SEJARAH LAHIRNYA KEBIJAKAN FASILITAS PENDANAAN

Bagi Bank Syariah. Alasan dari penetapan kebijakan tersebut adalah bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya bank syariah dapat menghadapi resiko kesulitan pendanaan jangka pendek disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dan bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Selain itu, kebijakan FPJPS juga ditetapkan setelah berkaca pada krisis perbankan pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia dan khususnya berdampak pada beberapa bank yang kollaps dan akhirnya harus di likuiditas. Sebelum terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun 1968 untuk menghadapi bank- bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana maupun untuk kesulitan permodalan, Bank Indonesia dapat menyediakan bantuan berupa Kredit Likuiditas Darurat. Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Selanjutnya, dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, disebutkan bahwa sebagai Lender of The Last Resort Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Setelah terjadi krisis, pemerintah dan Bank Indonesia mengalami kekhawatiran apabila fungsi Lender of The Last Resort tersebut digunakan untuk menanggulangi kesulitan keuangan yang sistemik. Oleh karena itu, perumusan Lender of The Last Resort dalam pembaharuan undang-undang Bank Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 dalam Pasal 11 menjadi amat terbatas. Ketentuan Pasal 11 ini mengatur sebagai berikut. Ayat 1: Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan. Ayat 2: Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Ayat 3: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Setelah beberapa waktu berjalan, pemerintah menyadari bahwa ketentuan pasal 11 tersebut dapat mengulang kembali kondisi krisis karena tidak cukup tersedianya fungsi Lender of The Last Resort yang dapat merespon situasi krisis, sementara bercermin pada pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang ditujukan untuk menanggulangi krisis tetapi kemudian banyak dipermasalahkan, antara lain karena belum terdapat kejelasan landasan hukum yang menegaskan bahwa kesulitan keuangan yang bersifat sistemik dapat diberikan pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia yang dananya menjadi beban pemerintah. 9 Oleh karena itu, dalam amandemen Undang-Undang Bank Indonesia No. 3 Tahun 2004, ketentuan pasal 11 tersebut dilengkapi dengan ayat 4 dan 5 sebagai berikut. Ayat 4 : Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah. Ayat 5 : Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 2 Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dilakukan perubahan pada 9 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 71 Pasal 11 ayat 2 yang menghilangkan kata-kata dan mudah dicairkan, dan pada Pasal 11 ayat 5 yang menghilangkan kata-kata yang ditetapkan selambat- lambatnya akhir tahun 2004. 10 Dengan demikian, seluruh bunyi Pasal 11 Ayat 2 menjadi: ”Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya”. Dan seluruh bunyi Pasal 11 ayat 5 menjadi : ”Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”. 11 Latar belakang perubahan tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum Perpu No. 2 Tahun 2008 tersebut, yaitu: ”Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini di Amerika Serikat yang merupakan krisis terbesar sejak krisis tahun 1929 telah memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD 700 miliar. Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti subprime 10 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 72 11 Undang-Undang Jaring Pengaman Keuangan yang dimaksud Pasal 11 ayat 5 hingga tahun 2008 ini belum terbentuk sehingga kata-kata yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004 tidak sesuai lagi dan perlu dihilangkan. mortage yang dilakukan kurang hati-hati. Dampak krisis keuangan ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia karena sistem global saling interdepensi. Pemerintah Indonesia sudah, tengah dan akan terus melakukan berbagai langkah antisipasif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas keuangan tetap terpelihara”. Hal tersebut pulalah yang menjadi dasar untuk mengatur kembali ketentuan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum Syariah melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 1124PBI2009. Latar belakang penetapan Peraturan Bank Indonesia tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor 1124PBI2009, yaitu: ”Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk perbankan syariah yang ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.” Selain itu, latar belakang diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 1124PBI2009 adalah untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas antara lain mengenai persyaratan dan tata cara permohonan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah FPJPS bagi Bank Umum Syariah termasuk pengaturan pelunasan dan eksekusi agunan serta pengawasannya. 12 12 http:www.bi.go.idwebidPeraturanPerbankanpbi_112409.htm diakses pada tanggal 25 Juli 2010. 63

BAB IV KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM FPJPS

A. Ketentuan Umum Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07DSN-

MUIIV2000 • Ketentuan Pembiayaan 1. Pembiayaan untuk suatu usaha yang produktif 2. Shahibul maal pemilik dana membiayai 100 kebutuhan suatu proyek usaha, sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kedua belah pihak. 4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan shahibul maal pemilik dana tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai bukan piutang. 6. Shahibul maal menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, dan menyalahi perjanjian. 7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, shahibul maal dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Hal ini disebut dengan istilah jaminan khianat, diperbolehkan oleh ulama mazhab Maliki dan Islamic Fiqh Academy, begitu juga dengan jaminan dari pihak ketiga. 1 8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh shahibul maal dengan memperhatikan fatwa DSN. 9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10. Dalam hal penyandang dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. • Rukun dan Syarat Pembiayaan 2 1. Shahibul maal dan mudharib harus cakap hukum 2. Pernyataan ijab dan kabul Î dengan memperhatikan: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak akad. b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak. 1 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah , Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 352 2 Zainul Arifin, Produk Bank Syariah, Jakarta: Pelatihan Dasar Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2007, h. 39