Alergi Alergi Sebagai Faktor Risiko Terhadap kejadian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Benigna Di RSUP H. Adam Malik Medan.

2.5 Alergi

Penyakit alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dari organ yang terkena. Istilah atopi adalah didapatkannya IgE hiperresponsif, sedangkan alergi adalah ekspresi klinis dari penyakit yang dimediatori oleh IgE. Pasien atopi dapat mempunyai atau tidak mempunyai gejala alergi. Frekwensi atopi di negara-negara berkembang adalah 30- 40, tetapi hanya sebagian yang menderita alergi, yaitu asma bronkial alergi 5-10, rinitis alergi 10-20 dan alergi makanan 1-3 Mahdi, 2008. Pada penyakit karena alergiatopi bila dirangsang dengan alergen, timbul reaksi pembentukan IgE sedangkan pada orang normal tidak terjadi. IgE antibodi terikat pada Fc reseptor dipermukaan sel mastosit dan basofil, ini tidak berbahaya apabila tidak terpapar dengan antigen yang sama. Ikatan antigen dengan IgE antibodi menjembatani antibodi dengan reseptor dan merangsang lepasnya granula yang berisi histamin serta mediator lainnya Mahdi, 2008. Pada individu yang cenderung alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Individu normal tidak mempunyai respon Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari pollen, makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang dan lain-lain, respon sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopi dapat alergi terhadap satu atau lebih alergen diatas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat reaksi alergik sering disebut sebagai alergen Munasir et al, 2007. Universitas Sumatera Utara Interleukin IL 4 dan IL 13 yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopi akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respon terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respon IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Hubungan antara genetik dan imunologik kemungkinan terletak pada keseimbangan antara sel Th1 dan Th2 merupakan faktor penting. Sekarang telah diketahui bahwa orang-orang dengan penyakit alergi didapatkan peningkatan sel Th2 mempunyai nilai prediksi peningkatan kadar Th2. Produksi sitokinnya seperti IL4 dan IL6 akan meningkat, sebaliknya pada orang-orang tanpa gejala alergi produksi Th2 rendah Munasir et al, 2007; Mahdi, 2008.

2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1

Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat RAFC dan reaksi alergi fase lambat RAFL. Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008. Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Tahap Sensitisasi

Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai antigen presenting sel APC atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T yaitu helper T cell sel Th0. Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 IL 1. Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL- 13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat resting B cell, sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E IgE. IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil sel mediator sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008.

2.5.3 Reaksi Alergi Fase Cepat RAFC

Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan mastositbasofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk Universitas Sumatera Utara Performed Mediators, terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 PGD2, Leukotrien C4 LT C4, bradikinin, Platelet Activating Factor PAF, serta berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor GM-CSF, dan lain-lain Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008. Sel mastosit juga akan melepaskan molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul tersebut terdiri dari ECTA Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic akan menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008.

2.5.4 Reaksi Alergi tipe Lambat RAFL

Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008. Universitas Sumatera Utara 2.6 Diagnosis 2.6.1 Diagnosis OMSK