Keterangan : P = persentase sel normal atau sel degenerasi atau sel nekrosis
Σ KS = jumlah total sel normal atau sel degenerasi atau sel nekrosis dalam 20 lapang pandang
Σ TS = jumlah total sel dalam 20 lapang pandang, ± 2000 sel 20 lapang pandang dikalikan ± 100 sel per setiap lapang pandang
3.6 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan terhadap semua hasil pengujian toksisitas sub- kronis meliputi parameter berat badan tikus, konversi pakan FCR, biokimia
serum darah serta histopatologi organ hati dan ginjal. Masing-masing kelompok perlakuan diambil secara acak 3 ekor tikus untuk dilakukan pengujian biokimia
serum darah dan histopatologi terhadap organ hati dan ginjal. Metode penelitian menggunakan RAL rancangan acak lengkap, analisis
data menggunakan sidik ragam dengan uji-F. Suatu perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata apabila F
hitung
F
tabel
dan berpengaruh nyata apabila F
hitung
F
tabel
dengan derajat bebas pada taraf 5. Selanjutnya uji Duncan dilakukan jika ditemukan perlakuan yang berbeda nyata.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data dan pembahasan mengenai keamanan sifat toksik kerang mas ngur melalui pengujian persyaratan standar mutu dan pengujian
toksisitas sub-kronis secara in vivo dilaporkan sebagai berikut :
4.1 Standar Mutu Kerang Mas Ngur
Berdasarkan habitat dan fisiologi kebiasaan makan kerang mas ngur, menjadikan invertebrata laut ini sangat mudah tercemar oleh toksin, bakteri
patogen maupun polutan yang berasal dari tempat hidupnya. Karena alasan tersebut maka pasar internasional mempersyaratkan pengujian standar mutu
produk kekerangan baik dalam kondisi daging segar maupun bentuk olahan termasuk nutraceutical, sebelum produk tersebut dikonsumsi oleh manusia.
Persyaratan standar mutu yang dimaksud ialah sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17MEN-KP2004 yang mengacu pada peraturan
perdagangan internasional. Kepmen tersebut menyatakan bahwa produk kekerangan sebelum dikonsumsi harus telah terbebas dari shellfish toxin jenis PSP
paralytic shellfish poisoning, DSP diarrheic shellfish poisoning dan ASP amnesic shellfish poisoning maupun logam berat jenis Hg merkuri, Pb timbal
dan Cd kadmium. Selain itu, untuk melakukan pengujian toksisitas sub-kronis secara in vivo
terhadap bahan uji kerang mas ngur, diperlukan syarat bahwa parameter seperti shellfish toxin
PSP, DSP dan ASP maupun logam berat Hg, Pb dan Cd harus diuji terlebih dahulu dan dinyatakan telah bebas. Parameter tersebut jika
kandungannya melebihi batas aman konsumsi MPL dan MRL, baik bersifat akut maupun kronis, secara automatis akan mengganggu hasil pengujian toksisitas
sub-kronis. Pengujian shellfish toxin dilakukan untuk mengetahui kandungan toksin
yang terdapat pada kerang mas ngur. Pengujian PSP dan DSP dilakukan dengan metode mouse bioassay, menggunakan mencit percobaan sebagai hewan sasaran
dan pengujian ASP menggunakan metode HPLC UV-VIS. Adapun hasil
pengujian kandungan PSP saxitoxin, DSP okadoic acid dan ASP domoic acid disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan shellfish toxin kerang mas ngur Parameter
Hasil Uji Persyaratan Standar Mutu
KEPMEN DKP No.172004 PSP µg100 g
tidak terdeteksi maks 80
DSP Mouseunit negatif
negatif ASP µgg
tidak terdeteksi maks 20
Keterangan : Batas deteksi PSP : 40 µg100 g contoh
Batas deteksi DSP : positif negatif Batas deteksi ASP : 0,10 ngg contoh
Paralytic Shellfish Poisoning . Pada manusia, PSP bersifat akut dan sering
fatal. Sampai saat ini belum ada cara efektif untuk menghilangkan racun antidote atau pengobatan ketika racun telah masuk ke dalam tubuh seseorang
pasien. Oleh karena itu, keracunan PSP menjadi satu masalah yang sangat serius bagi kesehatan Bhakuni Rawat 2005. Dalam kriteria toksisitas, PSP
dimasukkan pada kelompok pengujian toksisitas akut, karena pada dosis 80 µg100 g contoh telah dapat menyebabkan kematian mencit dalam waktu
5-7 menit Richard 1997. Sedangkan menurut Praseno 1996; Sato 2006 melaporkan bahwa gejala keracunan PSP sangat cepat sekitar 1-2 jam atau kurang
dari 6 jam setelah manusia memakan kerang. Pada keracunan PSP, gejala awal yang dirasakan adalah kesemutan pada bibir, kemudian bibir dan rongga mulut
akan kelu yang menjalar ke seluruh tubuh. Selanjutnya otot-otot tubuh akan mengalami kelumpuhan paralisis, termasuk otot paru-paru sehingga penderita
akan berhenti bernafas, sekalipun jantung masih berdetak dan otak masih berfungsi. Beberapa kasus kematian diakibatkan terjadinya proses paralisis dalam
sistem pernafasan. Pengujian kandungan PSP pada kerang mas ngur menggunakan mencit
sebagai hewan sasaran dilaporkan bahwa hasilnya ttd tidak terdeteksi dengan batas deteksi 40 µg 100 g contoh. Ketiga mencit yang disuntik ekstrak PSP
secara intra peritoneum tidak mati, sehingga dapat dikatakan bahwa kerang mas ngur bebas dari PSP. Hasil tidak terdeteksi terhadap kandungan PSP tersebut
didukung dengan hasil pengujian toksisitas sub-kronis. Tikus percobaan sebagai hewan sasaran diberi daging kerang mas ngur kering hingga dosis tinggi 4 gkg
BBhari sekalipun, tidak terdapat tanda-tanda tikus mengalami paralisis pada saluran pernafasan yang diakhiri dengan kematian.
Kandungan tidak terdeteksi PSP pada kerang mas ngur bukan berarti bahwa bahan uji telah benar-benar bebas dari racun tersebut, mengingat batas
deteksi metode mouse bioassay masih cukup tinggi sebesar 40 µg100 g contoh atau jika dilihat dengan tabel Sommer, mencit akan mati pada waktu ± 2 jam
pengamatan AOAC 1999. Hal ini berarti kemungkinan kerang mas ngur masih mengandung PSP akan tetapi dalam kadar rendah, di bawah 40 µg100 g contoh.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa jika kandungan PSP saxitoxin dalam bahan uji tergolong rendah, maka toksin tersebut langsung dapat
diekskresikan melalui urin tanpa dimetabolisme oleh tubuh dan tidak akan menyebabkan keracunan. Menurut Andrinolo dan Lagos 1987, saxitoxin STX
dan turunannya dieliminasi tanpa menghilangkan efek toksiknya dan tidak adanya proses metabolisme di dalam tubuh. Botana 2000 melaporkan bahwa pasien
yang terkena toksin PSP dan mampu bertahan hingga 24 jam, maka pasien tersebut mengalami recovery dengan cepat karena racunnya mengalami ekskresi
dengan cepat pula tanpa terjadi metabolisme. Lebih lanjut, Andrinolo dan Lagos 1987 melaporkan bahwa hewan uji kucing secara cepat akan mengeluarkan PSP
kadar rendah melalui urin dengan waktu percobaan selama 4 jam. Pada intra peritoneum
menggunakan PSP dosis rendah 2,7 µg STXkg BB maka kandungan PSP yang diperoleh pada urin sebesar 25, sedangkan pada dosis tinggi 10 µg
STXkg BB dengan waktu yang sama hanya 10 total STX ditemukan pada urin.
Diarrheic Shellfish Poisoning . Toksin lain yang terdapat pada produk
kekerangan adalah DSP, toksin ini dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan industri perikanan Lusiastuti 2003. Martin et al. 2000;
Bhakuni dan Rawat 2005 melaporkan gejala keracunan DSP adalah sebagai berikut, dimulai dengan waktu 30 menit hingga beberapa jam setelah keracunan
DSP, maka akan timbul gejala kasus diare 92 , mual-mual 82, muntah- muntah 79, sakit pada bagian abdominal 53 dan demam dingin 10. Total
recovery diharapkan selama 3 hari dengan atau tanpa bantuan medis.
Institut Penyidikan Perikanan Belanda berhasil mengembangkan bioassay non lethal
menggunakan mencit. Metode ini kemudian digunakan oleh beberapa negara di Eropa dan dianggap spesifik untuk toksin DSP. Mencit dipuasakan
terlebih dahulu, lalu diberikan makan pellet seafood yang diduga mengandung toksin DSP. Konfirmasi adanya toksin berdasarkan jumlah toksin yang ada di
dalam pellet dikorelasikan dengan jumlah pellet yang dimakan dan konsistensi feses dalam bentuk diare Draisci et al. 1998.
Pengujian DSP pada kerang mas ngur dilakukan dengan cara menyuntikan hasil ekstrak DSP secara intra peritoneum kepada 3 ekor mencit dan kemudian
dilakukan pengamatan selama 72 jam 3 hari. Hasil pengujian kandungan DSP dari kerang tersebut dilaporkan negatif atau tidak didapatkan satu ekor mencitpun
yang mengalami diare atau mati. Hal ini berarti bahwa kerang mas ngur yang diambil dari Perairan Pantai Desa Ohoililir, Kecamatan Kei Kecil, Maluku
Tenggara tidak mengandung toksin DSP.
Amnesic Shellfish Poisoning . Selain PSP dan DSP, toksin yang ada pada
produk kekerangan adalah ASP. Toksin ini muncul pertama kali pada tahun 1987. Dilaporkan terjadi 153 kasus keracunan setelah seseorang makan kerang dari
Prince Edward Island, Canada. Banyak kasus menyebabkan amnesia dan sering mengakibatkan kehilangan memori loss memory pada orang yang telah berusia
lanjut Botana 2000. Sedangkan Martin et al. 2000 mengatakan bahwa ASP menyebabkan gejala saluran digesti dan gangguan syaraf khususnya pada organ
otak. Gejala awal keracunan ASP biasanya dimulai dengan gangguan digesti dalam waktu 24 jam seperti : muntah-muntah, kram perut dan diare. Beberapa
kasus ASP menyebabkan gangguan syaraf setelah mengkonsumsi selama 48 jam, seperti : sakit kepala, pusing, disorientasi secara mendadak, kehilangan memori,
sulit bernafas dan koma. Hasil pengujian ASP terhadap kerang mas ngur dilaporkan bahwa kerang
tersebut mengandung ASP 0,10 ppb. Hasil tersebut masih jauh dari standar mutu keamanan pangan yang dipersyaratkan yakni maksimal sebesar 20 µgg
daging kerang. Sehingga dapat dilaporkan bahwa kerang mas ngur aman dari toksin ASP.
Melihat tingkat bahayanya toksin PSP, DSP dan ASP bagi konsumen nutraceutical
berbahan baku kerang mas ngur, maka untuk menjamin keamanan konsumen perlu dilakukan cara pencegahan agar kerang tidak mengandung toksin.
Cara-cara tersebut diantaranya 1 Melakukan kegiatan monitoring di perairan tempat hidup kerang dan menguji secara rutin kandungan PSP dan toksin lainnya.
Seperti telah diketahui bahwa keberadaan toksin PSP, DSP dan ASP disebabkan oleh adanya fitoplankton beracun yang ada di perairan tempat hidup kerang.
Fitoplankton beracun tersebut lalu dimakan dan diakumulasi oleh kerang sehingga hewan tersebut menjadi toksik. 2 Metode relaying pemberokan yakni
memindahkan hasil panen kerang yang masih hidup ke tempat perairan baru sekurang-kurangnya dalam waktu selama 2 bulan. Perairan tersebut minimal
berjarak 300 m dari perairan asal dan terbebas dari fitoplankton beracun DKP 2004. Akan tetapi, metode ini tidak efektif dan tidak ekonomis karena harus
mencari lokasi perairan baru dan menunggu waktu lebih lama untuk memanen kerang. Selain itu, Fukuyo 2006 berpendapat bahwa fitoplankton beracun
umumnya mampu membentuk dorman kista pada kondisi-kondisi tertentu seperti lingkungan yang tidak sesuai dan selanjutnya akan menempel pada tubuh
kerang. Saat kerang dipindah ke perairan untuk tujuan pemberokan, maka kista tersebut akan kembali menjadi fitoplankton dan selanjutnya dapat berkembang
sebagai sumber toksin yang baru di perairan tersebut, akibatnya metode pemberokan akan menimbulkan masalah yang baru. 3 Teknik pemurnian PSP
dari tubuh kerang dengan metode Shimizu Botana 2000. Teknik pemurnian dilakukan dengan cara menambahkan larutan alkohol-asam kuat encer etanol-
HCl ke daging kerang pada pH 5,5. Kemudian dilewatkan melalui kolom amberlite IRC-50, Na
+
mesh 20-45. Pada saat melewati kolom, dialiri secara bertahap asetat buffer pH 4; aquades dan asam asetat. Selanjutnya kembali
dilewatkan ke kolom kromatografi amberlite CG-50, H
+
dengan dialiri asam asetat hingga diperoleh toksin PSP.
Pengujian logam berat dilakukan untuk mengetahui kandungan merkuri, timbal dan kadmium pada kerang mas ngur. Metode pengujian yang digunakan
adalah Atomic Absorbance Spektrofotometri. Hasil pengujian ketiga logam berat tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan logam berat kerang mas ngur Parameter
Hasil Uji Persyaratan Standar Mutu
KEPMEN DKP No.172004 Hg mgkg
tidak terdeteksi maks 0,5
Pb mgkg 0,34
maks 1,5 Cd mgkg
0,40 maks 1,0
Keterangan : Batas deteksi Hg : 0,05 mgkg contoh Batas deteksi Pb : 0,07 mgkg contoh
Batas deteksi Cd : 0,05 mgkg contoh Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-
efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup, tetapi
sebagian logam-logam tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup, walaupun dalam jumlah yang sedikit Palar 1994. Darmono 2001 melaporkan bahwa
logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Effendi 2003 menyatakan
bahwa di dalam tubuh makhluk hidup seperti kerang, logam berat akan mengalami biokonsentrasi dan bioakumulasi sehingga kadarnya di dalam tubuh
lebih besar daripada lingkungan perairan. Sehingga hewan ini dapat digunakan sebagai indikator pencemaran suatu perairan. Logam berat juga mengalami
biomagnifikasi yakni kadarnya akan semakin meningkat dengan peningkatan posisi organisme pada rantai makanan.
Merkuri .
Logam Hg terdapat dalam bentuk Hg murni, Hg anorganik dan Hg organik. Merkuri organik seperti dalam bentuk metil merkuri, mempunyai
daya racun tinggi dan sukar terurai dibandingkan Hg murni. Bila metil merkuri terakumulasi dalam tubuh, akan mengakibatkan keracunan yang bersifat akut
antara lain mual, muntah-muntah, diare, kerusakan ginjal bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan keracunan kronis ditandai dengan
peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar dan kerusakan ginjal Darmono 2001.
Menurut Hodgson dan Levi 2000, organ ginjal adalah organ utama yang mengalami kerusakan akibat logam berat jenis merkuri dan kadmium, dengan
bagian tubulus proksimal menjadi tempat sasaran utama.
Hasil analisis kandungan logam merkuri pada kerang mas ngur adalah tidak terdeteksi atau hasilnya dibawah batas deteksi alat LOD. Hasil ini masih
dibawah persyaratan standar mutu yang ada sehingga dapat dikatakan bahwa produk tersebut aman untuk dikonsumsi.
Timbal. Logam Pb bersifat toksik pada manusia dan dapat menyebabkan
keracunan akut dan kronis. Keracunan akut biasanya ditandai dengan rasa terbakar pada mulut, adanya rangsangan pada sistem gastrointestinal yang disertai
dengan diare. Sedangkan gejala kronis umumnya ditandai dengan mual, anemia, sakit disekitar mulut dan dapat menyebabkan kelumpuhan Darmono 2001.
Hodgson dan Levi 2000 mengatakan bahwa target utama logam Pb adalah menyerang organ darah dan syaraf, beberapa enzim yang terlibat dalam sintesis
darah dihambat oleh Pb. Serangan logam Pb pada syaraf terjadi pada bayi dan anak-anak seperti hiperaktif, penurunan daya konsentrasi, keterlambatan mental
dan menghambat kecerdasan. Efek buruk lain dari Pb adalah gangguan reproduksi pada laki-laki dan wanita dewasa.
Sustriawan 1999 melaporkan bahwa tikus percobaan galur LMR yang diberi makanan daging dari beberapa jenis ikan yang mengandung timbal sebesar
0,36 µg100 g BBhari atau lebih akan menyebabkan lesio pada hati dengan tanda- tanda seperti adanya pendarahan di sekitar vena sentralis, terjadi nekrosis sel dan
timbulnya sel basofilik. Hasil analisis kadar timbal pada kerang mas ngur dilaporkan mempunyai
kandungan sebesar 0,34 mgkg contoh. Hasil ini masih dibawah persyaratan standar mutu terhadap logam tersebut yakni sebesar 1,5 mgkg contoh.
Kadmium. Logam Cd bersifat kumulatif dan sangat toksik bagi manusia
karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan darah dan mengakibatkan kemandulan pada pria dewasa. Kasus
keracunan kadmium yang terkenal adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang yang ditandai dengan rasa sakit pada tulang dan terjadi pengroposan tulang
Effendi 2003. Kandungan logam kadmium kerang mas ngur adalah sebesar 0,40 mgkg contoh. Kandungan logam ini juga masih rendah di bawah batas
ambang MRL seperti kedua logam berat lainnya.
Secara kuantitatif telah dilakukan analisis ketiga logam berat pada kerang mas ngur menggunakan AASpektrofotometri. Selain itu, secara kualitatif dapat
pula dilakukan analisis pada saat pengujian toksisitas sub-kronis menggunakan tikus percobaan. Hasilnya dilaporkan bahwa tidak ada gejala klinis yang
menunjukkan tikus percobaan mengalami keracunan akibat ketiga logam berat tersebut seperti muntah, gemetar, diare berkepanjangan dan kelumpuhan. Data
tersebut semakin memantapkan bahwa kerang mas ngur yang diambil dari Perairan Pantai Desa Ohoililir masih aman dari ketiga logam berat tersebut.
4.2 Toksisitas Sub-kronis Kerang Mas Ngur