mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji pada tahun 1991 di Surabaya dengan kasus yang sama mendapatkan 33,3 dari 30 penderita kemungkinan faktor alergi Harmadji,
1993. Farida et al, pada tahun 2006 di Makassar mendapatkan hubungan bermakna kejadian alergi pada OMSK benigna melalui tes kulit cukit sebesar 86,2, menunjukkan
bahwa alergi merupakan faktor risiko OMSK benigna Farida et al, 2006. Lasisi et al, pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media supuratif
dan alergi pada sekitar 80 pasien dengan alergi Lasisi, 2008.
2.4 Etiologi dan Patogenesis 2.4.1 Etiologi
Menurut Ballenger faktor-faktor yang menyebabkan infeksi telinga tengah supuratif
menjadi kronis sangat majemuk, antara lain : 1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat :
a.infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang. b.obstruksi anatomi tuba Eustachius partial atau total.
2. Perforasi membran timpani yang menetap. 3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya
pada telinga tengah. 4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini
dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten dimastoid.
Universitas Sumatera Utara
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan pertahanan tubuh Ballenger, 1997.
Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang yang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor
antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah
karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran napas atas maka
otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis mencapai telinga tengah melalui
tuba Eustacius Helmi, 2005.
Secara umum OMSK dapat disebabkan oleh:
1.Lingkungan
Dalam berbagai penelitian, dijumpai hubungan yang erat antara pasien OMSK dan sosial ekonomi, dimana insidens yang tinggi dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah
Browning, 1997. Prevalensi lebih tinggi berkisar 5-6 kali lebih banyak dibanding penduduk dengan sosial ekonomi baik Mangape, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas peneliti dari berbagai negara melaporkan faktor yang berpengaruh terhadap otitis media antara lain:
1.Kondisi sosial ekonomi 2.Kebersihan perorangan personal hygiene
3.Jumlah keluarga dalam satu keluarga 4.Kondisi tempat tinggal
5.Malnutrisi 6.Kurangnya sarana kesehatan
7.Kurangnya pengobatan pada stadium dini Mangape, 1995.
2.Genetik
Hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya OMSK masih menjadi pertanyaan sehubungan dengan adanya kecenderungan pada ras tertentu untuk
terjadinya OMSK. Sebagai contoh diduga bahwa ras kulit putih Amerika lebih cenderung menderita OMSK dibandingkan ras negro Amerika Browning, 1997.
Peran faktor genetik masih diperdebatkan akhir-akhir ini, khususnya apakah insiden OMSK berhubungan dengan ukuran sel-sel udara mastoid yang diduga telah terganggu
secara genetik. Secara histologis, tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya proses inflamasi yang berulang, maka sel-sel udara mastoid menjadi lebih sklerotik secara
progresif Browning, 1997.
Universitas Sumatera Utara
3.Riwayat otitis media sebelumnya Secara umum dikatakan bahwa otitis media kronis merupakan sekuele dari otitis
media akut dan otitis media efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan mengapa satu telinga berlanjut menjadi kondisi yang kronis, sedangkan telinga lainnya
tidak Browning, 1997.
4.Faktor infeksi
Bakteri hampir selalu dijumpai pada isolasi mukopus atau dari mukosa telinga tengah pada otitis media kronis yang aktif. Proporsi berbagai organisme berbeda-beda
diantara beberapa penelitian, tetapi organisme yang paling banyak dijumpai adalah bakteri gram negatif, bowel-type flora dan kadang-kadang dijumpai berbagai organisme
yang berbeda dari satu telinga Browning, 1997. Telah terbukti bahwa bakteri dapat menghasilkan substansi yang mempengaruhi
fungsi silia sehingga akan menyebabkan stasis sekresi didalam telinga tengah. Selain itu juga diketahui bahwa kolonisasi polimikrobial menyebabkan kerusakan yang lebih
hebat dibandingkan dengan monomikrobial Browning, 1997.
5.Infeksi saluran napas
Sebagian besar pasien mengeluh keluarnya cairan dari telinga setelah mengalami infeksi saluran napas atas. Dalam hal ini diduga infeksi virus akan mempengaruhi
mukosa telinga tengah sehingga kurang resisten terhadap organisme yang secara normal memang ditemukan didalam telinga tengah sehingga memudahkan
pertumbuhan bakteri Browning, 1997.
Universitas Sumatera Utara
6.Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun cenderung mempunyai insiden yang lebih tinggi terhadap OMSK Browning, 1997.
7.Alergi
Walaupun sebagian penulis menganggap alergi merupakan faktor yang penting, tetapi tetap harus dibuktikan bahwa individu dengan alergi mempunyai insidens OMSK
yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-alergi Browning, 1997.
8.Gangguan fungsi tuba Eustachius
Pada otitis media kronis yang aktif, tuba Eustachius sering mengalami sumbatan akibat edema, tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder tetap
tidak diketahui. Pada telinga yang inaktif, berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba Eustacius dan sebagian besar menduga bahwa tuba telah
gagal untuk mengembalikan tekanan negatif dalam telinga tengah menjadi normal Browning, 1997.
2.4.2 Klasifikasi
Secara klinis, OMSK dibagi dalam dua tipe :
1.Tipe tubotimpanik
Di sebut juga tipe benigna, meliputi bagian anteroinferior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi sentral. Tidak ada dijumpai komplikasi yang
serius pada tipe ini.
Universitas Sumatera Utara
2.Tipe atikoantral
Di sebut juga tipe berbahaya atau danger tipe, meliputi bagian posterosuperior dari telinga tengah atik, antrum dan mastoid dan berhubungan dengan
perforasi atik atau perforasi marginal. Penyakit ini sering berhubungan dengan proses erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Risiko
terjadinya komplikasi tinggi pada tipe ini Dhingra, 2004.
Tipe jinak benigna biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan kavum timpani, disebut juga tipe mukosa karena proses
peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah. Tipe bahaya atikoantaral karena proses biasanya dimulai di daerah atik, disebut juga tipe tulang
karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di Indonesia tipe bahaya lebih terkenal sebagai tipe maligna Helmi, 2005.
Faktor predisposisi predisposing factors pada penyakit tubotimpanal adalah: 1.Infeksi saluran napas atas yang berulang, nasal alergi, rinosinusitis kronis.
2.Pembesaran adenoid pada anak-anak, tonsilitis kronis. 3.Mandi dan berenang dikolam renang, mengorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi. 4.Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
5.Otitis media supuratif akut yang rekuren Ramalingam et al, 1993 ; Kumar, 1996
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Patogenesis
Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba maka disebut juga sebagai penyakit
tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan
multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga
tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas,
maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis, mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila
terbentuk pus akan terperangkap didalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga
tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah
akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien
tidak sadar akan penyakitnya. Bila terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat Helmi, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Mukosa telinga tengah yang normal memperlihatkan kurang dalam sel-sel
imunokompeten pada beberapa penelitian sebelumnya, tetapi sel-sel itu diaktivasi dengan infeksi mikroba, telinga tengah dapat menjadi tempat yang aktif secara
imunologi, baik dengan imunitas mukosa atau imunitas sistemik, sama halnya dengan imunitas untuk melawan berbagai kuman patogen. Karena itu dapat juga diterangkan
bahwa epitel mukosa telinga tengah dapat diaktivasi untuk menghasilkan berbagai kemokin seperti IL-8 melalui Toll-like receptors dan perekrutan sel-sel imunokompeten
ke telinga tengah bersama sama dengan sistem imun di sistem dibagian lain mukosa dalam mengekspresikan suatu respon imun lokal pada telinga tengah selama suatu
otitis media Barenkam et al, 2003. Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator dan sitokin yang
mempengaruhi terjadinya inflamasi dan kondisi ini dapat berulang hingga kronis. Interleukin-1 IL-1 merupakan sitokin yang kadarnya tinggi pada pasien-pasien OMSK.
Demikian juga tumor necrosis factor- α TNF-α. Selain faktor fungsi tuba, patogenesis
OMSK juga dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi. Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan esinophilic cationic protein ECP, IL-5
dan binding major protein BMP yang lebih tinggi pada pasien otitis media dibanding dengan pasien non otitis media Restuti, 2006.
Penyakit alergi THT seperti halnya penyakit alergi pada umumnya adalah suatu reaksi abnormal yang bersifat khas, timbul pada orang yang berbakat alergi atopi dan
terjadi bila ada kontak dengan suatu bahan tertentu alergen. Penyakit ini sebagai manifestasi reaksi antigen antibodi. Pada kontak pertama dengan antigenalergen tubuh
membentuk antibodi IgE spesifik yang menempel pada permukaan sel mastositbasofil.
Universitas Sumatera Utara
Pada keadaan ini orang tersebut sudah siap untuk mendapatkan penyakit alergi. Pada kontak ulang dengan alergen yang sama, maka alergen akan menempel pada IgE pada
permukaan sel mastositbasofil tersebut sehingga menyebabkan degranulasi sel-sel mastositbasofil, sehingga terlepaslah bahan-bahan mediator antara lain histamin.
Bahan-bahan mediator ini akan berkumpul pada organ sasaran antara lain pada kulit liang telinga luar, mukosa telinga, hidung dan tenggorok sehingga menimbulkan reaksi
alergi. Mukosa kavum timpani merupakan salah satu organ sasaran, hal ini dijelaskan oleh Siegel :
1. Telinga tengah berfungsi sebagai ”Shock organ”. 2. Merupakan perluasan dari reaksi alergi saluran napas bagian atas
Harmadji, 1993.
Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada saluran napas atas dan bawah berhubungan dengan sitokin-sitokin yang
dihasilkan oleh sel Th2 seperti interleukin-4 IL-4 dan IL-5. Proses ini merupakan hasil dari infiltrasi eosinofil yang merupakan karakteristik dari respon alergi. IL-4 membantu
produksi IgE oleh sel-sel B dan mengatur adhesi molekul sel vaskular pada sel endotel, yang lebih jauh akan membantu transmigrasi eosinofil ke jaringan. IL-5 bertindak
sebagai faktor penstimulasi koloni colony stimulating factor untuk eosinofil, dan membantu proliferasi eosinofil serta diferensiasinya dijaringan Wright et al, 2000.
Peningkatan sekresi IgE didalam telinga tengah tinggi pada OMSK dibanding OMA. Maka alergi berperan pada OMSK dan IgE meningkat didalam sekresi otitis
media yang merupakan respon mukosa Lasisi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Alergi