Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
ketiga yang ada di bank syariah disalurkan kembali ke masyarakat.
2
Perkembangan Bank Syariah tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran Bank Indonesia.
Bank Indonesia memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan perbankan dan sistem pembayaran. Untuk mencapai
tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai fungsi sebagai lender of the last resort LLR, yaitu bantuan likuiditas untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek karena adanya mismatch yang disebabkan oleh resiko kredit atau resiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, resiko manajemen ataupun resiko
pasar. Keadaan mismatch ini dapat terlihat dari posisi bank sebagai peserta kliring. Bagi suatu bank, kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban
membayarnya menurut dokumen yang dimasukkan proses kiliring dikatakan mengalami kalah kliring.
3
Bagi bank syariah, keadaan mismatch dalam kondisi normal dapat pula terjadi, mengingat resiko usaha yang selalu ada, baik resiko likuiditas maupun
resiko kredit.
4
Kebijakan bantuan LLR pada bank syariah ini dikenal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk selanjutnya disebut FPJPS adalah
2
A. Riawan Amin, Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Perbankan Syariah, Disampaikan dalam
Sidang Senat terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
3
Modul SPN 02 – Sistem Kliring di Indonesia, diakses pada tanggal 20 Februari 2010 dari http:www.bi.go.idNRrdonlyresAF3FDCB9-F4BD-4278-8B40-
A02633F72D5E836SistemKliringBankIndonesia1.pdf
4
Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2005, h. 178
fasilitas pendanaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek,
dan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No: 1124PBI2009. Akad yang digunakan dalam FPJPS tersebut adalah akad mudharabah dengan penerapan
prinsip bagi hasil. Ketentuan mengenai akad mudharabah sendiri diatur dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional dan belum diatur secara rinci dalam hukum positif. Walaupun ketiadaan aturan hukum secara positif dipandang sebagai suatu kelemahan, tetapi
sebagai umat Islam yang berpegang teguh kepada dalil naqli maupun dalil aqli, penggunaan akad mudharabah tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan, tidak
hanya terkait antara sesama manusia saja tetapi antara manusia dengan sang pencipta. Maka, dalam menerapkan akad mudharabah, rukun dan syarat
mudharabah mutlak harus terpenuhi di setiap transaksi. Ketentuan tersebut secara khusus terkait dengan pemenuhan rukun, penetapan syarat-syarat pihak, ketentuan
modal, ketentuan nisbah bagi hasilkeuntungan, serta aspek trustee kepercayaan dalam akad tersebut, yang menjadikan akad mudharabah bersifat amanah.
Apabila salah satu rukun maupun syarat tersebut tidak terpenuhi, berakibat pada batalnya akad mudharabah tersebut.
Terkait dengan penggunaan akad mudharabah dalam FPJPS, terdapat ketentuan yang bersifat kontradiktif antara Peraturan Bank Indonesia No:
1124PBI2009 dan ketentuan akad mudharabah dalam literatur fiqh. Ketentuan
mudharabah menyebutkan bahwa keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan dalam bentuk prosentasi nisbah dari keun-
tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. Dalam perhitungan Imbalan FPJPS menyebutkan bahwa besarnya nisbah bagi
hasil akad mudharabah bagi Bank Indonesia, ditetapkan sebesar 90 sembilan puluhpersen. Secara tersirat menyatakan bahwa nisbah bagi hasil ditetapkan
secara langsung oleh pihak BI tanpa ada negosiasi terlebih dahulu dengan pihak bank umum syariah. Jadi, angka besaran nisbah ini tidak muncul sebagai hasil
tawar-menawar antara shahib al-maal dengan mudharib. Selain itu, perhitungan imbalan fasilitas FPJPS besarnya dihitung berdasarkan
nilai nominal, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil Bank Indonesia, dan jumlah penggunaan fasilitas tersebut.
5
Perhitungan tersebut memberi indikasi adanya keuntungan yang dipastikan bagi salah satu pihak yang merupakan hal
ribawi, karena nisbah tersebut dihitung dari nilai nominal FPJPS. Perlu dicatat bahwa skim mudharabah ini memiliki resiko tinggi karena
pemilik modal menyerahkan seluruh modal kepada mudharib yang menjalankan seluruh usaha dan manajemen.
6
Dan ketika terjadi kerugian yang bukan merupakan kelalaian mudharib, pemilik modal tidak berhak menuntut ganti rugi.
5
Gemala Dewi, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h. 115
6
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, h. 173
Penggunaan akad mudharabah dalam kebijakan FPJPS tersebut juga sangat beresiko tinggi, mengingat kondisi perbankan yang illiquid. Sehingga resiko
modal tidak kembali sangat besar. Selain itu, berkaca pada kegagalan Bank Indonesia sendiri dalam perannya sebagai LLR dalam kebijakan BLBI yang
diterapkan pada krisis 1998 yang penuh dengan penyelewengan menjadi sebuah perhatian penting. Hal tersebut dikarenakan kebijakan yang mendasari pemberian
BLBI bersifat temporer, individual, subjektif dan lemah dari segi pengawasan.
7
Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian, memberikan gambaran apa dan bagaimana konsep dan mekanisme
akad mudharabah dalam kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah FPJPS serta kesesuaian penerapannya dengan prinsip syariah yang didasarkan
pada Fatwa Dewan Syariah. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul
“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH”
.
7
Marwan Batubara, dkk., Skandal BLBI: Ramai – ramai Merampok Negara, Jakarta: Haekal Media Center, 2008, h. 223