Al- Tûsî dan Fiqh Syi’ah

fiqh di lingkungan Ahlu Sunnah tidaklah besar. Perbedaan tersebut serupa besarnya dengan perbedaan antara mazhab fiqh Hanafi dengan fiqh Maliki atau Syafi’i. Atau seperti perbedaan antara mereka yang beramal dengan ketentuan- ketentuan lahiriyah nas dengan mereka yang mengambil apa yang tersirat di dalamnya. Apabila seseorang memperhatikan kandungan kitab-kitab fiqh mereka, ia akan menjumpai pandangan-pandangan fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang sejalan dengan pendapat jumhur ulama fiqh. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa terdapat pendapat-pendapat dalam fiqh Ja’fari yang menyebabkannya keluar dari lingkungan Islam. Perbedaan pendapat antara fiqh Ja’fari dengan fiqh Ahlu Sunnah menunjukkan suburnya kemerdekaan berpikir dalam Islam dalam kerangka Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam fiqh mazhab Ja’fari terdapat pendapat-pendapat lurus yang sahih untuk diambil. Dalam kenyataannya, Undang-undang qânûn Mesir telah mengambil pendapat-pendapat Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah. Di antaranya adalah menjatuhkan talak tiga sekaligus hanya berarti talak satu. Dalam pandangan ini, Majelis Muzâkarah Tafsir Mesir menyatakan bahwa pendapat tersebut diambil dari Ibnu Taimiyah, tetapi Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa pendapat tersebut diambilnya dari pendapat-pendapat para imam ahl al-bait. Dalam masalah fiqh, Syi’ah bersandar pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, sunnah, akal, dan ijma’. 7 Al-Tûsî termasuk salah seorang fuqahâ’ kenamaan kaum Syi’ah, bahkan ia termasuk pendiri mazhab Ja’fari. Ia telah berupaya membela pendapat-pendapat 7 Ahmad Bashûni Faudâi, Nasy’ah al-Tafsir wa Manâhijuh, h. 162-163. mazhabnya dalam masalah fiqh. Dalam masalah fiqh, ia mengemukakan dalil- dalil yang menunjukkan kuatnya akal beliau, keluasan pikirannya, dan luasnya bacaannya.

BAB III METODE DAN PRINSIP PENAFSIRAN AL-TÛSÎ

DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

A. Metode Penafsiran Al-Tûsî

Berdasarkan dalil Al-Qur’an, al-Tûsî berkeyakinan bahwa sabda nabi Muhammad saw merupakan dasar yang tepat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al- Tûsî juga berkeyakinan bahwa sabda pendapat para ulama ahlulbait merupakan suatu dasar yang dapat dijadikan hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena sabda para ulama ahlulbait mengikuti sabda nabi Muhammad saw. Adapun prinsip al-Tûsî terhadap pendapat para sahabat dan tabi’in, ia berpandangan bahwa pendapat para sahabat dan tabi’in tidak dapat dijadikan hujjah kecuali pendapatnya tersebut memiliki dukungan dari hadis nabi Muhammad saw. Hal ini disebabkan karena menurut al-Tûsî, kedudukan para sahabat 1 dan tabi’in adalah sama seperti kaum muslim lainnya. Dengan demikian, 1 Syi‘i termasuk Al-Tûsî membagi sahabat menjadi tiga golongan, yaitu: pertama, golongan sahabat yang beriman kepada Allah swt, nabi Muhammad saw, serta mengorbankan diri mereka demi kepentingan Islam. Mereka adalah golongan yang paling utama. Golongan sahabat ini selalu membantu dan senantiasa bersama-sama nabi. Mereka tidak pernah melanggar perintahnya dalam setiap hal dan tidak pula mengatakan bahwa nabi berdusta. Di antara para sahabat yang termasuk dalam golongan ini adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Abû Zar al-Ghiffâri, Salmân al-Fârisi, Miqdâd, Ammar bin Yasir, dan Jâbir bin ‘Abd Allâh; kedua, golongan orang- orang yang mengingkari Islam, tetapi perbuatan mereka tidak sungguh-sungguh. Di antara sahabat yang termasuk dalam golongan sahabat ini adalah Ab- Bakr dan ‘Umar bin al-Khattâb; ketiga, golongan orang-orang yang mengingkari Islam setelah nabi Muhammad saw wafat sebagaimana yang dicatat oleh al-Bukhâri. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengutamakan nabi Muhammad saw, dan berusaha menyusup ke dalam Islam agar dimasukkan ke dalam golongan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik, seperti Ab- Sufyân, Mu’âwiyyah bin Abi Sufyân, dan Yazid bin Mu’âwiyah. Lihat Rofik Suhud, dll, Antologi 26 dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî menggunakan metode periwayatan dari hadis-hadis nabi Muhammad saw, hadis imam ahlulbaitnya, dan dari hadis-hadis sahabat. Menurut al-Tûsî, mufassir Syi’i dalam menafsirkan Al-Qur’an terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 2 Kelompok pertama adalah mufasir yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan penafsiran Rasulullah saw dan para imam ahlulbait. Dalam hal ini, para mufasir Syi’i menempuh metode dengan memasukkan hadis-hadis Rasulullah dan hadis-hadis para imam ahlulbait ke dalam karangan-karangan mereka. Di antara mufasir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Zurarah, Muhammad bin Muslim, Ma‘ruf, Jarir, dan lain-lain 3 . Kelompok kedua adalah ulama yang mula-mula menulis kitab tafsir, seperti Furat bin Ibrahim, Abu Hamzah al-Samali al-‘Iyasyi w. 320 H, ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi w. 329 H, dan al-Nu‘man. 4 Metode yang mereka pergunakan Islam: Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi terjemahan dari Encyclopedia of Shia, Jakarta: Al-Huda, 2005, h. 345. 2 Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70-72. Lihat juga Sâlim al-Safâr al-Baghdâdi, selanjutnya dinamai al-Baghdâdi, Naqd Manhaj al-Tafsir wa al-Mufassirin al-Muqâran selanjutnya disebut Naqd Manhaj, Beirût: Dâr al-Hâdi, 2000, h. 348-350. Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran , h. 227. 3 Zurârah bin A‘yun adalah seorang ulama ahli fiqh Sy‘i. Ia merupakan pilihan dari dua imam, yaitu imam Muhammad bin ‘Ali al-Bâqir dan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Ma‘rûf bin Khurbûz dan Jarir merupakan murid pilihan imam Ja‘far bin Muhammad al-Shâdiq. Lihat Al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 70. Lihat juga al-Baghdâdi, Naqd Manhaj, h. 348. 4 Furât bin Ibrâhim adalah pengarang kitab tafsir yang terkenal بدﻷا ﺔ ﺎﺤ ر . Ia merupakan guru dari ‘Al bin Ibrâhim al-Qummi. Ia berasal dari Kufah. Ab- Hamzah al-samâli adalah ahli fiqh Syi‘i dan murid pilihan imâm ‘Ali al-Sajjâd dan imam Muhammad bin ‘Ali al- Bâqir. Al-‘Iyâsyi adalah mufasir Syi‘i abad ketiga dan keempat Hijriyah. Ia wafat pada tahun 320 H. ‘Ali bin Ibrâhim al-Qummi adalah salah seorang guru hadis mazhab Syi‘i. Ia hidup pada akhir abad ketiga Hijriyah dan permulaan abad keempat Hijriyah. Al-Nu‘mân Muhammad bin Ibrâhim adalah salah seorang tokoh dan ulama Syi‘i. Ia adalah murid kepercayaan al-Kulaini. Ia hidup pada