DOKUMENTASI AKTIVITAS FILM DI BALIK FREKUENSI SUMBER: CIPTA WIKI MEDIA
1. Individu
Ucu Agustin adalah seorang pembuat film dokumenter independen. Film- film yang dibuatnya banyak berbicara tentang isu perempuan, social
justice, kesetaraan, kesehatan, serta hak azasi manusia HAM. Sebagai penulis cum-wartawan dan documentary filmmaker. Aktif menulis sejak
masih kuliah di Instiut Agama Islam Negeri IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta dan menjadi kontributor serta anggota pada Serikat Penulis Berita
Pantau Kajian Media dan Jurnalisme - Berita-berita yang ditulis serikat ini disebar di Koran-koran Indonesia Timur sejak tahun 2000. Pada tahun
yang sama, Ucu bekerja sebagai wartawan pada Kantor Berita Radio 68H, dan pada 2002 menjadi penulis untuk sebuah INGO yang bergerak di
bidang Transformai Konfilk, Common Ground Indonesia. Bersama Veronika Kusumaryati, ia membuat komunitas audio-visual Gambar
Bergerak sebuah komunitas terbuka bagi para pembuat film dokumenter amatir dan profesional yang ingin mengembangkan project-nya bersama.
Pada Desember 2005, skrip film dokumenter pendek Ucu yang berjudul ”Death In Jakarta” memenangkan JIFFEST Script Development
Competition. Sejak saat itu Ucu terus membuat film dokumenter hingga pada Februari 2009, film dokumenter “Ragat’e Anak” yang tergabung
dalam Antologi PERTARUHAN judul internasional: AT STAKE - produksi Kalyasa Shira Foundation membawanya ke BERLINALE Film
Festival. AT STAKE menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang masuk dalam sesi Panorama Documente pada festival film—tertua setelah
Cannes—yang diadakan di Jerman tersebut.
2. Status resmi
Individu
3. Kontak
Ucu Agustin
Situs web: -
Facebook: -
Twitter: doc_media
4. Posisi
Pemimpin proyek
5. Lokasi
Jakarta
Deskripsi Proyek
Proyek ini adalah sebuah proyek pembuatan feature dokumenter yang akan bercerita tentang bagaimana pers Indonesia bekerja dalam melakukan
pemberitaan.
Universitas Sumatera Utara
Film ini akan terbagi dalam dua fase. Fase pertama yaitu 4 tahun lalu, tepatnya bulan Januari 2008 dimana kebetulan saya berada di tengah
ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang melakukan reportase krisisnya mantan presiden indonesia, diktator soeharto, sampai dengan ia
meninggal – dan kebetulan saya melakukan pengambilan gambar seputar kinerja mereka. Berita tentang soeharto bukan hanya mendominasi
pemberitaan media selama lebih dari 3 minggu berturut-turut tapi juga membuat hilang berita-berita yang seharusnya lebih penting untuk
diangkat, waktu itu. Fase kedua adalah 4 tahun kemudian atau bagaimana pers Indonesia saat ini.
Bagaimanakah kini pers Indonesia bekerja? Adakah perubahan atau masihkah kinerjanya sama? Untuk siapakah sebenarnya pers dan
jurnalisme di Indonesia bekerja? Bagaimana wajah pers Indonesia kini, di era dimana internet memungkinkan komunitas atau seseorang yang
memiliki laptop dan modem bisa mengklaim diri melakukan kerja jurnalisme? Masih perlukah sensor? Di sisi lain, sadarkah media dan para
pekerjanya kalau warga memperhatikan dan menilai kinerja mereka?
Tujuan:
1. Membuat project audio visual berupa film dokumenter yang bisa
mengajak semua pihak baik mereka yang bekerja di bidang media dan pemberitaan maupun pihak lain diluar itu, untuk bisa bersama melihat dan
melakukan refleksi serta otokritik atas kinerja media dan pers di Indonesia
2. Perubahan perspektif publik di Indonesia tentang hak mereka akan
informasi melalui film dokumenter tentang cara bekerja media arus utama di Indonesia pada tahun 2008 dan 2012 dimana pengambilan gambar dan
produksi film akan kembali dilakukan
3. Tersosialisasikannya film dokumenter yang telah dibuat melalui premiere
dengan mengundang media, melakukan roadshow, menyediakan link di internet yang bisa di-unduh secara gratis, dan membuat serta menyediakan
copy DVD untuk lembaga atau komunitas yang berada di daerah fakir bandwitch dan tak memiliki akses internet.
Sasaran:
A. Tersedianya film dokumenter tentang media arus utama di Indonesia ini dapat membuat penontonnya menjadi kritis, tergugah, dan terinspirasi
untuk melakukan perubahan. B. Tersosialisasinya film dokumenter tentang kinerja pers dan media ini
pada 5 target pemirsa:
1. Untuk pekerja media: perubahan perilaku yang lebih membela
kepentingan publik dibandingkan keuntungan perusahaan atau pemilik stasiun berita.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk lembaga studi yang berkenaan dengan pers media:
menambah satu referensi untuk kajian mereka tentang media pers indonesia.
3. Para mahasiswa di universitas-universitas yang memiliki Jurusan
Jurnalistik dimana mereka adalah para calon pekerja media di masa depan: pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
media bekerja.
4. Untuk publik komunitas penggiat film serta dokumenter:
perubahan sikap dari tadinya menerima apa adanya penayangan- penayangan berita menjadi lebih awas dalam memilih informasi
yang mereka terima. Memberi kontribusi untuk film-film dokumenter Indonesia dengan angle yang membidik para pekerja
pers yang selama ini tidak dilirik oleh pembuat film dokumenter di Indonesia.
5. Untuk publik luar Indonesia, melalui festival dan sharing di
jejaring maya akan di share di portal2 media dan thread jalur distribusi online juga crowd sourcing seperti Engage Media
YoutubeVimeo dll : berbagi sudut pandang dan perspektif tentang pers dan media di Indonesia, yang diharapkan melalui
komentar-komentar yang kontsruktif, bisa memberi feedback baik untuk kondisi media dan pers Indonesia maupun untuk filmnya
sendiri.
Latar belakang: A. Keterkaitan pada topik: Kebebasan dan Etika Bermedia
Dunia yang semakin global dan ditopang oleh sistem kapitalisme yang dari hari ke hari tampak semakin stabil, mau tak mau mengguratkan pertanyaan
yang paling mendasar bila dikaitkan dengan pers dan jurnalisme. Untuk siapakah sebenarnya pers dan jurnalisme kini bekerja? Untuk masyarakat
seperti yang menjadi alasan keberadaan mereka pada awalnya, ataukah untuk kepentingan-kepentingan lain di luar itu? Bagaimanakah kini wajah
pers Indonesia di tengah era digital? Seperti apakah kebebasan pers juga etika bermedia dalam situasi dimana cara kerja pers masa lalu masih
berlaku dan sangat dominan namun tuntutan pers di era digital pada masa kini juga masih menunggu untuk ditaklukkan dan digarap dengan cara
kerja jurnalisme yang profesional.
B. Masalah yang ingin diatasi dan keterkaitan dengan aktivitas
Saat ini pers dan jurnalisme di Indonesia seolah dituntut untuk turut melebur dalam artian komunikasi yang ‘lebih luas’, hingga independensi
kerap tergantikan oleh komersialisme, kepentingan pribadi atau golongan, juga perusahaan. Banyak sekali kepentingan yang menyaru sebagai berita
Universitas Sumatera Utara
dan menghilangkan prinsip-prinsip yang harusnya melekat dalam diri sebuah beritajurnalisme, yaitu Independensi.
Film ini adalah sebuah usaha untuk bersama membuat pancingan supaya bisa menciptakan situasi dimana harapan akan sebuah jurnalisme yang
lebih baik di Indonesia, semoga bisa tercipta.
C. Keterkaitan pada kategori: Konten Lokal, Kemitraan, Strategi Kreatif, Aksi, dan Teknologi Tepat Guna
Aksi Dalam bentuk film dokumenter, membuat sebuah media yang berbicara
tentang kinerja media dan pers Indonesia. Mensosialisasikannya melalui berbagai media offline dan online dan
aneka jaringan. Menggagas berbagai kerjasama dengan pihak-pihak yang bekerja di
bidang media dan pers untuk bersama memutar film dokumenter yang membahas isu media ini. Selain bisa jadi bahan diskusi, film dokumenter
yang dibuat dengan harapan bisa menjadi bahan refleksi saat menontonnya ini, juga diharapkan mampu menjadi sarana bercermin bersama guna
terciptanya kinerja pers dan media di Indonesia ke depan yang lebih baik.
Strategi Kreatif Dengan mengolah berbagai sumber dan data audio visual serta aneka
footage koran dan foto dari aneka media juga aneka masa yang berhubungan dengan bagaimana pers Indonesia bekerja dari waktu ke
waktu dengan penekanan pada masa 4 tahun lalujanuari 2008 dimana soeharto kritis sampai dengan meninggal, dan saat ini4 tahun kemudian
saat era digital telah betul-betul menjadi tuan di era pers kita kini, akan dibuat suatu gambaran cerita visual yang diharapkan cukup menarik,
penuh emosi, dan bisa bercerita tentang pers indonesia secara utuh meski tidak menyuluruh. Membawa keluar apa yang sebenarnya menjadi
permasalahan yang dihadapi pers di masa lalu, dan apa pula yang harus dipersiapkan di masa mendatang supaya kegagalan jurnalisme dalam
berpihak pada kebenaran semakin bisa dihindarkan dan spirit independensi bisa tumbuh di dada para jurnalis generasi masa kini.
Semua cerita yang digambarkan dalam film dokumenter ini, akan didukung dengan grafis yang menarik, dan struktur cerita yang diharapkan
bisa menggugah dan menginspirasi.
D. Aktifitas dan keterkaitan pada sasaran
Kontribusi untuk sasaran A – Melalui scene-scene gambar yang tak dimanipulasi, memberikan gambaran tentang fakta-realita cara kerja pers di
lapangan dalam melakukan peliputan. Cara kerja pers yang baik, ataupun yang buruk. Dengan begitu, diharapkan membuat media dan para pekerja pers
mampu melakukan refleksi dan me-redefiniskan kembali apa arti media, jurnalisme, dan profesi mereka.
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas:
Menggarap isu media dengan perencaan strategi pembuatan story yang kuat dan kreatif. Membuat desain produksi yang kuat sejak dari awal
dengan membentuk tim untuk melakukan riset akurat serta mendalam tentang kinerja pers indonesia. Selain dari data gambar yang telah ada
yang telah diambil pada tahun 2008 dan yang akan diambil melalui shooting dan produksi kami juga berencana untuk mencari arsip dan
footage serta stockshoot dari lembaga arsip dll, hingga penyusunan cerita dalam film tentang gambaran fakta realita cara kerja pers di
lapangan dalam melakukan peliputan kinerja pers yang baik ataupun yang buruk menjadi kredibel dan akurat.
Melakukan pemutaran film Roadhsow di tempat atau aliansi dimana para jurnalis bernaung, lampiran di bawah
Forum diskusi
Kontribusi untuk sasaran B – Secara spisifik melakukan perbandingan kinerja pers 4 tahun yang lalu – melalui peristiwa krisis soeharto pada Januari
2008 dimana era social network belum populer, dengan kinerja pers kini di era digital yang semakin penuh tantangan. Adakah perubahan? Ke arah yang
positif atau justru lebih ke arah kehancuran pers kita? Membuat perbandingan konperenhensif kinerja pers Indonesia aneka jaman dan pergulatan
permasalahan media di dalamnya, termasuk tentang bagaimana awal mula munculnya infotainment yang keberadaannya sampai sekarang masih menjadi
kontroversi. Bagaimana pula posisi pers di antara banyaknya portal online independen dan berita yang dibuat oleh para citizen journalist yang
bersungguh-sungguh ingin memberikan pelaporan yang baik, jujur dan akurat kepada sesama warga.
Aktifitas:
Dalam produksi dan pembuatan alur cerita dalam film, diperlihatkan perbedaan yang terjadi antara bagaimana pers bekerja pada saat itu,
serta bagaimana pers bekerja pada jaman kini yang tengah bergulat menghadapi era digital.
Melalui riset mendalam tentang aneka berita tentang berita jaman lalu di perpusnas, mencari arsip stockshoot gambar yang berkenaan dengan
bagaimana media jaman dulu bekerja, dan dibandingkan dengan keaad sekarang serta bagaimana kemungkinan ke depannya, di mana pernah
dikatakan bahwa era kertas di koran akan segera berakhir.
Kontribusi untuk sasaran C - Mempertanyakan etika media, juga prinsip- prinsip utama jurnalisme di era digital yang kerap dikesampingkan dalam
Universitas Sumatera Utara
pemberitaan demi untuk persaingan dalam kecepatan dan komersialisme. Dimanakah akurasi dan verifikasi? kenapa rating begitu penting?
Aktivitas:
Dalam produksi, akan mengikuti seorang pekerja media yang bergerak di media online, mengikuti pekerja pers yang bekerja di media tv dan
juga media radio. Melalui karakter-karakter tersebut kita akan dibawa dalam story yang lebih konperensif yang berbicara tentang isu media
yang juga melibatkan emosi. Dari situ, para mahasiswa bisa belajar bagaimana sebuah berita diproduksi dan sebagai penonton mereka
akan melihat bagaimana alur pembuatan sebuah berita hingga berita tersebut terhidang dan sampai ke khalayak sebagai konsumen
informasi.
Melakukan pemutaran film di kampus-kampus Roadshow lampiran di bawah
Membuat Forum diskusi mahasiswa dan mengajak mereka terus membicarakan hal ini supaya permasalahan tersebut tampak ‘ada’ dan
sedang terjadi.
Kontribusi untuk sasaran D - Memberi alternatif isu dan cerita bagi para pecinta film dokumenter dengan memunculkan cerita tentang kinerja media
dan para pekerja pers di Indonesia. Diharapkan .
Aktivitas:
Melakukan pemutaran film di Komunitas-komunitas Film Roadshow lampiran di bawah
Membuat Forum diskusi dan QA, serta share tentang cerita-cerita behind the scene.
Kontribusi untuk sasaran E – Film ini bermaksud untuk menampilkan permasalahan-permasalahan pers dan kinerjanya, ke publik. Dipertontonkan
kepada para mahasiswa dan pekerja media serta para peneliti, juga mereka yang konsern terhadap isu media serta publik yang lebih luas guna
menstimulus diskusi dan menumbuhkan awareness berbagai pihak akan kebutuhan terhadap pers yang berpihak pada kebenaran dan rakyat.
Aktifitas:
Mengupload di internet dan men-share nya untuk bisa dilihat dan diunduh serta digunakan semaksimal mungkin untuk membuat media
dan kinerja pers yang lebih baik di indonesia.
Universitas Sumatera Utara
E.Latar belakang dan demografi pelaku proyek Pemimpin Proyek yang berkenaan dengan kreatif dan produksi: Ucu
Agustin, perempuan dengan pengalaman berorganisasi selama 12 tahun, berpengalaman sebagai penulis selama 12 tahun, bekerja di bidang media
sebagai wartawan profesional selama 5 tahun, berpengalaman dengan media audio visual khususnya dokumenter selama 6 tahun, berumur 35
dan berasal dari kelas menengah. Secara kreatif akan mengepalai tim produksi dan Staf lainnya berjumlah total 15 orang, laki-laki dan
perempuan, berasal dari kelas menengah, berfungsi sebagai konsultan, co- producer, line producer, tim administrasi, cameraman, sound man, editor
online dan offline desainer grafis, ilustrator music, sound desainer dan tim publicist.
Pemimpin proyek yang berkenaan dengan pekerjaan publikasi dan distribusi: Ursula Tumiwa, Perempuan, berpengalaman di bidang film dan
distribusi alternatif selama 5 tahun. Bekerja di bidang media, memiliki production house dan telah bekerja bersama para filmmaker muda
indonesia, berasal dari kelas menengah. Bertanggungjawab untuk pekerjaan administrasi, sensor, pengurusan kontrak dan royalti dengan
para pihak, distribusi, perijinan lokasi pemutaran, bekerjasama dengan kampus-kampus dan komunitas serta hubungan komunikasi dengan media.
Akan mengepalai mengepalai tim produksi dan staf lainnya berjumlah total 15 orang, laki-laki dan perempuan, berasal dari kelas menengah,
berfungsi sebagai konsultan, co-producer, line producer, tim administrasi, cameraman, sound man, editor online dan offline desainer grafis,
ilustrator music, sound desainer dan tim publicist.
F. Demografik kelompok target
Pekerja pers, Media, Lembaga-lembaga studi yang berkenaan dengan pers, kampus-kampus – terutama yang memiliki fakultas komunikasi jurusan
jurnalistik, para penggiat dan komunitas film serta festival film [nasional dan internasional], dan terbuka untuk siapa saja yang mau mengetahui pers
indonesia dalam dan luar negeri karena rencananya akan di share di portal2 media dan thread jalur distribusi online juga crowd sourcing
seperti Engage Media – Youtube – Vimeo.
G. Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan
Media dan pers sebagai pihak yang selama ini selalu menjadi dan menganggap diri paling kritis terhadap banyak hal dan kebijakan,
diharapakan tidak alergi saat melihat ada pihak yang juga mengkritisi atau mempertanyakan cara kerja mereka. Upaya yang dilakukan oleh tim
pembuat film dokumenter ini adalah upaya seorang teman yang ingin mengajak temannya untuk bersama berdiam sebentar dan memandang
kembali dari perjalanan yang sudah terjadi, arti jurnalisme dan arti profesi jurnalist dalam kacamata pandang yang lebih lebar.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, salah satu indikator keberhasilannya adalah ketika para jurnalis terusik, mau berdiskusi, membicarakan serta membahas juga memutar film
ini sebanyak mungkin. Inilah salah satu tanda bahwa film dokumenter ini berhasil dan bisa diterima. Dijadikannya film ini sebagai materi untuk
workshop yang dilakukan oleh lembaga seperti AJI, ISAI, LSPP juga respon dari kampus dan mahasiswa yang berminat untuk memutar, tentu
merupakan indikator yang menunjukkan keberhasilan project film dokumenter ini.
H. Keterkaitan proyek dengan perbaikan media dan keadilan sosial Perbaikan media
Andai film ini bisa diterima, sudah dipastikan bahwa harapan untuk perbaikan media dan jurnalisme di Indonesia ke depan pasti akan terjadi.
kemauan media untuk mendengar adalah harapan untuk terciptanya insan- insan pers dan lembaga-lembaga pers yang lebih berpihak pada rakyat,
hati nurani dan kebenaran.
Keadilan sosial
Pers yang memihak pada rakyat dengan menerapkan prinsip jurnalisme yang profesional adalah pers yang akan membantu terbangunnya budaya
demokrasi. Dalam suasana demokrasi yang baik dan terjaga, prinsip keadilan sosial akan sangat mudah tumbuh dan dinikmati oleh lebih
banyak orang.
I. Durasi waktu aktifitas dilaksanakan:
Januari 2012 – Desember 2012 12 bulan
J. Total kebutuhan dana untuk melakukan aktifitas: Rp. 800. 475.000,-
K. Dana yang diminta dari Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama: Rp. 750.000.000,-
L. Sumber dana lainnya bila ada: Gambar Bergerak
Rp. 20.250.000,-
M. Kontribusi organisasi: Rp. 30.225.000,-
N. Kontribusi dari kelompok target:
Akan diusahakan untuk mencari kembali foto, stockshoot video dan segala dokumentasi yang berkenaan dengan peristiwa yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
kinerja wartawan – yang dimiliki oleh teman-teman yang para pekerja media dan diharapkan, mereka bahkan akan bisa membantu
menyumbangkan stockshoot dan footage tersebut dan juga turut mensosialisasikan project film dokumenter ini, baik ketika pembuatan
maupun ketika film telah rampung dibuat.
Universitas Sumatera Utara
No HASIL WAWANCARA
Informan I Nama
: SY TTL
: Medan, 4 Desember 1990 Jenis Kelamin
: Perempuan Usia
: 23 tahun Anak ke
: 3 dari 6 bersaudara Suku
: Aceh Agama
: Islam Hobi
: Nyanyi, Main Biola, Acting, Nari Pendidikan
: S1 Ilmu Komunikasi S.Ikom Profesi
: Analis Media Yayasan KIPPAS Film Favorit
: My Sister Keeper, Wedding Dress Film Dokumenter Favorit
: Sixty Minutes, Lentera Indonesia Pelaksanaan wawancara
: Senin, 22 Juli 2014. .... Kantor Yayasan KIPPAS P
: Peneliti I
: Informan
ISI WAWANCARA REFLEKSI
1 P : Apakah anda tahu film Di Balik
Frekuensi ? I : Tahu
2 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Jadi sebenernya aku tahu itu sekitar awal
2013 kayanya. Jadikan aku akhir 2012 aku masuk ke KIPPAS. Disitu aku kan kerjanya
sebagai media analis, jadi aku ya lihat juga websitenya remotivi. Jadikan mereka pernah
review itu film. Aku kan penasaran, tapi kan itu gak jual di pasaran. Aku Cuma baca
review nya terus baca wawancara si produsernya trus gimana wawancara motif-
motifnya yang jadi tokoh utamanya, Luviana. Aku penasaran tapi belum bisa nonton. Nah,
aku baru nontonnya itu tahun ini 2014, sama tahun kemaren aku bikin pelatihan buat
jurnalis. Jadi salah satu trainernya itu pernah, Mas Stenli. Dia tadinya orang Komnas HAM,
sekarang jadi di Dewan Pers kan dia bawa itu film. Jadi disitulah aku nonton film Di Balik
Frekuensi.
3 P : Apa yang anda bayangkan tentang film
Di Balik Frekuensi sebelum menonton? I : Jadikan karena aku udah baca reviewnya
dan udah baca interviewnya juga sama sutradara dan kak Luvinya itu. Ya aku,
Universitas Sumatera Utara
memang ini ya, Metro TV udah jelas kan afiliasi politiknya gimana ya terus ya
keliatanlah tokohnya siapa yang punya. Dan kuat sekali dariawal ada Nasdem, sebelum
jadi partai yang masih apasih gerakan masyarakat gitu, ya keliatan keliatan kali itu
digunain buat kepentingan si Surya Paloh. Bahkan setelah Deklarasi Parpol itu memang
dimanfaatin betul medianya. Karena kebetulan aku anak komunikasi juga bergelut
di jurnalistik juga sedikit tidaknya sudah lumayan pahamlah tentang konglomerasi.
Apalagi juga dulu di kampus juga bahas tentang konglomerasi media. Jadi memang
penasaran kali gitu sampe segimananya dan baca reviewnya. Dan gimana si kakak ini mau
apa ya, minta haknya dana temen-temennya tapi gak boleh gitu. Kayanya emang udah
parah gitu loh. Jadi, ya gitu sih. Kebayang aku pekerja media memang cuma buruh doang
gitulah.
4.
P : Kenapa anda tertarik menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Karena tema yang diangkat film ini
5
P: Kapan anda pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Mm.. Aku tanggalnya gak inget. Tapi bulannya inget. Bulan Februari tahun ini
2014. Karena, trainingnya itu ya mas Stenli di Bulan Februari, makanya aku inget.
6 P : Nontonnya sendirian atau
berkelompok? I : Rame-rame. Jadi karena
pelatihannya untuk jurnalis jadi ada sekitar 12 atau 13 jurnalis
terus ada beberapa orang staf KIPPAS juga disitu yang nonton
7 P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Selain tema, kontennya sih aku penasaran
ya samanya sama tema. Trus karena kebetulan pas ada kan. Jadi ya, emang kayanya harus
nontonlah, pokoknya kayanya aku kerja di bagian ini, di bidang ini tapi aku tu gak tau
kayanya gimana gitu. Kayanya emang udah kebutuhan lah kalo orang yang kerja di bagian
media. Apalagi kalo analis kaya aku itu ya harus taulah gitu.
Universitas Sumatera Utara
8 P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi ? I : Kalo menurut aku pribadi sih, jelas ya
mereka pengen ngasih tau ke publik gimana sebenarnya internal media. Gimananya kan
masyarakat Cuma tau berita yang muncul ke mereka, yang mereka konsumsi. Tapi mereka
gak tahu gimana pekerjanya itu dan gimana seluk beluk dapurnya media-media itu sendiri
gitu. Gimana they treat their reporter, employee. Jadi ya memang pengen ngasih
tunjuk. Nih advokasikan karena memang selain tindakan represif terhadap pekerja pers.
Banyak hak-hak yang gak dikasih ke pekerja pers. Jadi ya ini memang baguslah, nilai
advokasinya kuat sebenernya.
9
P : Seperti media literasi ke masyarakat maksud anda?
I : Iya. He’eh. Cuma aku sih gak yakin ini ke masyarakat. Karena
ini kalangan terbatas kan. Dan gak bener-bener massive gitu
penyebarannya. Jadi ya segmented menurut aku, gak keseluruhan.
Kayanya mungkin aku pikir ini lebih ke gimana orang bener-
bener aware kalo ini ada dan yang ngeliat inikan emang orang yang
konsern di bidang ini gitu. Jadi aku pikir ya mereka sekedar mau
ngebukak ini realitanya, gitu.
10 P : Jadi menurut anda film Di
Balik Frekuensi ini yang tahu hanya kalangan jurnalis, gitu?
I : Nah menurut aku kan, kita kan kalo menurut misalnya strata
sosial itu, ini kalangan menengahnya, gitu. Kelas
menengah. Karena kalo kelas lapisan bawah masyarakat
mayoritas Indonesia kan kalangan bawah sebenarnya, ya yang gak
terlalu berpendidikan tinggi, mengecap bangku kuliah. Jadi ini
aku rasa memang kalangan yang udah intelektual atau praktisi,
gitu. Jadi paling engga mahasiswa ke atas gitu. Kalo misalnya untuk
Universitas Sumatera Utara
yang pendidikannya SMA atau yang pekerjaannya karyawan yang
gak gimana-gimana kali ya mereka mungkin gak kepikiran
buat ngeliat ini film gitu.
11 P : Menurut anda ada alasan
yang lebih khusus tidak mengapa film ini hanya
ditujukan ke kalangan tertentu saja?
I : Engga sih, engga. Maksudnya aku sih ngeliatnya dari pola
distribusi mereka. Mungkin karena keterbatasan budget juga
buat memperoduksi terlalu banyak. Jadi mereka ya aku rasa
ini mungkin gak tembus ke 21 atau ke bioskop-bioskop kan. Jadi
ya distribusinya ya ke lingkarang- lingkaran baru nanti nyebar-
nyebar dari mulut ke mulut. Jadi kalo misalnya anak MIPA kita
tanya mereka mungkin belum tentu tau gitu. Kalo guru, belu
tentu tahu juga. Ya paling orang yang bersinggungan dengan inilah
yang paling tidak tahu atau yang ngeliat media-media sosial atau
media-media online, gitulah..
12
P: Bagaimana tanggapan anda terhadap isi dari film Di Balik Frekuensi?
I : Sebenarnya cukup jelas ya yang mereka angkat apa. Padet sih, Cuma kadang ada yang
banyak yang ditengah itu agak membosankan. Mungkin kalo misalnya dipadetin jadi lebih
klop gitu, jadi lebih catchy gitu. Dibandingin panjang. Jadi mungkin ada bagian-bagian
yang lebih baik dihilangkan gitu.
13 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Aku sih ngeliat gak ada masalah ya karena
untuk film dokumenter, aku ngertilah dokumenter itu sebenernya susahkan. Gimana
nyiptain dialognya dan gimana reporter itu harus bener-bener ngasih pertanyaan yang
saklet dan orangnya juga kita harap bisa ngasih jawaban-jawaban yang saklet biar asik
gitu. Tapi kemaren, ya over all udah enak
Universitas Sumatera Utara
gitu. Gak terlalu gimana-gimana kali. Karena biasanya dokumenter bisa lebih
membosankan dari itu gitu.
14 P: Menurut anda ada atau tidak
dialog yang sengaja di setting dalam film dokumenter Di
Balik Frekuensi? I : Aku gak inget persis ya.
Karena aku udah nonton berapa bulan lalu jadi aku gak inget
semua dialognya satu per satu gitu. Cuma, aku ngerasa yang di
closing, ending
itu kayanya adegannya emang reka ulang yang
kawan si bapak itu yang terus dia kaya galau gitu. Nah itu kayanya
settingan sih. Tapi kalo yang lain kayanya aku gak inget.
15 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Adegannya ya udah cukup apa adanya. Ya
masksudnya ya yang kek mana si Luvinya itu ngurus anak di rumah, ya gimana dia sama
suaminya, gimana dia yang.. nah aku suka dia yang bagian mereka demonstrasi di depan
kantor “aku memperjuangkan hak kalian gitu. Ayo sini samaku” tapi kawannya pada buang
muka trus masuk ke dalam. Itu tuh kayanya nyess gitu tarik napas. Karena mereka
sebenarnya kerja sama-sama tapi ya kek gitu itu. Tapi ya susah sih memang kalo sistemnya
udah kaya gitu. Satu sisi jurnalis perlu duit perlu untuk kehidupan. Jadi mau idealis itu
juga susah gitu.
16 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Yang aku tahu itu ada Luvi dan ada beberapa temen dia yang mereka rapat
bareng-bareng itu kan. Terus ada juga yang advokasi, terus yang jumpai pihak metro tv
dan pengacaranya. Terus yang mereka kemana. Suaminya. Si Bapak yang dari
Sidoarjo ke Jakarta.
17
P : Menurut anda apakah interaksi antar tokoh saling
berkesinambungan? I : Ada beberapa yang kalo
Universitas Sumatera Utara
misalnya kelompoknya Luvi ya nyambung. Tapi kalo misalnya
sama yang bapak Sidoarjo aku rasa sih engga gitu. Aku sih
ngerasa dia filmaker pingin loncat-loncat supaya
menggambarkan keseluruhan. Jadi trus biar gak bosen juga. Ada
peralihan-peralihan cerita gitu.
18 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Tanggapannya ya aku jadi ngeh kalo misalnya ya susah gitu. Masih susah
ngelawan konglomerasi kalo emang kita gak kompak ya karenakan mereka yang punya
modal, mereka yang punya kuasa. Ya kita bisa apa kaya gitu loh. Jadi kalo memang
semuanya bisa gak mogok ya itu perusahan media gak bakal kelimpungan. Karena kita
yang perlu mereka. Istilahnya gitu loh. Kalopunlah semua dipecatin.. Nah itu kan ada
yang di akhir mereka ngerekrut orang, dan semua pada mau masuk jadi reporter gitu kan
ya kaya gitu “Lah, elu gak mau kerja disini, masih banyak yang ngantri mau kerja sini
kan” Istilahnya kaya gitu. Jadi ya susah gitu. Karena kita ngelawan sistem. Ibaratnya kaya
gitu. Jadi kalo memang dari pihak perusahaannya sendiri gak berubah ya
bakalan kaya gitu selamanya, gitu.
19 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di
Balik Frekuensi? I : Campur tangan itu ya gak bagus gitu. Ya
dimanapun ya gak boleh. Karena kan gini, kaya misalnya Surya Paloh, misalnya dia
orasi terus diliput orasinya lama gitu. Durasinya berapa lama. Terus ada lawan
politiknya. Ya di stel-stel lah kontennya gitu ya susah sih sebenernya. Ya itu pemiliknya
memang dia. Sebenernya masyarakat bisa nilai sendiri kualitas medianya gimana gitu.
Tapi ya gimana ya, sedih sebenernya. Kalo gambarannya ya udah karena emang apa
adanya. Ya wajar, pekerja-pekerja nya disitu pasti banyak gak nyaman. Sama kaya di TV
Universitas Sumatera Utara
One sekarang. Aku ngebayanginnya pasti mereka gak nyaman. Tapi, ya mau gimana
mereka kerjanya disitu, atau mereka masih terikat kontrak.
20 P : Apakah hal yang pertama kali anda
pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Kayanya ngenes gitu loh. Sesak napas. Yang aku pikiran aku tau bakalan seperti itu.
Tapi aku gak nyangka bakal sepahit itu gitu. Karena inikan bener-bener dapat contoh riil
kisah nyata, dan itu tu bener-bener mengetuk hati kali gitu lo. Memang menyakitkanlah
gitu.
21
P : Bagaimana anda menanggapi judul film Di Balik Frekuensi setelah menonton?
I : Kalo dipikir-pikir cocok aja sih. Karena mereka kerjanya di tivi, ya banyak hal-hal
yang gak keliatan dari masyarakat gitu tapi sebenernya ada. Jadi nyambung-nyambung
aja sih kurasa. Judulnya sudah sesuai. Kan film
nya itu tentang di balik frekuensi. Mungkin warga masyarakat yang
nonton tv cuma tahu apa yang muncul di layar, tapi gimana yang
di balik frekuensi dan chanel apa yang ada di tv itu. Jadi ini seperti
menunjukkan ginilo media dan campur tangan pemilik dalam
media
22 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Ironis. Filmnya boleh lah. Okelah.
23 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
penggambaran pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik
Frekuensi? I : Ya jelaslah. Kadangkan orang yang tadinya
gak ngerti setelah nonton itu jadi tau gitu kalo misalnya sebenarnya itu Cuma dipegang oleh
beberapa gitu. Dan sahamnya itu disitu-situ aja muternya yang sampe ke korannya,
onlinenya , radionya. Jadi ya memang cukup jelas sih.
24 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Mereka ini sih. Konglomerasi.. Biasa kan adalah superpowernya dan yang tertindasnya.
Maksudnya adegan demi adegan yang disusun. Terus alur ceritanya, informasi-
informasinya yang mereka susun. Jadi over all keliatan gitu. Walaupun mereka gak ada
bilang secara tersurat “Ini loh konglomerasi”
Universitas Sumatera Utara
Tapi, penonton pasti udah ngeh gitu. 25
P : Bagaimana anda melihat fenomena konglomerasi media massa di Indonesia
saat ini? I : Ya emang udah kaya gitu. Kaya misalnya
TV luar yang baru masuk kaya Bloomberg akhirnya digandeng sama transcorp. Terus ya
memang disitu-situ aja karena memang ya merekayang punya modal besar. Karena
media kan susah kalo gak punya modal. Sementara yang punya modal ya orang-orang
kaya, yang punya bisnis entah dimana-mana. Jadi, susahlah memang kalo media
independen kaya Tempo aja gajinya mungkin gak setinggi media-media yang lain gitu.
Karena mereka bertahan dengan segala idealisme dan segala macemnya gitu. Jadi ya,
aku sih sebenernya senang dengan Net TV. Karena ga, walaupun yang punya juga
bussinessman yang juga gimana-gimana gitu. Tapi gak keliatan langsung. Orientasinya
politik. Karena kalo udah bisnis okelah bisnis. Tapi kalo udah bisnis, politik, digabungin
sama media ya gitu jadi tunggangan politik aja medianya. Gak ada nyuarain ke
masyarakat lagi. Kasihanlah masyarakat kita dibodoh-bodohin terus.
26 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Konglomerasi media sih kalo menurut aku
ini bener atau salah ya mm gini ya. Ada beberapa orang yang dia punya power dan dia
megang media itu. Dan dia jadi kayak semacam tokoh sentral gitu di medianya. Jadi
ya itu sahamnya banyak yang punya dia. Dia punya wewenang ngapa-ngapain di media itu
gitu. Jadi ya sesuka hati dialah gitu mau ngapain aja.
27 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Sejauh ini sih aku suka-suka aja. Maksudnya ya keliatanlah gimana gitu.
28
P : Apakah anda setuju atau tidak dengan pesan yang coba ditampilkan dalam film
Di Balik Frekuensi? I : Setuju
29 P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan
Universitas Sumatera Utara
setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?
I : Aku gak ingat haha. Kayanya ada sih sama Ridha dikit-dikit.
30 P : Apakah hal itu
mempengaruhi tanggapan anda sebelumnya?
I : Engga. Karena pemikiran kami sedikit banyak sama gitu. Dan
yang kami omongin “Ih segitunya yaa.. Ih ya ampun.” Kami
mengulas konten dari film itu, gitu.
31 P: Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?
I : Aku sih.. Inti dari film itu dapat walaupun ada part-part yang membosankan tapi inti
dari konglomerasi medianya itu dapet gitu. Dan gimana struggle buat memperjuangkan
hak. Soalnya kan memang banyak kasus- kasus yang mau mendirikan serikat pekerja
tapi gak bisa gitu. Terus soal yang si bapak dari Sidoarjo. Aku gak tau kalo misalnya di
akhir, si bapak itu bikin pernyataan kaya gitu. Aku Cuma tau dia mau jalan kaki aksi itu.
Tapi aku gak tau kalo endingnya misalnya si bapak itu bakal minta maaf dan bakal bilang
dia disuruh orang bla bla bla. Aku gak nyangka kaya gitu. Dari situ aku mikir luar
biasa sekali media ini. Apa yang dia lakukan sampai si bapak ini bisa ngomong kaya gitu.
Kita gak tau. Tiba-tiba dia udah ada di studio dan itu kayanya nampar kali. Itu yang paling
berkesan disitu.
32 P : Apakah menurut anda tema yang
diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?
I : Ya, sebagaimana kalo misalnya wartawan nulis berita pastti ada angle. Dan karena kita
gak mungkin bikin keseluruhan kaya gitu. Karena ini memang tujuannya advokasi jelas
ada pihak-pihak yang dibela. Dan karena yang dibela disini adalah Luviana. Jelas sudut
pandang yang digunakan adalah sudut pandang Luviana. Ya, sebagai orang yang
ngerti media literasi seharusnya paham ini tujuannya apa dan sudut pandangnya apa. Jadi
Universitas Sumatera Utara
ya kita harus aware kalo harus kalo ini dari sudut pandang nya Luviana dan tujuannya
apa. Mmmm percaya. Tapi itu aku percaya dari sudut pandang Luviana, kalo yang lain-
lain aku gak tau. Kalo untuk sudut pandang filmaker aku percaya kalo si filmmaker itu
bikin ini untuk advokasi yang kontra dengan konglomerasi media, aku pikir itu.
33 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara
berpikir anda? I : Sesuai sih. Tapi gini, mungkin ada hal-hal
yang tadinya aku gak tau jadi tau di film ini. Mungkin kalo tadinya aku taunya secara
umum aku sekarang jadi tau spesifik contoh riilnya. Jadi sedikit banyaknya film ini jadi
ngebentuk pola pikir aku terhadap konglomerasi media gitu. Jadi aku gak tau
apakah aku yang sepikiran sama film ini atau film ini yang bikin aku mikir kaya mereka.
Kalo misalnya film ini berhasil bikin aku kaya mereka berarti sukseskan filmnya.
34 P: Menurut anda apakah film
ini berhasil membuat anda sepikiran dengan filmmaker?
I : Iya berhasil. Karena tadinya aku tau global dan akhirnya
setelah tau ini aku makin benci sama konglomerasi media. Jadi
aku makin gak suka gitu loh.
35 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Aku pribadi sih engga. Tapi kalo misalnya kaya temen aku ada. Kaya misalnya gini,
akukan gak langsung kerja di media tapi kalo misalnya aku ngelatih wartawan dan dia
kebetulan senior aku di Suara USU. Dia kerja di salah satu surat kabar harian di Medan. Jadi
dia suka bikin berita-berita yang panjang, mendalam, dan itu nyindir perusahaan
tertentu. Dan dia bikin berita kaya gitu. Nah media tempat dia kerja itu gak ngebolehin itu
berita gara-gara nanti ngerusak iklan. Nah jadi media nya dia, dia ditekan Pemred Pemimpin
Redaksi dan redaktur dia gak gak boleh bikin berita kaya gitu. Karena nanti hubungan baik
terganggu. Jadi dia ngerasa sakit hati gitu bukannya apa, tujuannya apa media ini.
Universitas Sumatera Utara
Kayanya dia gak bisa idealis gitu, dan dia benci dengan kondisi yang kaya gitu. Jadi ya
itukan termasuk salah satu kan media jadi gak bisa independen karena urusan politik ataupun
urusan apa ya relasi itukan termasuk politik ya aku pikir. Juga urusan iklan. Bisnis. Jadi,
masih banyak sih kaya gitu. Itu Cuma media yang kecil di Medan yang mungkin ga ada
afiliasi politik dengan bla bla bla gitu tuh gak ada.
36 P : Sebagai orang ketiga yang
tidak terkena dampak langsung terkait konglomerasi media,
bagaimana menurut anda sebaiknya media bekerja?
I : Kalo kita ngebahas the elementsjournalism
nya Bill Kovach jelaslah media itu
harusnya gimana. Aku ngerasa memang paling penting itu media
harus independen. Jadi apapun yang mereka beritakan, apapun
keberpihakan mereka, itu bukan karena urusan dengan kepentingan
tertentu atau karena ditekan atau karena ya tujuan-tujuan
tertentulah. Jadi, walaupun mereka berpihak. Jadi jelas gitu
kenapa mereka berpihaknya untuk masyarakat gitu. Bukan untuk
modal atau politik tertentu. Jadi apapun keputusan mereka, ya
netral itu gak mungkinkan di media tapi independen. Tapi
harusnya independen yang harus dijaga. Independensilah.
37 P: Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi? I : Mungkin karena aku udah terpaut melihat
kontennya secara teknis kalo mereka bikin dokumenter aku rasa ini sih termasuk yang
asik gitu. Gak terlalu membosankan, walaupun ada yang membosankan. Karena
mereka masih bisa bikin naik turun emosi penonton gitu. Gak datar aja gitu, kadang bisa
flat sampe abis. Tapi ternyata mereka bisa naik turunin gitu. Terus mereka bisa ngalihin
ke topik mana tiba-tiba dibalikin. Terus nanti
Universitas Sumatera Utara
dimasukin visualisasi-visualisasi tertentu. Jadi, ya bolehlah.
38 P : Menurut anda ada atau tidak pengaruh
ideologi filmmaker terkait isi film Di Balik Frekuensi?
I : Tentulah aku pikir.
39 P : Menurut anda ada atau
tidak pengaruh sponsor terhadap konten film Di Balik
Frekuensi? I : Aku rasa kalo secara
background pasti ada gitu karena mereka kan pasti punya tujuan.
Dan mereka pasti se-visi. Kalo gak, gak mungkin film ini ada.
Jadi ya memang saling berpengarruh. Kalo ada aja yang
gak setuju dengan pemikiran ini pasti kontennya mungkin gak
kaya gini.
40 P : Menurut anda ada atau tidak kritik
yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?
I : Ya itu. Buang adegan yang agak-agak gak penting yang bikin bosen. Terus mungkin
yang diakhir itu reka ulangnya terlalu ga natural. Karena kitakan nontonnya film
dokumenter kan. Yang kita tau semua dokumenter emang natural apa adanya gitu.
Tapi dengan adanya reka adegan jadi malah keliatan fake nya. Gak sekasar itu juga sih.
Keliatanlah settingannya gitu. Kalo di epilognya bagus sih, disitulah ironinya gitu.
Jadi maksudnya kaya yang aku bilang “Lo mau pergi? Ya pergi aja. Masih banyak yang
ngantri kerja tempat aku.” Kaya gitu. Jadi disitulah bener-bener dapet ironinya kaya
gitu. Dalem. Ya gimana freshgraduate kayanya gengsi kan masuk media gede kaya
gitu. Mereka gak tau aja didalemnya kaya apa. Mereka gak cukup tahu dan mereka gak
cukup paham untuk tau gimana sebenernya iklim di dalam tempat yang ingin mereka
pikir luar biasa itu.
41
P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Tentang kepemilikan media dimana pemilik modal itu jadi menguasai berbagai
Universitas Sumatera Utara
aspek, gitulah. 42
P : Implementasi konsep konglomerasi media di
Indonesia? I : Happening aja karen
akondisinya kaya gini, karena mereka yang punya modal besar
ya ada unsur kapitalisme dan segala macem. Kaya misalnya
kompas mungkin yang paling netral, konten tv nya juga bagus.
Tetep aja modalnya juga banyak, dari mana-mana. Ya memang
begitu, mereka yang punya modal besar mereka lah yang bisa bikin
media. Bahaya nya itu kalo dia banyak modal banyak media tapi
susahnya kalu dia itu punya kepentingan politik.
Apakah pengaruh konglomerasi media di Indonesia baik atau
tidak? Meresahkan. Karena masy Ind
yang paham literasi media itu bener-bener minim, gitu. Gak
banyak tang aware, bahkan untuk tingkat sarjana pun yang kita
anggap sudha berpendidikan tinggi masih banyak yang gak
aware sama konten media, masih gampang disetir. Karena warga
Indonesia belum cerdas jadi meresahkan gitu apalagi kaya
kondisi pemilu kemarin. Gak nyaman sekali nonton televisi,
gitu.
Universitas Sumatera Utara
Informan II Nama
: LAD TTL
: Jakarta, 10 April 1986 Jenis Kelamin
: Laki-laki Usia
: 28 tahun Anak ke
: 1 dari 7 bersaudara Suku
: Batak Simalungun Agama
: Kristen Prostestan Hobi
: Nonton film, Bersosialisasi Pendidikan
: S1 Ilmu Komunikasi Profesi
: Wartawan Harian Tribun Medan Film Favorit
: Biografi, Drama Film Dokumenter Favorit
: The cov pembantaian lumba-lumba di jepang Pelaksanaan Wawancara
: Rabu, 24 Juli 2014. 19:00. Keude Kupie Ule Kareng
P : Peneliti
I : Informan
No ISI WAWANCARA REFLEKSI
1 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Engga tahu. Tapi aku tahu kasusnya.
Karena di dalam film itupun ada beberapa beberapa oknum yang kukenal.
2 P : Apa yang anda bayangkan tentang film
DBF sebelum menonton? I : Karena dari judulnya kan Di Balik
frekuensi dan aku juga denger dari kawan- kawan pas itu. Misalnya aku yang kutangkep
sih pertama-tama katanya tentang Metro TV. Jadi aku langsung kaitannya memang tentang
penggunaan frekuensi publik yang untuk kepentingan politik pemilik media. Itu sih
yang aku pikirin.
3 P : Kenapa anda tertarik menonton film Di
Balik Frekuensi? I : Karena aku suka film juga. Maksudnya
karena diminta mungkin. Menurutku ini sesuatu yang setengah-setengah sih ke publik.
Terutama ke publik Sumatera Utara. Ikut prihatin juga, walaupun di cerita itu, film itu
mm apa.. si pembuat film mengucapkan terimakasih kepada komisi penyiaran. Tapi
kalo menurutku komisi penyiaran itu sangat lemahlah, terutama yang di daerah-daerah.
Trus semenjak kuliah aku pernah menggagas ngundang anggota KPI untuk membahas
Universitas Sumatera Utara
tentang gimana sih kelangsungan tentang televisi-televisi di daerah itu, kan katanya
harus apa ya gak boleh nyiar ini lagi ya kalo tivi-tivi daerah itu ada batasannya ya, gak bisa
semuanya. Terus ya orang-orang KPI aku kenal beberapa.
4
P : Kapan anda pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Dua minggu lalu
5
P : Apakah anda tahu kapan pembuatan film ini bermula?
I : 2012 ke 2013 ya.
6 P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Selain karena aku suka film ya itu filmnya
bagus juga sih menurut aku, ya itu tadilah sebagai anak ilmu komunikasikan, wartawan,
ya aku cukup konsern lah dengan film frekuensi publik.
7
P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Secara sempit itu tentang ini sih, tentang ya perjuangan seorang pekerja media yang
menduduki tadinya kan gitu. Itu sebenernya representasi dari TV. Eksploitasi dari sebuah
perusahaan media yang memang sering kita jumpai gitu. Jadi naiknya lagi ini sebenarnya
cerita ironi sih karena media itu kan mau gakmau bisa di dan harus dikaitkan dengan
demokrasi. Mau gak mau. Baik dilihatnya dia secara objek atau subjek gitu. Media lahir
karena demokrasi. Demokrasi juga tunduk karena media gitu. Itu kaya udah nempel.
Kenapa kubilang ironi? Karena kenyataan di dalam gak nyaman, gak demokratis juga.
Kalo aku sih bisa ngerti dari sudut pandang usaha ya. Kita perlu stabilitas, kita perlu
mencetak untung. Jadi keuntungannya jelas. Praktik misalnya kaya asisten produser digaji.
Pekerjaannya kayak produser tapi gajinya... itu biasa. Dan itu memang kadang-kadang
udah diterima aja di kalangan... Tapi, aku salut juga sih sama dia. Nah, satu lagi, tema
yang mencolok ya itu tadi, ya tentang penggunaan frekuensi publik, gitu ya.
Memang ini wacananya memang betul bahwa frekuensi publik punya rakyat, tapi
kondisinya sekarangkan film ini berada di
Universitas Sumatera Utara
tengah-tengah ... Aku gak tau kalo aku ini sudut pandangnya punya... cukup kaya lah
sebagai manusia. Tapi aku jalani hidupku seperti biasa, tiba-tiba ada orang asing. Ini
sebenernya punya ini, punya ini. Aku kan kaget ternyata selama ini aku gak tau kan gitu.
Itulah gambaran Republik Indonesia ini. Nah begitu mau menuntut balik ternyata tidak
sesuai harapan. Satu, ya itu tadi, yang punya sarana frekuensi publik ini orang-orang kuat
dan sebagian juga belum banyak yang peduli. Sementara.. bisa aja sih kita tuntut itu, Cuma
masalahnya ya kita lihatlah disini di apa ini di sudut ini, yang paling kita harapkan kan
sebenarnya ya dosen-dosen ilmu komunikasi menggagas kayak perhelatan-perhelatan ke
kampung-kampung, ke ibu-ibu “bu, sinetron ini begini buk.” Buktinya gak ada yang jalan.
8 P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi? I : Alasannya sih.. Aku kurang yakin dia Ucu
Agustin pendekatannya ke... Aku lebih yakin di lebih ke advokasi Luviana nya. Dan
sedikitlah tentang hegemoni medianya. Kalo menurut aku sih lebih ke advokasi Luviana
nya.
9 P : Jadi, menurut anda tema
konglomerasi media itu hanya sebagai wacana yang
memperkuat? I : Iya. Karena siapa sih Luviana
itu? Kan gitu.. Walaupun kalo kita cermati dia menggambarkan
struktur masalah yang lebih besar, kan gitu. Cuma aku ya secara
pribadi sebagai orang yang biasa membuat produk narasi, aku ya
harus pinter-pinter milih angle. Gak masalah sih menurut ku.
10 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap penggambaran isi dari film Di Balik
Frekuensi? I : Ya, misalnya walaupun cukup baru
sebenarnya cerita tentang Hari Suwandi itu cukup bagus sih untuk mendukung film. Tapi
sebenernya kalo itu dihilangkan gak ada ngaruh juga. Jadi, banyak yang terlalu
panjang, mungkin ya. Filmnya panjang, tapi
Universitas Sumatera Utara
memang hak ini juga ya, hak yang buat film. Tapi aku sebagai penonton terlalu panjang.
Hampir keseluruhan bagus, kurang lebih kan gitu kan. Ada juga istilahnya ilustrasi-ilustrasi
cukup bagus. Terus ya pembuat film bisa naikkan sisi humanis dari Luviana.
11
P : Bagaimana tanggapan anda tentang dialog dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Ya, cukup baiklah. Lebih bervariasi. Ada juga humornya.
12 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Ya, itu tadi menurutku. Banyak bagian-
bagian yang ga relevan menurutku ya. Ya, kalo ditarik-tarik ada memang. Tapi kalo
dalam rangka penggunaan frekuensi, tapi gimana ya.. Intinya, ya sebenernya bisalah
dipake.
13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Ya, sudah cukup pas lah.
14 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Ya, itu tadi. Pesan besarnya tentang perjuangan besar Luviana dan satu lagi
tentang ya cukong-cukong media ini. Apa yang mereka lakukan terhadap kita.
Sebenarnya ada sedikit anjuran juga sih buat kita. Ya, bukan anjuran sih, tapi kaya
memancing pertanyaan dalam diri.
15 P :Bagaimana tanggapan anda terhadap
gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di
Balik Frekuensi? I : Ya, sangat inilah sangat dominan terutama
pemilik medianya adalah politikus. Karena kan politik ini kan tokoh-tokohnya butuh
pencitraan. Jadi ada juga mungkin salah satu yang kudapet dari film itu komentar dari...
Ada perempuan agak gemuk berkacamata yang dia bilang begini “ini kan televisi berita
ya. Padahal ini kan untungnya gak seberapa ya di Indonesia ini, kenapa ada televisi
berita?” dia bilang begitu. Jadi secara tidak langsung dia mengarahkan kita untuk berpikir
bahwa stasiun televisi berita ini tidak lebih
Universitas Sumatera Utara
dari untuk melancarkan kepentingan politik pemilik media. Karena secara ekonomi
menguntungkan kali sebenarnya. Dan itu sejalan memang dengan apa yang ku tahu ya.
Bahwa Bakrie dan Surya Paloh itu sebenarnya usaha utamanya bukan media.
16
P : Apakah hal yang pertama kali anda pikirkan ketika selesai menonton film Di
Balik Frekuensi? I : Sebenernya bukan semacam kesimpulan
sih. Karena itu hal yang.. Tapi yang aku pikirkan nasib Luviana itu gimana? Terus aku
kepikiran juga soal Hari Suwandi itu. Menurutku, film ini kurang menggambarkan
latar belakang dia. Dia Cuma digambarkan rela satu bulan berjalan, gitu kan. Mungkin
orang-orang salut ngelihat itu. Tapi, kalo aku enggak. Aku udah llihat bermacam-macam
orang dan motivasi yang sebenarnya gak mulia-mulia amat. Jadi aku penasaran bapak
ini dibilang gak tahu kemana. Apakah dia memang hilang? Maksud film itu apakah dia
ingin mengarahkan si bapak-bapak ini udah hilang, atau udah diculik, atau kemana atau
ngumpet gitu. Dulu aku langsung mikir, ini orang pasti di blackmail. Mungkin kawan ini
entah dia kalo gak diancam, dia itu dia punya sesuatu yang kartunya itu dipegang gitu sama
Bakrie.
17
P : Bagaimana anda menanggapi judul film Di Balik Frekuensi setelah menonton?
I : Menurutku sih judulnya gak komersih haha. Memang bukan tujuannya komersil,
kan. Trus di balik frekuensi itu, aku sebagai seorang penulis yang setiap hari bikin judul
ya, gak menjual. Di Balik Frekuensi itu mengaburkan kepentingan si pembuat film.
Dia mau menyasar yang lebih luas lagi, padahal ya dia ingin filmnya itu bisa ditonton
banyak orang.
18 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Sedihlah.. Menyedihkan.
19
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap pemusatan kepemilikan media massa
dalam film Di Balik Frekuensi? I : Memang betul. Ya, itu kan fakta sih. Malah
aku justeru tahu disitu, gitu. Siapa bos-bosnya
Universitas Sumatera Utara
ini. Apa nama resmi grupnya, aku baru tahu disitu. Dan media ini afiliasinya apa kesini ke
sini dan apa ya gak tau lah, aku rasa sih itu betul gitu.
20 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Konglomerasi media.. Kalo aku sih
memaknainya ya aku gak tau efek dan lainnya, tapi aku memaknainya. Dia kayak
sekumpulan media, himpunan media dari macem-macem platform ya kan, cetak,
broadcast terus online segala macem dan itu dikuasai satu orang dan berikut implikasinya.
21 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Ada. Yang kedua tadi.
22 P : Bagaimana anda melihat fenomena
konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?
I ; Menurut aku sih konglomerasi media itu kayak keniscayaan. Tau gak? Memang..
keniscayaan itu kayak gini emang hampir pasti gitu dan gak ada masalah sebenernya.
Tapi orang.. gak ada masalah karena gini, tidak ada dasar hukum yang melarang itu. Ya
namanya orangnya juga berbisnis. Apalagi sekarang, kalau kita mau sukses di bidang
media kita harus kuat. Kalau main sendiri- sendiri aja mati kita. Jadi misalnya kayak
kompas gramedia itu kan masuk ke konglomerasi. Tribun
itu bagian dari konglomerasi. Kami gak susah, kalau
misalnya kami mau cari berita tentang.. misalnya ada berita di Ukraina kapal
ditembak. Wartawan apa, misalnya kayak analisa, dia ngambil dari sumber yang diluar
dia gitu. Dan dia harus membayar itu, gitu. Kalau kami enggak. Kami punya.. kami
kerjasama.. afiliasi kami kompas, kan gitu. Kompas punya koresponden di sana, kan gitu.
Dan itu juga misalnya konglomerasi ini sangat digdaya untuk persaingan
memperebutkan iklan, gitu dia. Karena pengiklan sekarang kan lebih suka misalnya
dia memasang iklan satu paket. Misalnya “aku mau pasang iklan di lima kota besar,
kasih dong diskon”
Universitas Sumatera Utara
23 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Ya, entah karena keterbatasan waktu, keterbatasan sumber daya media.. Jadi gini,
kayak aku ngertilah kenapa Surya Paloh dinaikkan. Tapi kenapa harus Abu Rizal
Bakrie? Apa dia ee.. Kenapa gak misalnya ya itu emang yang paling besar, dua itu kira-kira
yang paling besar. Tapi kalo menurutku penggambarannya terlalu simplistis. Ya untuk
masyarakat awam mungkin ya masih baru atau sebenernya gak baru-baru amat lah ya.
Orang udah gampang sekali sekarang “Ah Metro TV itu kan punya Surya Paloh”
gampangnya aja orang ngomong kaya gitu. “Kan Tv One itu, janganlah kita nonton
tentang Lapindo ini. Ini kan punya Abu Rizal Bakrie, kan gitu” Orang udah tahu
sebenernya. Aku pikir kalo penggambaran seperti itu tidak terlalu.. ah ya simplistis yang
seperti aku bilang itu ya bisa jadi.
24 P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?
I : Tidak ada.
25 P : Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?
I : Kesannya ya.. jadi kan, kadang orang mikirin film dokumenter itu kayak nyari duit
juga. Jadi gak ada yang namanya murni perjuangan. Ya memang itu membantu
jugalah buat Luviana. Tapi apa kabar Luviana sekarang? Ini film di putar dimana saja? Kalo
untuk wartawan apalah gunanya itu? Kalo untuk anak komunikasi okelah. Tapi bukan
komunikasi yang udah senior ya. Karena menurutku yang menjadi nilai lebih film ini
cuman kiprah dari Luviana dan Hari Suwandi. Itu kalo tentang ya korporasi media ya biasa
aja menurutku.
26 P : Apakah menurut anda tema yang
diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?
I : Itu memang betul.
27 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara
berpikir anda?
Universitas Sumatera Utara
I : Ya. Bahwa pekerja harus punya serikat pekerja, aku setuju. Bahwa setiap perusahaan
[unya serikat pekerja aku setuju. Bahwa frekuensi publik itu harus dilafazkan untuk
sebesar-besarnya kemakuran rakyat aku setuju. Gak ada yang aku gak setuju.
28
P : Sebagai jurnalis media, anda setuju tidak bahwa jurnalis itu
dikatakan buruh? I : Setujulah.
29 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Ya aku kerja di bawah konglomerasi media. Di sebuah media yang merupakan
bagian dari konglomerasi media.
30
P : Hal apa yang anda rasakan? I : Jadi kan gini.. aku masih
percaya bahwa jurnalisme yang bagus itu mahal. Jadi, itu
membutuhkan sumber daya manusia yang kuat dan punya
jaringan yang luas. Aku percaya itu sih. Karena aku pernah kerja di
beberapa.. gajinya kecil, baru tumbuh. Aku udah pernah nyoba
sih. Masing-masing punya hambatan-hambatan. Jadi media
kecil ini misalnya, dia gak bisa memberikan kenyamanan kerja.
Mulai dari jaminan kesehatan. Jadi ya apa hak-hak standar itu
gak dipikirkan. Jadi kayak ada kesepakatan misalnya “yaudah
kalau kau gak mau masih banyak yang mau” kan gitu.. kalau di
konglomerasi media itu biasanya udah diakomodir. Dan kita juga
punya kebangaan tertentu. Terutama mungkin ya kaena
kompas gramedia. Gramedia itu menurutku termasuk perusahaan
bonafit
31
P : Bill Kovach bilang kalau tuan dari sebuah media itu
adalah publik. Bagaimana pandangan anda terhadap
pernyataan itu sebagai bagian
Universitas Sumatera Utara
dari pekerja yang ada di bawah konglomerasi media?
I : Aku sih setuju. Terus seperti yang aku bilang tadi sebenarnya
itu karena dibandingkan aspek- aspek yang sudah deluan lahir di
peradaban manusia. Media ini barus adar sebenarnya hakikat dia
itu apa? Kenapa ku bilang begitu? Karena gini, banyak wartawan
gak sadar sebenarnya dia itu bukan apa-apa. Kan banyak
wartawan petantang petenteng merasa kayak dia jagoan. Apalagi
ada yang bilang Pers adalah pilar ke-empat demokrasi. Maksudnya
itu pers, bukan wartawan. Pers dengan wartawan itu beda. Jadi,
yang membuat banyak wartawan itu jumawa atau gimana. Dia gak
sadar, dia gak bisa memposisikan dirinya sebagai pekerja publik.
Pekerja yang apa ya, bekerja untuk publik kan? Untuk
kepentingan publik. Itu kan implikasinya beda. Jadi banyak
wartawan-wartawan yang ku lihat dia suka-suka dia mainkan berita
itu. Ya, dia memanipulasi fakta atau gimana. Tapi kalo kita datang
denga kesadaran bahwa kita itu bekerja untuk publik. Itu kita
punya standar-standar kerja, etika. Jadi menurutku kesadaran itu
penting ya. Mungkin selama ini kurang urgent ya. Apalagi media
tempat dia bekerja kurang sadar tentang hal itu ya. Sekarang ini
kan gerak media itu kayak udah semakin menjatuhkan wartawan.
Jadi misalnya perkembangan citizen journalism. Semua orang
ngaku bisa jadi wartawan. Jadi, timbul pertanyaan di wartawan
kerja gua apa, kan kaya gitu? Tapi kita sadar sebenarnya wartawan
itu aktif. Dan bagaiamana supaya besok wartawan itu dipake
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Ya, masyarakat sekarang udah kritis. Ya bilanglah
dia gak nulis berita tapi dia udah tau membaca berita. Mana berita
yang bisa dipercaya mana berita yang penuh muatan. Aku yakin
gak ada media yang suka nonton TV One. Maksudku terlepas dari
preferensi politiknya. Kalo orang misalnya sadar melek media, dia
pasti gak suka melihat metro. Aku jujur, pendukung Jokowi aku.
Tapi aku prihatin melihat Metro TV. Jangan tanya lagi
pandanganku soal Tv One ya.
32 P : Menurut anda ada atau tidak kritik
yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?
I : Mm.. Baguslah. Aku gak tau lagi soalnya.
Universitas Sumatera Utara
Informan III Nama
: AJR TTL
: Jombang, 18 Juni 1992 Jenis Kelamin
: Laki-laki Alamat
: Komplek Kasuari Indah, Medan Usia
: 22 Tahun Anak ke
: 1 dari 4 bersaudara Suku
: Jawa Agama
: Islam Hobi
: Programming, Desain Aplikasi untuk PCTablet, Dengerin dan main musik
Pendidikan : SMA
Profesi : IT Freelance
Film Favorit :
Film Dokumenter Favorit : Di Balik Frekuensi, Opera Batak
Pelaksanaan Wawancara : Kamis, 24 Juli 2014. 10:30 AM. Kantor Yayasan
KIPPAS P
: Peneliti I
: Informan
No ISI WAWANCARA
REFLEKSI
1 P : Apakah anda mengetahui film
dokumenter Di Balik Frekuensi? I : Ya. Sudah pernah. Sekali nonton, waktu itu
bulan satu tahun lalu.
2 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Ya waktu itu nonton tahunya disitu. Waktu
ada acara KIPPAS terus trainer nya itu dari Dewan Pers, AJI ya. Perwakilan dari AJI
terus dia mau nawarin nonton bareng tentang konglomerasi media. Menurutku menarik
karena konteksnya bentar lagi kita Pemilu waktu itu kan.
3
P : Apa yang anda bayangkan sebelum menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Nah itu. Waktu itu kan belum Pemilu ya. Belum masuk tahun politik tapi aku sudah
membayangkan bahwa nanti akan ada, media- media itu akan cenderung mendukung atau
mengenjot salah satu partai atau capres gitu ya. Sebelumnya memang sudah nampak
misalnya TV grup Bakrie, viva antv sama tv one jauh-jauh sebelum pemilu sejak 2010
malah setahun setelah pemilu 2009 mereka sudah berusaha menampilkan sosok Bakrie
Universitas Sumatera Utara
gitu sebagai tokoh. 4
P : Kenapa anda tertarik menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Media adalah salah satu corong warga ya. Nah saya juga mau lihat bagaimana sih
sebenernya? Selama ini kan kita demand selalu menonton saja. Kita tidak tahu ruang
dapur produksinya bagaimana? Bagaimana kebijakan redaksi yang atau redaksinya
diintervensi oleh si pemilik modal. Nah itu yang menurut saya menarik. Selama ini saya
gak tau bagaimana caranya gitu. Saya dulu memang menduga, mungkin barangkali
redaksinya ini memang orang partai gitu jadi beritanya pun ya sudah jelas. Sudah ada
alurnya ya. Rupanya memang intervensi gitu, bahkan ini yang menarik adalah setelah Pileg,
ketika Pemilu Presiden itu bang Karni ya, bang Karni Ilyas salah satu pemimpin umum
redaksi di TV One dia cuti gitu. Saya gak tau apakah itu terjadi konflik. Tapi yang saya
tahu dari beberapa media sosial, bang Karni ini dia tidak mau dia akan berhadapan dengan
Bakrie, gitu. Jadi dia lebih ambil enaknya udah cuti aja deh, gitu.
5 P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Waktu itu selain ada gambaran politik, itu
utama ya yang tadi, kedua mungkin aku melihat dari sisi produksi gambaran. Karena
saya juga cukup masih menyimpang hobi untuk membuat film dokumenter. Saya
mungkin ngambil sudut pandang mana yang diambil oleh sutradara, dari sisi produksi.
6 P : Menurut anda apa tema yang disajikan
dalam film Di Balik Frekuensi? I : Wajah media pasca reformasi
7 P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi? I : Waktu itu sebelum nonton ku kira ini
adalah salah satu bentuk penyadaran untuk masyarakat bahwa media tidak bisa dipercaya
penuh. Karena media sudah di setting, sudha disupir sama si pemilik modal, gitu. Sudah
tidak independen, gitu. Nah rupanya ketika nonton berkembang. Misalnya ada disitu kak
Luviana. Saya tidak menyangka kalo Luviana bakal tampil disitu. Memang sebelumnya saya
Universitas Sumatera Utara
sudah tahu ada kasus pemecatan sepihak oleh Metro Tv waktu itu. Nah rupanya media
melalui film itu kita juga berusaha ditampilkan bahwa ini loh nasibnya para
pelaku jurnalis di televisi. Sama dengan buruh, tidak bebas, gitu kan. Selain
pemberitaannya di intervensi, hak-hak mereka juga sangat dibatasi.
Mmm.. awalnya iya, akhirnya banyak rupanya. Ya itu salah satu film itu juga
kayanya di produksi untuk mengadvokasi si Luviana itu ya. Karena diending juga
ditampakkan si Luviana di pinggiran bundaran HI itu kan.
8 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
isi dari film Di Balik Frekuensi? I : Tanggapan gimana ya.. bagus hehe. Bagus
banget. Dan betul-betul membuat kita sadar gitu bahwa media itu.. media sekarang ya
konteksnya Indonesia semakin dibebaskan juga kayaknya kebablasan deh. Nah dari hasil
film itu aku rasa ini udah menyimpulkan kayaknya nanti menteri yang akan datang dia
harus sudah membikin peraturan pembatasan kepemilikan modal media, mungkin ya.
9 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Wah saya sudah agak lupa itu. Cuma disitu
kalo dari segi.. banyak temen-temen yang bilang termasuk saya juga sepakat ya disitu
banyak gambar yang nyampah istilahnya. Artinya, banyak hal-hal yang sepertinya tidak
perlu ditampilkan tapi tampil disitu. Spesialnya ketika Luviana, dia diusir dari
satpam, disuruh keluar gitu kan. Luviana jalan gitu masih ditampilin.
10
P : Menurut anda hal itu lebih cocok dikategorikan ke dalam
adegan atau dialog ? I : Menurut aku itu di adegan deh.
Tapi ada misalnya ketika ada yang dramatisir ketika Luviana duduk
bareng pak Surya Paloh itu. Nah menurutku itu juga sangat bagus.
Kan ditampakkan ketika dialog ada perjanjiannya ya. Terus
setelah itu beberapa hari kemudian dia datang ke Metro Tv
Universitas Sumatera Utara
ya juga tetep gak ditepati kan, gitu.
11 P : Selain itu, ada tanggapan lain tidak
terhadap adegan dalam film Di Balik Frekuensi ?
I : Menurutku ada banyak adegan yang gak perlu banyak ditampilin. Mungkin itu kerjaan
editor kali ya. Makanya filmnya juga relatif lama kan untuk ukuran dokumenter itu
hampir dua jam.
12 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Bagus. Pas. Yang ditampilkan semuanya orang-orang yang memang berkaitan dengan
media. Walaupun sebenernya tidak ada kaitan secara langsung. Misalnya si bapak, saya lupa
padahal itu tetangga saya, yang jalan dari Sidoarjo ke Jakarta. Dia memang, awalnya
kan kita tidak ada kaitannya dengan tv ya. Tapi ini berkaitan ketika si pemilik tv adalah
Bakrie yang punya lumpur di Sidoarjo. Nah setelah itu juga pak Suwandi ini ketika itu ia
tiba-tiba menghilang dan muncul di tv one dan minta maaf. Itu yang kami keukeuh. Ya
itu bagus menurut kami. Terus disitu juga ditampilkan narasumber-narasumber juga
cukup bagus. Memang orang-orang yang menurut aku punya kompetensi yang
diwawancarain gitu.
13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Sangat bagus. Menurutku ini film yang paling
recommended gak hanya anak
komunikasi. Bahkan untuk orang-orang yang seperti saya yang dibidang IT atau mungkin
yang penggiat media komunitas seperti saya juga ini penting gitu. Kita juga, konglomerasi
media itu tidak harus modal rupanya. Jadi kita lihat di Sumatera Utara ini banyak juga media
komunitas yang fungsinya untuk capacity building untuk komunitas itu. Tapi juga
sebenernya sama karena pelakunya satu orang dan asiknya ketika menjelang pemilu mereka
juga sama seperti media mainstream. Ya membuat pemberitaan hanya untuk satu caleg,
untuk satu tokoh, untuk satu presiden, begitu.
Universitas Sumatera Utara
Jadi bagus. 14
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap gambaran campur tangan pemilik media
terhadap konten media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Penggambarannya sangat otoriter kayanya. Dari segi filmaker bagus karena dia dapat
momen yang tepat. Ketika misalanya pak Surya waktu itu orasi yang dishoot sbenernya
bukan Pak Surya nya kan tapi si jurnalisnyasi wartawannya. Terus ketika ada koordinator
liputan menyuruh untuk ikutin tokoh, gitukan. Gak harus Surya Paloh waktu itu setahu saya,
pokoknya yang berkaitan dengan partai Nasdem ketika itu di tv. Tv One juga begitu.
Saya pernah dengar dari temen saya waktu itu, jurnalis Tv One di Sidoarjo di kampung
saya ya. Itu mereka memang tugas mereka tidak boleh meliput lumpur yang mereka liput
hanya boleh orang-orang yang sudah direlokasi, gitu. Untuk apa ya, barengin.
Karena saya ingat MNC saat itu mendesak, memojokkan pak bakrie ya. Ganti si Tv One
mereka itu. Jadi mereka hampir gak pernah ada beritanya tentang lumpurnya gak pernah.
Yang ada memang tentang relokasi, mereka sudah mendapatkan ganti rugi. Saya rasa itu
disetting dari medianya.
15 P : Apakah hal yang pertama kali anda
pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Waktu itu saya langsung berpikir berarti selama hak itu sebagai penonton juga
dilewatkan misalnya ini kayaknya hanya perang antar tokoh aja ini antara MNC dengan
Tv One waktu itu di film ini. Karena di film ini kan ditunjukkan bagaimana mereka
berhadap-hadapan sesama media, gitu. Otomatis hak informasi kita sudah dilewatkan
karena kita mendapatkan informasi yang sama-sama saling menyudutkan, tidak
berimbang. Pasti itu infromasi yang salah atau dibuat-buat kan gitu kan.
16 P : Bagaimana anda menanggapi judul
film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Judulnya tepat sekali. Di Balik Frekuensi
karena kita masih pake televisi UHF masih pake analog. Jadi yang selama ini kita hanya
Universitas Sumatera Utara
di depan layar ada juga orang dibalik layar, dan kita di balik frekuensi. Di Balik Frekuensi
inikan luas tidak hanya orang di produksi di redaksi tapi kita juga siapa yang membeli
frekuensi dan siapa pemilik modal itu tadi.
17 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Bagus
18 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Seharusnya mereka harus dibatasi nanti. Penggambarannya sudah komplit. Tapi kan
memang lebih banyak waktu itu metro tv, MNC, sama Tv One tapi dibelakang-belakang
kita ditampakkan Tempo, kita ditampakkan Trans Tv yang pemiliknya memang orang itu
aja gitu, kuat. Sama kompas ya. Kita tidak duga kalo akan ada muncul di film itu juga.
Ya memang konglomerasi yang di film kan itu memang menurutku ada dua. Yang satu
untuk konglomerasi bisnis, murni bisnis ya. Tidak untuk kepentingan politik. Misalnya
saya lihat Kompas sama Trans Tv. Hampir tidak pernah, sedikit memberitakan tentang
pemiliknya. Itu misalnya ya yang paling sederhana yang bisa kita lihat. Terus bedanya
yang lain misalnya seperti MNC terus Tv One kaya bukan hanya untuk bisnis tapi juga
kayanya untuk menggiring opini tentang si pemiliknya gitu dari segi frekuuensi
pemberitaan, macem-macem.
19 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Kepemilikan tunggal media yang banyak.
Maksudku ada sekelompok media yang hanya dimiliki orang tertentu , gitu.
20 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Ya Setuju
21
P : Bagaimana menurut anda cara film ini menampilkannya?
I : Menurutku disitu sangat komplit karena mulai dari isi yang
ditampilkan disitu karena ditampilkan beberapa cuplikan
beritanya terus ketika produksi
Universitas Sumatera Utara
bahkan ketika mereka sedang rapat meskipun sedikit candid
mereka ngambil gambarnya. Dan menurutku itu sangat
menggambarkan sekali, komplit sekali. Mulai dari kalo ditarik dari
atas ketika mereka rapat diambil secara candid terus hasil rapat itu
dijadikan diproduksi di medianya. Atau si wartawannya ketika ke
lapangan abis itu baru ditampilkan ke transisinya, istilahnya.
22 P : Bagaimana anda melihat fenomena
konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?
I : Wah ketika menonton film itu semakin ya sebelumnya sudah tahu emang media itu
dikuasai. Waktu itu aku menganggapnya wajar siapapun yang punya modalnya
silahkan saja, hak dia untuk menggunakan uangnya untuk investasi gitu. Tapi setelah
menonton film itu kita jadi, wah gak hanya sekedar modal mereka juga pengen lebih
banyak. Jadi dari media itu mereka menginginkan sesuatu yang dampaknya luas,
misalnya kekuasaan.
23 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Gak suka. Eh sorry.. Penggambaran tentang konglomerasi itu suka. Karena kita
jadi tahu yang selama ini tahunya hanya sekedar karena bisnis setelah nonton itu kita
tahu kepentingannya apa.
24 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan
pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Setuju.
25
P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan setelah menonton film Di Balik Frekuensi
terkait konglomerasi media? I : Sebentar iya. Setelah itu langsung kami
diskusi.
26 P : Apakah hal itu
mempengaruhi opini anda sebelumnya atau tidak?
I : Oh tentu dong. Yang tadi sebenernya yang opiniku awalnya
Universitas Sumatera Utara
adalah gak masalah siapapun yang punya media selagi dia legal ya
mendapatkan ISR misalnya.Tapi setelah nonton itu ya jadi haram
gitu loh jadi dosa. Yang awalnya karena gak hanya sekedar bisnis
itu tadi, ini digunakan untuk kepentingan yang luas untuk
menutupi sebuah kasus yang besar misalnya begitu. Jelas
mempengaruhi karena menurutku yang awalnya sah-sah aja jadi gak
sah lagi.
30 P : Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?
I : Ya itu tadi saya bilang. Film ini sangat bagus karena berusaha membuka opini kita,
pandangan kita terhadap konglomerasi media. Terutama saya yang melihat ya kalo
konglomerasi media sbenernya tidak salah sebelum nonton itu. Yang jadi masalah adalah
ketika ini memang digunakan untuk sebuah kepentingan, bukan kepentingan bisnis gitu.
31
P : Apakah menurut anda tema yang diusung dalam film ini dapat dipercaya
sepenuhnya? I : Saya percaya.
32 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara
berpikir anda? I : Sesuai
33 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Ada. Karena saya beberapa tahun ini juga penggiat media komunitas. Nah ketika
menjadi waktu itu saya juga baru sadar bahwa saya sebenernya juga sedang melakukan
konglomerasi walaupun dalam arti bukan harus modal. Tapi selama ini saya
membangun jaringan radio-radio komunitas di Sumatera Utara dan Jawa Timur terutama.
Saya di jawa Timur ada organisasinya ... Nah rupanya itu juga bagian dari
konglomerasi media kalo saya pikir setelah melihat film ini, gitu. Meskipun ya itu tadi
tidak harus konteksnya dengan uang. Karena konglomerasi adalah membangun banyak
Universitas Sumatera Utara
media untuk satu kepentingan. 34
P : Hal apa yang anda rasakan? I : Akhirnya jadi sadar saya tidak
bisa sendiri selanjutnya. Mungkin kalau untuk saya sendiri sebagai
penggiat media komunitas mungkin ke depan saya harus
tidak harus saya. Mungkin saya harus mengajak yang lain untuk
kalian bangun radio komunitas di desa kalian untuk media
pembelajaran. Jadi saya tidak ikut lagi, tidak ikut campur tangan,
tidak
mentraining, tidak menentukan siaran mereka harus
bagaimana. Dan mereka sendiri, jadi saya cukup memotivasi.
35 P : Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi? I : Kesimpulannya jadi yang dulu saya
memang kalau untuk tv berita awalnya saya hanya percaya Metro Tv. Karena tv one dulu,
mereka kan sering bikin ulah ketika liputan misalnya liputan tentang penangkapan teroris.
Itu yang menurut saya hiperbola, gitu. Trus ketika yang paling mengesankan adalah
ketika gunung merapi meletus tahun saya lupa. Jadi dia bilang katanya warga
mengungsi pada berlarian. Padahal tidak. Akhirnya di Jawa waktu itu di boikot “ janga
lihat tv one kalau mau lihat berita gunung merapi” Nah waktu itu awalnya hanya
percaya metro. Nah setelah menonton film ini saya berpikir saya tidak boleh begitu juga
meskipun tv one begini dan metro tv begitu. Saya harus nonton dua-duanya gitu. Apalagi
kalau konteksnya seperti pilpresnya kemarin tahun ini. Metro tv siapa dan tv one siapa.
Bah untuk mengetahui menurut saya biar informasi berimbang masuk ke dalam otak
saya ini misalnya ya saya harus lihar dua- duanya. Mana tv one dan metro tv yang
awalnya hanya percaya satu tv ya.
36 P : Menurut anda ada atau tidak kritik
yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?
I : Pertama yang saya bilang, banyak gambar yang nyampah. Banyak adegan-adegan yang
Universitas Sumatera Utara
menurut saya hanya memperpanjang durasi. Hanya membuat kita bosan. Dan kadang
awalnya klimaks disitu sudah ditampilkan konfliknya Luviana, terus setelah itu jalan.
Mungkin menurut saya bagi si pengeditor, pengambilan gambar itu mungkin gambaran
ketika Luviana setelah diusir gitu, dia jalan kaki, kakinya di shoot. Rasanya itu banyak
gambar yang tidak perlu ditampilkan malah menghilangkan konsentrasi.
Kedua, dari sisi audio. Kemarin saya lihat ada suara yang kencang banget ada yang kecil
gitu. Terus visual kebanyakan efek kayanya. Saya lihat banyak efek yang tidak
memperkaya film itu. Dia ya itu tadi memperpanjang durasi seperti nya ya.
Untuk konten hampir tidak ada kritik. Paling ini aja, kalau kontennya diawal-awal
ditampilkan tentang metro tv, saya tidak tahu ada pengantarnya kalau film ini awalnya
diproduksi untuk apa saya gak tahu. Tapi saya tahunya setelah nonton secara keseluruhan,
gitu. Kalo orang nonton awalnya aja, paling orang akan mengatakan bahwa film ini
mengkritisi metro tv karena sudah memecat Luviana.
Universitas Sumatera Utara
Informan IV Nama
: SSTG TTL
: Pematangsiantar, 14 September 1992 Jenis Kelamin
: Laki-laki Alamat
: Jl. Gading Raya 2 No.2 Jakarta Timur Usia
: 22 Tahun Anak ke
: 1 dari 3 bersaudara Suku
: Batak Toba Agama
: Islam Hobi
: Travelling, Fotografi Pendidikan
: Diploma 1 Kepabeanan dan Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi Negara STAN
Profesi : Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan
Film Favorit : Inception, The Shawshank Redemption
Film Dokumenter Favorit : Karpet, Bagimu Negeri Jiwaku
Pelaksanaan Wawancara : Jum’at, 01 Agustus 2014. 17:00 PM. Lim’s
Koktong Cafe P
: Peneliti I
: Informan
No ISI WAWANCARA REFLEKSI
1 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Setahun
2 P : Apa yang anda bayangkan tentang film
DBF sebelum menonton? I : Media, Publik, Berita
3 P : Kenapa anda tertarik menonton film Di
Balik Frekuensi? I : Pingin tahu media dan di balik judul itu,
penasaran.
4
P : Kapan anda pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Satu tahun yang lalu, sekilas doang. Sekitar oktober.
5 P : Darimana anda tahu film Di
Balik Frekuensi? I : Dari teman. Kebetulan sih
ngopi banyak film, liat judul yang buat penasaran ya ditonton.
6 P : Darimana teman anda
mendapatkan film Di Balik Frekuensi?
I : Relasi mungkin.
7
P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?
Universitas Sumatera Utara
I : Membela diri, kesejahteraan. 8
P : Menurut anda apa alasan pembuatan film Di Balik Frekuensi?
I : Protes.. Sebagai bentuk protes. Juga pembelaan dirinya buat kesejahteraan hidup
masing-masing tokoh yang ada di film yang bisa dibilang ditindas.
9 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
isi dari film Di Balik Frekuensi? I : Sebagian cerita di buat sangat menarik.
Adegan per adegan membuat penonton merasa penasaran. Tapi ya mungkin beberapa
penonton mengharap di ujung cerita ada penyelesaian tapi di film ini penyelesaiannya
bukan memihak kepada apa yang diharapkan penonton mungkin. Malah merasa gantung.
10
P : Bagaimana tanggapan anda tentang dialog dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Dialognya natural. Ada beberapa yang dikonsep juga, keliatan. Natural.
11 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Adegan, apa adanya. Bisa dilihat dari cara
pengambilannya juga gak terlalu kelihatan diatur. Mungkin pasti ada proses editing juga
dipilih beberapa yang penting aja dan alamilah.
12 P : Menurut anda apakah film
Di Balik Frekuensi cukup membosankan?
I : Engga. Standart.
13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Tokoh-tokohnya ada antagonis, ada protagonis. Kalo di protagonisnya seperti
sosok Luviana. Luviana wanita yang tegar, berjuang buat.. awalnya sih buat
kesejahteraan dia pribadi tapi dia mandang jauh ke depan mungkin ada orang-orang yang
bakal menyusul Luviana-luviana berikutnya. Juga ada beberapa pihak protagonis seperti
suaminya, ada temen-temennya. Juga ada beberapa di balik protagonis ada antagonis
yang digambarkan secara alami dari debat- debat yang ada di film seperti pihak
manajemen, bahkan pimpinannya Surya Paloh yang kita bisa dapat gambaran kalau beliau itu
Universitas Sumatera Utara
bukan orang yang jujur ya. Kemudian ada pihak sekuriti yang sangat sering ditampilkan
dalam potongan-potongan film itu yang menampakkan bahwa dia itu sosok antagonis
dalam film dokumenter tersebut. Kalo di bagian cerita Pak Hari bukan antagonis dan
protagonis malah menggambarkan buat kita bingung sih sebenernya. Siapa yang benar
sebenernya. Tapi kalo yang digambarkan yang di ujung, kita bisa tahu kalo pak Hari ini
ternyata mengkhianati temen yang bawa motor itu. Lupa namanya siapa itu. Dan
menggambarkan ketidakjelasan dari Pak Hari tersebut. Ujung-ujungnya kita gak tahu dia
dimana dan hilang. Sementara temennya yang dikhianatin yang menjadi narasumber di
dokumenter tersebut itu di satu cerita yang tadi. Kalo di cerita yang di akhir hanya
sebagai gambaran anak-anak muda yang baru tamat kuliah, jurusan komunikasi yang masih
mungkin ada yang udah mengerti, ada yang belum mengerti gimana kehidupan media
sebenernya. Tapi cocoknya sih mereka nonton ini dulu. Itu dari ketiga potongan dokumenter
itu terhadap tokoh-tokoh utamanya.
14 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Pesan yang disampaikan bisa berbeda-beda tergantung penontonnya. Kalo penontonnya
ini bersifat netral mungkin ini dapet semuanya apa yang disampaikan dari film itu.
Bagaimana media itu sebenernya memang lingkaran konglomerasi antara pemilik-
pemilik perusahan tersebut seperti yang dikatakan wartawan Kompas, saya lupa
namanya. Harusnya media itu berkiblat ke publik gitu ke masyarakat. Memberitakan apa
yang ada ya seperti apa yang kata Pak Hari sebut waktu dia di wawancarai. Harusnya
membenarkan apa yang ada, berita-berita yang benar. Tapi ternyata dari film ini kita
tahu gitu ternyata selama film ini ada polemik-polemik seperti itu, gitu antara
internal media itu sendiri. Mungkin masyarakat pikir media-media ini berisi
orang-orang yang jujur menyampaikan berita secara benar, langsung kepada masyarakat
Universitas Sumatera Utara
melalui berbagai macam berita dari frekeunsi- frekuensi yang ada yang frekuensi itu punya
masyarakat Indonesia sendiri, punya negara Indonesia sendiri. Dan harusnya kepunyaan
kita mendapatkan apa yang dikatakan benar, jujur, bukan berita yang di ada-adakan. Jadi
berita itu semua udah di konsep bahkan mungkin dari pihak repoternya sendiri mereka
itu kerja sekedar kerja, ngeliput berita. Dan mereka gak tahu berita itu bakal full
seutuhnya disiarkan apa engga. Dari ungkapan-uankapan waratwan yang
diwawancarai juga kaya wawancara wartawan yang di RCTI diwawancarain. Ya, kita gak
tahu katanya. Ya bisa aja nanti yang di atas langsung ngcut adegan yang ini boleh, adegan
yang ini gak boleh. Jadi semua itu konsep- konsep yang berlebihan malah mementingkan
pihak-pihak yang ada di dalam media itu sendiri. Malah media sekarang digunakan
untuk kampanye, untuk pencitraan bahkan kearah politik. Makanya saya bilang tadi
secara saya pribadi 90 saya gak percaya media lagi. 10 hanya beberapa media yang
saya rasa informasinya sedikit benar, dan media-media yang lain mungkin saling
melengkapinya.
15 P : Anda mengatakan bahwa
yang melihat pesan film ini tergantung penonton. Jadi anda
sendiri berada di posisi mana? I : Netral. Kenapa saya bisa
jelasin netral? Karena saya netral. Kalo yang membela satu pihak,
kalo dia gak berpikir secara terbuka gak nerima apa yang
diterima apa yang dikasih film itu dia bisa aja ngelawan gitu. Sama
aja kaya wartawan2 yang dibawah naungan Bakti Widya Tama yang
pemiliknya si Hari Tanoe Soedibjo, dia katakan di film itu
“Ya, kalo ada misalnya berita yang menyangkut Pak HT kita itu
masih nge-block gitu, masih mempertanyakan ini bener gak
ya? Tapi kalo ada berita-berita yang ada di kubu, bisa dikatakan
Universitas Sumatera Utara
kubu lawan, kubu siaran lain, kita itu langsung fokus gitu ke arah
berita itu.” Kaya kejadian yang ada di cuman wartawan Tv One
yang gak ada waktu ngeliput kejadin perlawanan dari Pak Hari
ya bisa dibilang berarti kalau satu media dalam pihak media tersebut
ada satu kasus atau suatu masalah yang sedang diangkat media-
media lain. Pihak-pihak media itu sendiri bukan terjun langsung
fokus, maskudnya mau ngebahas tuntas apa sih sebenarnya. Malah
banyak kelihatan media-media lain membela gitu. Kaya masalah,
kaya bentuk dari Tv One yang buat perlawanan memberitakan
bahwa Pak Hari itu bukan koorban lumpur. Mereka langsung
kontras memberitakan seperti itu bahwa padahal media-media lain
mungkin hanya sekedar headline news doang ya. Hanya tampilan
sedikit bahwa Pak hari ada disini, ada disini bukan jadi lawan dari
Pak Hari itu memberitakan Pak Hari ini siapa sebenernya. Malah
Tv One sendiri yang merasa mungkin tercemar nama baiknya
berusaha melawan tapi kita gak tahu. Mungkin itu cara-cara media
jaman sekarang mau untuk ngelawan pihak-pihak yang bisa
merugikan mereka.
16 P : Anda mengatakan bahwa
anda tidak mempercayai media 90. Apakah hal itu
dipengaruhi oleh film Di Balik Frekuensi atau hal lain?
I : Pada dasarnya sebelum nonton film ini fenomena-fenomena yang
seperti saya jelasin tadi banyak kepentingan-kepentingan dari
pihak media tersebut digunakan sebagai sarananya. Itu udah terjadi
sebelum saya nonton film ini. Dari tahun 2009 juga media-
Universitas Sumatera Utara
media seperti televisi juga digunakan untuk berkampanye
yenga kampanye nya itu mendukung dan pihak-pihak yang
ada di media tersebut ada dalam unsur pihak-pihak yang
dikampanyekan itu. Dan kubu media satu dengan media lain bisa
menjatuhkan. Berartikan kita udah gak tahu ni siapa yang paling
bener. Dan dari jaman sekarang ini terutama dari pemilu-pemilu
tahun 2014 ini, itu udah sangat keliatan. Itu masih satu sisi ya,
pemilu. Kemudian silih bergantinya berita yang diangkat.
Pengalihan isu. Bahkan masyarakat sendiri sudah
mengenal pengalihan isu. Contoh berita di Gaza yang sedang
diangkat kasusnya yang sedang disiarankan oleh media. Yang
saya tahu gak semua yang diutarakan media benar. Banyak
fakta-fakta yang disembunyikan yang mungkin dilebihkan sedikit.
Saat berita di Gaza diangkat, ada kasus baru MH17 meledak, berita
Gaza tenggelam. Berita Gaza yang tadinya ditampilkan video-
video sekarang hanya tinggal berita berjalan, MH17 diangkat.
MH17 habis, pengumuman Presiden. Pengumuman presiden
habis, lebaran. Jadi media jaman sekarang ya saya rasa ngupas
berita itu sedikit2, gak tuntas, jelas tapi gak tuntas. Ketika ada
satu isu, isu yang sebelumnya tenggelam. Naik-tenggelam begitu
seterusnya. Malah mungkin beberapa masyarakat lebih
memilih adakan dari televisi, radio, media elektronik. Mungkin
yang selalu update itu lebih banyak media elektronik.
Mungkin itu lebih banyak siarannya juga daripada media
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Yang diharapkan dari media tv itu menampilkan video-
video, gambar. Malah orang- orang lebih banyak milih media
elektronik itu yang lebih rinci.
17 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di
Balik Frekuensi? I : Kalau menurut saya sendiri dari film ini
sendiri bagian yang pertama, Surya Paloh sebagi pemilik media dari Media Indonesia
digambarkan dalam film ini hanya kebenaran dan ketidakbenaran dalam diri Surya Paloh
sendiri. Hanya sedikit penggambarannya. Yang lebih jelasnya lagi ketika Surya Paloh
diajak diskusi di sekr Nasdem SP digambarkan sosok yang bisa menerima yang
bisa memayungi adik-adiknya. Dan akhirnya diujung film itu kita tahu apa yang dibilang
SP itu berlawanan. Kita bisa simpulkan bahwa SP sendiri acuh, maksudnya gak peduli
sama hal-hal kecil seperti itu gak peduli. Dan di scene-scene sebelumnya dia digambarkan
seperti orang yang berwibawa, membawa restorasi dengan potongan-potongan
pidatonya. Kita tahu gambaran pertama kita dapet dia sosoknya begini. Jadi penonton
dibuat penasaran di ujung ini nanti Sp apa tanggapan dia. Dan begitu scene SP muncul
duduk bersama Luv dan rekan-rekannya. Ada adegan yang penonton kira itu Happy Ending
tapi ternyata di balik itu ternyata bukan. Jadi sebenernya SP sendiri sama dengan politisi2
yang lain kalo diungkap di film itu. Di potongan kedua untuk film Pak Hari
munculnya ARB malah lebih terlihat lebih dalem ya. Soalnya pembuat film berhasil
mewawancarai langsung Pak ARB nya gitu. Yang pak ARB sendiri mengatakan “Oh, dia
bukan korban Lapindo.” Malah mereka mendapat kabar itu langsung dari Pak ARB.
Jadi pendekatan dengan tokoh pemilik medianya lebih baik lagi daripada potongan
film sebelumnya. Malah kalau dilihat Pak ARB ini dari awal yang dia disalahkan,
dituduh, ditengah film dia melihat perlawanannya, dan diujung film dari iklan
Universitas Sumatera Utara
yang dia siarkan, yang iklan lebaran itu kalo gak salahkan. Harus wajib memafkan yang
memanfaatkan sosok Pak Hari tadi gitu. Di ujung film dia malah diagung-agungkan oleh
Pak Hari yang tidak jelas.
18 P : Apakah hal yang pertama kali anda
pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Empati. Empati terhadap sosok Luviana. Empati terhadap mahasiswa-mahasiswa yang
baru lulus yang belum dapat gamabaran dunia pekerjaan dan antipati terhadap sosok Pak
Hari.
19 P : Bagaimana anda menanggapi judul
film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Di Balik Frekuensi yang tadinya membuat
saya penasaran sebenernya apa arti kata yang menjadi judul, apa yang diutarakan film itu.
Saya rasa cukup jelas dapat gambaran- gambaran yang bisa menjelaskan apa arti dari
film tsb. Bahwa frekuensi yang selama ini ternyata memang milik masyarakat Indonesia
sepenuhnya dan merupakan Sumber Daya yang terbatas. Harusnya sebagai kepemilikan
masy Indonesia, mereka berhak mendapat manfaat dari frekuensi2 dari negara mereka
sendiri, yaitu manfaat yang baik. Bukan mendapat yang sebenernya di baliik dari
harapan-harapan masy Ind ini yang digambarkan dalam film ini. Jadi mungkin
kalo kita mengartikan kata per kata, Di Balik itu mengartikan bahwa mungkin ada satu hal
yang tersenyembunyi. Frekuensi sendiri itu tadi sarana yang digunakan media sekarang
baik itu dari online, satelit televisi, dan di ujung film menggambarkan di balik frekuensi
itu malah menjadi satu saran Dont Watch Tell Lie Vision. Itu satu adegan yang benar-benar
jadi suatu kesimpulan dari film itu.
20 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Kebohongan. Kalau terhadap isinya, bagus.
21 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Kalau di film ini, itu menjadi satu informasi yang mungkin masyarakat Ind
sendiri banyak yang tidak tahu hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Mungkin hanya beberapa saja yang mereka tahu, seperti Pak HT pemilik MNC Group, SP
pemilik Metro Tv, Media Indonesia. Dan saya sendiri baru tahu kalo pemilik surat kabar
yang terkenal disini Metro Siantar itu milik Pak Dahlan Iskan. Dan baru tahu juga kalau
satu pemilik media televisi itu seperti baik itu televisi berbayar atau satelit ternyata
menaungi berita2 elektronik juga tabloid juga, seperti pak Jacob pemilik Kompas dia juga
memiliki Kompas TV, Bobo, Angkasa. Dan dalam film ini diutarakan cukup jelas. Dan
saya sendiri baru tahu.
22 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Memperkaya diri melalui perusahaan
media yang mereka miliki
23 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Sedikit
24
P : Bagaimana anda melihat fenomena konglomerasi media massa di Indonesia
saat ini? I : Sepengetahuan saya kalau kita melihat
lebih cermat lagi sangat banyak media-media yang memberitakan berbagai macam berita
yang tidak sepenuhnya berita itu mereka dapat, mereka cari. Ada berita2, informasi,
ulasan2 sebenernya itu dibayar dari pihak yang diberitakan tersebut. Seperti kampanye.
Kampanye itu kan mendatangkan keuntungan terhadap media tersebut. Yang saya tahu satu
kampanye itu bisa satu sampe dua miliyar dan itu hanya beberapa menit aja. Gak nyampe
dari 5 menit video buat kampanyenya di media tersebut. Jadi media sekarang bukan
menyajikan berita, bahkan bisa dikatakan mereka menjual berita. Siapa yang mau
diberitakan dia wajib bayar, siapa yang mau diangkat nama baiknya dia wajib bayar, siapa
yang mau berita negatifnya di blok, dia wajib bayar.
25
P : Apakah anda suka atau tidak terhadap penggambaran konglomerasi media dalam
film Di Balik Frekuensi? I : Suka. Sangat suka. Itu informasi yang
sangat berharga.
Universitas Sumatera Utara
26 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan
pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Setuju.
27 P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?
I : Iya.
28 P : Apakah hal itu
mempengaruhi tanggapan anda sebelumnya?
I : Engga. Malah menambahi sih. Mungkin pola pikir dari temen
saya bisa menjadi tambahan referensi dari pemikiran-
pemikiran saya sebelumnya. Karena banyak hal yang belum
saya tahu juga.
28 P : Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?
I : Kesannya sih film tersebut sederhana. Berusaha menampilkan apa adanya. Itu aja.
29
P : Apakah menurut anda tema yang diusung dalam film ini dapat dipercaya
sepenuhnya? I : Bisa.
30 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara
berpikir anda? I : Sesuai.
31 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Ada. Seperti contohnya ya Pemilu yang baru-baru ini masy Ind bebas memilih mau
dia milih No.1 atau No.2. Dia bebas milihnya. Tapi saya kan punya pilihan sendiri. Dari
berbagai referensi yang saya kumpulan ada banyak media yang memayungi yang bukan
pilihan saya. Sangat banyak. Malah saya bingung, mereka sebenernya berteman sesama
media atau mereka bahasa kasarnya sama bayarannya. Itu pengalaman saya.
32 P : Hal apa yang anda rasakan?
I : Negatif. Malah pilihan yang saya pilih berusaha menyaingi
medai-media yang menjadi lawan dia. Tapi malah menggunakan
Universitas Sumatera Utara
cara yang sama mungkin, kadang cara mereka apa adanya dan
berusaha membela diri mereka sendiri, gitu.
32 P : Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi? I : Televisi udah jadi Tell Lie Vision. Dan
televisi bukan menjadi suatu hiburan yang patut dilihat masy. Televisi hanya berisi
kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. Televisi sekarang bukan
menyajikan apa yang dibutuhkan masyarakat. Malah menyajikan banyak hal-hal yang
banyak tidak berguna kepada masy. Karena akhirnya lama-lama itu menjadi sebuah
kebiasaan menonton itu yang sama sekali hal- hal yang berguna nya sangat sedikit. Bukan
berisi seperti dulu mendidik, bagaimana mendidik dari berbagai tingkatan seperti
anak-anak, anak remaja, orang dewasa. Sekarang malah berubah, bagaimana menjadi
anak-anak menjadi dewasa lebih cepat lagi. Bagaimana mendidik orang dewasa tidak
seperti orang dewasa. Kesimpulannya televisi bukan satu dari bagian media yang bisa
dikatakan sudah tidak berguna lagi kalau untuk meningkatkan kualitas bangsa dan
masyarakat dari negara ini. Malah sebaliknya. Dan sepengetahuan saya, televisi itu adalah
suatu sarana mengubah pola pikir masy ataupun min control dari orang-orang yang
punya rencana yang masy gak tahu. Bagaimana merubah pola pikir masyarakat
sesuai keinginan mereka sendiri. Jadi saya simpulkan televisi bukan pilihan saya lagi.
33 P : Ada atau tidak kritik terhadap film Di
Balik Frekuensi? I : Film ini penggambarannya gantung,
endingnya kurang jelas dan endingnya hanya beberapa gambaran lewat kata-kata yang
ditampilkan di ujung film. Seperti Luviana yang pada akhirnya itu kaya sebuah ketikan
gitu “Luviana sudah 6 bulan gajinya gak di bayar. Dia ngelakukan keberatan di pihak
kepolisian dan Pak Harinya gak jelas.” Dan endingnya gitu gak menggambarkan kasusnya
yang gimana gitu. Atau saya yang telat nonton mungkin. Itu aja deh kritiknya.
Universitas Sumatera Utara
Informan V
Nama : MM
TTL : Takengon, 26 April 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Prof. A Sofyan No. 2B, Medan
Usia : 22 Tahun
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Suku : Aceh
Agama : Islam
Hobi : Membaca, Jalan-jalan, Nonton
Pendidikan : SMA
Profesi : Mahasiswi Ilmu Sejarah FIB USU
Film Favorit : The Pursuit Of Happiness
Film Dokumenter Favorit : -
Pelaksanaan wawancara : Rabu, 06 Agustus 2014. 08:57 am. Kos Informan.
P : Peneliti
I : Informan
No ISI WAWANCARA REFLEKSI
1 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Kurang lebih enam bulan
2 P : Kapan anda pertama kali menonton
film Di Balik Frekuensi? I : Bulan januari 2014, tapi kurang tahu
tepatnya tanggal berapa
3 P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Katanya bagus. Tertantang gitu mau
nonton yaudah ikut mau nonton. Awalnya Cuma pengen tahu aja. Ikut-ikutan. Karena
bosan jadi ikut aja.
4
P : Dari mana anda tahu tentang film ini?
I : Dari temen se-kos. Anak USU juga sih. Gak tahu juga ya dia
dapet adrimana katanya dari temennya juga.
5 Kalau dari judulnya Di Balik Frekuensi
awalnya saya pikir film ini berita, media, film-film biasa. Itu aja sih. Gak seperti yang
saya bayangkan setelah menotnon.
6 Bagaimana si Luviana bisa hidup di Metro
TV. 7
P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?
Universitas Sumatera Utara
I : Yang pertama untuk si Luviananya. Yang kedua biar Metro TV gak gimana ya
bilangnya hanya untuk sekedar berita-berita yang dimuat aja, jadi biar gak hanya sekedar
pencitraan terhadap beberapa media.
8 P : Bagaimana gambarannya
terhadap media yang lain selain Metro TV ?
I : Kalo dibandingkan dengan film ini pasti ada media lain. Tapi
menurut saya sama aja ya kan cuma bedanya tingkat
pencitraannya mungkin gak lebih banyak tapi entah lah ya mungkin
di film ini metro tv nya lebih difokuskan jadi tv-tv yang lain
saya kira gak keliatan.
9 P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi? I : Bagus. Tapi gak tahu juga ya pembenaran
dari cerita Luviana itu sendiri gimna. Entah juga ataupun entah itupun permintaan atau
kejadian yang sebenernya. Tapi ya kita gak lihat dari sebelah mata juga ya kan.
10 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Bagus ya. Lebih mudah di mengerti. Jadi
kayak orang awam seperti saya yang bukan atau di komunikasi kayaknya, mudahlah
menangkap dialog-dialog mereka.
11 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Ada yang netral. Ada yang emosionalnya
bagus. Ada yang engga. Tapi ya emang giitulah ya kan aktor pasti ada yang emosi ada
yang engga. Kalo aktor utama itu Luviana kan, kalo menurut saya mungkin dia sudah
terbiasa dengan keadaan seperti itu jadi dia lebih emosionalnya lebih terjaga gitu ya.
12 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Kalo menurut saya penggambaran terhadap Luviana. Digambarkan dalam film ini
Luviana sendiri itu kesannya dialah satu- satunya orang yang tertindas. Kalo dari sisi
SP nya dia satu-satunya orang yang paling jahat, gituloh kalo di film ini.
Universitas Sumatera Utara
13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Kalo menurut saya, media itu gak boleh memihak. Jadi seharusnya, media itu apa
yang nampak itu yang diberitakan seharusnya begitu. Terus dari pekerjanya sendiri bagus
sih kalo Luviana itu sendiri ya. Kalo dari medianya itu kita gak bisa ini kita gak tau
manajmennya itu gimana.
14 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di
Balik Frekuensi? I : Kalo pemilik media itu sendiri ada
keuntungan. Pertama, media itu sendiri lebih sesuai dengan apa yang di maui si pemilik
media. Karena pastinya kan pemilik media itulah apa yang mau dia inginkan, kan gitu.
Tapi kerugiannya juga ada kalo ini sendiri, karenakan apa yang di mau si pemilik itu kan
pasti yang disampaikan dalam media itu sendiri.
15 P : Menurut anda bagaimana
gambaran gelaja kepemilikan media dalam film Di Balik
Frekuensi? Kalo gejala-gejalanya, media
sekarang kalo yang saya tahu ya seharusnya pemilik media itu gak
boleh bukan gak boleh sih. Boleh masuk partai tapi gak boleh
memihak satu partainya gitu ya kalo meurut saya. Tapi gambaran2
dari pemilik media saat ini hampir rata-rata semua mengikuti partai2
gitu. Jadi pemberitaan yang ada di media tersebut ya partai2
merekalah. Jadi menurut saya gak efektif juga kalo pemilik media itu
gitu.
16
P : Apakah hal yang pertama kali anda pikirkan ketika selesai menonton film Di
Balik Frekuensi? I : Oh, ternyata metro tv itu pencitrananya SP
itu jahat Luviana tertindas.
17 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
judul film Di Balik Frekuensi setelah
Universitas Sumatera Utara
menonton? I : Ternyata kata-kata Di Balik Frekuensi itu
banyak makna. Saya kira hanya staisun televisi gitu aja. Maknanya bagus sih, sesuai
judul sama filmnya.
18 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Keren
19 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?
Bahaya ya kan. Ya boleh-boleh aja sih.
20 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Yang saya tangkap dari film itu
konglomerasi media itu satu orang memiliki banyak media.
21 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Iya
22
P : Bagaimana menurut anda cara film ini menampilkannya?
I : Ya salah satunya dari ada ditampilkan disitu media-media.
Misalnya satu orang dengan banyak media. Soalnya di filmnya
saya pernah lihat ada 12 pemilik yang memeiliki berbbagai media
23
P : Bagaimana anda melihat fenomena konglomerasi media massa di Indonesia
saat ini? I : Kalo menurut saya fenomena saat ini
semakin banyak. Media tersebut satu orang dengan memiliki banyak media, bahaya.
Namun saat ini media-media yang kecil bisa dibeli oleh orang yang memiliki media yang
sudah besar.
24 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Kalo menurut saya, kalo sekilas suka sih. Lebih cepat dimengerti.
25 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan
pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Setuju. Karena apa yang disampaikan film tersebut sesuai dengan yang saya bilang tadi.
Universitas Sumatera Utara
Bahwasannya media tersebut tidak boleh memihak
26 P : Apakah
anda berdiskusi
dengan rekan setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi
media? I : Iya. Saya berdiskusi.
27 P : Apakah hal itu
mempengaruhi tanggapan anda sebelumnya?
I : Ya. Berubah. Salahsatunya awalnya saya percaya dengan
media-media yang ditampilkan yang ada di tv saat ini. Setelah
menonton film Di Balik Frekuensi ternyata kita sebagai penonton
harus kritis terhadap media-media yang ditampilkan.
28 P : Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?
I : Bagus ya. Menarik. Karena kita seorang penonton atau saya sebagai orang awam
ternyata di dalam dunia media itu sendiri ini di luar sepengetahuan. Pengetahuan baru juga
untuk kita. Jadi kesannya menarik bagus. Pengetahuan tambahan.
29 P : Apakah menurut anda tema yang
diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?
I : Gak sih. Tapi kita kan bisa memilah mana yang bisa diiambil mana yang engga.
P : Bagian mana yang tidak anda percaya?
I : Bagian yang gak bisa dipercaya salah satunya itu yang orang yang
berjalan kaki dari surabaya menuju jakarta karena
kejelasannya gak tahu keberadannya gimana.
30 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Engga.
31 P : Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi? I : Pertama, dari Metro TV nya harusnya
menjaga hak-hak pekerjanya, gitukan. Itu dari
Universitas Sumatera Utara
Mtro TV terhadap buruh. Kalo dari kita sebagai penonton media sebaiknya kita kritis
terhadap apa yang ditampilkan. Ternyata setelah kita nonton banyak juga media
pesanan atau titipan karena media bisa dibeli katanya disitu.
32
P : Ada atau tidak kritik terhadap film Di Balik Frekuensi?
I : Engga ada sih. Tapi lebih baik disebarkan ke banyak pihak. Jadi semua orang tahu
media itu gak semuanya baik, gak semuanya benar, gitu.
33 P : Menurut anda bagaimana isi film Di
Balik Frekuensi I : Bagus dan cukup jelas untuk menceritakan
Luviana dalam bidang pekerjaannya. Karena fokusnya tentang Luviana daripada tentang
medianya
34 P : Menurut anda bagaimana campur
tangan pemilik media terhadap konten media?
I : Menurutku di satu sisi dia menampilkan sisi yang baik untuk dia sendiri. Kalo kaya
gitu merugikan sebenarnya. Masyarakat gak tahu secara umum hanya tok itu saja.
Universitas Sumatera Utara
Informan VI Nama
: RS TTL
: Medan, 21 Januari 1996 Jenis Kelamin
: Perempuan Alamat
: Jl. Makmur Gg. Pelita No.69 B, Tembung Usia
: 18 Tahun Anak ke
: 2 dari 3 bersaudara Suku
: Minang Agama
: Islam Hobi
: Baca, Nulis, Nonton Fillm Pendidikan
: SMA Profesi
: Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USU Film Favorit
: Sang Pemimpi, Harry Potter Film Dokumenter Favorit
: Anak Jalanan Pelaksanaan wawancara
: Rabu, 06 Agustus 2014. 11:48 am. Kos Peneliti. P
: Peneliti I
: Informan
No ISI WAWANCARA REFLEKSI
1 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi? I : Dari pertama kali nonton waktu dikasih
Bang Awik kemarin. Tahun ini juga. Bulan februari mungkin.
2 P : Darimana anda tahu film Di
Balik Frekuensi? I : Pokoknya ingetnya itu, Salwa
itu datang ke Pijar Pers Mahasiswa Ilmu Komunikasi
FISIP USU itu hari Sabtu, baru pulang dari FIB dan seingatku itu
bulan Februari diajak nonton bareng sama temen organisasi.
3 P : Apa yang anda bayangkan tentang film
DBF sebelum menonton? I : Di Balik Frekuensi, ah paling ini film
tentang apa sih namanya film-film Jurnalistik juga tapi yang lebih cenderung ke apa
istilahnya namanya asal-muasal sejarah gitu. Kayak oh frekuensi ternyata itu kaya gini
padahal rupanya gak kayak gitu.
4 P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Ya, karena mau bedah film itu aja. Setelah
nonton sekitar 5-10 menit gitu “ih keren nih film ini, kayaknya gue harus nonton film ini.
5 P : Menurut anda apa tema yang disajikan
Universitas Sumatera Utara
dalam film Di Balik Frekuensi? I : Film itu bercerita tentang apa ya..
Istilahnya kalo dalam komunikasi itu framing mengenai sebuah stasiun TV.
6 P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi? I : Mungkin mau si sutrradara ini ya. Dia mau
lebih kayak mana ya mau menggambarkan bahwa inilah penampakn frekuensi stasiun TV
kita yang sekarang itu. Istilahnya ya semua berdasarkan materi. Ada kepentingan di balik
itu semua.
7 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
isi dari film Di Balik Frekuensi? I : Isinya bagus, pertama. Kalo menurut saya
itu untuk anak komunikasi terutama ya wajib kayaknya nonton film ini. Gini, karena
memang nanti saat kita terjun ke masyarakat ya ini nanti yang kita hadapin.
8 P : Bagaimana tanggapan anda tentang
dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Mungkin karena film dokumenter jadi gak
ada script atau gimana jadi yaa alami, natural.
9
P : Bagaimana tanggapan anda tentang adegan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Kalo adegannya, sebenernya saya mikir “ini bener gak sih, film dokumenter kok
kayak dibuat-buat gitu? Dan endingnya kok kayak gini. Wah kekmana gitu. Jangan-jangan
ini dibuat-buat gitu. Rupanya ya memang kaya gitulah. Adegannya ya bagus sih.
10
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik
Frekuensi? I : Kalau untuk si Luviana itu salut sih sama
ketegaran dia, gitu kan. Trus sama dia itu kayak bener-bener mengangkat hak-hak kita
lah ya, hak-hak wartawan gitu. Tapi ya endingnya agak kecewa gitu, dia kemana?
Kok gak nampak, gitu? Terus kalo bapak Hari Suwandi itu ya kecewa gitu karena yang
tadinya dia udah menggebu-gebu kepengen bener-bener mengangkat kasus lumpur
lampoindo itu kok jadi berubah, jadi dia yang minta maaf gitu. Dia yang capek-capek jalan
sekian kilometer malah akhirnya kaya gini.
11 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di
Universitas Sumatera Utara
Balik Frekuensi? I : Pesannya ya pasti sebagai apa ya. Nanti
kalopun saat nanti kita sukses atau saat kita punya stasiun TV gitu kek orang-orang
seperti Luviana ini kita harus jagalah, istilahnya harus ada organisasi untuk
wartawan. Terus kalo untuk bapak itu pesannya sbenernya kita gak mendapatkan
pesan yan positif sih dari itu, cuman kita ambil aja yan positifnya bahwa ya kalo
memangg benar ya perjuangkan yang benar itu. Jangan hanya gara-gara materi diabaikan.
12 P : Apakah hal yang pertama kali anda
pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Aduh gilak nih tv Indonesia, gitu.
13 P : Bagaimana anda menanggapi judul
film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Awalnya nonton kirain asal-muasal gitu
kan, frekuensi itu kekmana. Rupanya setelah menonton Di Balik Frekuensi itu, mereka si
sutradara ini ngambil angle yang berbeda gitu, sudut pandang yang berbeda. Dari
misalnya Di Balik Frekuensi adalah sebuah film yang, apa ya dibilang ya kekmana ya
bilangnya penampakan juga engga. Kaya misalnya inilah wajah frekuensi di Indonesia.
Channel2 tv di Indonesia
14 P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Gak percaya sama media.
15 P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media? I : Konglomerasi media adalah memiliki lebih
dari satu channel media.
16 P : Apakah menurut anda film ini
berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?
I : Bisa. Bisa jadi.
17
P :Bagaimana menurut anda cara film ini menampilkannya?
I : Karena film ini dokumenter jadi dapetlah pesannya. Inikan
bukan untuk materi. Dokumenterr ini bener-bener untuk
menyampaikan ini pesan, inilah kebenarannya. Jadi saya rasa
inilah cara penyampainnya seperti
Universitas Sumatera Utara
inilah memang ya kalo membuat film yang istilahnya yang kaya
mengangkat konglomerasi media ini ya film dokumenter yang tepat
gitu. Kalo film-film bioskop kayanya engga deh.
18
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap gambaran campur tangan pemilik media
terhadap konten media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Menurut saya sih, mereka ini ya memantau langsung tapi tidak bekerja. Istilahnya hanya
memerintah, jadi melihat, memantau kalo kira-kira seperti udah mulai istilahnya
menjatuhkan mereka. Mereka langsung melakukan tindak tegas untuk si yang bisa
merusak nama baik mereka.
19 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Disini ya nampak kali lah kalo ya bagi siapa yang punya duit ya itu yang bisa
mengatur semuanya.
20 P : Bagaimana anda melihat fenomena
konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?
I : Udah mulai marak kak ya. Dulu kan cuman trans sekarang sudah menjamur lagi ARB
dengan Tv One dan ANTV nya. Sekarang udah mulai lagi Hary Tanoe dengan Global,
MNC, dan RCTI. Udah mulai marak ya. Jadi menurut saya sih kalo ini dibiarkan terus-
menerus ya gak bisa mungkiri nanti kalo misalnya TV di Indonesia nanti banyak tapi
pemiliknya dia-dia juga. Jadi pemilik asing juga mulai masuk terakhir gitu jadinya.
Sudah mulai menjamur ya, dan menurut salwa. Selagi ia
menyuguhkan informasi dengan benar. Tanpa mendahulukan
kepentingan golongan sih sah-sah aja. Yg masalah adalah sekarang
ini banyak sekali konglomerasi media yg menyuguhkan bertia
demi menjaga nama baik golongan tertentu. Ini yang salwa
khawatirkan.
21 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Sebenernya sih engga. Karena apa ya kalau dibilang konglomerasi media itu bisa
mengatur semua ya nampak sekali Indonesia itu gak tegas sama sistem jurnalis yang
sekarang.
22 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan
pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Setuju sih. Cara penyampaiannya enak,
Universitas Sumatera Utara
gitu. 23
P : Apakah anda
berdiskusi dengan rekan setelah menonton film Di
Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?
I : Ada kemarin. Sama temen-temen di PIJAR
24 P : Apakah hal itu
mempengaruhi tanggapan anda sebelumnya?
I : Gak terlalu banyak mempengaruhi sih. Cuman ya kan
kita diskusi itu ngambil satu kesimpulan jadi yang saya ambil
waktu diskusi itu ya inilah wujud media di indonesia sekarang.
Semua itu menggunakan materi, semua berlandaskan materi. Gak
ada istilahnya yang cari berita itu bener-bener mengangkat fakta.
Banyak wartawan amplop. Menyedihkanlah.
25
P : Bagaimana kesan yang anda terima terhadap keseluruhan isi film setelah
menonton? I : Sebenernya gerem sih. Tapi kesannya itu
lagi bagus sih untuk para calon wartawan independen ya ini yang harus ditonton
26 P : Apakah menurut anda tema yang
diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?
I : Saya sih orangnya bukan tipe orang yang mengambil mentah-mentah gitu. Dipilah-
pilah lagi, Tapi kalo dari segi penyampaiannya bisa diterima sih
27 P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media massa?
I : Kayaknya sih engga
28 P : Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi? I : Di instansi manapun kita bekerja sebagai
wartawan atau jurnalis gitu ya harus menyampaikan berita yang sebenernya gitu
29 P : Ada atau tidak kritik terhadap film Di
Balik Frekuensi? I : Terlalu too much. Terlalu banyak yang
diulang-ulang. Suaranya kurang juga.
Universitas Sumatera Utara
BIOGRAFI PENELITI NAMA
: TRIANSARI PRAHARA TEMPATTANGGAL LAHIR
: PEMATANGSIANTAR 20 JUNI 1993 JENIS KELAMIN
: PEREMPUAN AGAMA
: ISLAM ALAMAT
: JL.MEDAN KM.7 P.SIANTAR ORANGTUA
: AMRAN S.SOS SITI HAWIYAH
JUMLAH SAUDARA : 3 ORANG, YAITU:
• NOVITHA ERVINA
• SARI AYU PRASTIWI
• MUHAMMAD ORIENT
SANTOSO
ALAMAT ORANGTUA : JL.MEDAN KM.7 P.SIANTAR
PENDIDIKAN : SD NEGERI 124387
1998-2004 SMP NEGERI 4 P.SIANTAR 2004-2007
SMA NEGERI 4 P.SIANTAR 2007-2010
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR REFERENSI •
Sumber Buku
Ardianto, dan Erdinaya 2005. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, cetakan kedua. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Ardianto, Elvinaro Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Azwar, Saifudin. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baran, Stanley J Dennis K.Davis 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar,
Pergolakan,dan Masa Depan. Jakarta: Salemba Humanika. Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods. New York: Oxford University
Press. Bungin, Burhan 2008, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Croteau, David William Hoynes 2000. MediaSociety: Industries Images, and
Audiences.USA: Sage.
Dimmick, J; Rohthenbuhle, E. 1984. The Theory of the Niche: Quantifying, Competion Among, Media Industries, Journal of Communication 34
Djuarsa, Sasa, dkk 2007.Teori Komunikasi Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka.
Durham, M. G., D. M. Kellner. Eds.. 2002. Media and Cultural Studies : Keyworks. Massachusetts: Blackwell Publisher.
Effendy, Onong Uchana. 2006. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ferguson, Marjorie. Peter Goldings. 1997. Cultural Studies in Question. London: Sage
Fiske, J. 2007. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hennink, M.Inge H Ajay B 2011. Qualitative Research Methods. London:
Sage Jensen, Klaus Bruhn Rosengen,Karl Erik. 1995.“Five Tradition in Search of
Audience”.Dalam Oliver Boyd-Barret Chris Newbold ed.. Approaches to Media A Reader.New York:Oxford University Press Inc.
Jensen, Klaus Bruhn, “ News as Social Resources,” Dalam European Journal of Communication 3. 3 : 275-301, 1988
Kriyantono, Rachmat 2010.Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis RisetMedia, Public Relations, Advertising, Komunikasi
Universitas Sumatera Utara
Organisasi, KomunikasiPemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media. Pengantar Konsep dan Aplikasi. Bogor: Ghalia Indonesia
Littlejohn, Stephen W 1996, Theories of Human Communication 5th ed., USA: Wadsworth Publishing Company
1999. Theories of Human Communication. London: WadsworthPublishing Company.
Littlejohn, Stephen W. Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. London: Sage
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publication Moleong, Lexy J 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosadakarya. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya Morissan, Andy Corry Wardhany Farid Hamid. 2010. Teori Komunikasi
Massa. Bogor: Ghalia Indonesia Morrisan Andy Corry Wardhany. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia
Indonesia. Neuman, W. Lawrence 1997, Social Researh Methods Qualitative and
Quantitative Approaches 3rd ed., USA: Allyn and Bacon P, Priasmoro, Tampubolon, H.W, K, Soemargono 1994, Konglomerasi
Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa Suatu Tanggung Jawab Sosial, Jakarta: Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Poerwandari, E Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta: FP Universitas Indonesia. Ramli, Ahmad Faturrahman 2005.Film Independen Dalam Perspektif Hukum
Perfilman Sekaran, Uma. 2000. Research Methods for Business. Singapore: John-Wiley
Sons Inc. Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Vivian, John 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Werner J.Severin James W. Tankard, Jr. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Ke-5. Penerjemah:
Sugeng Hariyanto. Jakarta: Kencana
Universitas Sumatera Utara
West, Richard Lynn H Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Edisi 3 : Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
West, Richard Lynn H.Turner 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.Maria Natalia Damayanti Maer. Penerjemah. Jakarta: Salemba
Humanika.
•
Sumber Ilmiah
Abdullah, Najwa 2012 Kajian Resepsi Terhadap Ideologi Fun Fearless Female Dalam Majalah Cosmopolitan. Depok: Universitas Indonesia
Adi, Tri Nugroho. 2008Identitas Kultural Dan Televisi Lokal Studi Tentang Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural dalam Tayangan
Banyumas TV. Thesis Magister Pascasrjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak diterbitkan.
Hadi, Ido Prijana. 2009. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis - Jurnal Ilmiah SCRIPTURA. Surabaya: Universitas Kristen
Petra.
Narottama, Dimas D. 2008. Analisis Resepsi Terhadap Tayangan Republik Mimpi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Ulfa, Dwi Mahliza. 2013 Analisis Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film. Medan: Universitas Sumatera Utara.
•
Sumber Situs Internet
www.komunitasfilm.org diakses pada tanggal 28 Januari 2014.
http:behindthefrequency.comhomesynopsis diakses pada tanggal 29 Januari 2014.
http:www.satudunia.netsystemfilesKonglomerasi20Media20di20Indone siaSATUDUNIA-ITEM.pdf
diakses pada tanggal 29 januari 2014.
www.ffd.or.id201312peraih-penghargaan-kompetisi-film.html?m=1. diakses pada tanggal 29 januari 2014.
http:www.users.aber.ac.uk diakses pada tanggal 02 februari 2014
Universitas Sumatera Utara
http:www.ciptawikimwedia.orgdibalikfrekuensi diakses pada tanggal 20 Agustus 2014
http:coffilosofia.wordpress.com20130202sejarah-film-dokumenter-dan- implikasinya-pada-perkembangan-film-serta-festival-dokumenter-di-indonesia
diakses pada tanggal 20 April 2014 •
Sumber Artikel
Surat kabar Sinar Indonesia Baru, 19 Desember 2013 Hal.16
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Soehartono 2008: 9 dalam bukunya Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial
Lainnyamenyebutkan bahwa metodologi penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Metode
penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data Ulfa, 2012: 43.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Dimana Taylor dan Bogdan 1984 mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau gejala yang diamati Vardiansyah,
2008: 69. Secara deskriptif, metodologi kualitatif mengacu pada strategi penelitian, seperti observasi partisipan, wawancara medalam, partisipasi total
kedalam aktifitas yang mereka selidiki, kerja lapangan dan sebagainya, yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi tangan pertama mengenai masalah
sosial empiris yang hendak dipecahkan. Metodologi kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen
keterangan yang analitis, konsepsual, dan kategoris dari data itu sendiri, dan bukannya dari teknik-teknik yang dikonsepsikan sebelumnya., tersusun secara
kaku, dan dikuantifikasi secara tinggi yang memasukkan saja dunia sosial empiris kedalam defenisi operasional yang telah disusun peneliti Filstead, 1970: 6
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis resepsi, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kesadaran atau subjek dalam memahami objek dan
peristiwa dengan pengalaman individu. Melalui analisis resepsi peneliti ingin mengetahui interpretasi yang dihasilkan oleh subjek. Dimana, inti komunikasi
adalah persepsi dan inti persepsi adalah interpretasi Handout Komunikasi Organisasi. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak dapat memahami
sesuatu secara berbeda. Serta faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut hingga konsekuensi sosial yang muncul.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini peneliti mencoba mengetahui interpretasi penonton terhadap konglomerasi media dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi.
3.2 Objek Penelitian
Azwar Saifudin 2009: 35 dalam Metode Penelitianmengartikan objek penelitian adalah sifat keadaan dari suatu benda, orang atau yang menjadi pusat
perhatian dan sasaran penelitian. Sifat keadaan yang dimaksud dapat berupa kuantitas dan kualitas yang dapatpula berupa perilaku, kegiatan, pendapat,
pandangan, penilaian, sikap pro-kontra, simpati-antipati, keadaan batin, dan juga
berupa proses Ulfa, 2012: 43.
Adapun objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah interpretasi konglomerasi media dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi. Di Balik
Frekuensi merupakan film dokumenter yang disutradarai oleh Ucu Agustin yang
diproduksi pada tahun 2012. Dirilis pertama kali pada hari Kamis, 24 Januari 2013 pukul 19.00 WIB, di Blitz Megaplex Grand Indonesia - Jakarta. Secara
keseluruhan film ini mencoba menyajikan kepada penonton mengenai arti penting media bagi masyarakat, serta gejala konglomerasi yang mulai
meresahkan konsumen media televisi.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu yang diteliti baik orang, benda ataupun lembaga organisasi. Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan hal yang
sangat menentukan kesimpulan hasil penelitian. Di dalam subjek penelitian inilah terdapat objek penelitianAzwar, 2009: 35. Dalam penelitian kualitatif subjek
penelitian disebut juga informan.Seorang informan atau peran kunci dalam penelitian lapangan adalah orang yang berhubungan erat dengan peneliti
lapangan, orang kepercayaan yang menjadi teman diskusi peneliti lapangan. Informan yang ideal punya empat karakteristik:
1. Seorang anggota yang benar-benar familiar dengan budaya dan peka
dalam peristiwa yang terjadi menjadikannya informan yang baik. Dia hidup dan bernafas seiring dengan budaya dan erat dengan rutinitas dalam
budaya tersebut tanpa perlu bertanya atau berfikir tentangnya. Individu
Universitas Sumatera Utara
yang punya bertahun pengalaman intim dalam budaya itu, mereka bukan pemula.
2. Seorang anggota yang sering terlibat dalam lapangan menjadikannya
informan yang baik. Mantan anggota yang punya refleksi pada lapangan bisa memberikan pandangan yang berguna, tapi semakin lama mereka jauh
dari keterlibatan langsung, semakin mungkin mereka telah merekonstruksi ulang ingatannya.
3. Seorang anggota yang bisa menghabiskan waktu dengan peneliti
menjadikannya informan yang lebih baik. Mewawancarai anggota lain mungkin memakan waktu berjam-jam, dan beberapa anggota tidak bebas
untuk mengikuti wawancara yang luas. 4.
Anggota non-analitis menjadikannya informan yang lebih baik. Seorang informan non-analitis familiar dengan penggunaan teori dan kebiasaan
sehari-hari rakyat. Inilah perbedaannya dengan anggota analitis, yang menganalisis keadaan di awal, menggunakan kategori-kategori dari media
dan pendidikan. Bahkan anggota dengan latar belakang pendidikan ilmu sosial bisa belajar untuk merespon cara-cara non-analitis, tapi hanya jika
mereka mengesampingkan pendidikan mereka dan menggunakan perspektif anggotanya.
Seorang peneliti lapangan mungkin mewawancarai beberapa tipe informan. Perbedaan tipe informan memberikan perspektif yang berguna
termasuk dari mereka yang pemula dan pemain-lama, orang-orang yang berada di pusat peristiwa dan aktifitas, orang-orang yang kerap berganti status lewat
promosi and mereka yang statis, orang-orang frustasi atau yang sedang membutuhkan dan orang-orang yang bahagia dan aman, pemimpin bertanggung
jawab dan anggota mengikuti. Seorang peneliti lapangan mengharapkan pesan yang bercampur ketika dia mewawancarai informan yang banyak Neuman, 1997:
374-375. Adapun teknik pemilihan informan menggunakan non-probability
sampling dengan tipe purposive atau judgemental sampling. Teknik pengambilan sampel yang lebih mendasar daripada alasan atau pertimbangan-pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
tertentu sesuai dengan tujuan penelitian dan merupakan teknik pengambilan sampel yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif Pawito, 2007.
Informan dalam penelitian ini adalah penonton yang sudah menonton film Di Balik Frekuensi dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Usia diatas 17 tahun,
2. Jenis kelamin laki-lakiperempuan,
3. Pendidikan minimal SMASarjana,
4. Pekerjaan misalnya: pelajar mahasiwa dosen pedagang wartawan,
pegawai negeri atau swasta ibu rumah tangga dan sebagainya, 5.
Frekuensi menonton film Di Balik Frekuensi minimal 1 kali. Berdasarkan tingkat pendidikannya, peneliti memilih mahasiswa maupun
yang sudah bergelar sarjana. Hal ini disebabkan melihat segmentasi film kepada para khalayak yang sadar maupun tidak sadar media. Selain itu karena tema cerita
dalam film Di Balik Frekuensi merupakan tema yang cukup berani terlebih dipaparkan dengan visualisasi yang menarik. Maka peneliti ingin melihat
bagaimana para informan meng-interpretasikan wacana konglomerasi media yang digambarkan dalam film tersebut. Penelitian ini tidak dibatasi berdasarkan
referensi etnografis para informan, karena ingin melihat pemaknaan yang berbeda-beda dari tiap informan. Sedangkan lokasi penelitiannya adalah di Kota
Medan.
3.4 Kerangka Analisis
Penelitian kualititatif ini didesain dengan menggunakan analisis resepsi. Pendekatan analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens aktif
meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, meresepsi, atau membuat kesimpulan. Dalam penelitian analisis
resepsi ini, peneliti menggunakan model encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall pada tahun 1973 Durham Kellner, 2002: 166. Objek dari
model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.
Melalui model ini dapat diketahui bahwa struktur makna satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode encoding-decoding kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara decoderreceiver dan encoderproducer. Derajat
asimetri disini adalah derajat pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi Durham Kellner, 2002:173
Gambar 3.1
Sumber: users.aber.ac.uk
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan tujuan agar memperoleh data yang relevan, artinya data berkaitan langsung dengan masalah
yang diteliti dan mutakhir, artinya data yang diperoleh masih hangat dibicarakan dan diusahakan dari orang pertama Kriyantono, 2010: 94.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Penelitian Lapangan Field Research
a. Observasi Pengamatan
Observasi disini diartikan sebagai kegiatan mengamatai secara langsung -tanpa mediator- sesuatu objek untuk melihat dengan dekat
kegiatan yang dilakukan objek tersebut. Buford Junker Patton,
Universitas Sumatera Utara
1980:113-132 dengan tepat memberi gambaran tentang peranan peneliti sebagai pengamat sebagai berikut: aBerperanserta secara
lengkap, b Pemeranserta sebagai pengamat, c Pengamat sebagai pemeranserta, d Pengamat Penuh. Berdasarkan keterangan diatas,
untuk itu peneliti memilih peranan pengamatan pada poin b yakni, Pemeran serta sebagai pengamat artinya, peranan peneliti sebagai
pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta tetapi masih melakukan fungsi pengamatan. Peneliti dalam al ini tidak
melebur dalam arti yang sesungguhnya Moleong, 2000:127-128. Atau dengan kata lain peneliti dikatakan sebagai Observer
Nonpartisipan, yang artinya peneliti hanya bertindak mengobservasi tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti yang dilakukan
kelompok subjek penelitian, baik kehadirannya diketahui atau tidak Kriyantono, 2010:112
b. Wawancara Mendalam Indepth Interview
Wawancara mendalam adalah suatu cara menggumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar
mendapatkan data lengkap dan mendalam Kriyantono, 2010:102. Adapun standar wawancara yang digunakan adalah tipe open-ended.
Wawancara tipe ini sangat membutuhkan kecermatan dalam penyusunan pertanyaan baik dalam kaitan susunan item, bagian-
bagian yang dicakup maupun dalam pilihan kata atau kalimat. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara tipe ini bersifat lebih
terstruktur dan mendetail. Hal tersebut dikarenakan bahwa peneliti memang bermaksud untuk memperoleh kepastian kepada setiap
subjek informan, bahwa telah disampaikan pertanyaan-pertanyaan yang sama, dengan cara yang sama, termasuk standar yang digunakan
Pawito, 2007: 134 2.
Studi kepustakaan Library Research Selanjutnya pengumpulan data dilakukan dengan mendapatkan data
melalui studi kepustakaan, baik berupa buku, majalah, dokumen, laporan, maupun catatan dan sumber lainnya.
Universitas Sumatera Utara
3.6 Keabsahan Data
Keabsahan data memiliki peranan penting dalam sebuah penelitian. Hal ini disebabkan keabsahan data merupakan konsep untuk menguji
apakah data yang diperoleh untuk melengkapai penelitian sudah memenuhi syarat yakni, sahih valid dan bisa diandalkan reliabilitas.
Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan yang tepat. Moleong mengemukakan empat kriteria yang diperlukan
dalam uji keabsahan data Moleong, 2000:173, yakni sebagai berikut: 1.
Derajat Kepercayaan Credibility Berguna untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat
kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Serta mempertunjukkan derajat hasil kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan
pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedanga diteliti. Untuk menguji keabsahan data dengan kriteria Derajat Kepercayaan,
Lexy J.Moleong menggunakan tujuh teknik pemeriksaan, yakni: 1 Perpanjangan keikutsertaan, 2 Ketekunan pengamatan, 3
Triangulasi, 4 Pengecekan Sejawat, 5 Kecukupan referensial, 6 Kajian kasus negatif, 7 Pengecekan anggota. Dalam penelitian ini,
peneliti hanya menggunakan tiga teknik saja, yakni: a.
Meningkatkan Ketekunan Pengamatan Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa
akan dapat direkam secara pasti dan sistematik. b.
Triangulasi Triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dan teknik. Triangulasi sumber untuk menguji keabsahan data yang telah diperoleh kepada beberapa sumber. Triangulasi
teknik untuk menguji kredibilitas data dengan mengecek ulang kepada sumber namun dengan teknik yang berbeda.
c. Pemeriksaan Sejawat
Hal ini dimaksudkan dengan melakukan diskusi dengan dosen dan teman sejawat untuk membicarakan proses dan hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dari hasil diskusi diharapkan dapat memperoleh saran dan kritik guna membangun keseluruhan isi yang mungkin masih
butuh banyak perbaikan, sehingga peneliti bisa lebih baik lgi dalam mengambil tindakan selanjutnya.
2. Keteralihan Transferability
Teknik ini bergantung pada kesamaan konteks pengirim dan penerima. Dengan kata lain, peneliti harus membuat laporan secara rinci, teliti,
jelas, dan sistematis agar hasil penelitian bisa dipahami orang lain. Untuk mencapai tujuan tersebut teknik ini secara terbuka untuk
mendorong peneliti melakukan verifikasi terhadap data yang diperoleh. Dan selanjutnya dapat diaplikasikan di tempat lain.
3. Kebergantungan Dependability
Pada kriteria ini, pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan melakukan audit atau pemeriksaan terhadap keseluruhan proses
penelitian. Audit dapat dimanfaatkan untuk memeriksa kebergantungan dan kepastian data. Dalam hal ini, peneliti melakukan
sendiri proses penelitian di lapangan untuk mendapatkan data. 4.
Kepastian Confirmability Dalam proses uji kepastian, pemeriksaan dilakukan dengan
memastikan apakah hasil temuan itu benar-benar berasal dari data. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hal yang perlu dilakukan peneliti
adalah menguji hasil penelitian terhadap proses yang dilakukan.
3.7 Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model coding.Coding adalah proses yang melibatkan pelabelan atau mengindeks semua
data menggunakan kode yang tercantum dalam codebook. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk menggunakan kode dalam mencari data untuk
mengidentifikasi semua segmen teks dimana kode tertentu disebutkan, sehingga analisis data dapat difokuskan pada segmen tertentu Hennink dkk, 2001.
Adapun coding dilakukan untuk mengorganisasikan dan mensistemasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran
Universitas Sumatera Utara
tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian pada gilirannya peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkan Poerwandari, 2005:150.
Menurut Straus dan Corbin, ada tiga tahapan coding dalam analisis data, yaitu:
1. Open Coding adalah proses mengidentifikasi, mengelompokkan dan
menggambarkan fenomena yang ditemukan dalam teks. 2.
Axial Coding adalah proses mengaitkan kategori antara satu dengan yang lain, melalui kerangka berpikir induktif maupun deduktif.
3. Selective Coding adalah proses memilih satu kategori sebagai kategori
initi, menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut dan dimasukkan ke
dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan pengembangan.
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menggunakan analisis resepsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber seperti
yang sudah dijabarkan di bagian teknik pengumpulan data yaitu, melalui wawancara, observasipengamatan yang sudah dituliskan
dalam catatan lapangan maupun dari dokumen tambahan yang diperoleh selama melakukan peneltian.
2. Melakukan reduksi data dengan cara mengumpulkan seluruh transkrip
wawancara sekaligus open coding yang mengandung informasi penting berkaitan dengan masalah penelitian.
3. Kemudian peneliti mulai melakukan pemetaan aspek-aspek yang
terkait dengan fenomena yang dibahas dalam penelitian sekaligus memisahkan transkrip wawancara masing-masing informan. Pada
tahap ini informasi penting sudah ditandai pada tahap sebelumnya yakni, open coding. Maka selanjutnya peneliti akan menyeleksi
kalimat mana yang akan dijadikan kutipan dan memindahkan ke table axial coding sesuai dengan konsepnya.
4. Berikutnya data tersebut disusun dalam bentuk narasi deskriptif,
sehingga terbentuk rangkaian informasi yang berurutan sesuai
Universitas Sumatera Utara
kerangka berpikir yang induktif khusus-umum ke dalam table selective coding.
5. Mencatat temuan-temuan yang didapat dari hasil penelitian sesuai
yang tertera pada table selective coding. 6.
Hasil temuan tersebut kemudian dikembangkan dan dianalisis secara mendalam.
7. Menarik kesimpulan berdasarkan analisis untuk menjawab
permasalahan penelitian. Melakukan cross-check kepada informan agar tidak terdapat
kesalahan interpretasi pada penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Sinopsis Film Di Balik Frekuensi
Di Balik Frekuensi merupakan salah satu film dokumenter yang digagasi oleh pemikiran Ucu Agustin, seorang cum wartawan sekaligus aktivis film
dokumenter. Film dokumenter yang berdurasi 144 menit ini mengajak publik untuk melihat dan mengetahui apa yang kini sedang terjadi di dunia media di
negara Republik Indonesia. Bahwa media yang menggunakan frekuensi publik seperti televisi sedikit demi sedikit telah mengabaikan hak-hak publik yang
seharusnya dicerdaskan melalui tayangan yang ditampilkan. Setelah reformasi, dengan cepat konglomerasi media menjadi corak
industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam dan segera seolah
menjadi darah dan daging yang menjalankan sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang
informasinya kita baca, kita simak, kita lihat, kita dengar setiap hari ternya
ta cuma
dikendalikan oleh 12
gr
up media saja.Industri televisi nasional, khususnya, dimiliki oleh lima orang saja, dan kebanyakan dari mereka punya ikatan kuat
dengan partai politik: Aburizal Bakrie Ketua Umum Partai Golkar,pemilik TV One dan ANTV; Surya Paloh Ketua Umum Partai NasDem, pemilik Metro TV;
Harry Tanoesoedibjo mantan Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem yang sekarang menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura, pemilik RCTI, Global TV,
dan MNC TV; Chairul Tanjung, pemilik Trans TV dan Trans 7; serta Eddy Kusnadi Sariaatmadja, pemilik SCTV dan Indosiar. Grup-grup media dengan
pemilik-pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-
manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di Metro TV, di-
PHK kan karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi newsroom. Hari Suwandi dan Harto Wiyono
Universitas Sumatera Utara
adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong - Sidoarjo ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi tekad untuk
mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi.
Tak hanya mengisahkan dua kasus tersebut, film ini juga banyak mengilustrasikan bagaimana mental pekerja media di beberapa stasiun televisi
saat ini. Melalui penggalan kisah tersebut, film dokumenter ini akan membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna apa itu media?
Seperti apakah seharusnya media bekerja? Untuk siapakah mereka ada?
4.1.2 Latar Belakang Informan 1. Informan I SY
SY adalah seorang wanita yang saat ini berprofesi sebagai analis
media di Yayasan KIPPAS. Sebuah yayasan yang bergerak di bidang kajian informasi, pendidikan, dan penerbitan di Sumatera Utara.
Profesinya saat ini merupakan implementasi dari hasil masa studinya di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU
sejak tahun 2008 hingga 2012. Dengan kepribadiannya yang cukup analitis dalam menanggapi sesuatu hal menjadikan ia begitu berjodoh dengan
pekerjaannya saat ini. Wanita berdarah Aceh ini memiliki tubuh mungil dengan wajah
bulat dan beralis tebal. Dalam kesehariannya ia selalu menggunakan jilbab dan pakaian yang casual dengan warna-warna pastel. Meski terkadang ia
juga mengenakan pakaian bercorak namun terkesan simpel menjadikan ia pribadi yang terlihat sederhana dan tidak berlebihan.
Informan I merupakan anak ke tiga dari enam bersaudara. Tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua informan I adalah demokratis.
Dimana setiap keputusan baik itu pekerjaan, pendidikan, pasangan hidup, atau kegiatan diluar rumah selalu diberikan ijin oleh orangtua informan.
Dengan syarat informan I tetap menjaga kepercayaan orangtua. Meski tinggal dalam satu kota yang sama namun wanita yang memiliki hobi
bermain biola ini memilih tinggal terpisah dari orangtua. Alasan
Universitas Sumatera Utara
kemandirian menjadi poin utama mengapa ia memilih tinggal berdua dengan teman akrabnya di sebuah kontrakan yang jaraknya tidak begitu
jauh dari kantor tempat ia bekerja. Wanita yang lahir di Medan 23 tahun lalu, tepatnya pada tanggal
04 Desember 1990 ini juga pernah memiliki pengalaman bekerja sebagai Managing Editor di Smart Magz pada tahun 2012. Pengalaman bekerja
wanita yang sangat menyukai buah ini juga tidak jauh dari pengalamannya dalam berorganisasi sebagai Reporter, Sekretasis Redaksi, Redaktur
Pelaksana, dan Pimpinan Redaksi Pers Mahasiswa Suara USU selama 3,5 tahun.
Informan I memiliki sifat periang namun tegas dan suka bercanda. Ia senang mendengarkan berbagai genre musik meskipun terkadang ia
juga memilih lagu-lagu tertentu untuk didengarkan sesuai mood. Jiwa seninya juga terlatih tidak hanya pada dunia musik, namun juga pada
dunia tari. Bakat ini ia tunjukkan pada sebuah klub tari sanggar kesenian IPTR Ikatan Pemuda Tanah Rencong USU semasa dan setelah ia kuliah.
Film merupakan salah satu alternatif bagi informan I dalam mengisi waktu luang, semisal pada saat pulang setelah urusan kerja
selesai. Salah satu hal yang mendorong informan I dalam menonton film selain hasil rekomendasi dari orang-orang terdekat, biasanya ia tertarik
setelah melihat review film terlebih dahulu. Tidak hanya film ber genre drama seperti Wedding Dress dan My Sister Keepers yang ia sukai, tetapi
juga film animasi seperti Finding Nemo dan Kungfu Panda. Terkhusus daripada itu dan sejalan dengan penelitian ini, ternyata informan I juga
cukup terkesan dengan beberapa film dokumenter yang pernah ia tonton seperti, Sixty Minutes, Lentera Indonesia, dan juga Di Balik Frekuensi.
Informan I pertama kali menonton Di Balik Frekuensi pada tanggal 16 Januari 2014. Film Di Balik Frekuensi ditonton pada saat acara
pelatihan jurnalistik dari kantor tempat informan I bekerja. Uniknya, film ini dipertontonkan bukan karena agenda tetap dari kantor informan I.
Melainkan Stanley A. Prasetyo anggota Alilansi Pers Independen sekaligus trainer pelatihan jurnalis yang memberikan materi kepada para
Universitas Sumatera Utara
peserta saat itu. Informan I menilai pada saat itu trainer merasa pelatihan yang diadakan oleh kantor Informan I merupakan wadah yang tepat untuk
mempublikasikan film Di Balik Frekuensi di kantornya.
2. Informan IILAD LAD merupakan salah satu informan tertua dalam penelitian ini.
Saat ini ia sedang menjalani pekerjaannya sebagai wartawan harian pada salah satu surat kabar lokal di Medan, yakni Tribun Medan. Ia memulai
karirnya sebagai wartawan sejak tahun 2007 hingga saat ini. Profesinya saat ini merupakan hasil studinya saat menjalani kuliah pada proram studi
Jurnalistik di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Pria yang memiliki ciri tubuh mesomorphy ini cukup atletis dengan tinggi badan sekitar 168 cm dan berat badan 74 kg. Hal ini juga
dipengaruhi oleh kesehariannya yang rutin berolahraga lari pagi sebelum pergi bekerja. Meskipun memiliki warna kulit yang cukup gelap, namun
ternyata informan II menyukai warna yang cukup kontras seperti ungu. Sementara untuk pakaian sehari-hari ia banyak menggunakan warna hitam
atau netral. Aktivitasnya sehari-hari sebagai wartawan yang banyak mengahbiskan waktu di lapangan membuat ia lebih sering menggunakan
paduan kaos, jeans, dan sepatu yang casual. LAD yang lahir di Jakarta, 10 April 1986 merupakan anak sulung
dari tujuh bersaudara dari keluarga dengan suku Batak Simalungun. Menurutnya tipe pola asuh keluarga yang ia dapatkan adalah otoriter. Saat
kecil ia sering mendapatkan perintah dari ayah untuk selalu membantu pekerjaan ibu di rumah. Namun karena sekarang sudah dewasa dan lebih
mandiri, ia merasa tidak perlu diatur dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Meski tinggal terpisah dari adik-adik dan keluarganya, informan II
memiliki pola komunikasi yang stabil dengan bertukar kabar melalui pesawat telepon.
Pria yang sangat menyukai daging panggang dan makanan laut ini ternyata tidak hanya mendapatkan ilmu jurnalistik dari bangku kuliah saja.
Hal ini terlihat dari track record yang dimilikinya. Selama menjadi
Universitas Sumatera Utara
mahasiswa ia aktif di organisasi Pers Mahasiswa Suara USU sejak tahun 2004 hingga 2007. Menurutya Pers Mahasiswa Suara USU mengajarkan
banyak hal yang tidak didapatkan di kuliah seperti pengetahuan dan skill jurnalistik. Melalui organisasi ini pula banyak bertemu, berkumpul, dan
berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Informan II memiliki sifat ekspresif dan cenderung meledak-ledak.
Dengan nada suara yang besar dan sedikit lantang, terkadang membuat orang yang tidak mengenalnya akan merasa seperti dibentak. Namun
setelah mengenalnya lebih lama hal itu akan menjadi biasa karena memang itulah karakter utama yang dimilikinya. Pria yang memiliki motto
hidup “life will find a way” ini sangat tidak menyukai kemiskinan dan pelecehan. Lebih menyukai musik daripada olahraga. Telah mengikuti
perkembangan musik sejak lama dan menyukai semua genre musik apapun. Namun saat ini ia sedang menggemari aliran musik electro dance
music dan hip hop. Pria yang mengidolakan penyanyi tersohor Kanye West ini juga
hobi menonton film. Ia lebih suka film biografi genre drama seperti kisah hidup Nelson Mandela dalam film Invictus. Ia adalah seorang revolusioner
anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Sementara di lain sisi ia juga
sangat menyukai film dokumenter The Cove yang disutradarai oleh Rick O Barry ini bercerita tentang eksploitasi lumba-lumba untuk makanan dan
show dan advokasi yang dilakukan para aktivis. Informan II pertama kali menonton film Di Balik Frekuensi baru
dimulai pada pertengahan bulan Juli 2014. Sebelumnya ia telah mengetahui mengenai pembuatan film ini sekitar 2012 ke 2013. Namun
baru mulai menonton secara keseluruhan setelah diminta untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Pertimbangan yang diprioritaskan pada
informan ini ialah selain basic nya di dunia media ia mengenal beberapa tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi ini.
Universitas Sumatera Utara
3. Informan III AJR AJR adalah seorang pria yang saat ini sedang menjalani