Shalat Jama’ Hukum Ibadah

Al-Tûsî juga menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat jama’ tersebut dikerjakan pada saat muqim, dan apabila dalam keadaan musafir, maka seseorang harus shalat jama’ qasar.

3. Shalat Jum’at

ﷲاﺮْآذ ﻰ إ اْﻮﻌْ ﺎ ﺔﻌﻤﺠْا مْﻮ ْ ةﻮﻠﺼﻠ ىدْﻮ اذإ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah”. Al-Tûsî dan Syi’ah Isnâ ‘Asyariyyah menjelaskan bahwa shalat jum’at harus dilaksanakan oleh sultan penguasa yang adil atau penggantinya. Sultan yang dimaksud di sini adalah Rasulullah saw atau salah satu dari dua belas imam yang ma’sûm. Adapun yang dimaksud dengan pengganti sultan, al-Tûsî mensyaratkan harus orang mukmin yang mengakui imâmah dua belas. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat jum’at diwajibkan kepada seluruh mukallaf, kecuali yang mempunyai uzur, seperti musafir, sakit, buta, tuli, pincang, dan semacamnya. Ia juga menguraikan bahwa syarat pelaksanaan shalat jum’at adalah minimal tujuh orang. 4 Dari penjelasan al-Tûsî tersebut nampaklah bahwa terdapat perbedaan antara pelaksanaan shalat jum’at oleh Syi‘i dengan mayoritas Sunni kecuali mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi dijelaskan bahwa shalat jum’at harus dipimpin oleh seorang sultan, baik adil maupun zalim. Dalam mazhab ini juga dijelaskan bahwa ada empat hal yang menjadi hak para penguasa, di antaranya adalah shalat jum’at. Apabila dalam shalat jum’at tidak disyaratkan harus 3 Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid VI, h. 508-510 . 4 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz X, h. 8-9 . dipimpin sultan, maka pelaksanaannya akan mengarah pada kekacauan. Hal ini disebabkan karena manusia akan saling berlomba datang lebih dahulu ke masjid lalu melaksanakan shalat jum’at untuk tujuan mereka. Dengan demikian, orang- orang selain mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengkoordinir kegiatan shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini pasti terjadi kekacauan. Oleh karena itu, menurut mazhab Hanafi, pelaksanaan shalat jum’at harus diserahkan kepada sultan yang kepadanya diserahkan berbagai urusan manusia dan berlaku adil di antara mereka. 5

4. Puasa

Surat al-Baqarah2: 183-184: نْﻮ ْ ﻜﻠﻌ ْ ﻜﻠْﻗ ْ ْﺬ ا ﻰﻠ آ ﺎﻤآ مﺎﻴﺼ ا ﻜْﻴﻠ آ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ 183 ﺎً ﺎ أ ﺮﺧأ مﺎ أ ْ ةﺪﻌ ﺮ ﻰﻠ ْوأ ﺎًﻀْﺮ ْ ﻜْ نﺎآ ْ ﻤ تادْوﺪْﻌ 184 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa 183. yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain 184”. Al-Tûsî menafsirkan bahwa kata مﺎﻴﺼ ا yang tercantum dalam ayat tersebut bermakna puasa Ramadhan. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa bagi orang musafir dan bagi orang sakit, maka wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan puasa. Apabila seseorang berpuasa 5 ‘Ali Ahmad al-Sâlûs, Ma‘a al-Isnâ ‘Asyariyyah fi al-shûl wa al-Furû‘, Qatar: Dâr al- Tsaqâfah, 2002, h. 992-1002.