Posisi Bank Indonesia dalam Skema Ketata-Negaraan Indonesia

Keterangan GambarSkema : 8 Kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai Badan Negara setingkat kementrian, Bank Indonesia dipimpin oleh seorang pejabat setingkat Menteri yang disebut Gubernur BI. Hubungan Presiden pemerintah dengan Bank Indonesia adalah hubungan koordinatif dan bukan merupakan hubungan sub- ordinatif yang bersifat komando. Bank Indonesia bersifat independen dalam menetapkan kebijakan moneter. Bank Indonesia berada di luar struktur cabinet pemerintahan Presiden dan bersifat mandiri, namun secara teoritis tetap merupakan bagian dalam lingkup kerja lembaga eksekutif. Garis putus-putus dari Presiden ke BI dalam gambar tersebut menunjukkan tidak adanya garis komando langsung no chain of command dari kedua lembaga tersebut, melainkan hanya hubungan kooordinatif dalam kebijakan keuangan Negara yang menyangkut moneter. Jadi, dalam perspektif Hukum Tata Negara, secara structural terlihat tidak berdiri sendiri tetapi tetap dalam lingkup kerja eksekutif, namun sebenarnya BI berwenang sepenuhnya melaksanakan kebijakan moneter. Dengan demikian BI tetap dikatakan sebagai Bank Sentral yang independen otonom secara structural khusus dalam fungsi kebijakan moneter. Gubernur BI bukan bagian dari cabinet pemerintah, namun wajib hadir dalam rapat kabinet bila diminta dalam pembahasan yang berakitan dengan kebijakan perekonomian yang menyangkut moneter. Harus ditegaskan bahwa kekuasaan eksekutif presiden dalam bidang moneter telah di delegasikan otoritasnya kepada institusi Bank Sentral. Dalam hal ketentuan normatif perundang-undangan, kedudukan PBI Peraturan BI tidak sejajar dengan PP, sebagai konsekuensi tidak sejajarnya kedudukan Gubernur BI dan Presiden. PBI dapat lahir dari UU maupun PP.

B. SEJARAH LAHIRNYA KEBIJAKAN FASILITAS PENDANAAN

JANGKA PENDEK SYARIAH FPJPS Kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah pertama kali ditetapkan dalam PBI No: 53PBI2003 dengan istilah Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek 8 Hendra Nurtjahjo, dkk., Eksistensi Bank Sentral dalam Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002, h. 90 Bagi Bank Syariah. Alasan dari penetapan kebijakan tersebut adalah bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya bank syariah dapat menghadapi resiko kesulitan pendanaan jangka pendek disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dan bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Selain itu, kebijakan FPJPS juga ditetapkan setelah berkaca pada krisis perbankan pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia dan khususnya berdampak pada beberapa bank yang kollaps dan akhirnya harus di likuiditas. Sebelum terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun 1968 untuk menghadapi bank- bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana maupun untuk kesulitan permodalan, Bank Indonesia dapat menyediakan bantuan berupa Kredit Likuiditas Darurat. Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Selanjutnya, dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, disebutkan bahwa sebagai Lender of The Last Resort Bank Indonesia dapat memberikan kredit