Pandangan al-Tûsî dalam Tafsir al-Tibyân
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang- orang yang ruku’.
Ayat tersebut hanyalah menerangkan tentang perintah melaksanakan shalat, dan zakat. Adapun tentang rincian jumlah shalat dan jumlah rakaatnya,
rincian syarat-syarat dan ukuran nisab zakat tidak mungkin untuk diketahui kecuali melalui keterangan dari Rasulullah saw.
d. Lafaz Al-Qur’an memiliki makna ganda atau lebih. Pada bahagian ini, setiap satu makna dari sebuah lafaz memiliki
kemungkinan benar dan makna yang dimaksud. Pada bahagian ini pula, seseorang tidak boleh untuk mengedepankan salah satu kemungkinan dari makna suatu
lafaz, kecuali apabila hal tersebut dikatakan oleh nabi atau imam yang ma‘sum. Pada saat demikian, seseorang harus mengambil sikap bahwa dari zahir-nya, suatu
lafaz mengandung beberapa kemungkinan, dan setiap dari kemungkinan tersebut terbuka untuk menjadi makna yang dimaksud secara terperinci.
Apabila sebuah lafaz memiliki makna ganda atau lebih kemudian di dukung dengan sebuah dalil yang menegaskan bahwa makna yang dimaksud
adalah hal tersebut, maka pada saat itu boleh dikatakan bahwa itulah makna yang dimaksud.
Selain itu, pandangan lain dari al-Tûsî yang menarik untuk dijelaskan dalam tafsir al-Tibyân
ini adalah sebagai berikut: a. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama setelah Rasulullah
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an pada tafsir al-Tibyân, al- Tûsî selain mengambil riwayat-riwayat dari para imam, ia juga mengambil riwayat-
نْﻮﻌآار ْ هو ةﻮآﺰ ا نْﻮ ْﺆ و ةﻮﻠﺼ ا نْﻮﻤْﻴ ْﺬ او اْﻮ اء ْﺬ او ﻪ ْﻮ رو ﷲا ﻜﻴ و ﺎﻤ إ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang- orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk kepada Allah”. Dalam menafsirkan kata
اْﻮ اء ْﺬ او tersebut, al-Tûsî mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadikan ayat di atas sebagai dasar bagi ke-imam-an Ali
r.a. Dalam tafsir al-Tibyân, al- Tûsî menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perbuatan Ali r.a yang ketika itu beliau menyedekahkan
cincinnya sementara beliau sedang ruku’. Al- Tûsî mengatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya ayat ini merupakan salah satu dalil yang
jelas mengenai ke-imam-an Ali bin Abi Thalib a.s sesudah nabi Muhammad saw secara langsung tanpa terputus. Adapun pendalilan wajh
dalâlah nya adalah bahwa pengertian
ﻜﻴ و dalam ayat tersebut adalah “ yang lebih utama ” atau “yang paling berhak”. Adapun yang dimaksud
dengan firman Allah SWT: اْﻮ اء ْﺬ او tersebut adalah Amirul Mukminin
Ali Bin Abi Thalib. Apabila dua pokok persoalan tersebut telah ditetapkan
b. Semua imam Syi‘i adalah ma’sûm. Di antara prinsip pokok kaum Syi‘i adalah pendapat mereka tentang
‘ismah para imam. Mereka memandang bahwa para imam Syi‘i yang dua belas itu
seperti para nabi Allah SWT yang tidak mungkin mereka terjatuh dalam kesalahan. Al- Tûsî dalam tafsir al-Tibyân berupaya menguatkan pendapat tentang
‘ismah ini dengan jalan pen-ta’wil-an ayat-ayat Allah SWT sesuai dengan
riwayat-riwayat para imam dengan menundukkan ayat-ayat tersebut agar sesuai denga keyakinan mazhabnya. Demikianlah mengenai firman Allah SWT dalam
surat al-Baqarah2: 124:
ﻤ ﺄ ﻤﻠﻜ ﻪ ر ْﻴهاﺮْإ ﻰﻠ ْاذإو ﺎً ﺎ إ سﺎ ﻠ ﻚﻠ ﺎﺟ ﻰ إ لﺎﻗ ﻬ
لﺎ ﻻ لﺎﻗ ﻰ رذ ْ و لﺎﻗ ْﻴﻤﻠﻈ ا ىﺪْﻬ
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.
5
Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz III, h. 558-564.
Ibrahim berkata: Dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.
Setelah menjelaskan ayat ini dari segi bahasa dan gramatikanya, al- Tûsî menjelaskan bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut, sahabat-sahabat kita berdalil
bahwa imam itu mestilah ma‘sûm dari keburukan-keburukan. Hal ini disebabkan karena Allah SWT tidak memberlakukan janji-Nya imamah bagi orang yang
zalim. Seseorang yang tidak ma‘sûm pastilah seorang yang zalim yang dapat terjadi pada dirinya sendiri maupun zalim terhadap orang lain. Al- Tûsî juga
menjelaskan bahwa ayat tersebut tidaklah berarti bahwa janji Allah SWT itu tidak berlaku bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan zalim saja atau berlaku
apabila ia telah bertaubat saja. Ayat tersebut menurutnya wajib dipahami sebagai sesuatu yang menyangkut keumuman waktu dan bahwa janji Allah SWT itu tetap
tidak berlaku bagi seseorang yang pernah melakukan kezaliman sekalipun ia telah bertaubat. Selain itu, al-Tûsî juga beragumentasi bahwa jabatan imamah itu
bertalian dengan jabatan kenabian. Hal ini disebabkan karena Allah SWT berbicara kepada nabi Ibrahim a.s tentang masalah imamah tersebut dalam
kedudukan beliau sebagai seorang nabi.
6