Secara kuantitatif telah dilakukan analisis ketiga logam berat pada kerang mas ngur menggunakan AASpektrofotometri. Selain itu, secara kualitatif dapat
pula dilakukan analisis pada saat pengujian toksisitas sub-kronis menggunakan tikus percobaan. Hasilnya dilaporkan bahwa tidak ada gejala klinis yang
menunjukkan tikus percobaan mengalami keracunan akibat ketiga logam berat tersebut seperti muntah, gemetar, diare berkepanjangan dan kelumpuhan. Data
tersebut semakin memantapkan bahwa kerang mas ngur yang diambil dari Perairan Pantai Desa Ohoililir masih aman dari ketiga logam berat tersebut.
4.2 Toksisitas Sub-kronis Kerang Mas Ngur
Setelah persyaratan standar mutu kerang mas ngur terpenuhi, yakni kandungan shellfish toxin dibawah MPL dan juga logam berat di bawah MRL,
tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian keamanan sifat toksik kerang mas ngur menggunakan metode pengujian toksistas sub-kronis secara in vivo.
Metode pengujian tersebut dilakukan dengan cara bahan uji kerang mas ngur diberikan kepada tikus percobaan setiap hari hingga waktu 90 hari.
Pemberian dilakukan secara oral melalui cekok berdasarkan kelompok perlakuan, terdiri dari kontrol tanpa pemberian bahan uji tersebut dan perlakuan pemberian
bahan uji dengan dosis rendah D0.04 0,04 gkg BBhari, dosis sedang D0.4 0,4 gkg BBhari dan dosis tinggi D4 4 gkg BBhari.
4.2.1 Gejala Klinis Tikus Percobaan
Deteksi awal kesehatan manusia maupun hewan yang masih hidup dapat dilakukan melalui pengamatan gejala klinis. Lea et al. 2004 melaporkan bahwa
parameter pengamatan gejala klinis pada pengujian toksisitas sub-kronis meliputi tingkah laku hewan percobaan, kondisi mata, berat badan dan jumlah konsumsi
pakan. Selain pengamatan gejala klinis, dilakukan pula uji klinis meliputi kandungan urin, hematologi, biokimia serum darah dan histopatologi organ.
Sedangkan menurut Cheville 2006, patologi dapat dilihat dari dua aspek, pertama adalah gejala klinis saat hewan masih hidup dan faktor lainnya adalah
melakukan pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi terhadap organ tubuh sasaran, saat mahluk hidup tersebut telah mati.
Parameter pengujian toksisitas sub-kronis yang pertama ialah pengamatan gejala klinis untuk menentukan kesehatan tikus percobaan setelah diberi kerang
mas ngur, meliputi : tingkah laku tikus, kondisi mata dan bulu serta bentuk feses. Hasilnya disajikan pada Tabel 6. Sedangkan hasil penimbangan berat badan tikus
dan nilai FCR dapat dilihat pada sub-bab berikutnya lihat Halaman 38.
Tabel 6 Gejala klinis tikus percobaan selama 90 hari Parameter Kontrol D0.04
D0.4 D4
Tidak ada kematian tikus percobaan +
+ +
+ Tingkah laku tikus terlihat sehat, aktif dan
tidak ada tanda-tanda keracunan +
+ +
+ Mata merah tajam dan tidak ada penyakit
+ +
+ +
Bulu tebal seiring masa pemeliharaan +
+ +
+ Bentuk feses padat berair hingga hari ke-3
pemeliharaan, selanjutnya kembali normal -
+ +
+ Keterangan : + ya; - tidak
Tingkah Laku. Pengamatan tingkah laku tikus mulai hari ke-0 hingga
hari ke-90 dilakukan dengan membandingkan antar kelompok perlakuan kontrol dan 3 perlakuan lainnya. Saat pemeliharaan dilaporkan tidak ada kematian tikus
pada semua perlakuan. Tidak ditemukan adanya tingkah laku yang berbeda antar kelompok perlakuan. Semua tikus terlihat sehat, aktif dan tidak ada tanda-tanda
keracunan. Semua tikus terlihat lebih aktif khususnya setelah kandang dibersihkan dari kotoran feses dan urin. Beberapa tikus merespon setiap makanan ataupun
minuman yang diberikan ke masing-masing kandang. Sedangkan tikus yang tidak merespon makanan atau minuman terlihat bermain dengan tikus lain atau terlihat
sedang aktif membersihkan bulu dari kotoran yang menempel.
Kondisi Mata dan Bulu. Semua kondisi mata tikus percobaan tidak
menunjukkan adanya gejala klinis antar kelompok perlakuan. Secara visual semua mata tikus terlihat bening, merah dan tajam. Tidak ada kelainan atau
perubahan mata yang mencolok seperti adanya perubahan warna mata atau gejala kelainan mata lainnya.
Semua kondisi bulu tikus percobaan ditemukan dalam keadaan normal atau tidak ada gejala klinis antar kelompok perlakuan. Secara visual semua tikus
terlihat mempunyai bulu yang semakin tebal seiring dengan bertambahnya umur
dan berat badan. Kondisi bulu terlihat bersih dan putih khususnya selang beberapa jam setelah kotoran pada kandang selesai dibersihkan, karena tikus telah
membersihkan kotoran yang menempel pada tubuhnya. Hal ini juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tikus dalam kondisi sehat dan aktif karena
masih mempunyai naluri dan keinginan untuk membersihkan tubuhnya dari kotoran yang menempel. Sedangkan sebelum kandang dibersihkan, bulu tikus
terlihat kotor, hal ini dapat dipastikan bahwa kotoran yang terdapat dibulu tikus tersebut akibat feses maupun urin yang menempel ditubuhnya. Tingkat
kerontokan bulu tikus semua kelompok perlakuan ditemukan dalam kondisi normal. Tidak ada satu tikuspun yang mempunyai bulu rontok hingga terlihat
kulitnya seperti dijumpai pada tikus yang sedang mengalami sakit akibat penyakit tertentu atau defisiensi gizi dengan kadar protein rendah.
Hasil pengamatan terhadap tingkah laku tikus, kondisi mata dan bulu tidak ditemukan adanya gejala klinis pada kontrol dan ketiga perlakuan D0.04; D0.4
dan D4 hingga 90 masa pemeliharaan. Meskipun tidak ditemukan adanya gejala klinis hingga pemberian kerang mas ngur dosis tinggi D4, akan tetapi hasil
tersebut masih perlu dikonfirmasi dengan parameter pengujian toksisitas sub- kronis lainnya, karena pengamatannya hanya dilakukan secara visual.
Bentuk Feses. Pengamatan kondisi feses menunjukkan bentuk feses padat
berair hingga hari ke-3 pengamatan pada semua perlakuan kecuali kontrol. Hari berikutnya bentuk feses semua perlakuan kembali normal setelah 3 hari.
Dilaporkan pula secara visual bentuk feses padat berair tidak berbeda dari ketiga perlakuan. Hal ini berarti bahwa pemberian kerang mas ngur dosis rendah
D0.04 sekalipun, sudah mampu membuat feses padat berair atau diare pada tikus percobaan.
Gejala klinis yang timbul pada ketiga perlakuan D0.04; D0.4 dan D4 diduga karena tikus belum bisa beradaptasi terhadap pemberian kerang mas ngur
nutrisi menggunakan sonde. Lie 2008 melaporkan bahwa pemberian bahan nutrisi secara intragastric menggunakan sonde pada pasien, akan mengakibatkan
komplikasi di usus dimana perut akan terasa mual, terutama pada masa permulaan pemberian nutrition enteral, perut terasa penuh sehingga berakibat diare
.
260 280
300 320
340 360
380 400
420 440
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Minggu B
e ra
t B a
d a
n g
Kontrol D0.04
D0.4 D4
Kemungkinan lain terjadi diare di awal penelitian ialah akibat pengaruh bahan uji kerang mas ngur. Pada penelitian ini bahan uji tidak menyebabkan diare
kecuali pada awal-awal penelitian dan kembali normal setelah 3 hari percobaan, karena tikus sudah bisa beradaptasi terhadap pemberian bahan uji. Kerang mas
ngur yang mengandung saponin lihat Tabel 2 mempunyai sifat berbusa seperti sabun. Diduga pada saat sampai di saluran pencernaan tikus, senyawa tersebut
mampu meningkatkan gerakan peristaltik sehingga terjadi gangguan pencernaan dengan indikator keluarnya feses dalam bentuk diare. Mengingat, salah satu
peranan saponin adalah sebagai bahan anti konstipasi pencahar.
4.2.2 Berat Badan Tikus dan Nilai FCR