Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
yang ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karateristik masing-masing.
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab. Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an memiliki susunan
indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui oleh sastrawan Arab. Mereka melihat, bahwa Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz Arab, akan tetapi ia
bukan puisi, prosa, atau sya’ir. Bahasa atau kalimat-kalimat Al-Qur’an merupakan kalimat-kalimat yang menakjubkan yang berbeda dengan kalimat-kalimat selain
Al-Qur’an. Ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang nyata. Ia merupakan wahyu Allah yang mempergunakan berbagai macam bentuk
redaksi. Redaksi yang dipergunakan tersebut merupakan salah satu kemukjizatan yang dimilikinya.
4
Sehubungan dengan hal itu, manusia dituntut agar berusaha mencurahkan segala potensi insaninya untuk menggali isi kandungan Al-Qur’an melalui
penafsiran terhadap lafaz-lafaznya. Hasil usaha manusia dalam memahami dan menjelaskan makna serta maksud firman Allah swt tersebut dikenal dengan istilah
tafsir. Tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Tanpa tafsir, seorang
muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Allah swt yang terkandung dalam Al-Qur’an.
4
Mutawalli Sya‘rawi, Mu‘jizât al-Qur’an, Kairo: Dâr al-Salâm, 1998, h. 54.
3
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berjalan sejak kitab suci ini masih diturunkan kepada Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menjelaskan
maksud-maksud Al-Qur’an kepada umatnya. Setelah Rasulullah saw wafat, maka usaha penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh para sahabat, kalangan ulama tabi’in
dan seterusnya hingga generasi umat Islam berikutnya.
5
Tafsir merupakan suatu kajian ilmiah yang sangat luas. Ia memiliki berbagai macam segi dan makna. Seorang mufasir hanya mampu menafsirkan Al-
Qur’an sesuai dengan kemampuan dan hak otoritas keilmuannya. Dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh seorang mufasir tersebut, maka
lahirlah suatu tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang-bidang tertentu sebagai indikator adanya spesialisasi para mufasir itu sendiri. Berdasarkan
kondisi seperti ini, maka aliran teologi, mazhab dalam fiqh dan aliran tasawuf yang dianut oleh mufasir, sangat berpengaruh terhadap cara penafsiran mereka.
Dengan demikian, lahirlah tafsir-tafsir yang bercorak teologi, hukum, tasawuf, dan lain-lain.
6
Sejalan dengan minat dan semangat kaum muslimin untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Qur’an, maka upaya penafsirannya terus berkembang,
baik pada masa ulama salaf maupun khalaf pada masa sekarang. Pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, pemahaman dan penafsiran terhadap Al-
Qur’an, tidaklah mendapat suatu kesulitan. Hal ini disebabkan karena segala persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Dalam
5
Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.
6
Lihat Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran, h. 6.
4
perkembangan selanjutnya, ketika Islam semakin menyebar dan meluas, maka semakin banyak pula tantangan dan permasalahan yang timbul.
Salah satu di antara permasalahan yang timbul pada masa perluasan dan penyebaran Islam adalah tragedi suksesi kekhalifaan ‘Usman r.a kepada ‘Ali r.a
yang diwarnai dengan persaingan politik. Peristiwa tersebut mengakibatkan munculnya berbagai aliran dalam Islam serta menimbulkan penafsiran Al-Qur’an
sesuai dengan corak dan warna serta latar belakang doktrin aliran masing-masing. Setiap kelompok mengklaim bahwa pendapat dan keyakinannyalah yang Qur’ani,
walaupun pendapatnya tersebut hanya berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an saja. Di antara corak dan warna penafsiran Al-Qur’an yang muncul sebagai
akibat dari peristiwa tersebut adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Syi’i dan ulama Sunni. Ulama Syi’i berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan kapasitas mereka sebagai ahlul bait. Di antara mereka banyak muncul ulama dan mufasir yang terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut
antara lain, Syi’i Zaidiyah, Ismailiyah, Bathiniyyah, Nizariyah, Musta’liyah, Duquqiyah, Muqanna’ah, Isnâ ‘Asyariyah, dan lain-lain.
7
7
Syi’ah adalah golongan atau pengikut Ali bin abi Thalib. Aliran yang dianut oleh Al- Tûsî adalah Isnâ ‘Asyariyyah. Syi‘i tidak mengalami timbulnya sesuatu golongan selama masa
keimaman ketiga imam, yaitu Ali, Hasan, dan Husain. Setelah kesyahidan Husain, aliran Syi‘i terbagi ke dalam beberapa kelompok. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan terhadap
keimaman kepemimpinan. Mayoritas Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah menerima keimaman Ali bin Husain al-Sajjâd sebagai imam keempat, sedangkan sekelompok minoritas berpandangan bahwa
yang berhak menjadi imam adalah Muhammad bin Hanafiyah putra khalifah Ali yang ketiga. Kelompok ini disebut dengan Syi‘i Kisâniyyah. Selain itu, mayoritas Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah
menerima Muhammad al-Bâqir sebagai imam yang kelima, sedangkan minoritas Syi‘i berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang kelima adalah Zaid al-Syâhid. Kelompok ini
disebut dengan Syi‘i Zaidiyah. Semenatara itu, perpecahan kelompok Syi‘i semakin bertambah setelah sampai pada pengangkatan imam yang ketujuh. Mayoritas Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah
berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam yang ketujuh adalah Musa al-Kâzim, sedangkan minoritas Syi‘i lainnya berkeyakinan bahwa yang harus menjadi imam yang ketujuh adalah Isma’il
putra imam keenam yang tertua. Kedua kelompok Syi‘i ini, baik minoritas Zaidiyah dan
5
Sementara itu, ulama Sunni juga berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan pemahaman mereka. Mereka berpedoman pada
keyakinannya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kedua aliran mufasir
Sunni-Syi’i tersebut memiliki banyak perbedaan dan persamaan, baik dalam masalah aqidah, hukum, mu‘amalah, dan lain-lain. Kedua aliran mufasir ini
berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Al-Tûsî merupakan salah seorang mufasir Syi’i yang pertama kali
menafsirkan Al-Qur’an di kalangan Syi’i secara menyeluruh. Ia juga merupakan mufasir Syi’i yang mempelopori penolakan pandangan akan penambahan dan
pengurangan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dianut oleh sebahagian mufasir Syi’i sebelumnya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tûsî bersumber pada Al-
Qur’an itu sendiri, penafsiran Nabi saw, pandangan imam ahlul bait, serta hadis- hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya.
Tafsir al-Tibyân merupakan tafsir yang paling monumental dan berpengaruh di kalangan Syi’i. Banyak mufasir Syi’i yang menjadikan tafsir al-
Tibyân ini sebagai rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di
antaranya adalah al-Tabarsî dengan tafsirnya Majma‘ al-Bayân, al-Taba’tabai dengan tafsirnya al-Mîzân, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga banyak
mencontoh metode dan sistematika al-Tûsî dalam menafsirkan ayat-ayat Al- Qur’an.
Ismailiyah, maupun mayoritas Isna ‘Asyariyyah masih ada hingga sekarang. Adapun Syi’ah minoritas selain Zaidiyah dan Isma’ilyah semuanya telah lebur dalam waktu yang singkat. Lihat
Islam Syi’ah; Asal-usul dan Perkembangannya , terjemahan dari al-Tabâtabâi, Shi’te Islam,
Jakarta: Grafiti Pers, 1989, cet. ke-1, h. 79-91. Lihat Juga Abdul Azis Teo, Perbandingan Penafsiran
, h. 7.
6
Tafsir al-Tibyân yang disusun oleh al-Tûsî merupakan tafsir Syi’i pertama yang moderat. Hal ini disebabkan karena al-Tûsî dalam menafsirkan Al-Qur’an,
selain mengambil riwayat-riwayat dari imam ahlulbait, ia juga mengambil riwayat para sahabat yang bukan Syi’i. Tafsir ini memiliki kesamaan dengan jumhur ahli
tafsir, kecuali dalam masalah riwayat imam yang disejajarkan dengan nabi. Dalam tafsir ini pula, al-Tûsî menempatkan riwayat-riwayat imam di atas periwayatan
para sahabat. Adapun di antara alasannya adalah karena para imam mendapatkan riwayat dari Ali r.a dan Ali mendapatkannya langsung dari Rasulullah saw.
Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, al-Tûsî juga tetap menempatkan riwayat imam ahlulbait di atas periwayatan para sahabat lainnya, dan apabila
riwayat-riwayat para sahabat yang bukan Syi’i tersebut bertentangan dengan riwayat imam ahlulbait, maka riwayat tersebut tidak dipakai oleh al-Tûsî.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merasa terpanggil
guna berperan aktif mencoba meneliti “Pandangan al-Tûsî Terhadap Ayat- Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-Tibyân”.