Shalat Qasar Hukum Ibadah

shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat qasar. 2 Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut: a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan Umar bin Khattab. b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Ka‘ab.

2. Shalat Jama’

- Surat al-Isrâ’17: 78: اًدْﻮﻬْ نﺎآ ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗ نإ ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗو ْﻴﻠ ا ﺴﻏ ﻰ إ ْﻤ ا كْﻮ ﺪ ةﻮﻠﺼ ا ﻗأ “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat ْﻤ ا كْﻮ ﺪ adalah shalat zuhur dan shalat asar. Adapun makna ْﻴﻠ ا ﺴﻏ adalah shalat maghrib dan isya’, sedangkan makna ayat ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗو adalah shalat subuh. Melalui ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat zhuhur dan ashar pelaksanaannya dilakukan secara 2 Syaikh al-Tâifah Abû Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tûsî, al-Tibyân fi Tafsir al- Qur’ân, Teheran: Maktab al-A‘lâm al-Islâmi, 1409 HQ, Jilid III, h. 307-310. Al-Tûsî juga menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat jama’ tersebut dikerjakan pada saat muqim, dan apabila dalam keadaan musafir, maka seseorang harus shalat jama’ qasar.

3. Shalat Jum’at

ﷲاﺮْآذ ﻰ إ اْﻮﻌْ ﺎ ﺔﻌﻤﺠْا مْﻮ ْ ةﻮﻠﺼﻠ ىدْﻮ اذإ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”. Al-Tûsî dan Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah menjelaskan bahwa shalat jum’at harus dilaksanakan oleh sultan penguasa yang adil atau penggantinya. Sultan yang dimaksud di sini adalah Rasulullah saw atau salah satu dari dua belas imam yang ma’sûm. Adapun yang dimaksud dengan pengganti sultan, al-Tûsî mensyaratkan harus orang mukmin yang mengakui imâmah dua belas. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat jum’at diwajibkan kepada seluruh mukallaf, kecuali yang mempunyai uzur, seperti musafir, sakit, buta, tuli, pincang, dan semacamnya. Ia juga menguraikan bahwa syarat pelaksanaan shalat jum’at adalah minimal tujuh orang. 4 Dari penjelasan al-Tûsî tersebut nampaklah bahwa terdapat perbedaan antara pelaksanaan shalat jum’at oleh Syi‘i dengan mayoritas Sunni kecuali mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi dijelaskan bahwa shalat jum’at harus dipimpin oleh seorang sultan, baik adil maupun zalim. Dalam mazhab ini juga dijelaskan bahwa ada empat hal yang menjadi hak para penguasa, di antaranya adalah shalat jum’at. Apabila dalam shalat jum’at tidak disyaratkan harus 3 Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid VI, h. 508-510 . 4 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 8-9 .