dipimpin sultan, maka pelaksanaannya akan mengarah pada kekacauan. Hal ini disebabkan karena manusia akan saling berlomba datang lebih dahulu ke masjid
lalu melaksanakan shalat jum’at untuk tujuan mereka. Dengan demikian, orang- orang selain mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengkoordinir
kegiatan shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini pasti terjadi kekacauan. Oleh karena itu, menurut mazhab Hanafi, pelaksanaan shalat jum’at harus diserahkan
kepada sultan yang kepadanya diserahkan berbagai urusan manusia dan berlaku adil di antara mereka.
5
4. Puasa
Surat al-Baqarah2: 183-184:
نْﻮ ْ ﻜﻠﻌ ْ ﻜﻠْﻗ ْ ْﺬ ا ﻰﻠ آ ﺎﻤآ مﺎﻴﺼ ا ﻜْﻴﻠ آ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ 183
ﺎً ﺎ أ ﺮﺧأ مﺎ أ ْ ةﺪﻌ ﺮ ﻰﻠ ْوأ ﺎًﻀْﺮ ْ ﻜْ نﺎآ ْ ﻤ تادْوﺪْﻌ
184
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa 183. yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia
berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain 184”.
Al-Tûsî menafsirkan bahwa kata مﺎﻴﺼ ا yang tercantum dalam ayat tersebut
bermakna puasa Ramadhan. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa bagi orang musafir dan bagi orang sakit, maka wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dan
menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan puasa. Apabila seseorang berpuasa
5
‘Ali Ahmad al-Sâlûs, Ma‘a al-Isnâ ‘Asyariyyah fi al-shûl wa al-Furû‘, Qatar: Dâr al-
Tsaqâfah, 2002, h. 992-1002.
5. Wudhu’
Surat al-Mâidah5: 6:
إ ْ ﻜ ﺪْأو ْ ﻜهْﻮﺟو اْﻮﻠﺴْﻏﺎ ةﻮﻠﺼ ا ﻰ إ ْ ْﻤﻗ اذإ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ اْﻮﺤﺴْ او اﺮﻤْا ﻰ
ْﻴ ْﻌﻜْا ﻰ إ ْ ﻜﻠﺟْراو ْ ﻜ ْوءﺮ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Al-Tûsî
menafsirkan ayat
ْ ﻜهْﻮﺟو اْﻮﻠﺴْﻏﺎ dalam ayat tersebut adalah membasuh muka mulai dari batas rambut kepala sampai dengan dagu. Ia juga
menjelaskan bahwa bahagian dalam dari mulut, hidung, dan mata bukan merupakan bahagian dari wajah. Oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak wajib
dibasuh. Ayat اﺮﻤْا ﻰ إ ْ ﻜ ﺪْأو ia tafsirkan dengan makna membasuh tangan mulai
dari siku sampai dengan ujung jari-jari tangan. Al-Tûsî menjelaskan bahwa dalam membasuh tangan tidak boleh dimulai dari ujung jari sampai ke siku, karena harf
ﻰ إ dalam ayat tersebut bermakna . Pandangan ini berbeda dengan mazhab Sunni.
7
6
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid II, h. 115-117.
7
Al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 447-450.