya ia akan betul-betul lebur (tenggelam) dalam dzat yang dicintainya. Dalam kaitan ini, muallif Shalawat Wahidiyah pernah mengatakan: “Cinta sejati adalah apabila engkau menjadi lebur ke dalam yang engkau cintai.” Dengan maksud yang sama, di dalam Syarah al-Hikam juga dinyata- kan: “Hakikat cinta adalah sekiranya engkau meleburkan seluruh dirimu demi untuk orang yang engkau cintai sehingga tidak ada sesuatu pun dari engkau yang tertinggal untuk dirimu sendiri.” 80