yang berdurasi 144 menit ini. Menurutnya sebagai orang awam, ia perlu tahu bagaiamana cara kerja media di belakang layar.
6. Informan VI RS RSadalah mahasiswi stambuk 2013 di Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Ia memilih program studi ini karena di perguruan tinggi tempat ia
menuntut ilmu tidak menyediakan jurusan Hubungan Internasional seperti yang diminatinya. Selain itu, menurutnya melalui Ilmu Komunikasi ia bisa
belajar untuk menjadi jurnalis dan sutradara. Selama menjadi mahasiwi Ilmu Komunikasi ia sangat menyukai mata kuliah Keterampilan
Komunikasi 1. Menurutnya, selain diterapkan secara praktik, mata kuliah ini juga dibimbing oleh dosen favoritnya.
RS merupakan informan termuda dalam penelitian ini. Ia memiliki postur tubuh ectomorphy yakni, kurus dan tinggi, warna kulit kuning
langsat, wajah cenderung bulat, memiliki senyum yang manis, dan suara lembut namun sedikit melengking. Sehari-hari ia menggunakan pakaian
tertutup dengan jilbab panjang menjulur menutupi dada. Sangat menyukai warna-warna girly seperti ungu pastel dan merah muda.
Perempuan kelahiran Medan, 21 Januari 1996 ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Memiliki seorang kakak perempuan dan
seorang adik laki-laki. Kedua orangtuanya mewariskan darah minang pada gadis cantik yang sangat menyukai eskrim ini. Lantaran hal inilah
keluarganya masih menganut adat matrilineal dimana anak akan mengikuti garis keturunan ibu. Meskipun kedua orangtua berdarah minang, namun
kesehariannya RS dan orangtua jarang berbahasa daerah karena keduanya merupakan perantau di kota Medan.
Tipe pola asuh keluarga RS adalah demokratis, namun terkadang orangtua sedikit memaksakan kehendak kepadanya. Salah satu contoh
yang diutarakan RS adalah bahwa kedua orangtuanya membebaskan ia untuk memilih kuliah dimana saja yang ia mau namun tidak mengijinkan
ia untuk melanjutkan pendidikan ke luar kota, terutama pulau Jawa.
Universitas Sumatera Utara
Perempuan yang ramah dan periang ini aktif diberbagai organisasi baik di dalam maupun luar kampus. Pers Mahasiswa Pelita Insan
Terpelajar PIJAR FISIP USU dan Unit Kegiatan Mahasiswa Islam UKMI AS-Siyasah FISIP USU menjadi organisasi pilihannya di dalam
kampus. Sementara untuk luar kampus, ia aktif mengikuti organisasi KAMMI dan Forum Lingkar Pena Sumatera Utara.
Melalui beberapa organisasinya tersebut ia berniat mendalami dunia tulis menulis yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku SMP.
Berbagai tulisannya telah banyak dimuat di beberapa media cetak seperti surat kabar lokal di Medan yakni, Medan Bisnis. Untuk tingkat nasional,
penghargaan terbesar baginya dalam dunia tulis menulis adalah dengan dimuatnya hasil karya cerita pendeknya di Bandung. Selain menulis ia
juga gemar membaca buku dan menonton film. Meskipun rajin menulis ternyata RS lebih sering mendapatkan inspirasi ketika ia menonton film.
Tak heran jika ia berang ketika sedang asyik menonton lalu diganggu dan dijejali banyak pertanyaan tentang film yang ia tonton.
Adapun film yang sangat disukainya adalah bagian dari karya tetralogi Andrea Hirata yakni, Sang Pemimpi. Sedangkan untuk film luar
negeri ia menyukai film Harry Potter yang diangkat dari hasil karya tulisan J.K Rowling. Untuk film dokumenter, ia sebelumnya pernah menonton
film Anak Jalanan dan Di Balik Frekuensi. RS pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi pada bulan Februari tahun 2014. Film ini diputar dalam
acara nonton bersama yang diadakan oleh Pers Mahasiswa PIJAR, organisasi tempat ia bajar jurnalistik secara praktik selama kuliah.
4.1.3 Interpretasi Penonton 4.1.3.1 Perkenalan terhadap film Di Balik Frekuensi
a Awal Menonton Film Di Balik Frekuensi
Berdasarkan fokus masalah yakni mengetahui interpretasi penonton terhadap konglomerasi media dalam film, peneliti menemukan beberapa
perbedaan waktu informan ketika mulai menonton filmDi Balik Frekuensi. Informan I sebelumnya sudah mengetahui keberadaan film berikut review yang
Universitas Sumatera Utara
dibuat oleh LSM Remotivi sejak awal tahun 2013. Itu artinya ia sudah mengenal film Di Balik Frekuensi sejak pertama kali film ini diluncurkan, namun ia baru
menontonnya awal tahun 2014. “Jadi sebenernya aku tahu itu sekitar awal 2013 kayanya. Jadikan aku
akhir 2012 aku masuk ke KIPPAS. Disitu aku kan kerjanya sebagai media analis, jadi aku ya lihat juga websitenya remotivi. Jadikan mereka pernah
review itu film. Aku kan penasaran, tapi kan itu gak jual di pasaran. Aku cuma baca review nya terus baca wawancara si produsernya trus gimana
wawancara motif-motifnya yang jadi tokoh utamanya, Luviana. Aku penasaran tapi belum bisa nonton. Nah, aku baru nontonnya itu tahun ini
2014, sama tahun kemaren aku bikin pelatihan buat jurnalis. Jadi salah satu trainernya itu pernah, Mas Stenli. Dia tadinya orang Komnas HAM,
sekarang jadi di Dewan Pers kan dia bawa itu film. Jadi disitulah aku nonton film Di Balik Frekuensi.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan II pertama kali menonton film pada minggu ke-2 bulan Juli 2014. Sebelumnya ia sudah mengetahui kasus dan beberapa tokoh yang terlibat
dalam film Di Balik Frekuensi, namun baru menonton secara keseluruhan dua minggu sebelum peneliti mewawancarai peneliti secara intens.
“Engga tahu. Tapi aku tahu kasusnya. Karena di dalam film itupun ada beberapa beberapa oknum yang kukenal.” Wawancara: Rabu, 23 Juli
2014 Hampir sama dengan informan I, informan III juga menonton film Di
Balik Frekuensi di acara pelatihan jurnalistik yang sama. Karena secara kebetulan mereka bekerja di tempat yang sama, namun dengan profesi dan latar belakang
yang berbeda. Selain itu informan III pertama kali tahu adanya film Di Balik Frekuensi pada saat pertama ia nonton, yaitu awal tahun 2014.
“Ya waktu itu nonton tahunya disitu. Waktu ada acara KIPPAS terus trainer nya itu dari Dewan Pers, AJI ya. Perwakilan dari AJI terus dia
mau nawarin nonton bareng tentang konglomerasi media. Menurutku menarik karena konteksnya bentar lagi kita Pemilu waktu itu kan.”
Wawancara: 24 Juli 2014
Universitas Sumatera Utara
Informan IV pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi sejak bulan Oktober tahun 2013. Belum pernah memiliki pengalaman menonton film
dokumenter dengan tema apapun sebelumnya. Informan IV awalnya tidak mengetahui keberadaan film ini. Uniknya ia mengetahuinya karena secara tidak
sengaja saat saling bertukar film dengan teman dekatnya yang menurutnya memiliki hubungan yang dekat dengan film Di Balik Frekuensi.
“Dari teman. Kebetulan sih ngopi banyak film, liat judul yang buat penasaran ya ditonton.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014
Informan V pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi sama halnya dengan informan I dan III yakni awal Januari tahun 2014. Namun secara konteks
tempat pelaksanaan menonton dan awal mula mendapatkan film sangat jauh berbeda, karena informan V tidak memiliki hubungan apapun dengan informan I
dan informan III. Pertemuan pertamanya dengan film Di Balik Frekuensi hampir sama dengan informan IV yakni mendapatkannya melalui teman yang tinggal satu
kos dengannya. “Bulan januari 2014, tapi kurang tahu tepatnya tanggal berapa
.
Dari temen se-kos. Anak USU juga sih. Gak tahu juga ya dia dapet darimana
katanya dari temennya juga.” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014 Lain hal dengan informan VI, ia pertama kali menonton film Di Balik
Frekuensi pada bulan Februari tahun 2014. Pertemuan pertamanya dengan film ini diawali saat pelaksanaan bedah film dilaksanakan oleh organisasi tempat ia
melatih praktik jurnalistik di kampus. “Dari pertama kali nonton waktu dikasih Bang Awik kemarin. Tahun ini
juga. Bulan februari mungkin.Pokoknya ingetnya itu, Salwa itu datang ke Pijar Pers Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU itu hari Sabtu, baru
pulang dari FIB dan seingatku itu bulan Februari diajak nonton bareng sama temen organisasi.”Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
b Motif Menonton Film Di Balik Frekuensi
Pada dasarnya setiap orang memiliki motif tertentu dalam melakukan sesuatu hal. Ardiyanto 2005: 87 mengatakan bahwa motif merupakan suatu
pengertian yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-
Universitas Sumatera Utara
dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu. Peneliti melihat peluang ini juga secara pasti dimiliki oleh para informan
mengenai ketertarikan mereka dalam menonton film Di Balik Frekuensi. Alasan utama mengapa poin ini diperlukan adalah karena film Di Balik
Frekuensi yang hanya tersebar ke beberapa kalangan tertentu. Dan biasanya banyak dicapai oleh orang-orang yang berlatar belakang media, baik secara
langsung mapun tidak. Terlebih daripada itu, informan yang ditemukan ternyata tidak keseluruhannya berhubungan langsung dengan media. Untuk itu, poin ini
ditujukan untuk menjawab alasan mengapa mereka tertarik menonton film Di Balik Frekuensi.
Informan I menganggap bahwa film Di Balik Frekuensi ini mampu menyajikan tema yang menarik dan juga berpengaruh terhadap profesinya sebagai
analis media yang mengharuskan ia untuk selalu tahu perkembangan terbaru terkait fenomena media di Indonesia.
“Selain tema, kontennya sih aku penasaran ya samanya sama tema. Trus karena kebetulan pas ada kan. Jadi ya, emang kayanya harus nontonlah,
pokoknya kayanya aku kerja di bagian ini, di bidang ini tapi aku tu gak tau kayanya gimana gitu. Kayanya emang udah kebutuhan lah kalo orang
yang kerja di bagian media. Apalagi kalo analis kaya aku itu ya harus taulah gitu.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan II dan III memiliki motif yang hampir sama, yakni karena keduanya menyukai film. Bedanya, informan II hanya menyukai hasil produksi
dari film, namun informan III lebih menyoroti bagaimana sutradara mengimplementaskan karyanya dari sudut pandang filmmaker. Dengan kata lain,
ia ingin mengetahui teknik pengambilan gambar dalam film Di Balik Frekuensi. Secara spesifik, informan II menganggap bahwa sebagai alumni ilmu komunikasi
dan profesinya wartawan, ia merasa cukup konsern terhadap film Di Balik Frekuensi. Sementara bagi informan III ia merasa ingin mengetahui bagaimana
kebijakan redaksi yang diintervensi oleh si pemilik modal dalam film Di Balik Frekuensi.
Informan II : “Selain karena aku suka film ya itu filmnya bagus juga sih
menurut aku, ya itu tadilah sebagai anak ilmu
Universitas Sumatera Utara
komunikasikan, wartawan, ya aku cukup konsern lah dengan film frekuensi public.”
Informan III : “Waktu itu selain ada gambaran politik, itu utama ya yang tadi, kedua mungkin aku melihat dari sisi produksi
gambaran. Karena saya juga cukup masih menyimpang hobi untuk membuat film dokumenter. Saya mungkin
ngambil sudut pandang mana yang diambil oleh sutradara, dari sisi produksi.”
Selanjutnya informan IV dan V tertarik menonton film Di Balik Frekuensi karena faktor significant other, yakni rekomendasi dari teman mereka
sebelumnya. Hal ini mungkin sedikit dipengaruhi oleh latarbelakang kedua informan yang tidak bersinggungan langsung dengan dunia media, baik secara
teori maupun praktik. Sedikit berbeda dengan informan V, informan IV juga merasa tertarik karena rasa penasaran terhadap kinerja media dan arti dari judul
film Di Balik Frekuensi. Cukup berbeda dengan informan VI, pada awalnya ia tidak cukup tertarik pada film ini namun setelah berjalan lima menit ia merasa
bersemangat untuk menonton film ini hingga tamat. Informan VI : “Ya, karena mau bedah film itu aja. Setelah nonton sekitar
5-10 menit gitu “ih keren nih film ini, kayaknya gue harus nonton film ini” Wawancara: 16 Agustus 2014
4.1.3.2 Interpretasi Penonton Terhadap Film Di Balik Frekuensi a Tema Film Di Balik Frekuensi
Berdasarkan hasil penelitian ternyata dari keseluruhan informan memaknai tema film Di Balik Frekuensi secara berbeda-beda. Secara garis besar hasil
interpretasi informan mengarah pada fenomena media. Namun dalam penjelasannya, masing-masing informan ada yang memeberikan sedikit
keterangan dan seballiknya ada juga yang dijelaskan secara spesifik dan mendalam.
Seperti yang dituturkan oleh informan II dan IV sebenarnya mereka memiliki pandangan dengan dasar yang sama, bedanya pada penjelasan informan
II ia lebih banyak bertutur mengenai darimana alasan ia menyatakan tema film Di
Universitas Sumatera Utara
Balik Frekuensi. Sementara untuk informan II dan IV mereka menjelaskan secara dengan singkat saja dengan alasan bahwa tema adalah garis besar dan tidak
memerlukan penjelasan rinci. Informan I
: “Tentang kepemilikan media dimana pemilik modal itu jadi menguasai berbagai aspek, gitulah.” Wawancara: 13
Agustus 2014 Informan II
: “Secara sempit itu tentang ini sih, tentang ya perjuangan seorang pekerja media yang menduduki tadinya kan gitu.
Itu sebenernya representasi dari TV. Eksploitasi dari sebuah perusahaan media yang memang sering kita jumpai
gitu. Jadi naiknya lagi ini sebenarnya cerita ironi sih karena media itu kan mau gakmau bisa di dan harus
dikaitkan dengan demokrasi. Mau gak mau. Baik dilihatnya dia secara objek atau subjek gitu. Media lahir karena
demokrasi. Demokrasi juga tunduk karena media gitu. Itu kaya udah nempel. Kenapa kubilang ironi? Karena
kenyataan di dalam gak nyaman, gak demokratis juga.”Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Informan II : “Wajah media pasca reformasi.” Wawancara: Sabtu, 16
Agustus 2014 Informan IV : “Membela diri, kesejahteraan.” Wawancara: Jum’at, 01
Agustus 2014 Informan V
: “Yang pertama untuk si Luviananya. Yang kedua biar Metro TV gak gimana ya bilangnya hanya untuk sekedar
berita-berita yang dimuat aja, jadi biar gak hanya sekedar pencitraan terhadap beberapa media.” Wawancara: Rabu,
06 Agustus 2014 Informan VI : “Film itu bercerita tentang apa ya.. Istilahnya kalo dalam
komunikasi itu framing mengenai sebuah stasiun TV.” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
Universitas Sumatera Utara
b Judul Film Di Balik Frekuensi
Karena judul merupakan sorotan yang dapat membentuk berbagai pendapat setiap orang. Judul adalah nama yang dipakai dalam film, buku, lagu,
atau apapun yang dapat menyiratkan secara pendek isi atau maksud yang ingin disampaikan. Untuk itu, peneliti merasa perlu untuk menyoroti interpretasi
penonton terhadap judul film Di Balik Frekuensi. Dari keseluruhan informan yang diteliti hanya informan II yang
memberikan interpretasi berbeda dari informan lainnya. Ia mengatakan bahwa judul film Di Balik Frekuensi tidak cukup menjual dan cenderung mengaburkan
kepentingan pembuat film. Menurutnya pendapatnya ini dipengaruhi oleh profesinya sebagai penulis yang harus mampu membuat judul yang menarik dan
menjual bagi kalangan pembaca. “Menurutku sih judulnya gak komersih haha. Memang bukan tujuannya
komersil, kan. Trus di balik frekuensi itu, aku sebagai seorang penulis yang setiap hari bikin judul ya, gak menjual. Di Balik Frekuensi itu
mengaburkan kepentingan si pembuat film. Dia mau menyasar yang lebih luas lagi, padahal ya dia ingin filmnya itu bisa ditonton banyak
orang.Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014 Sementara untuk informan I, III, dan V menginterpretasikan bahwa judul
film Di Balik Frekuensi tepat dan sesuai. Secara khusus informan II menjelaskan bahwa judul film cocok dan nyambung, karena film tersebut memang mengangkat
sesuatu hal yang tidak diketahui masyarakat sebelumnya tentang pekerja media di balik layar. Hampir sama dengan informan II, penjelasan informan III
menambahkan bahwa judul film sudah tepat sekali dengan penggambaran tidak hanya pekerja media, namun juga pemilik modal dari industri media yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat sehari-hari. Hal ini sejalan pula dengan informan VI yang mengatakan bahwa judul film Di Balik Frekuensi mengenai penampakan
pemiliki modal industri media massa di Indonesia. Informan I
: “Judulnya sudah sesuai. Kan film nya itu tentang di balik frekuensi. Mungkin warga masyarakat yang nonton tv cuma
tahu apa yang muncul di layar, tapi gimana yang di balik frekuensi dan chanel apa yang ada di tv itu. Jadi ini seperti
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan ginilo media dan campur tangan pemilik dalam media.” Wawancara: Rabu, 13 Agustus 2014
Informan III : “Judulnya tepat sekali. Di Balik Frekuensi karena kita masih pake televisi UHF masih pake analog. Jadi yang
selama ini kita hanya di depan layar ada juga orang dibalik layar, dan kita di balik frekuensi. Di Balik
Frekuensi inikan luas tidak hanya orang di produksi di redaksi tapi kita juga siapa yang membeli frekuensi dan
siapa pemilik modal itu tadi. Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014
Informan V : “Kalau dari judulnya Di Balik Frekuensi awalnya saya
pikir film ini berita, media, film-film biasa. Itu aja sih. Gak seperti yang saya bayangkan setelah menonton.Ternyata
kata-kata Di Balik Frekuensi itu banyak makna. Saya kira hanya staisun televisi gitu aja. Maknanya bagus sih, sesuai
judul sama filmnya. Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014 Informan VI : “Awalnya nonton kirain asal-muasal gitu kan, frekuensi
itu kekmana. Rupanya setelah menonton Di Balik Frekuensi itu, mereka si sutradara ini ngambil angle yang berbeda
gitu, sudut pandang yang berbeda. Dari misalnya Di Balik Frekuensi adalah sebuah film yang, apa ya dibilang ya
kekmana ya bilangnya penampakan juga engga. Kaya misalnya inilah wajah frekuensi di Indonesia. Channel2 tv
di Indonesia” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
c Alasan Pembuatan Film Di Balik Frekuensi
Film merupakan gambaran dari realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karena keberadaannya ditengah-tengah masyarakat
banyak memberikan pengaruh dalam berbagai aspek baik pendidikan, sosial, politik, maupun ekonomi. Berbagai tujuan mewarnai setiap film yang diproduksi
sebagai hasil karya cipta manusia, begitu pula dengan film Di Balik Frekuensi.
Universitas Sumatera Utara
Kemunculan film ini berdasarkan hasil pengamatan peneliti banyak menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Tidak dapat dielakkan bahwa film Di Balik Frekuensi diciptakan oleh filmmaker juga berdasarkan alasan yang kuat dibaliknya. Sedangkan penelitian
ini, secara khusus ingin melihat apakah penonton yang diteliti memiliki interpretasi yang sama atau sebaliknya berlawanan. Atas dasar hal inilah peneliti
ingin melihat bagaimana penonton menginterpretasikan mengenai alasan pembuatan film Di Balik Frekuensi.
Berdasarkan hasil penelitian, interpretasi yang diberikan oleh masing- masing informan tergolong menjadi empat bagian. Dimana informan I dan VI
menginterpretasikan bahwa film Di Balik Frekuensi dibuat untuk
memberutahukan kepada publik mengenai kinerja internal media dan beberapa kepentingan di balik itu.
Informan I : “Kalo menurut aku pribadi sih, jelas ya mereka pengen
ngasih tau ke publik gimana sebenarnya internal media. Gimananya kan masyarakat Cuma tau berita yang muncul
ke mereka, yang mereka konsumsi. Tapi mereka gak tahu gimana pekerjanya itu dan gimana seluk beluk dapurnya
media-media itu sendiri gitu. Gimana they treat their reporter, employee. Jadi ya memang pengen ngasih tunjuk.
Nih advokasikan karena memang selain tindakan represif terhadap pekerja pers. Banyak hak-hak yang gak dikasih ke
pekerja pers. Jadi ya ini memang baguslah, nilai advokasinya kuat sebenernya” Wawancara: Senin, 21 Juli
2014 Informan IV : “Mungkin mau si sutrradara ini ya. Dia mau lebih kayak
mana ya mau menggambarkan bahwa inilah penampakn frekuensi stasiun TV kita yang sekarang itu. Istilahnya ya
semua berdasarkan materi. Ada kepentingan di balik itu semua” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
Universitas Sumatera Utara
Informan II dan III murni menganggap bahwa film ini bertujuan sebagai mediasi kasus Luviana sebagai pekerja media yang diabaikan hak-haknya dalam
bentuk advokasi. Informan II
: “Alasannya sih.. Aku kurang yakin dia Ucu Agustin pendekatannya ke... Aku lebih yakin di lebih ke advokasi
Luviana nya. Dan sedikitlah tentang hegemoni medianya. Kalo menurut aku sih lebih ke advokasi Luviana
nya.”Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014 Informan III : “Ya itu salah satu film itu juga kayanya di produksi untuk
mengadvokasi si Luviana itu ya. Karena diending juga ditampakkan si Luviana di pinggiran bundaran HI itu
kan.”Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014 Infroman IV menginterpretasikan film ini sebagai bentuk protes dan
pembelaan diri terhadap kesejahteraan hidup masing-masing tokoh yang menurutnya tertindas.
“Protes.. Sebagai bentuk protes. Juga pembelaan dirinya buat kesejahteraan hidup masing-masing tokoh yang ada di film yang bisa
dibilang ditindas.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014 Sementara informan V meragukan bahwa tokoh Luviana adalah benar
adanya atau hanya agenda setting dari pembuat film. “Bagus. Tapi gak tahu juga ya pembenaran dari cerita Luviana itu sendiri
gimna. Entah juga ataupun entah itupun permintaan atau kejadian yang sebenernya. Tapi ya kita gak lihat dari sebelah mata juga ya
kan.”Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014 Dari sisi filmmaker sendiri memiliki beberapa alasan dan tujuan mengenai
pembuatan film Di Balik Frekuensi. Seperti yang dipaparkan secara rinci dalam salah satu situs film resmi berikut ini:
1. Membuat project audio visual berupa film dokumenter yang bisa
mengajak semua pihak baik mereka yang bekerja di bidang media dan pemberitaan maupun pihak lain diluar itu, untuk bisa bersama melihat dan
melakukan refleksi serta otokritik atas kinerja media dan pers di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
2. Perubahan perspektif publik di Indonesia tentang hak mereka akan
informasi melalui film dokumenter tentang cara bekerja media arus utama di Indonesia pada tahun 2008 dan 2012 dimana pengambilan gambar dan
produksi film akan kembali dilakukan. 3.
Tersosialisasikannya film dokumenter yang telah dibuat melalui premiere dengan mengundang media, melakukan roadshow, menyediakan link di
internet yang bisa di-unduh secara gratis, dan membuat serta menyediakan copy DVD untuk lembaga atau komunitas yang berada di daerah fakir
bandwitch dan tak memiliki akses internet. http:ciptamedia.orgwikiDibalik_Frekuensi. Diakses pada hari Rabu,
19 Agustus 2014. 16:57 WIB
d Isi Film Di Balik Frekuensi
Tanggapan keenam informan terhadap isi film Di Balik Frekuensi hampir bernada sama, yakni bagus dan cukup jelas. Seperti yang dipaparkan oleh
Informan III dan VI menilai bagus karena film Di Balik Frekuensi mampu memberikan kesadaran bagi penonton mengenai kebebasan pers yang terlihat
semakin kebablasan. Menurut informan VI film Di Balik Frekuensi juga sekaligus sebagai bahan peringatan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk mempelajari
situasi internal dan ekternal media. Hal senada juga diutarakan oleh informan V yang lebih banyak menyoroti bagian kasus Luviana dari pada fenomena media
secara keseluruhan. Informan III : Tanggapan gimana ya.. bagus hehe. Bagus banget. Dan
betul-betul membuat kita sadar gitu bahwa media itu.. media sekarang ya konteksnya Indonesia semakin
dibebaskan juga kayaknya kebablasan deh. Nah dari hasil film itu aku rasa ini udah menyimpulkan kayaknya nanti
menteri yang akan datang dia harus sudah membikin peraturan pembatasan kepemilikan modal media, mungkin
ya.” Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014 Informan V
: “Bagus dan cukup jelas untuk menceritakan Luviana dalam bidang pekerjaannya. Karena fokusnya tentang
Universitas Sumatera Utara
Luviana daripada tentang medianya.” Wawancara: Selasa, 19 Agustus 2014
Informan VI : “Isinya bagus, pertama. Kalo menurut saya itu untuk anak komunikasi terutama ya wajib kayaknya nonton film
ini. Gini, karena memang nanti saat kita terjun ke masyarakat ya ini nanti yang kita hadapin.” Wawancara:
Rabu, 06 Agustus 2014 Sedikit berbeda dengan kedua informan di atas, informan I, II, dan IV.
Mereka mengatakan film ini bagus, namun secara keseluruhan informan I lebih menyoroti isi dari segi packaging yang dibuat oleh tim pembuat film untuk lebih
dipadatkan agar terlihat klop. Sama halnya dengan informan II yang juga menganggap film ini terlalu panjang, namun dari segi ilustrasi dinilai cukup bagus
karena menampilkan sisi humanis dari Luviana. Begitu pula informan IV yang menyatakan film cukup menarik namun tidak menyukai bagian twist-ending.
Menurutnya akhir film tidak sesuai dengan harapan penonton dan diberi ketidakjelasan terhadap kasus Luviana dan peristiwa menghilangnya Hari
Suwandi. Informan I
: “Sebenarnya cukup jelas ya yang mereka angkat apa. Padet sih, Cuma kadang ada yang banyak yang ditengah
itu agak membosankan. Mungkin kalo misalnya dipadetin jadi lebih klop gitu, jadi lebih catchy gitu. Dibandingin
panjang. Jadi mungkin ada bagian-bagian yang lebih baik dihilangkan gitu.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan II : “Filmnya panjang, tapi memang hak ini juga ya, hak yang
buat film. Tapi aku sebagai penonton terlalu panjang. Hampir keseluruhan bagus, kurang lebih kan gitu kan. Ada
juga istilahnya ilustrasi-ilustrasi cukup bagus. Terus ya pembuat film bisa naikkan sisi humanis dari Luviana.”
Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014 Informan IV : “Sebagian cerita di buat sangat menarik. Adegan per
adegan membuat penonton merasa penasaran. Tapi ya mungkin beberapa penonton mengharap di ujung cerita
Universitas Sumatera Utara
ada penyelesaian tapi di film ini penyelesaiannya bukan memihak kepada apa yang diharapkan penonton mungkin.
Malah merasa gantung.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014
e Dialog Film Di Balik Frekuensi
Visualisasi dalam film kontemporer yang paling menonjol selain gambar adalah suara. Suara-suara ini bisa diciptakan melalui musik ataupun ucapan verbal
dari tokoh yang memainkan peran dalam sebuah film. Berikutnya komunikasi verbal yang terjadi biasanya diperagakan dalam dialog. Hal ini penting untuk
membangun sebuah cerita yang hidup, tak hanya mampu menjelaskan pesan dalam film, namun juga mampu memberikan pemahaman yang sesuai dengan
gagasan sutradara dalam film. Terkhusus dalam film dokumenter, selain tidak memiliki narasi hal yang paling ditonjolkan adalah pengambilan potongan dialog
yang seksi dan bernilai padat dan ringkas. Indikator inilah yang kemudian membuat film maker berusaha
menggarapnya dengan cerdas dan mampu dipahami penonton sesuai yang dimaksud. Oleh keenam informan mereka menginterpretasikan dialog dalam film
Di Balik Frekuensi dengan nada yang hampir sama, yakni bagus dan mudah dipahami.
Informan I : “Aku sih ngeliat gak ada masalah ya karena untuk film
dokumenter, aku ngertilah dokumenter itu sebenernya susahkan. Gimana nyiptain dialognya dan gimana reporter
itu harus bener-bener ngasih pertanyaan yang saklet dan orangnya juga kita harap bisa ngasih jawaban-jawaban
yang saklet biar asik gitu. Tapi kemaren, ya over all udah enak gitu. Gak terlalu gimana-gimana kali. Karena
biasanya dokumenter bisa lebih membosankan dari itu.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan II : “Ya, cukup baiklah. Lebih bervariasi. Ada juga
humornya.” Wawancara; Rabu, 23 Juli 2014
Universitas Sumatera Utara
Informan III : “Nah menurutku itu juga sangat bagus. Kan ditampakkan ketika dialog ada perjanjiannya ya. Terus setelah itu
beberapa hari kemudian dia datang ke Metro Tv ya juga tetep gak ditepati kan, gitu.”Wawancara: Kamis, 24 Juli
2014 Informan IV : “Dialognya natural. Ada beberapa yang dikonsep juga,
keliatan. Natural.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014 Informan V
: “Bagus ya. Lebih mudah di mengerti. Jadi kayak orang awam seperti saya yang bukan atau di komunikasi
kayaknya, mudahlah menangkap dialog-dialog mereka.” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
Informan VI : “Mungkin karena film dokumenter jadi gak ada script atau gimana jadi yaa alami, natural.” Wawancara: Rabu,
06 Agustus 2014
f Adegan Film Di Balik Frekuensi
Salah satu elemen lain yang mampu memberikan penggambaran yang tepat dan jelas terhadap isi film adalah adegan. Adegan sebagai penjelasan
terhadap gerak yang dilakukan tokoh penting untuk dimaknai penonton dalam penelitian ini. Karena secara tidak langsung hasil produksi film mungkin saja bisa
dimaknai secara berbeda antara pembuat film dan penonton. Berdasarkan hasil wawancara dari keenam informan, ditemukan beberapa tanggapan yang
menyerupai satu sama lain. Seperti yang diutarakan oleh informan I, IV, V, dan VI, mereka menginterpretasikan bahwa adegan dalam film Di Balik Frekuensi
tampil dengan apa adanya dan netral Informan I
: “Adegannya ya udah cukup apa adanya. Ya masksudnya ya yang kek mana si Luvinya itu ngurus anak di rumah, ya
gimana dia sama suaminya, gimana dia yang.. nah aku suka dia yang bagian mereka demonstrasi di depan kantor
“aku memperjuangkan hak kalian gitu. Ayo sini samaku” tapi kawannya pada buang muka trus masuk ke dalam. Itu
tuh kayanya nyess gitu tarik napas. Karena mereka
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya kerja sama-sama tapi ya kek gitu itu. Tapi ya susah sih memang kalo sistemnya udah kaya gitu. Satu sisi
jurnalis perlu duit perlu untuk kehidupan. Jadi mau idealis itu juga susah gitu.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan IV : “Adegan, apa adanya. Bisa dilihat dari cara pengambilannya juga gak terlalu kelihatan diatur. Mungkin
pasti ada proses editing juga dipilih beberapa yang penting aja dan alamilah.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014
Informan V : “Ada yang netral. Ada yang emosionalnya bagus. Ada
yang engga. Tapi ya emang giitulah ya kan aktor pasti ada yang emosi ada yang engga. Kalo aktor utama itu Luviana
kan, kalo menurut saya mungkin dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu jadi dia lebih emosionalnya lebih
terjaga gitu ya.” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014 Informan VI : “Kalo adegannya, sebenernya saya mikir “ini bener gak
sih, film dokumenter kok kayak dibuat-buat gitu? Dan endingnya kok kayak gini. Wah kekmana gitu. Jangan-
jangan ini dibuat-buat gitu. Rupanya ya memang kaya gitulah. Adegannya ya bagus sih.” Wawancara: Rabu, 06
Agustus 2014 Disisi lain informan II dan III menilai sedikit berbeda bahwa banyak
adegan yang ditampilkan sia-sia dan kurang relevan. Secara rinci informan III menyoroti salah satu scene yang membuang waktu ketika Luviana berjalan ketika
diusir dari kantornya. Informan II
: “Ya, itu tadi menurutku. Banyak bagian-bagian yang ga relevan menurutku ya. Ya, kalo ditarik-tarik ada memang.
Tapi kalo dalam rangka penggunaan frekuensi, tapi gimana ya.. Intinya, ya sebenernya bisalah dipake.”Wawancara:
Rabu, 23 Juli 2014 Informan III
:
“Wah saya sudah agak lupa itu. Cuma disitu kalo dari segi.. banyak temen-temen yang bilang termasuk saya juga
sepakat ya disitu banyak gambar yang nyampah istilahnya.
Universitas Sumatera Utara
Artinya, banyak hal-hal yang sepertinya tidak perlu ditampilkan tapi tampil disitu. Spesialnya ketika Luviana,
dia diusir dari satpam, disuruh keluar gitu kan. Luviana jalan gitu masih ditampilin.” Wawancara: Kamis, 24 Juli
2014
g Penokohan Film Di Balik Frekuensi
Hampir serupa dengan film fiksi, film dokumenter juga memiliki karakter tokoh yang mampu mempertegas penilaian masing-masing individu yang menonton. Bedanya
penokohan dalam film dokumenter biasanya tidak ditentukan dalam sebuah skrip yang disetting dengan sengaja. Terkhusus dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi,
penokohan juga layak untuk ditanggapi oleh keenam informan dalam penelitian ini. Adapun tanggapan yang dihasilkan berbeda-beda yang terlihat dari cara pemaparan
mereka. Informan I menganggap bahwa tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi cukup cocok satu sama lain. Menurutnya penggambaran penokohan dalam film ini dibuat
secara bertukar dan dilakukan peralihan untuk dapat dipahami penonton secara keseluruhan. Hal ini bertolak belakang dengan tanggapan yang diutarakan oleh informan
VI yang mengatakan bahwa penokohan dalam film Di Balik Frekuensi sudah terstruktur. Informan I
: “
Ada beberapa yang kalo misalnya kelompoknya Luvi ya nyambung. Tapi kalo misalnya sama yang bapak Sidoarjo
aku rasa sih engga gitu. Aku sih ngerasa dia filmaker pingin loncat-loncat supaya menggambarkan keseluruhan.
Jadi trus biar gak bosen juga. Ada peralihan-peralihan cerita gitu.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan VI : “Penokohannya terstrukutur karna ini film dokumenter, jadi tidak ada akting yang direkayasa.” Wawancara:
Sabtu, 16 Agustus 2014
Lain hal dengan informan II dan III, keduanya menginterpretasikan penokohan dalam film Di Balik Frekuensi sudah pas dan sesuai dengan jalan cerita.
Informan II : “Ya, sudah cukup pas lah.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Informan III : “
Bagus. Pas. Yang ditampilkan semuanya orang-orang yang memang berkaitan dengan media. Walaupun
sebenernya tidak ada kaitan secara langsung. Misalnya si
Universitas Sumatera Utara
bapak, saya lupa padahal itu tetangga saya, yang jalan dari Sidoarjo ke Jakarta. Dia memang, awalnya kan kita
tidak ada kaitannya dengan tv ya. Tapi ini berkaitan ketika si pemilik tv adalah Bakrie yang punya lumpur di Sidoarjo.
Nah setelah itu juga pak Suwandi ini ketika itu ia tiba-tiba menghilang dan muncul di tv one dan minta maaf. Itu yang
kami keukeuh. Ya itu bagus menurut kami. Terus disitu juga ditampilkan narasumber-narasumber juga cukup bagus.
Memang orang-orang yang menurut aku punya kompetensi yang diwawancarain gitu.” Wawancara: Kamis, 24 Juli
2014 Sementara untuk informan IV dan V menginterpretasikan penokohan
dalam film ke dalam beberapa bagian tertentu. Pemisahan karakter antagonis dan protagonis menjadi tolak ukur mereka dalam menilai masing-masing tokoh dalam
film Di Balik Frekuensi. Informan IV : “Tokoh-tokohnya ada antagonis, ada protagonis. Kalo di
protagonisnya seperti sosok Luviana. Luviana wanita yang tegar, berjuang buat.. awalnya sih buat kesejahteraan dia
pribadi tapi dia mandang jauh ke depan mungkin ada orang-orang yang bakal menyusul Luviana-luviana
berikutnya. Juga ada beberapa pihak protagonis seperti suaminya, ada temen-temennya. Juga ada beberapa di
balik protagonis ada antagonis yang digambarkan secara alami dari debat-debat yang ada di film seperti pihak
manajemen, bahkan pimpinannya Surya Paloh yang kita bisa dapat gambaran kalau beliau itu bukan orang yang
jujur ya. Kemudian ada pihak sekuriti yang sangat sering ditampilkan dalam potongan-potongan film itu yang
menampakkan bahwa dia itu sosok antagonis dalam film dokumenter tersebut. Kalo di bagian cerita Pak Hari bukan
antagonis dan protagonis malah menggambarkan buat kita bingung sih sebenernya. Siapa yang benar sebenernya.
Universitas Sumatera Utara
Tapi kalo yang digambarkan yang di ujung, kita bisa tahu kalo pak Hari ini ternyata mengkhianati temen yang bawa
motor itu. Lupa namanya siapa itu. Dan menggambarkan ketidakjelasan dari Pak Hari tersebut. Ujung-ujungnya kita
gak tahu dia dimana dan hilang. Sementara temennya yang dikhianatin yang menjadi narasumber di dokumenter
tersebut itu di satu cerita yang tadi. Kalo di cerita yang di akhir hanya sebagai gambaran anak-anak muda yang baru
tamat kuliah, jurusan komunikasi yang masih mungkin ada yang udah mengerti, ada yang belum mengerti gimana
kehidupan media sebenernya. Tapi cocoknya sih mereka nonton ini dulu. Itu dari ketiga potongan dokumenter itu
terhadap tokoh-tokoh utamanya.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014
Informan V : “Kalo menurut saya penggambaran terhadap Luviana.
Digambarkan dalam film ini Luviana sendiri itu kesannya dialah satu-satunya orang yang tertindas. Kalo dari sisi
Surya Paloh nya dia satu-satunya orang yang paling jahat, gituloh kalo di film ini.”Wawancara: Rabu, 06 Agustus
2014
h Pesan Film Di Balik Frekuensi
Film sebagai bagian dari media massa diciptakan tentu memiliki makna yang tersirat yang ingin disampaikan kepada penonton. Namun biasanya proses
penyampaiannya jarang sekali secara langsung menyajikan utuh tentang maksud dari pembuat film. Disamping itu film sebagai refleksi konstruksi sosial tidak
bebas nilai, karena dapat menjangkau penonton dari berbagai elemen dengan pemaknaan yang berbeda pula. Atas dasar itulah kategori pesan dianggap cukup
penting untuk mengetahui interpretasi penonton dalam memahami film Di Balik Frekuensi.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil coding interpretasi keseluruhan informan yang diteliti, secara spesifik tiga diantaranya menanggapi pesan yang berkaitan dengan konglomerasi
media yakni, informan I, III, dan IV. Berikut penuturannya: Informan I
: “Ya aku jadi ngeh kalo misalnya ya susah gitu. Masih susah ngelawan konglomerasi kalo emang kita gak kompak
ya karenakan mereka yang punya modal, mereka yang punya kuasa. Ya kita bisa apa kaya gitu loh. Jadi kalo
memang semuanya bisa gak mogok ya itu perusahan media gak bakal kelimpungan. Karena kita yang perlu mereka.
Istilahnya gitu loh. Kalopunlah semua dipecatin.. Nah itu kan ada yang di akhir mereka ngerekrut orang, dan semua
pada mau masuk jadi reporter gitu kan ya kaya gitu “Lah, elu gak mau kerja disini, masih banyak yang ngantri mau
kerja sini kan” Istilahnya kaya gitu. Jadi ya susah gitu. Karena kita ngelawan sistem. Ibaratnya kaya gitu. Jadi
kalo memang dari pihak perusahaannya sendiri gak berubah ya bakalan kaya gitu selamanya,
gitu.”Wawancara: Senin, 21 Julu 2014 Informan III : “Sangat bagus. Menurutku ini film yang paling
recommended gak hanya anak komunikasi. Bahkan untuk orang-orang yang seperti saya yang dibidang IT atau
mungkin yang penggiat media komunitas seperti saya juga ini penting gitu. Kita juga, konglomerasi media itu tidak
harus modal rupanya. Jadi kita lihat di Sumatera Utara ini banyak juga media komunitas yang fungsinya untuk
capacity building untuk komunitas itu. Tapi juga sebenernya sama karena pelakunya satu orang dan asiknya
ketika menjelang pemilu mereka juga sama seperti media mainstream. Ya membuat pemberitaan hanya untuk satu
caleg, untuk satu tokoh, untuk satu presiden, begitu. Jadi bagus.” Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014
Universitas Sumatera Utara
Informan IV : “Bagaimana media itu sebenernya memang lingkaran konglomerasi antara pemilik-pemilik perusahan tersebut
seperti yang dikatakan wartawan Kompas, saya lupa namanya. Harusnya media itu berkiblat ke publik gitu ke
masyarakat. Memberitakan apa yang ada ya seperti apa yang kata Pak Hari sebut waktu dia di wawancarai.
Harusnya membenarkan apa yang ada, berita-berita yang benar. Tapi ternyata dari film ini kita tahu gitu ternyata
selama film ini ada polemik-polemik seperti itu, gitu antara internal media itu sendiri.”Wawancara: Jum’at, 01
Agustus 2014 Sementara untuk informan II, V, VI menginterpretasikan pesan Di Balik
Frekuensi secara berbeda-beda meskipun masih dalam pola media yang mendekati. Informan II menyatakan bahwa pesan yang disampaikan adalah
mengenai perjuangan Luviana dalam membela kesejahteraan diri dan pekerja media sepertinya. Informan V memaknai pesan bahwa media seharusnya tidak
berpihak dan mengutaman kepentingan pribadi. Informan VI lebih menyoroti pesan film Di Balik Frekuensi mengenai fenomena media massa di Indonesia
yang sudah mulai tidak independen. Tambahnya lagi hal ini harus diketahui oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi yang akan melanjutkan profesi sebagai jurnalis di
masa depan. Informan II
: “Ya, itu tadi. Pesan besarnya tentang perjuangan besar Luviana dan satu lagi tentang ya cukong-cukong media ini.
Apa yang mereka lakukan terhadap kita. Sebenarnya ada sedikit anjuran juga sih buat kita. Ya, bukan anjuran sih,
tapi kaya memancing pertanyaan dalam diri.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Informan V : “Kalo menurut saya, media itu gak boleh memihak. Jadi
seharusnya, media itu apa yang nampak itu yang diberitakan seharusnya begitu. Terus dari pekerjanya
sendiri bagus sih kalo Luviana itu sendiri ya. Kalo dari
Universitas Sumatera Utara
medianya itu kita gak bisa ini kita gak tau manajmennya itu gimana.” Wawancara; Rabu, 06 Agustus 2014
Informan VI : “Beginilah wajah media Indonesia. Sulit sekali mencari berita yg independen. Untuk itu bagi kita calon-calon
jurnalis masa depan, harus menyiapkan mental untuk menghadapi media yg konvensional seperti ini. Jadilah
pembuat berita yang benar-benar.” Wawancara: Sabtu, 16 Agustus 2014
i Tanggapan Mengenai Campur Tangan Pemilik Media Terhadap Konten Media dalam film Di Balik Frekuensi
Pada poin ini, campur tangan pemilik media terhadap konten media perlu ditanggapi oleh informan. Hal ini tampak pada film Di Balik Frekuensi yang
menampilkan pola konten pemilik media dari kalangan politikus yang banyak mengisi tayangan televisi dengan agenda kegiatan kepentingan politik mereka.
Meskipun keseluruhan informan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana tersebut, namun tanggapan yang diberikan juga berbeda sesuai dengan hasil
interpretasi mereka masing-masing. Informan I memaknai campur tangan pemilik media terhadap konten
sangatlah tidak bagus. Menurutnya hal ini terlihat dari konsep konten media yang masih harus diatur oleh pemilik media untuk kepentingannya. Sementara dari sisi
film maker ia menilai bahwa penggambarannya sudah sewajarnya, terutama pada sisi pekerja media yang ditampakkan bahwa mereka tidak nyaman dan merasa
tidak tahu harus berbuat apa. Informan II tidak menyatakan setuju ataupun tidak, namun ia lebih memaknai campur tangan pemilik media yang dominan politikus.
Menurutnya pemilik stasiun televisi berita yang dominan politikus mudah untuk memasukkan kepentingan politiknya. Hal ini sejalan pula dengan penggambaran
dalam film Di Balik Frekuensi. Informan III menanggapi hal tersebut sebagai sifat yang otoriter, dimana
dalam film Di Balik Frekuensi banyak ditampilkan setting an konten media berdasarkan kepentingan pemilik media. Beda dengan informan IV yang
memaknai bahwa penggambarannya terlalu sedikit dan tidak menyeluruh.
Universitas Sumatera Utara
Sementara informan V menilai campur tangan pemiliki media terhadap konten cenderung merugikan masyarakat yang belum mengetahuinya. Lain hal dengan
informan VI yang melihat gerakan pemilik media yang tidak turun langsung namun tercermin dari para pekerja media tersebut. Hal ini ia interpretasikan dari
hasil penggambaran yang diberikan oleh film Di Balik Frekuensi. Informan I
: “Campur tangan itu ya gak bagus gitu. Ya dimanapun ya gak boleh. Karena kan gini, kaya misalnya Surya Paloh,
misalnya dia orasi terus diliput orasinya lama gitu. Durasinya berapa lama. Terus ada lawan politiknya. Ya di
stel-stel lah kontennya gitu ya susah sih sebenernya. Ya itu pemiliknya memang dia. Sebenernya masyarakat bisa nilai
sendiri kualitas medianya gimana gitu. Tapi ya gimana ya, sedih sebenernya. Kalo gambarannya ya udah karena
emang apa adanya. Ya wajar, pekerja-pekerja nya disitu pasti banyak gak nyaman. Sama kaya di TV One sekarang.
Aku ngebayanginnya pasti mereka gak nyaman. Tapi, ya mau gimana mereka kerjanya disitu, atau mereka masih
terikat kontrak.”Wawancara: Senin, 21 Juli 2014 Informan II
: “Ya, sangat inilah sangat dominan terutama pemilik medianya adalah politikus. Karena kan politik ini kan
tokoh-tokohnya butuh pencitraan. Jadi ada juga mungkin salah satu yang kudapet dari film itu komentar dari... Ada
perempuan agak gemuk berkacamata yang dia bilang begini “ini kan televisi berita ya. Padahal ini kan
untungnya gak seberapa ya di Indonesia ini, kenapa ada televisi berita?” dia bilang begitu. Jadi secara tidak
langsung dia mengarahkan kita untuk berpikir bahwa stasiun televisi berita ini tidak lebih dari untuk
melancarkan kepentingan politik pemilik media. Karena secara ekonomi menguntungkan kali sebenarnya. Dan itu
sejalan memang dengan apa yang ku tahu ya. Bahwa
Universitas Sumatera Utara
Bakrie dan Surya Paloh itu sebenarnya usaha utamanya bukan media.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Informan III : “Penggambarannya sangat otoriter kayanya. Dari segi film maker bagus karena dia dapat momen yang tepat.
Ketika misalanya pak Surya waktu itu orasi yang dishoot sbenernya bukan Pak Surya nya kan tapi si jurnalisnyasi
wartawannya.” Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014 Informan IV : “Kalau menurut saya sendiri dari film ini sendiri bagian
yang pertama, Surya Paloh sebagi pemilik media dari Media Indonesia digambarkan dalam film ini hanya
kebenaran dan ketidakbenaran dalam diri Surya Paloh sendiri. Hanya sedikit penggambarannya.” Wawancara:
Jum’at, 01 Agustus 2014 Informan V
: “Menurutku di satu sisi dia menampilkan sisi yang baik untuk dia sendiri. Kalo kaya gitu merugikan sebenarnya.
Masyarakat gak tahu secara umum hanya tok itu saja.” Wawancara: 19 Agustus 2014
Informan VI : “Pemilik media tidak turun tangan langsung, tapi tercermin dari sikap karyawan yg bekerja di media tersebut
seolah-olah takut dan menutup-nutupi hal yg sebenarnya terjadi.” Wawancara: Sabtu, 16 Agustus 2014.
4.1.3.3 Pengetahuan Seputar Konglomerasi Media
Pada bagian ini peneliti akan mendeskripsikan pengetahuan informan seputar wacana konglomerasi media yag berkaitan erat dengan film Di Balik
Frekuensi. Dari hasil wawancara dengan keenam informan, tampak bahwa wacana konglomerasi media belum banyak diketahui sebelumnya. Hal ini terlihat
pada pernyataan yang diutarakan beberapa informan yang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia media, baik secara teori maupun praktik.
a Defenisi Konglomerasi Media
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertiannya secara epistimologi konglomerasi media merupakan kesatuan yang terjadi dari bermacam-macam unsur. Berikutnya secara
teoretis John Vivian 2008 mengartikan pula bahwa konglomerasi media merupakan kegiatan menggabungkan perusahaan-perusahaan menjadi perusahaan
besar. Sejalan dengan itu, film Di Balik Frekuensi telah memberikan arahan yang tepat terhadap pengertian konglomerasi media yang lahir dari sistem oligopoli.
Hal itu tergambar pada ilustrasi gurita yang memiliki banyak kaki dan hanya satu kepala. Ilustrasi ini mengartikan bahwa dari sekian banyak perusahaan media,
pemiliknya hanya terdiri dari sejumlah kaum elite yang jumlahnya tidak banyak. Dari hasil wawancara keenam informan, peneliti membagi informan
kedalam dua kelompok dengan masing-masing diisi oleh tiga informan. Pada kelompok pertama diisi oleh informan yang baru mengetahui wacana
konglomerasi media setelah menonton film Di Balik Frekuensi. Satu diantara tiga informan tersebut bahkan tidak dapat menyimpulkan istilah konglomerasi media
berdasarkan pendapatnya. Pada kelompok kedua diisi oleh tiga informan yang sudah cukup memahami pengertian konglomerasi media dan hakikatnya yang
terjadi dalam sebuah realitas sosial. Satu diantaranya sudah mengenal persis konsep konglomerasi media tidak hanya pada defenisi namun juga pada bias dan
implikasinya. Adapun kelompok pertama diisi oleh informan IV, V, dan VI. Dari
ketiganya, hanya informan VI yang masih belum mengerti bagaimana menyimpulkan pengertian konglomerasi media menurut pandangannya sendiri.
Informan I : “Memperkaya diri melalui perusahaan media yang
mereka miliki.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014 Informan V
: “Yang saya tangkap dari film itu konglomerasi media itu satu orang memiliki banyak media.” Wawancara: Rabu,
06 Agustus 2014 Informan VI : “Apa ya.. gak tahu. Tapi kayak memiliki lebih dari satu
channel media, gitu ya.” Wawancara: Rabu, 06 Agustus 2014
Universitas Sumatera Utara
Berikut kelompok kedua yang diisi oleh informan I, II, dan III. Dari ketiganya, hanya informan II yang memberikan defenisi paling mendekati kepada
pengertian yang sebenarnya. Informan I
: “Konglomerasi media sih kalo menurut aku ini bener atau salah ya mm gini ya. Ada beberapa orang yang dia
punya power dan dia megang media itu. Dan dia jadi kayak semacam tokoh sentral gitu di medianya. Jadi ya itu
sahamnya banyak yang punya dia. Dia punya wewenang ngapa-ngapain di media itu gitu. Jadi ya sesuka hati dialah
gitu mau ngapain aja.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014 Informan II
: “Dia kayak sekumpulan media, himpunan media dari macem-macem platform ya kan, cetak, broadcast terus
online segala macem dan itu dikuasai satu orang dan berikut implikasinya.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Informan III : “Kepemilikan tunggal media yang banyak. Maksudku ada sekelompok media yang hanya dimiliki orang tertentu,
gitu.” Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014
b Fenomena Konglomerasi Media Massa di Indonesia
Pada tahap ini, peneliti perlu mendalami pengetahuan informan dalam melihat fenomena konglomerasi media massa di Indonesia saat ini. Tidak hanya
dari segi konsentrasi kepemilikan media saja, namun juga dampak yang mungkin mereka nilai dalam sisi kehidupan masyarakat sebagai konsumen media.
Informan I menilai bahwa fenomena konglomerasi media di Indonesia sedang menjadi peristiwa yang sedang mencuat di dunia media saat ini. Ia
beranggapan bahwa pemilik modal lebih mudah mengelola industri medianya dalam hal bisnis. Namun disisi lain, yang terlihat saat ini adalah pemilik media
rata-rata sudah memiliki kepentingan politik di baliknya. Seperti yang dijelaskannya dalam hasil wawancara bahwa kondisi ini akan semakin
meresahkan jika masyarakat Indonesia belum sepenuhnya sadar dan melek media. Bahkan menurutnya sampai pada tingkat sarjana banyak pihak yang mudah untuk
Universitas Sumatera Utara
disetir. Contoh yang paling terkini yang diberikan oleh informan I adalah kondisi pemilu 2014 yang banyak diwarnai oleh kepentingan politik para pemilik media.
“Meresahkan. Karena masyarakat Indonesia yang paham literasi media itu bener-bener minim, gitu. Gak banyak yang aware, bahkan untuk
tingkat sarjana pun yang kita anggap sudha berpendidikan tinggi masih banyak yang gak aware sama konten media, masih gampang disetir.
Karena warga Indonesia belum cerdas jadi meresahkan gitu apalagi kaya kondisi pemilu kemarin. Gak nyaman sekali nonton televisi, gitu.”
Wawancara: Rabu, 13 Agustus 2014 Infroman III dan VI melihat adanya kecenderungan yang sama mengenai
konglomerasi media di Indonesia saat ini, yakni tidak hanya mngejar keuntungan dari berbisnis saja namun sudah menyasar kepada kepentingan yang lebih luas
seperti kekuasaan. Lebih spesifik informan VI menyatakan bahwa fenomena konglomerasi media massa di Indonesia akan sangat mengkhawatirkan jika
pemiliki modal industri media massa haya menyuarakan kepentingan golongan- golongan tertentu saja. Hal tersebut juga hampir sama dengan pandangan
informan IV dan V mengenai fenomena konglomerasi media, yakni bahwa berita yang ada di televisi saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh uang sebagai bentuk
dampak dari konglomerasi media yang mengutamakan kepentingan pemilik media.
Berbeda dengan tanggapan yang diberikan oleh informan II. Menurutnya fenomena konglomerasi media adalah suatu hal yang bisa disebut dengan istilah
niscaya, hampir pasti dan tidak ada masalah. Ia menilai tidak ada masalah karena tidak ada regulasi yang melarang orang untuk memiliki usaha media lebih dari
satu. Tambahnya lagi konglomerasi merupakan salah satu kegiatan yang digdaya untuk meperebutkan iklan.
“Menurut aku sih konglomerasi media itu kayak keniscayaan. Tau gak? Memang.. keniscayaan itu kayak gini emang hampir pasti gitu dan gak
ada masalah sebenernya. Tapi orang.. gak ada masalah karena gini, tidak ada dasar hukum yang melarang itu. Ya namanya orangnya juga
berbisnis. Apalagi sekarang, kalau kita mau sukses di bidang media kita harus kuat. Kalau main sendiri-sendiri aja mati kita....
Universitas Sumatera Utara
....Dan itu juga misalnya konglomerasi ini sangat digdaya untuk persaingan memperebutkan iklan, gitu dia. Karena pengiklan sekarang
kan lebih suka misalnya dia memasang iklan satu paket. Misalnya “aku mau pasang iklan di lima kota besar, kasih dong diskon”.” Wawancara:
Rabu, 23 Juli 2014
c Konglomerasi Media dalam Film Di Balik Frekuensi
Dari hasil wawancara, peneliti menemukan bahwa penggambaran konglomerasi media menurut keenam informan sudah bagus dan apa adanya. Baik
dari tokoh yang ditampilkan maupun kasus yang mampu mempresentasikan wajah media saat ini. Seperti yang diutarakan oleh informan I, IV, V, VI bahwa
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi sudah cukup jelas dan memberikan informasi baru terkait siapa-siapa saja pemilik media di
Indonesia. Informan I
: “Ya jelaslah. Kadangkan orang yang tadinya gak ngerti setelah nonton itu jadi tau gitu kalo misalnya sebenarnya
itu cuma dipegang oleh beberapa gitu. Dan sahamnya itu disitu-situ aja muternya yang sampe ke korannya,
onlinenya , radionya. Jadi ya memang cukup jelas sih.” Wawancara: Senin, 21 Juli 2014
Informan IV : “Kalau di film ini, itu menjadi satu informasi yang mungkin masyarakat Ind sendiri banyak yang tidak tahu
hal tersebut. Mungkin hanya beberapa saja yang mereka tahu, seperti Pak HT pemilik MNC Group, SP pemilik
Metro Tv, Media Indonesia. Dan saya sendiri baru tahu kalo pemilik surat kabar yang terkenal disini red: Kota
Pematangsiantar Metro Siantar itu milik Pak Dahlan Iskan.” Wawancara: Jum’at, 01 Agustus 2014
Ditambah dengan visualisasi yang menarik, informan III menambahkan bahwa warna konglomerasi media digambarkan dalam dua hal yakni kepentingan
bisnis dan kepentingan kekuasaan. Seperti yang dipaparkannya berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
“Menurutku disitu sangat komplit karena mulai dari isi yang ditampilkan disitu karena ditampilkan beberapa cuplikan beritanya terus ketika
produksi bahkan ketika mereka sedang rapat meskipun sedikit candid mereka ngambil gambarnya. Dan menurutku itu sangat menggambarkan
sekali, komplit sekali. Mulai dari kalo ditarik dari atas ketika mereka rapat diambil secara candid terus hasil rapat itu dijadikan diproduksi di
medianya. Atau si wartawannya ketika ke lapangan abis itu baru ditampilkan ke transisinya, istilahnya.” Wawancara: Kamis, 24 Juli 2014
Tapi sedikit berbeda dengan tanggapan yang diberikan oleh informan II saat ditanya mengenai pemusatan kepemilikan media massa. Ia berpendapat
bahwa penggambarannya sudah bagus dan memberikan informasi tentang media yang saling berafiliasi ke media lain. Seperti pada paparanya berikut ini:
“Memang betul. Ya, itu kan fakta sih. Malah aku justeru tahu disitu, gitu. Siapa bos-bosnya ini. Apa nama resmi grupnya, aku baru tahu disitu. Dan
media ini afiliasinya apa kesini ke sini dan apa ya gak tau lah, aku rasa sih itu betul gitu.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
Namun dilain pertanyaan yang masih berhubungan ia menyatakan keraguannya terhadap penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik
Frekuensi yang bersifat simplistis. Berikut pernyataannya: “Menurutku penggambarannya terlalu simplistis. Ya untuk masyarakat
awam mungkin ya masih baru atau sebenernya gak baru-baru amat lah ya. Orang udah gampang sekali sekarang “Ah Metro TV itu kan punya
Surya Paloh” gampangnya aja orang ngomong kaya gitu. “Kan Tv One itu, janganlah kita nonton tentang Lapindo ini. Ini kan punya Abu Rizal
Bakrie, kan gitu” Orang udah tahu sebenernya. Aku pikir kalo penggambaran seperti itu tidak terlalu.. ah ya simplistis yang seperti aku
bilang itu ya bisa jadi.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014
d Pengalaman Seputar Konglomerasi Media
Dari keseluruhan informan yang diteliti informan V dan VI tidak memiliki pengalaman terhadap konglomerasi media. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
wacana konglomerasi media belum sepenuhnya banyak dipahami oleh publik.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun secara sadar ataupun tidak sebenarnya konglomerasi media sudah banyak dirasakan dampaknya oleh konsumen media, baik secara positif maupun
negatif dalam kehidupan sehari-hari. Informan I memaparkan pengalaman yang ia rasakan dari sisi pihak ketiga.
Meskipun secara tidak langsung, ia merasa cukup simpati terhadap pengalaman yang dirasakan oleh teman sekaligus seniornya yang bekerja sebagai wartawan
pada salah satu surat kabar harian di Kota Medan. Ia mengutarakan bahwa temannya tersebut sering mengulas berita yang panjang, mendalam, dan biasanya
mengkritisi perusahaan tertentu. Namun ketika berita tersebut sampai di meja redaksi biasanya gagal naik cetak atau diterbitkan. Alasan yang paling mencolok
adalah karena berita tersebut berpotensi merusak hubungan relasi dengan perusahaan yang telah menjalin kerja sama dengan media bersangkutan. Baik dari
segi iklan maupun politik. Informan I menilai hal tersebut justru mengekang idealisme wartawan yang ingin mencoba bersikap independen.
Informan II secara langsung merasakan pengalaman karena memang merupakan bagian dari pekerja yang ada di bawah naungan konglomerasi media.
Informan II sudah tujuh tahun bekerja sebagai wartawan di harian Tribun Medan yang merupakan anak cabang dari perusahaan Kompas Media Group. Menurutnya
ia merasa lebih nyaman bekerja di perusahaan media tempat dia bekerja saat ini, karena dengan bekerja di bawah naungan konglomerasi media jaminan hidup
sudah diakomodir. Berbeda dengan pengalamannya sewaktu bekerja di perusahaan media yang lebih kecil, dimana tidak ada jaminan hak-hak standar
seperti, kesehatan. “Jadi kan gini.. aku masih percaya bahwa jurnalisme yang bagus itu
mahal. Jadi, itu membutuhkan sumber daya manusia yang kuat dan punya jaringan yang luas. Aku percaya itu sih. Karena aku pernah kerja di
beberapa.. gajinya kecil, baru tumbuh. Aku udah pernah nyoba sih. Masing-masing punya hambatan-hambatan. Jadi media kecil ini misalnya,
dia gak bisa memberikan kenyamanan kerja. Mulai dari jaminan kesehatan. Jadi ya apa hak-hak standar itu gak dipikirkan. Jadi kayak ada
kesepakatan misalnya “yaudah kalau kau gak mau masih banyak yang mau” kan gitu.. kalau di konglomerasi media itu biasanya udah
Universitas Sumatera Utara
diakomodir. Dan kita juga punya kebangaan tertentu. Terutama mungkin ya kaena kompas gramedia. Gramedia itu menurutku termasuk
perusahaan bonafit.” Wawancara: Rabu, 23 Juli 2014 Sebagai pendiri radio komunitas, informan III juga memiliki pengalaman
unik terkait konglomerasi media. Hal itu ia utarakan pada wawancara kepada peneliti pada hari Kamis, 27 Juli 2014 bahwa ia memiliki jaringan radio
komunitasi di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Namun sebelum menonton film Di Balik Frekuensi ia belum memahami arti penting konglomerasi media yang
tidak hanya berlandaskan modal saja, tapi juga atas dasar kepentingan. Kemudian film Di Balik Frekuensi seolah memberikan pencerahan kepadanya bahwa
selanjutnya ia tidak bisa menangani semua jaringan radio komunitasnya sendirian. Upayanya untuk menghindari pola kepentingan yang secara tidak sengaja akan
masuk ke dalam konten radio, ia mulai dengan memotivasi dan mengajak rekannya untuk membangun radio komunitas yang sama. Dalam arti, ia tidak lagi
melatih ataupun ikut campur tangan dalam mengurus konten siaran radio. Berbeda pula dengan pengalaman informan IV dari sisi konsumen media.
Ia menyatakan kegusarannya melihat fenomena media yang telah mengarah pada kepentingan pemilik media pada masa Pemilihan Umum Presiden, Juli lalu. Ia
melihat ketimpangan media dalam memberikan informasi terkait calon presiden yang maju pada tahun ini. Berdasarkan hasil referensi yang ia kumpulkan ia
menemukan bahwa banyak media yang memayungi calon presiden yang bukan pilihannya. Hal ini membuatnya bingung apakah kepentingan di balik itu adalah
urusan persahabatan atau malah urusan material. Ia juga menganggap peristiwa ini negatif, karena pada akhirnya calon presiden pilihannya juga melakukan cara yang
sama dalam meningkatkan elektabilitas politiknya. Menurutnya ini adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan sebagai konsumen media yang
seharusnya dicerdaskan sekaligus dibebaskan dalam memilih.
Universitas Sumatera Utara
4.2 Pembahasan 4.2.1 Posisi Penonton
Gambar 4.1 Ringkasan Posisi Penonton Berdasarkan Topik
Topik Informan
I SY II
LAD III
AJR IV
STG V MM VI RS
Tema Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Judul
Hegemo nik-
Domina n
Ternego siasi
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Alasan Pembuatan
Film Di Balik
Frekuensi Hegemo
nik- Domina
n Ternego
siasi Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n
Isi Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Dialog
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Ternego siasi
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Adegan Hegemo
nik- Domina
n Ternego
siasi Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n
Universitas Sumatera Utara
Penokohan Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Pesan
Hegemo nik-
Domina n
Ternego siasi
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Hegemo nik-
Domina n
Penggambar an campur
tangan pemiliki
media terhadap
konten media
dalam film Di Balik
Frekuensi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Ternego
siasi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n
Penggambar an
konglomera si media
dalam film Di Balik
Frekuensi Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n Hegemo
nik- Domina
n
Perbedaan pemaknaan muncul atas dasar perbedaan posisi sosial ataupun pengalaman budaya antara penonton dan produsen media. Berdasarkan kerangka
pemahaman Stuart Hall bahwa encoding adalah hasil produksi makna yang diberikan oleh produsen media. Sementara decoding adalah hasil produksi makna
yang diterima oleh penonton dari pesan yang dikirimkan oleh produsen media.
Universitas Sumatera Utara
Encoding dalam penelitian ini dimulai dari teknik infrastruktur, relasi produksi, sampai kepada idealisme pembuat film yang terdiri sutradara dan para
kru pembuat film. Melalui tayangan selama 144 menit, pembuat film dokumenter Di Balik Frekuensi merangkum seluruh ideologi yang hendak disampaikan
kepada penonton melalui kasus Luviana, seorang pekerja media yang menuntut haknya karena dipindahtugaskan karena mengkritisi newsroomdan kisah
perjalanan Hari Suwandi yang tiba-tiba menghilang ditengah perjuangannya dalam membela kesejahteraan masyarakat Sidoarjo.
Adapun pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film jelas tertera pada situs resmi ciptawikimedia.org yang menyatakan bahwa sutradara ingin
membuatfeature dokumenter yang akan bercerita tentang bagaimana pers Indonesia bekerja dalam melakukan pemberitaan.Adakah perubahan atau
masihkah kinerjanya sama? Untuk siapakah sebenarnya pers dan jurnalisme di Indonesia bekerja? Bagaimana wajah pers Indonesia kini, di era dimana internet
memungkinkan komunitas atau seseorang yang memiliki laptop dan modem bisa mengklaim diri melakukan kerja jurnalisme? Masih perlukah sensor? Di sisi lain,
sadarkah media dan para pekerjanya kalau warga memperhatikan dan menilai kinerja mereka?
Menurut Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, kemampuan seseorang dalam menafsirkan sesuatu pesan dapat dikaji dari selective exposure
dan selective perception.Selective exposure adalah kecenderungan seseorang untuk menangkap atau memperhatikan pesan-pesan komunikasi yang sesuai
dengan kebutuhannya, sikap dan kepercayaan.Sehingga pesan-pesan yang tak berkaitan dengan dirinya akan dilewatkan begitu saja dan tidak diperhatikan.
Sedangkan selective perception adalah kecenderungan seseorang untuk menafsirkan pesan-pesan komunikasi menurut sikap dan kepercayaan sendiri atau
pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya. Proses selective exposure dan selective perception ini nantinya akan menghasilkan selective opinion.Dalam hal
ini, proses penafsirann penonton atau disebut juga decoding menurut Stuart Hall telah diklasifikasikan secara tidak langsung berdasarkan bagan tersebut di atas.
Dimana penonton memaknai film dokumenter Di Balik Frekuensi terbagi kedalam tiga kelompok kategori, yakni:
Universitas Sumatera Utara
1. Dominant-Hegemonic Position.