Zakat dan Khumûs Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara al-Tûsî sebagai mufasir dan

g. Tanah yang dibeli oleh seorang zimmî dari seorang muslim. Hal ini terjadi apabila setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu h. Khumûs seperlima dari pendapatan atau harta-harta tersebut dibagi kepada enam bahagian, yaitu mereka yang tersebut dalam surat al-Anfâl8: 8: ْﺮ ْا ىﺬ و لْﻮ ﺮﻠ و ﻪﺴﻤﺧ ﷲ نﺄ ءْ ْ ْ ْﻤ ﻏ ﺎﻤ أ اْﻮﻤﻠْ او ْاو ْﻴﻜﺴﻤْاو ﻰﻤ ﻴْاو ﻰ ْﻴ ﺴ ا “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa fayi’ itu diperuntukkan kepada Allah SWT, Rasul-Nya Muhammad saw, imam ahlul bait dan kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil yang semuanya berasal dari ahli bait Rasulullah saw dari Bani Hasyim dan bukan untuk secara umum. Selanjutnya al-Tûsî menjelaskan bahwa hak Allah SWT dan hak Rasul saw setelah wafatnya Nabi Muhammad saw diserahkan kepada imam. Apabila imam belum muncul – dalam hal ini imam ke-12 atau imam Mahdi , maka hak-hak Allah SWT dan Rasulullah saw itu diserahkan pada para mujtahid 9 yang adil untuk digunakan bagi kebutuhan agama dan bantuan kepada fakir miskin. Separuh dari pajak keagamaan yang diserahkan kepada otoritas agama yang diakui itu, dewasa ini digunakan pada hal- hal yang dianggap perlu dan bermanfaat oleh otoritas yang diakui tersebut. Ia bertindak sebagai wakil imam yang belum lagi hadir dan separuh lainnya dibayarkan kepada keturunan nabi Muhammad saw, terutama yang membutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan mereka dari kehinaan akibat kesulitan keuangan dan sekaligus sebagai ungkapan cinta dan penghargaan kepada mereka. 10 9 Para Mujtahid yang dimaksud tersebut adalah para Mujtahid yang berada di Iran, seperti Khomeini, Syari’at Madari, Ali Khamanei, dan sebagainya. 10 Al-Tûsî, al-Tibyân, Juz V, h. 122-125.

B. Hukum Mu‘amalah;

1. Nikah Mut’ah

Surat al-Nisâ’4: 24: ًﺔﻀْﺮ هرْﻮﺟأ هْﻮ ْﺄ ﻬْ ﻪ ْ ْﻌ ْﻤ ْ اﺎﻤ “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajiban”. Sebelum penulis menguraikan pandangan al-Tûsî terhadap nikah mut’ah, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang pengetian nikah mut’ah. Dalam paham Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah mengenal dua macam perkawinan, yaitu: 1 perkawinan mutlak tanpa batas waktu yang ditetapkan. Model ini sama dengan paham Ahlu Sunnah. 2 perkawinan mut’ah. Perkawinan mut’ah adalah perkawinan yang bersifat sementara dan temporer. Perkawinan mut’ah tidak dibenarkan oleh Ahlu Sunnah sekalipun mereka mengakui bahwa Rasulullah saw pernah mengizinkannya dan sahabat-sahabatnya banyak yang melakukannya. Menurut Ahlu Sunnah, izin tersebut telah dibatalkan sekalipun mereka berbeda pendapat tentang kapan dan siapa yang membatalkannya. Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah tidak mengakui adanya pembatalan dari Nabi Muhammad saw., sehingga mereka masih membolehkannya sampai saat ini. Dalam hal mut’ah, Syi’ah berpandangan bahwa ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa kawin mut’ah itu pernah disyari’atkan dan telah dilakukan. Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama dan mufasir-mufasir Syi’ah adalah bahwa menetapkan bolehnya perkawinan mut’ah akan membantu kaum muslim yang dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda belia supaya tidak terjerumus pada perzinahan. 11 Perkawinan mut’ah mempunyai empat rukun, yaitu: 12 Pertama , shighat, yaitu akad nikah dengan menggunakan salah dari tiga lafaz, seperti zawwajtuka saya kawainkan kamu, ankahtuka saya nikahkan engkau, dan matta‘tuka saya mut’ahkan engkau. Kedua , al-zaujah mempelai perempuan. Perempuan disayaratkan harus seorang muslimah atau ahli kitab dan tidak sah mut’ah dengan perempuan musyrik. Ketiga , mahar. Dalam hal mahar, mempelai laki-laki harus menyebutkan jumlah mahar yang akan diberikan. Mahar tersebut ditentukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak walaupun hanya segenggam gandum. Keempat , jangka waktu. Rukun ini merupakan syarat utama dalam akad yang ditentukan atas dasar suka sama suka, seperti sehari, sebulan, atau setahun. Jangka waktu ini harus ditetapkan dengan pasti. 11 Muhammad Kâzim al-Tabâtabâi, al-Urwah al-Wutsqâ, Teheran: Dâr al-Kutub al- Islâmiyyah, 1388 H, h. 632. Lihat juga al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 166-167. 12 Mahmûd Bashûni Faudâi, Nasy’ah Tafsir wa Manâhijuh, Kairo: Mathba‘ah al- Amânah, 1997, h. 192-193.