Nikah Mut’ah Hukum Mu‘amalah;

bahwa kawin mut’ah itu pernah disyari’atkan dan telah dilakukan. Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama dan mufasir-mufasir Syi’ah adalah bahwa menetapkan bolehnya perkawinan mut’ah akan membantu kaum muslim yang dalam perjalanan panjang, baik pelajar-pelajar maupun tentara yang masih muda belia supaya tidak terjerumus pada perzinahan. 11 Perkawinan mut’ah mempunyai empat rukun, yaitu: 12 Pertama , shighat, yaitu akad nikah dengan menggunakan salah dari tiga lafaz, seperti zawwajtuka saya kawainkan kamu, ankahtuka saya nikahkan engkau, dan matta‘tuka saya mut’ahkan engkau. Kedua , al-zaujah mempelai perempuan. Perempuan disayaratkan harus seorang muslimah atau ahli kitab dan tidak sah mut’ah dengan perempuan musyrik. Ketiga , mahar. Dalam hal mahar, mempelai laki-laki harus menyebutkan jumlah mahar yang akan diberikan. Mahar tersebut ditentukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak walaupun hanya segenggam gandum. Keempat , jangka waktu. Rukun ini merupakan syarat utama dalam akad yang ditentukan atas dasar suka sama suka, seperti sehari, sebulan, atau setahun. Jangka waktu ini harus ditetapkan dengan pasti. 11 Muhammad Kâzim al-Tabâtabâi, al-Urwah al-Wutsqâ, Teheran: Dâr al-Kutub al- Islâmiyyah, 1388 H, h. 632. Lihat juga al-Tûsî, al-Tibyân, Jilid III, h. 166-167. 12 Mahmûd Bashûni Faudâi, Nasy’ah Tafsir wa Manâhijuh, Kairo: Mathba‘ah al- Amânah, 1997, h. 192-193. Dalam hukum perkawinan mut’ah akan muncul beberapa masalah, di antaranya: 13 1. Perkawinan akan rusak atau batal apabila memisahkan antara penyebutan mahar dengan penyebutan jangka waktu yang ditentukan. Selanjutnya, menyebutkan mas kawin tanpa menentukan jangka waktu akan merubah status perkawinan menjadi perkawinan permanent nikah da’im. 2. Secara ijma’, tidak ada talak dalam perkawinan mut’ah. 3. Dalam perkawinan mut’ah tidak waris mewarisi antara suami-isteri. 4. Tidak sah memperbaharui akad sebelum berakhir jangka waktu yang telah ditentukan. 5. Apabila telah habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka ‘iddah perempuan adalah dua kali haid. Apabila suami meninggal, maka ‘iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari. Al-Tûsî berpegang teguh pada pendapatnya bahwa firman Allah swt. dalam surat al-Nisâ’ ayat 24 tersebut diturunkan sehubungan dengan masalah perkawinan mut’ah. Ia menjelaskan bahwa makna ayat ﻬْ ﻪ ْ ْﻌ ْﻤ ْ اﺎﻤ adalah nikah mut’ah. 13 Mahmûd Bashuni Faudâ’, Nasy’ah Tafsir, h. 193-194.

2. Riba

Surat Âli ‘Imrân3: 130: ًﺔ ﺎﻀ ﺎًﺎﻌْ أ ﻮ ﺮ ا اْﻮﻠآْﺄ ﻻ اْﻮ اء ْﺬ اﺎﻬ ﺄ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa segala macam riba adalah haram, baik riba nasi’ah , riba fadli, maupun riba yad. Menurutnya segala tambahan dalam hal pinjam meminjam perhutangan, maka hukumnya adalah haram.

3. Pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab

Baik Syi‘i maupun Sunni menyepakati bahwa perkawinan seorang muslim dengan seorang perempuan musyrik adalah tidak sah. Dalam perkawinan dengan perempuan bersama Ahlu Kitab, para fuqahâ’ mazhab Sunni 14 berpendapat bahwa hukumnya adalah sah. Adapun pendapat di kalangan Syi‘i Isnâ ‘Asyariyyah, maka mereka terbagi dua, yaitu: pertama, ada yang membolehkan, dan kedua, tidak membolehkan. Pendapat-pendapat yang membolehkan kawin dengan perempuan Ahlu Kitab menguraikan bahwa ayat yang melarang perkawinan dengan perempuan- perempuan musyrik itu tidaklah meliputi perempuan-perempuan Ahlu Kitab. Adapun mengenai firman Allah SWT yang tercantum dalam surat al-Mumtahanah ayat 10: ﻜْا ﺼﻌ اْﻮﻜﺴْﻤ ﻻو ﺮ اﻮ dan janganlah kalian tetap mempertahankan ikatan perkawinan dengan wanita-wanita kafir telah di-nasakh oleh surat al- Mâidah ayat 5 yang menyatakan kebolehan mengawini perempuan-perempuan 14 Para fuqahâ’ yang dimaksud adalah Syâfi‘i, Mâliki, Hanbal, Hanafi . Di kalangan Syi‘i, mayoritas fuqahâ’-nya berpandangan bahwa kaum muslimin dilarang untuk mempertahankan perkawinan yang langgeng dengan perempuan Ahlu Kitab. Al-Tûsî telah mengemukakan masalah ini dan menyatakan ketidakbolehannya. Berkenaan dengan firman Allah SWT dalam surat al- Mumtahanah ayat 10, beliau menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah “janganlah berpegang erat-erat pada ikatan perkawinan dengan perempuan- perempuan kafir”, sedangkan arti semula pada ‘ismah adalah mencegah. Pernikahan dalam ayat tersebut dinamai ‘ismah karena perempuan yang dikawini tersebut berada dalam ikatan suami dan pemeliharaannya. Menurut al-Tûsî, pada ayat ini terdapat indikasi akan tidak diperbolehkan akad nikah dengan seorang perempuan kafir, baik kafir Harbi maupun kafir Dzimmi dan dalam segala situasi. Al-Tûsî menjelaskan bahwa nas tersebut bersifat umum bagi semua perempuan kafir, dan seseorang tidak bisa mengkhususkan nas tersebut dengan penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga pada hal-hal lain yang berhubungan dengan kemusyrikan dan kekafiran. Hal ini disebabkan karena asbâb al-nuzûl dari ayat tersebut berkenaan dengan kaum perempuan.

4. Talak

Apabila seseorang menyimak fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah, maka jelaslah bahwa terdapat pendapat-pendapat fiqh Syi’ah Isnâ ‘Asyariyah yang berharga dan dapat diterima kebenarannya menurut Ahlu Sunnah. Di antara pendapat tersebut