Prinsip Penafsiran Al-Tûsî

ﻄْأ ﺔﻌْ إ ﺎًْﻄ ﻪ ْﻄ و ﺎًْﻄ و اًﺮْﻬ ن ْﺮ ْﻠ نإ “Sesungguhnya Al-Qur’an itu mempunyai arti lahir dan batin dimensi kedalaman. Dan dimensi kedalaman itu masih mempunyai dimensi kedalaman lagi hingga sampai tujuh dimensi kedalaman”. Selain dari hadis tersebut, dalil yang menjadi penunjang utama akan makna batin Al-Qur’an adalah suatu bahasa kiasan yang disebutkan oleh Allah swt dalam surat al-Ra‘d13: 17: رﺎ ا ﻪْﻴﻠ نْوﺪﻗْﻮ ﺎﻤ و ﺎًﻴ اراًﺪ ز ْﻴﺴ ا ﻤ ْ ﺎ ﺎهرﺪ ﺔ دْوأ ْ ﺎﺴ ًء ء ﻤﺴ ا لﺰْا و ﺤْا ﷲا بﺮْﻀ ﻚ ﺬآ ﻪﻠْ ﺪ ز عﺎ ْوأ ﺔﻴْﻠ ءﺎ ْا ﺎ ﺎ أو ًءﺎ ﺟ هْﺬﻴ ﺪ ﺰ ا ﺎ ﺄ ﺎ ْا لﺎ ْ ﻷْا ﷲا بﺮْﻀ ﻚ ﺬآ ضْرﻷْا ﻰ ﻜْﻤﻴ سﺎ ا ْ “Allah swt telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buah arus itu. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah swt membuat perumpamaan- perumpamaan”. Dalam ayat tersebut, karunia Allah swt dilambangkan dikiaskan dengan hujan yang turun dari langit dan dari hujan itulah tergantung kehidupan bumi dan penduduknya. Dengan turunnya hujan, airpun mengalir, dan setiap sungai menerima air hujan tersebut menurut kemampuannya. Selain itu, sekalipun air mengalir dan menutupi permukaan sungai, namun di bawahnya tetap mengalir air yang sama yang dapat memberikan kehidupan dan manfaat pada umat manusia. Seperti telah diisyaratkan oleh cerita kiasan di atas, kemampuan untuk memahami pengetahuan ketuhanan yang menjadi sumber kehidupan batin manusia sangatlah berbeda-beda. Di antara manusia ada yang hanya menerima pengetahuan ketuhanan pada tingkat percaya secara sederhana, dan ada pula di antara manusia yang karena kesucian fitrahnya, ia mampu memahami lambang- lambang ciptaan yang tersembunyi. Dengan kesucian jiwa yang dimilikinya, ia mengamati dalam suatu penglihatan rohani cahaya yang tidak terhingga dari Keagungan dan Kebesaran Allah swt. Hati mereka sepenuhnya tertambat dengan penuh kerinduan untuk mencapai hakekat pesan-pesan Allah swt yang sesungguhnya. 7 Allah swt berfirman dalam surat al-Nisâ’4: 36: ﺎًﺌْﻴ ﻪ اْﻮآﺮْ ﻻو ﷲا اْوﺪ ْ او “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. Secara zahir -nya, ayat ini menunjukkan bahwa ia melarang akan penyembahan berhala, seperti dijelaskan dalam surat al-Hajj22: 30: نﺎ ْوﻷْا ْﺟﺮ ا اْﻮ ْﺟﺎ “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu”. Adapun secara batinnya, ayat ﺪ ْ او ﺎًﺌْﻴ ﻪ اْﻮآﺮْ ﻻو ﷲا اْو menunjukkan bahwa manusia tidak boleh mentaati siapapun selain Allah swt. Hal ini disebabkan karena taat berarti sujud di hadapan seseorang dan mengabdi 7 DJohan Efendi, Islam Syiah, h. 105. Begitu pula dengan firman Allah swt, surat al-‘Ankabût29: 45: ﺮﻜْﻤْاو ء ْﺤ ْا ﻰﻬْ ةﻮﻠﺼ ا نإ ةﻮﻠﺼ ا ﻗأو “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar”. Secara zahir -nya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mendirikan shalat dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Adapun secara batinnya, ayat tersebut memerintahkan kepada manusia untuk memuja dan mentaati Allah swt dengan seluruh hati dan jiwanya. Di balik itu, ayat tersebut secara batin mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah swt, manusia harus menganggap dirinya tidak bernilai sama sekali dan harus selalu mengingat kepada-Nya. 9 Dari kedua contoh tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an memiliki aspek- aspek lahir zahir dan aspek-aspek batin tersirat. Aspek batin dari Al-Qur’an tidak menghilangkan atau mengurangi nilai arti zahir-nya. Bahkan ia bagaikan nyawa yang menghidupi badan. Makna zahir tidak menafikan maksud makna 8 DJohan Efendi, Islam Syiah, h. 106. Lihat juga al-Tabâtabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 34-35. 9 DJohan Efendi, Islam Syiah, h. 107. batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna zahir, serta makna batin mempunyai berbagai tingkatan pengertian. 10 2 Hakikat muhkamat dan mutasyâbihat Pembahasan Al-Qur’an yang berhubungan dengan ayat muhkamat dan mutasyâbihat tercantum dalam tiga surat, yaitu: 1. Surat Hûd11: 1: ﺮْﻴ ﺧ ْﻴﻜ ْنﺪ ْ ْ ﻠﺼ ﻪ اء ْ ﻤﻜْ أ بﺎ آ “Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. 2. Surat al-Zumar39: 23: ﻰ ﺎ ﺎًﻬ ﺎ ﺎًﺎ آ ْﺪﺤْا ﺴْ أ لﺰ ﷲا ْ ﻬ ر نْﻮ ْ ْﺬ ا دْﻮﻠﺟ ﻪْ ﺮﻌ ْ “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya ”. 3. Surat Âli ‘Imrân3: 7: ﻰ ْﺬ ا ﺎ ﺄ ﻬ ﺮﺧأو ﻜْا مأ ه ﻤﻜْﺤ اء ﻪْ ﻜْا ﻚْﻴﻠ لﺰْأ ىﺬ ا ﻮه ﻪْ ﻪ ﺎ ﺎ نْﻮﻌ ﻴ ْز ْ ﻬ ْﻮﻠﻗ “Dialah yang menurunkan al-kitab Al-Qur’an kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang dalam 10 DJohan Efendi, Islam Syiah, h. 108. hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat”. Ayat pertama surat Hûd11:1 menegaskan bahwa seluruh kandungan Al- Qur’an adalah muhkam. Adapun maksud ke-muhkam-annya adalah bahwa keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya, dan sama sekali tidak mengandung kelemahan dan kebatilan, baik dalam lafaz- lafaznya, rangkaian kalimatnya, maupun maknanya. Ayat kedua surat al-Zumar39: 23 menegaskan bahwa seluruh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah mutasyâbih. Maksudnya adalah bahwa ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan gaya bahasa, i‘jaz, dan memiliki daya ungkap yang luar biasa. Ayat ketiga surat Âli ‘Imrân3: 7 menjelaskan bahwa ayat-ayat Al- Qur’an terbagi kepada dua bahagian, yaitu sebagian ayat yang bisa dipahami secara mandiri yang dikenal dengan muhkamat dan sebagaian ayat yang memerlukan penjelasan ayat lain dalam cara memahaminya yang dikenal dengan mutasyâbihat . 11 Adapun prinsip penafsiran al-Tûsî terhadap ayat-ayat muhkamat dan mutasyâbihat adalah sebagai berikut: Pertama , ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maksud petunjuknya jelas, tegas, dan tidak rancu, serta tidak menimbulkan kekeliruan pemahaman. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya. 11 Al-Tabâtabâi, al-Qurân fi al-Islâm, h. 42. Kedua , ayat-ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya, tetapi makna hakikinya dijelaskan dengan pen- ta’wil -an. Ayat-ayat seperti ini wajib diimani tetapi tidak wajib untuk diamalkan. Al-Tûsî berpandangan bahwa nabi Muhammad saw dan para imam ahlulbaitnya mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyâbih tersebut. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an merupakan um al-kitab pokok-pokok isi Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa untuk mengetahui ayat-ayat mutasyâbih harus merujuk kepada ayat-ayat muhkam. Ayat-ayat mutasyâbih harus dirujuk kepada ayat-ayat muhkam guna mengetahui maknanya yang hakiki. Berdasarkan hal tersebut, al-Tûsî berpendapat bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin tidak diketahui maknanya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui makna-makna hakikinya dengan perantara ayat-ayat lain. Inilah yang dimaksud dengan ketergantungan ayat muhkam kepada ayat mutasyâbih. 12 Di antara contohnya adalah firman Allah swt yang terdapat dalam surat Tâhâ20:5: ىﻮ ْ ا شْﺮﻌْا ﻰﻠ ﻤْ ﺮ ا “Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah Yang bersemayam di atas ‘Arasy ”, dan ayat lain yang terdapat dalam surat al-Fajr89:22: ﻚ ر ء ﺟو “Dan datanglah Tuhanmu”. 12 Al-Tabâtabâi, al-Qurân fi al-Islâm, h. 43-46. Lihat juga Andrew Rippin selanjutnya disebut Rippin Ed, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, selanjutnya disebut Aproaches, London: Clarendon Press, 1988, h. 189. Secara zahir -nya, kedua ayat tersebut menunjukkan jismiyyah memiliki jasad dan menggambarkan seakan-akan Allah swt itu adalah benda. Kedua ayat tersebut apabila dihubungkan dengan firman Allah swt yang terdapat dalam surat al-Syûrâ42: 11: ﺮْﻴﺼ ْا ْﻴﻤﺴ ا ﻮهو ءْﻰ ﻪﻠْﻤآ ْﻴ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat ”, maka jelaslah bahwa “bersemayam” itu bukan berarti menetap, dan “datang” itu bukan berarti pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Inilah makna batin yang terkandung dalam ayat ﻚ ر ء ﺟو dan ayat ىﻮ ْ ا شْﺮﻌْا ﻰﻠ ﻤْ ﺮ ا . Untuk menguatkan pandangan al-Tûsî tentang makna batin Al-Qur’an, ia menyandarkan keyakinannya pada dalil-dalil sebagai berikut: 13 1. Sabda Rasulullah saw: اْﻮﻠﻤْ ﺎ ْ ْﺮ ﺎﻤ ﺎًﻀْﻌ ﻪﻀْﻌ قﺪﺼﻴ لﺰ ْ ﻜ و ﺎًﻀْﻌ ﻪﻀْﻌ بﺬﻜﻴ ْلﺰ ْ ن ْﺮ ْا نإو ﻪ اْﻮ ْ ﻜْﻴﻠ ﻪ ﺎ ﺎ و ﻪ “Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidaklah diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Akan tetapi ia diturunkan agar sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kalian ketahui, amalkanlah; dan apa yang samar bagi kalian, maka imanilah”. 13 Al-Tabâtabâi, al-Qurân fi al-Islâm, h. 47-48. 2. Perkataan imam ‘Ali karram Allah wajhah: ﺾْﻌ ﻠ ﻪﻀْﻌ ﺪﻬْ و ﺎًﻀْﻌ ﻪﻀْﻌ ﻄْ “Beberapa ayat Al-Qur’an saling mengisi dengan bagian-bagian yang lain yang mengungkapkan maknanya kepada kita. Beberapa bagian mengokohkan makna bagian yang lain”. 3. Perkataan imam Rida a.s: ْﻴ ْﺴ طاﺮ ﻰ إ يﺪه ﻪﻤﻜْﺤ إ ن ْﺮ ْا ﻪ ﺎ در ْ “Barang siapa mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat- ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus”. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, mufasir Syi’i menjelaskan bahwa ayat- ayat mutasyâbih adalah ayat-ayat yang tidak mandiri dalam madlul-nya. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikat makna ayat-ayat mutasyâbih harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian, dalam ayat-ayat Al- Qur’an tidak ada satu ayatpun yang tidak diketahui maksudnya. 3 Ta’wil yang hakiki dalam Al-Qur’an Kata ta’wil dalam Al-Qur’an tercantum pada tiga ayat, yaitu: a. Surat Âli ‘Imrân3: 7: ْوْﺄ ﻠْﻌ ﺎ و ﻪﻠْوْﺄ ء ْاو ﺔ ْ ْا ء ْا ﻪْ ﻪ ﺎ ﺎ نْﻮﻌ ﻴ ْز ْ ﻬ ْﻮﻠﻗ ﻰ ْﺬ ا ﺎ ﺄ ﻻإ ﻪﻠ ﺎ ر ﺪْ ْ ﱞ آ ﻪ ﺎ اء نْﻮ ْﻮ ْﻠﻌْا ﻰ نْﻮ اﺮ او ﷲا “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada b. Surat al-A‘râf7: 53: ﺤْﺎ ﺎ ر ر ْتء ﺟ ْﺪﻗ ْﻗ ْ ْﻮﺴ ْﺬ ا لْﻮ ﻪﻠْوْﺄ ﻰ ْﺄ مْﻮ ﻪﻠْوْﺄ ﻻإ نْوﺮﻈْ ْ ه “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’w³lnya. Pada hari datangnya ta’wilnya itu berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: “sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami dengan haq. c. Surat Yûnus10: 39: ﻪﻠْوْﺄ ْ ﻬ ْﺄ ﺎﻤ و ﻪﻤْﻠﻌ اْﻮﻄْﻴﺤ ْ ﺎﻤ اْﻮ ﺬآ ْ “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wilnya”. Dari beberapa ayat tersebut, mufasir Syi’i berpandangan bahwa keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an adalah mempunyai ta’wil dan tidak hanya terbatas pada ayat-ayat mutasyâbihat saja. Menurut mereka, ta’wil makna tersirat yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt, para nabi, dan orang-orang suci 14 di antara wali-wali Allah yang bebas dari kotoran ketidaksempurnaan manusia. Para wali ini dapat merenungi makna-makna Al- 14 Orang-orang suci yang dimaksudkan oleh mufasir Syi‘i tersebut adalah para imam Syi‘i dan ahlulbait lainnya. Pandangan Syi‘i tersebut berdasarkan ayat yang terdapat dalam surat al- AhzâbMd 33: 33: اًﺮْﻴﻬْﻄ ْ آﺮﻬﻄ و ْﻴ ْا ْهأ ْﺟﺮ ا ﻜْ هْﺬﻴ ﷲا ﺪْﺮ ﺎﻤ إ sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian hai ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya . Qur’an sekalipun hidup dalam kenyataan masa kini. Mereka juga beranggapan bahwa pada hari kebangkitan, ta’wil Al-Qur’an akan diungkapkan. Pendapat tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa pendalaman yang memadai tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dari ahlulbait menunjukkan dengan jelas bahwa kitab suci Al-Qur’an dengan bahasa yang menarik serta pengungkapannya yang fasih dan terang, tidak pernah mempergunakan cara pengemukaan yang penuh teka-teki. Ia selalu memaparkan setiap persoalan dengan bahasa yang serasi dengan persoalannya. Menurut mufasir Syi’i, ta’wil atau penafsiran Al-Qur’an, tidaklah sekedar pengertian kata-kata secara harfiah, melainkan ia berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataaan tertentu yang berada di luar batas pemahaman manusia biasa. Dari kebenaran dan kenyataan ini, ia melahirkan prinsip-prinsip ajaran dan perintah-perintah amaliah dari Al-Qur’an. 15 Para mufasir Syi’i menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil adalah sama dengan tafsir. Mereka juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Selain itu, para mufasir Syi’i juga menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai ta’wil dan ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an hanya diketahui oleh Allah swt. Adapun alasan penolakan mufasir Syi’i terhadap pandangan ini adalah sebagai berikut: 16 Pertama , pendapat para ulama tersebut bertentangan dengan surat Yûnus10: 39: 15 Djohan Effendi, Islam Syiah, h. 109. 16 Al-Tabâtabâi, al-Qurân fi al-Islâm, h. 51-53 . نﺎآ ْﻴآ ْﺮﻈْﺎ ْ ﻬﻠْﻗ ْ ْﺬ ا بﺬآ ﻚ ﺬآ ﻪﻠْوْﺄ ْ ﻬ ْﺄ ﺎﻤ و ﻪﻤْﻠﻌ اْﻮﻄْﻴﺤ ْ ﺎﻤ اْﻮ ﺬآ ْ ْﻴﻤﻠﻈ ا ﺔ “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-nya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan rasul. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu”. Menurut mufasir Syi’i, ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa keseluruhan ayat di dalam Al-Qur’an itu mempunyai ta’wil, dan tidak hanya terbatas pada ayat mutasyâbihat. Kedua , pendapat para ulama Sunni tersebut mengakibatkan pada ketidakjelasan makna hakiki secara keseluruhan dalam Al-Qur’an, apabila yang mengetahuinya hanya Allah swt. Pandangan seperti ini sangatlah tidak jelas maksudnya dan bukanlah merupakan perkataan yang fasih dalam suatu ilmu balaghah. Ketiga , berdasarkan pendapat para ulama Sunni tersebut, maka argumentasi Al-Qur’an menjadi kurang sempurna. Hal ini bertentangan dengan firman Allah swt yang tercermin dalam surat al-Nisâ’4: 82: اًﺮْﻴ آ ﺎًﻼ ْﺧا ﻪْﻴ اْوﺪﺟﻮ ﷲا ﺮْﻴﻏ ﺪْ ْ نﺎآْﻮ و ن ْﺮ ْا نْوﺮ ﺪ ﻼ أ “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukanlah dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. Berdasarkan ayat ini, mufasir Syi’i berpandangan bahwa seandainya diasumsikan bahwa ayat-ayat mutasyâbih berbeda dengan ayat-ayat muhkam, lalu perbedaan tersebut dihilangkan dengan mengatakan bahwa arti lahirnya bukanlah yang dimaksud, dan yang dimaksudkannya adalah arti lain yang hanya diketahui oleh Allah swt, maka menghilangkan perbedaan dengan cara seperti ini tidak menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu bukan perkataan manusia. Keempat , tidak ada bukti sama sekali bahwa yang dimaksud dengan ta’wil dalam ayat muhkam dan mutasyâbih adalah makna yang berbeda dengan arti zahir . Di antara contoh Al-Qur’an yang menjelaskan pandangan ini adalah sebagai berikut: Dalam kisah nabi Yusuf a.s sangatlah jelas bahwa ta’wil mimpi bukanlah sesuatu yang berbeda dengan makna lahiriah mimpi itu, akan tetapi ta’wil atas mimpi tersebut merupakan kenyataan lahiriah yang dilihat ketika tidur dalam bentuk tertentu. Dalam kisah nabi Musa a.s dan nabi Khidir a.s, yaitu ketika nabi Khidir merusak perahu, membunuh bocah, dan memperbaiki dinding yang roboh. Pada kisah ini, setiap kali nabi Khidir a.s melakukan perbuatan tersebut, maka saat itupula dikritik oleh nabi Musa a.s. Kritikan yang dilakukan oleh nabi Musa a.s disebabkan karena ia belum mengetahui hakikat dan makna perbuatan yang dilakukan oleh nabi Khidir a.s. Dengan keadaan seperti ini, akhirnya nabi Khidir a.s menjelaskan kepada nabi Musa a.s tentang rahasia yang tersembunyi di balik perbuatan-perbuatannya tersebut. Penjelasan seperti ini dinamakan dengan ta’wil. Dalam masalah timbangan dan ukuran, Allah swt berfirman dalam surat al-Isrâ’17:35: ًﻼْوْﺄ ﺴْ أو ﺮْﻴﺧ ﻚ ذ ْﻴ ْﺴﻤْا سﺎﻄْﺴ ْﺎ اْﻮ زو ْ ْﻠآاذإ ْﻴﻜْا اْﻮ ْوأو “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih baik ta’wilnya”. Dari ayat ini jelaslah bahwa ta’wil yang dikehendaki Allah dalam masalah timbangan dan ukuran adalah posisi ekonomi, terutama perekonomian yang terjadi di pasar-pasar dengan perantaraan jual-beli. Ta’wil dengan makna ini tidak bertentangan dengan makna zahir-nya dari ukuran dan timbangan tersebut. Selain itu, ta’wil dengan makna ini merupakan hakikat luar dan jiwanya yang terdapat dalam ukuran dan timbangan dengan perantaraan jujur dan adil dalam mu‘amalah. 4 Al-Qur’an dan nasikh-mansukh Dalam ayat-ayat hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menggantikan kedudukan ayat-ayat hukum yang turun sebelumnya. Ayat yang turun terdahulu disebut mansukh yang dihapus, dan ayat yang turun kemudian disebut nasikh yang menghapus. Ayat-ayat nasikh berfungsi untuk mengakhiri berlakunya hukum sebelumnya. Di antara contohnya adalah antara surat al-Baqarah2: 109: ﺮْ ﺄ ﷲا ﻰ ْﺄ ﻰ اْﻮﺤ ْ او اْﻮ ْ ﺎ “Maka maafkan dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya ”, dengan surat al-Taubah9: 29: ْد نْﻮ ْﺪ ﻻو ﻪ ْﻮ رو ﷲا مﺮ ﺎ نْﻮ ﺮﺤ ﻻو ﺮﺧﻷْا مْﻮﻴْﺎ ﻻو ﷲﺎ نْﻮ ْﺆ ﻻ ْﺬ ا اْﻮﻠ ﻗ أ ْﺬ ا ﺤْا ﻜْا اﻮ ْو “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengaharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar agama Allah yaitu orang-orang yang diberikan Al- Kitab kepada mereka”. Pada surat al-Baqarah ayat 109, terdapat hukum yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap lunak kepada golongan ahlul kitab, namun setelah beberapa hari kemudian, hukum tersebut dicabut. Sebagai penggantinya, Allah swt. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memerangi mereka surat al- Taubah ayat 29. Penetapan hukum ini disebabkan karena ahlul kitab tidak beriman kepada Allah swt, serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mufassir Syi’i isnâ ‘asyariyyah berpendapat bahwa nasakh dalam Al- Qur’an adalah berakhirnya waktu berlakunya hukum yang di-nasakh mansukh tersebut. Mufasir Syi’i juga berpendapat bahwa hukum yang pertama mansukh memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang terbatas, dan hukum yang pertama ini berakhir apabila ada ayat hukum yang datang kemudian nasikh. Mereka berpandangan bahwa menetapkan hukum sementara sebelum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan hukum yang abadi, kemudian menetapkan hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara merupakan sesuatu yang bisa diterima dan tidak mengandung kemusyrikan. 17 Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah falsafah nasakh, di antaranya adalah surat al-Nahl16: 101-102: ْ هﺮ ْآأ ْ ﺮ ْ ْأ ﺎﻤ إ اْﻮ ﺎﻗ لﺰ ﺎﻤ ﻠْ أ ﷲاو ﺔ اء نﺎﻜ ًﺔ اء ﺎ ْﺪ اذإو نْﻮﻤﻠْﻌ ﻻ 101 ْﻴﻤﻠْﺴﻤْﻠ ىﺮْ و ىًﺪهو اْﻮ اء ْﺬ ا ﻴ ﺤْﺎ ﻚ ر ْ سﺪ ْا حْور ﻪ ﺰ ْ ﻗ 102 “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja”, bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui” 101. Katakanlah: “Ruhul Qudus Jibril menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk menguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah” 102. Al-Tûsî w. 460 H menjelaskan bahwa nasakh dalam Al-Quran terbagi tiga bahagian, yaitu: pertama, di-nasakh hukumnya tanpa di-nasakh lafaznya. Di antara contohnya adalah surat al-Baqarah ayat 240, surat al-Mujâdalah ayat 21, dan surat al-Anfâl ayat 65. Kedua, di-nasakh lafaznya tanpa di-nasakh hukumnya, seperti ayat rajam; dan ketiga, di-nasakh lafaz dan hukumnya, seperti surat al- Qasas ayat 12. 18 17 Al-Tabâabâi, al-Qur’ân fi al-Islâm, h. 61. Lihat juga Rippin Ed, Aproaches, h. 188. 18 Al- Tûsî, al-Tiby ân, J uz I, h. 13.

BAB IV PANDANGAN AL-TÛSÎ TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM

DALAM TAFSIR AL-TIBYÂN

A. Hukum Ibadah

1. Shalat Qasar

- Surat al-Nisâ’4: 101: ْﺬ ا ﻜ ْ ْنأ ْ ْﺧ ْنإ ةﻮﻠﺼ ا اْوﺮﺼْ ْنأ حﺎ ﺟ ْ ﻜْﻴﻠ ْﻴﻠ ضْرﻷْا ْ ْﺮ اذإو ﺎآ ْﺮ ﻜْا نإ اْوﺮ آ ﺎًْﻴ اًوﺪ ْ ﻜ اْﻮ “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyangmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa seseorang boleh dan tidak berdosa untuk menqashar shalatnya. Menurutnya, shalat qasar wajib dilakukan apabila seseorang sedang bepergian dan dalam keadaan takut. Jarak yang dipersyaratkan oleh al-Tûsî adalah delapan farâsakh 1 . Apabila tidak dalam keadaan takut, maka ia tidak wajib qasar shalat. Ia hanya diwajibkan mengerjakan 1 Farâsakh adalah jarak yang ditempuh seseorang dalam melakukan perjalanan. Satu farâsakh sama dengan satu mil. Lihat al-Munawir, Kamus al-Munawir, Jogjakarta: Pustaka Peantren, 2004, h. 125. 45 shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan itu tidak dinamai dengan shalat qasar. 2 Selain itu, al-Tûsî juga menjelaskan pandangan beberapa ahli tafsir atau ta’wil tentang menqasar shalat sebagai berikut: a. Shalat qasar hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian sekalipun tidak dalam keadaan takut. Pendapat ini disponsori oleh Yu‘la bin Umayyah dan Umar bin Khattab. b. Shalat qasar hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berpergian dan dalam keadaan takut. Pendapat ini dianut oleh al-Sadi, Abdulllah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Ka‘ab.

2. Shalat Jama’

- Surat al-Isrâ’17: 78: اًدْﻮﻬْ نﺎآ ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗ نإ ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗو ْﻴﻠ ا ﺴﻏ ﻰ إ ْﻤ ا كْﻮ ﺪ ةﻮﻠﺼ ا ﻗأ “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat”. Al-Tûsî menjelaskan bahwa makna ayat ْﻤ ا كْﻮ ﺪ adalah shalat zuhur dan shalat asar. Adapun makna ْﻴﻠ ا ﺴﻏ adalah shalat maghrib dan isya’, sedangkan makna ayat ﺮْﺠ ْا ناْﺮﻗو adalah shalat subuh. Melalui ayat ini, al-Tûsî menjelaskan bahwa shalat zhuhur dan ashar pelaksanaannya dilakukan secara 2 Syaikh al-Tâifah Abû Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tûsî, al-Tibyân fi Tafsir al- Qur’ân, Teheran: Maktab al-A‘lâm al-Islâmi, 1409 HQ, Jilid III, h. 307-310.