Pengujian Toksisitas Kerang Mas Ngur (Atactodea striata)

(1)

xvii

AHMAD MUHAMAD MUTAQIN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

i

Mas Ngur (Atactodea striata) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2008

Ahmad Muhamad Mutaqin NRP. C351060101


(3)

ii

striata). Supervised by LINAWATI HARDJITO and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO

Mas ngur (Atactodea striata) has been proven containing of high nutritional and bioactive compounds. The analysis of shellfish toxins PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (diarrheic shellfish poisoning), ASP (amnesic shellfish poisoning) and heavy metals Hg (mercury), Pb (lead), Cd (cadmium) as a food safety requirement of shellfish product revealed that all of parameters under MPL (maximum permitted limits) and MRL (maximum residue limits), respectively. To fulfill a nutraceutical product requirement, 90 days sub-chronic toxicity assay was perfomed using Sprague Dawley male rats as target animal. The animals were fed by 0.04; 0.4 and 4 g/kg bw/day of powdered A. striata and without powdered A. striata as a control treatment. The parameter analysis included the examination of clinical symptoms such as general behavioral of rats, bodyweights and FCR (food conversion ratios); blood chemistry of SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase), SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase), BUN (blood urea nitrogen) and creatinin; liver and kidney histopathology. The results indicated there was no mortality rats observed throughout the experimental period. No significant clinical and pathology symptoms detected in any group, except the group fed by 4 g/kg bw/day. NOAELs (no-observed-adverse-effect-levels) was estimated to be 0.4 g/kg bw/day. It is concluded that A. striata powder is safe to be consumed routinely at level of 0.4 g/kg bw or 20 g/50 kg bw/day.


(4)

iii

(Atactodea striata). Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO

Indonesia sebagai negara tropis terkenal memiliki kekayaan hayati yang beragam termasuk di perairan, sehingga sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku nutraceutical dengan lebih bervariasi. Sebagai contohnya adalah pemanfaatan kerang mas ngur oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara yang digunakan sebagai obat tradisional untuk membantu menyembuhkan penyakit kuning. Secara ilimiah telah diidentifikasi kandungan nutrisi dan senyawa aktif kerang mas ngur dari Kei, Maluku Tenggara. Biota laut tersebut memiliki senyawa aktif jenis steroid, alkaloid dan saponin yang mempunyai aktivitas sebagai inhibitor topoisimerase I sehingga berkolerasi dengan senyawa anti kanker. Selain itu, kerang tersebut mempunyai nutrisi tinggi seperti protein sebesar 56,08%; karbohidrat 21%; lemak 5,95%; air 7,84%; abu 7,88% dan serat kasar 1,25%. Asam aminonya cukup lengkap dengan spesifikasi seperti jumlah total asam amino non esensiel (AANE) lebih besar daripada asam amino esensiel (AAE); asam glutamat dan sistein serta asam amino rantai panjang seperti leusin dan isoleusin ditemukan dalam jumlah tinggi melebihi asam amino sejenis pada tepung ikan. Asam amino spesifik yang dimilikinya mampu digunakan untuk memperbaiki kerusakan hati.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengujian keamanan (sifat toksik) kerang mas ngur yang akan dikonsumsi secara berulang-ulang sebagai bahan baku nutraceutical. Metodenya adalah melalui pengujian toksisitas sub-kronis secara in vivo. Dari pengujian tersebut sekaligus dapat diperoleh informasi tentang penggunaan dosis aman sesuai dengan kebutuhan pola diet. Secara habitat dan fisiologi, kerang mas ngur mudah terkontaminasi oleh shellfish toxin jenis PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (diarrheic shellfish poisoning), ASP (amnesic shellfish poisoning) dan logam berat jenis Hg (merkuri), Pb (timbal), Cd (kadmium) yang terdapat di sekitar hidupnya. Pengujian bahan-bahan berbahaya tersebut harus dilakukan agar persyaratan standar mutu kerang yang akan digunakan sebagai bahan nutraceutical dapat terpenuhi, sekaligus memastikan bahwa kerang yang akan digunakan sebagai bahan uji untuk pengujian toksisitas sub-kronis telah terbebas dari parameter pengganggu tersebut.

Metode penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Penelitian tahap I ialah pengujian standar mutu kerang mas ngur meliputi analisis shellfish toxin jenis PSP, DSP dan ASP serta logam berat jenis Hg, Pb dan Cd. Tahap II ialah pengujian toksisitas sub-kronis menggunakan tikus percobaan. Parameter pengujiannya ialah pengamatan gejala klinis tikus percobaan terdiri-dari pengamatan tingkah laku tikus, kondisi mata dan bulu, bentuk feses, penimbangan berat badan dan nilai FCR (food conversion ratios). Pengamatan dilakukan setiap hari hingga 90 hari masa percobaan. Setelah panen dilakukan analisis biokimia serum darah (SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin). Bagian terpenting dari pengujian toksisitas sub-kronis ialah histopatologi organ hati dan ginjal tikus percobaan.


(5)

iv

0,04 g/kg BB/hari; dosis sedang (D/0.4) sebesar 0,4 g/kg BB/hari dan dosis tinggi (D/4) sebesar 4 g/kg BB/hari.

Hasil pengujian standar mutu kerang mas ngur menunjukkan bahwa kandungan shellfish toxin jenis PSP, DSP dan ASP berurutan adalah tidak terdeteksi (ttd < 40 µg/100 g contoh), negatif dan tidak terdeteksi (ttd < 0,10 ng/g contoh), semua parameter masih di bawah MPL (maximum permitted limits). Begitu pula kandungan logam berat jenis Hg, Pb dan Cd berurutan adalah tidak terdeteksi (ttd < 0,05 mg/kg); 0,34 mg/kg dan 0,40 mg/kg yang semuanya masih di bawah MRL (maximum residue limits). Dari hasil analisis dapat dilaporkan bahwa kerang mas ngur ini aman untuk dikonsumsi. Berhubung akan dikonsumsi secara berulang-ulang karena akan digunakan sebagai nutraceutical, maka dilakukan pengujian toksisitas sub-kronis.

Hasil pengujian toksisitas sub-kronis menunjukkan bahwa tidak ada kematian tikus percobaan selama 90 hari masa percobaan. Semua tikus dalam kondisi sehat, aktif dan tidak ada tanda-tanda keracunan meskipun pada perlakuan dosis tinggi sekalipun. Akan tetapi, pengamatan gejala klinis tikus percobaan ini masih perlu dikonfirmasi dengan parameter pengujian toksisitas sub-kronis yang lain, karena hanya dilakukan secara visual. Pada pengamatan gejala klinis yang lebih terukur yaitu menggunakan alat timbangan untuk menimbang berat badan tikus dan jumlah konsumsi pakan (nilai FCR), menunjukkan bahwa terjadi gejala klinis pada pemberian kerang mas ngur dosis tinggi, yaitu mengakibatkan perubahan berat badan tikus paling rendah dan ditemukan nilai FCR tertinggi dibandingkan kontrol dan kedua perlakuan lainnya. Diduga, organ pencernaan dan organ hati tikus pada dosis tinggi tersebut telah mengalami kerusakan. Pakan yang dikonsumsi oleh tikus tidak dapat diserap secara baik oleh organ pencernaan dan tidak dapat dimetabolisme secara sempurna oleh hati, akhirnya mengakibatkan berat badan tikus lebih rendah dari kontrol dan kedua perlakuan yang lain.

Pemberian kerang mas ngur dosis tinggi juga mengakibatkan gejala klinis pada hasil analisis biokimia serum darah SGPT dan SGOT untuk menentukan kerusakan hati tikus percobaan. Pada dosis tinggi, kadar kedua enzim tersebut berurutan sebesar 73,33±18,15 IU/L dan 151,00±48,00 IU/L; mempunyai aktivitas tertinggi melebihi kontrol sebesar 54,00±9,54 IU/L dan 121,33±17,10 IU/L; dosis rendah sebesar 45,33±10,16 IU/L dan 105,33±22,37 IU/L; dosis sedang sebesar 50,67±6,51 IU/L dan 109,00±31,43 IU/L. Untuk melihat lebih dalam sifat toksik kerang mas ngur dilakukan histopatologi organ hati. Pada pemeriksaan histopatologi hati menunjukkan bahwa gejala patologis muncul pada perlakuan dosis tinggi, dimana persentase kerusakan sel hati dalam bentuk degenerasi maupun nekrosis sebesar 35,44%±6,12 dan 17,44%±2,84; persentasenya tertinggi melebihi kontrol sebesar 30,14%±6,29 dan 10,43%±1,65; dan kedua perlakuan yang lain yaitu dosis rendah sebesar 31,91%±3,09 dan 7,64%±2,20; dosis sedang sebesar 30,25%±7,30 dan 8,26%±1,46. Dari hasil analisis kadar SGPT dan SGOT serta pemeriksaan histopatologi hati secara mikroskopis dilaporkan bahwa pemberian kerang mas ngur dosis tinggi bersifat toksik pada organ hati. Sedangkan pada pemberian kerang mas ngur dosis rendah


(6)

v

untuk menentukan kerusakan ginjal tikus percobaan, meskipun diberikan kerang mas ngur dosis tinggi sekalipun. Kadar BUN dan kreatinin pada pemberian kerang mas ngur dosis tinggi sebesar 70,67±6,51 mg/dL dan 0,83±0,15 mg/dL; dosis sedang sebesar 56,67±4,51 mg/dL dan 0,80±0,10 mg/dL; dosis rendah sebesar 76,33±5,51 mg/dL dan 0,87±0,06 mg/dL. Kadar ketiga perlakuan masih lebih rendah dari kontrol sebesar 76.33±5,51 mg/dL dan 1,00±0,20 mg/dL. Begitu pula, tidak terjadi gejala patologis pada pemeriksaan histopatologi ginjal. Persentase kerusakan degenerasi sel ginjal dosis tinggi sebesar 26,43%±3,74 masih lebih rendah dari kontrol sebesar 29,28%±2,98; dosis rendah sebesar 30,24%±5,38 dan dosis sedang sebesar 27,82%±2,09. Sedangkan kerusakan nekrosis sel ginjal relatif stabil pada semua perlakuan, kontrol sebesar 7,93%±0,87; dosis rendah sebesar 7,21%±0,92; dosis sedang sebesar 7,45%±0,77 dan dosis tinggi sebesar 7,72%±0,88. Dari hasil analisis kadar BUN dan kreatinin serta pemeriksaan histopatologi ginjal secara mikroskopis dilaporkan bahwa pemberian kerang mas ngur hingga dosis tinggipun tidak bersifat toksik.


(7)

vi

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyatakan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu makalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

vii

AHMAD MUHAMAD MUTAQIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

viii

Nama : Ahmad Muhamad Mutaqin NRP : C351060101

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(10)

ix

karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah toksisitas, dengan judul Pengujian Toksisitas Kerang Mas Ngur (Atactodea striata).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc dan Ibu drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Serta terima kasih disampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Maria Bintang, MS sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan demi lebih sempurnanya tulisan ini.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP), DKP Bapak Ir. Santoso, M.Phil yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi serta fasilitas laboratorium yang diberikan. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada Ibu Murtiningsih, M.App.Sc; Bapak Budi Djatmiko, MM dan Ibu Suwarti, MM beserta teman-teman BBP2HP atas pengertian, dorongan semangat maupun bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Terima kasih disampaikan kepada ketua tim Hibah Penelitian Tim Pasca (HPTP) dengan judul : Screening, Isolasi dan Identifikasi Inhibitor Topoisomerase untuk target penemuan anti kanker dari organisme pesisir/ laut yang telah digunakan sebagai obat tradisional (2006-2007), yang telah mendanai penelitian ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak drh. Widodo, Kasie Pemeliharaan Hewan - BPOM, Jakata dan Ibu Keni yang telah membantu penelusuran pustaka untuk penulisan tesis. Bapak Ir. Jacob Yoppie Kepala Lab. Perikanan (LPPMHP) Tual yang telah membantu pengambilan contoh kerang mas ngur. Pak Soleh dan Pak Kasnadi, teknisi Bagian Patologi Departemen KRP, FKH-IPB atas segala bantuan yang diberikan.

Hasil karya ini penulis persembahkan kepada kedua Orangtuaku Bapak H. Moch Irfan (Alm) dan Ibu Hj. Siti Supartin (Alm), Istri dan anak-anakku tercinta : Diana Rahmawati, S.Pd; Bagaskara Irvan dan Dimas Adi Mafaiz atas segala pengertian, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi. Kepada Mertuaku Bapak Imam Turmudzi dan Ibu Siti Zahro, keluarga Solo dan Banjarnegara terima kasih atas dukungan dan doanya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian, khususnya teman seperjuangan pascasarjana THP 06 : Mba Poe rekan satu grup penelitian, Mba Ninik, Mba Uci, Mba Tia, Pa Mat, Pa Max, Mas Candra dan Pa Dani atas bantuan dan persahabatannya. Terima kasih juga kepada Mba Wiwit dan Mba Rahma, analis lab. Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen THP, FPIK-IPB.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2008


(11)

x

Penulis adalah anak kesepuluh dari sebelas bersaudara, dari orang tua Bapak H. Moch Irfan (Alm) dan Ibu Hj. Siti Supartin (Alm). Pada tahun 1999 menikah dengan Diana Rahmawati, S.Pd dan dikaruniai dua anak Bagaskara Irvan dan Dimas Adi Mafaiz.

Pada tahun 1991 lulus dari SMA Negeri 07 Solo. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, diterima sebagai mahasiswa melalui Program Seleksi Siswa Berpotensi (PSSB) dan memperoleh gelar sarjana S1 pada tahun 1996. Pada Tahun 2006 melalui beasiswa dana APBN, mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

Pada tahun 1996, Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP), Departemen Kelautan dan Perikanan hingga sekarang. Pada tahun 2002, menjadi Pengawas Mutu Hasil Perikanan (Fish Inspector) dengan noreg. 313/Insp/2003. Pada tahun 2003, menjadi anggota aktif organisasi IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission) wilayah Westpac (Asia Pasifik Barat) bidang : Harmful on Algae and Fish Toxin.


(12)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis Penelitian ... 4

II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kerang Mas Ngur ... 5

2.2 Kandungan Senyawa Aktif dan Nutrisi Kerang Mas Ngur ... 6

2.3 Persyaratan Standar Mutu Kerang Mas Ngur ... 9

2.3.1 Shellfish Toxin ... 10

2.3.2 Logam Berat ... 12

2.4 Toksisitas ... 13

2.5 Organ Hati ... 14

2.5.1 Histologi Hati ... 15

2.5.2 Patologi Hati ... 15

2.6 Organ Ginjal ... 16

2.6.1 Histologi Ginjal ... 17


(13)

xii

3.2 Bahan Penelitian ... 19

3.2.1 Bahan Uji ... 19

3.2.2 Hewan Percobaan ... 19

3.2.3 Pakan dan Minuman ... 19

3.2.4 Bahan Kimia ... 20

3.3 Peralatan Penelitian ... 20

3.3.1 Peralatan Analisis Shellfish Toxin ... 20

3.3.2 Peralatan Analisis Logam Berat ... 20

3.3.3 Peralatan Pengujian Toksisitas Sub-kronis ... 20

3.4 Pengambilan dan Preparasi Contoh ... 20

3.5 Tahap Penelitian ... 21

3.5.1 Tahap I : Pengujian Standar Mutu Kerang Mas Ngur ... 21

3.5.1.1 Analisis Shellfish Toxin ... 21

3.5.1.2 Analisis Logam Berat ... 22

3.5.2 Tahap II : Pengujian Toksisitas Sub-kronis Mas Ngur ... 22

3.5.2.1 Aklimatisasi Tikus Percobaan ... 22

3.5.2.2 Pemeliharaan Tikus Percobaan ... 23

3.5.2.3 Parameter Pengujian Toksisitas Sub-kronis ... 25

a. Pengamatan Gejala Klinis Tikus Percobaan ... 25

b. Penimbangan Berat Tikus dan Nilai FCR ... 25

c. Analisis Biokimia Serum Darah ... 25

d. Histopatologi Organ Hati dan Ginjal ... 26


(14)

xiii

4.2 Toksisitas Sub-kronis Kerang Mas Ngur ... 35

4.2.1 Gejala Klinis Tikus Percobaan ... 35

4.2.2 Berat Badan Tikus dan Nilai FCR ... 38

4.2.3 Serum Darah Tikus Percobaan ... 41

4.2.4 Histopatologi Organ Hati dan Ginjal ... 47

4.2.4.1 Histopatologi Hati ... 47

4.2.4.2 Histopatologi Ginjal ... 58

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(15)

xiv

Halaman

1 Rendemen ekstrak kerang mas ngur dengan metode bertingkat ... 7

2 Fitokimia senyawa aktif kerang mas ngur ... 8

3 Komposisi kimia dan asam-asam amino kerang mas ngur ... 8

4 Kandungan shellfish toxin kerang mas ngur ... 29

5 Kandungan logam berat kerang mas ngur ... 33

6 Gejala klinis tikus percobaan selama 90 hari ... 36

7 Kadar SGPT dan SGOT tikus percobaan ... 43

8 Kadar BUN dan kreatinin tikus percobaan ... 45

9 Histopatologi organ hati tikus percobaan ... 50


(16)

xv

Halaman

1 Kerang mas ngur dari pantai Desa Ohoililir, ... 5

Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara 2 Larva veliger hingga pediveliger genus Paphies (A. striata) ... 6

3 Desain penelitian pengujian toksisitas sub-kronis ... 24

4 Berat badan tikus percobaan ... 38

5 Nilai FCR tikus percobaan ... 40

6 Kerusakan sel degenerasi dan nekrosis organ hati pada perlakuan dosis tinggi (D/4), pewarnaan HE ... 48

7 Kerusakan sel degenerasi dan nekrosis organ ginjal pada perlakuan dosis tinggi (D/4), pewarnaan HE ... 60


(17)

xvi

Halaman

1 Diagram roadmap penelitian ... 70

2 Peta lokasi pengambilan contoh (Pantai Desa Ohoililir) ... 71

3 Berat badan tikus dan jumlah konsumsi pakan ... 72

4 Contoh penghitungan persentase histopatologi ... 73

5 Analisis sidik ragam berat badan tikus dan nilai FCR ... 74

6 Analisis sidik ragam kadar SGPT dan SGOT ... 75

7 Analisis sidik ragam kadar BUN ... 76

8 Analisis sidik ragam kadar kreatinin ... 77


(18)

xix


(19)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai organisme perairan telah digunakan secara empirik oleh nenek moyang kita dan masih dimanfaatkan hingga sekarang karena terbukti khasiatnya untuk pencegahan maupun pengobatan suatu penyakit. Sebagai contoh adalah pemanfaatan kerang Atactodea striata oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara yang dikenal dengan nama lokal kerang mas ngur. Kerang tersebut secara turun-temurun telah digunakan sebagai obat tradisional untuk membantu menyembuhkan penyakit kuning.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang pangan dan kesehatan maka makin dituntut bukti ilmiah manfaat kerang mas ngur yang berasal dari perairan laut tersebut. Secara ilmiah telah diidentifikasi senyawa aktif dan kandungan nutrisi kerang mas ngur. Waranmaselembun (2007) melaporkan bahwa kerang mas ngur dari Kei, Maluku Tenggara memiliki senyawa aktif jenis steroid, alkaloid dan saponin. Ketiga senyawa aktif tersebut mempunyai aktivitas sebagai inhibitor topoisimerase I sehingga berkolerasi dengan senyawa anti kanker. Selain itu, kerang tersebut mengandung nutrisi tinggi seperti protein sebesar 56,08%; karbohidrat 21%; lemak 5,95%; air 7,84%; abu 7,88% dan serat kasar 1,25%. Asam aminonya cukup lengkap dengan spesifikasi seperti jumlah total asam amino non esensial (AANE) lebih besar daripada asam amino esensial (AAE); asam glutamat dan sistein serta asam amino rantai panjang seperti leusin dan isoleusin ditemukan dalam jumlah tinggi melebihi asam amino sejenis pada tepung ikan.

Mutaqin et al. (2004) melaporkan bahwa kepah kecil (baby clam) dari Perairan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara bebas toksin PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (diarrheic shellfish poisoning) dan ASP (amnesic shellfish poisoning). Yang et al. (2003), mengisolasi dan memurnikan enzim GST (glutation s-transferase) dari A. striata dengan berat molekul 24 KDa dan 48 KDa. Enzim tersebut merupakan salah satu enzim yang berperan dalam detoksifikasi racun pada organ hati. Feri (2003) telah mengekstraksi senyawa aktif dari tude bombang (A. striata) dengan beberapa pelarut dan ekstraknya mampu


(20)

menghambat bakteri jenis Staphylococcus aureus dan Diplococcus pneumonia. Makkasau (2001) melaporkan bahwa kepah (A. striata) mengandung asam lemak utama terdiri dari asam stearat; asam oleat; asam palmitat; asam 9-oktadekanoat-12-asetil oksi metil ester dan asam 11-oktadekanoat metil ester.

Di balik kandungan senyawa aktif dan nutrisi yang tinggi, kerang mas ngur merupakan organisme laut yang mudah tercemar bahkan dapat digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu perairan. Achmad dan Sunarya (1997) melaporkan bahwa perairan tercemar dapat disebabkan oleh limbah industri, buangan kapal dan limbah rumah tangga. Limbah tersebut dapat berbentuk bahan kimia seperti merkuri (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd); bakteri patogen dan sampah lainnya. Selain itu, di perairan tersebut ditemukan fitoplankton beracun (harmful algae bloom) sehingga kerang yang memakannya menjadi sangat beracun. Jenis racun tersebut antara lain PSP, DSP dan ASP.

Pengalaman tradisional dan pengetahuan mengenai kandungan senyawa aktif dan nutrisi tinggi dari kerang mas ngur akan lebih berguna bagi masyarakat apabila dimanfaatkan menjadi produk nutraceutical. Barrow dan Shahidi (2008) melaporkan bahwa nutraceutical merupakan produk pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan karena mengandung senyawa aktif tertentu untuk pencegahan atau membantu penyembuhan penyakit sekaligus mengandung nutrisi tinggi dalam meningkatkan stamina tubuh. Goldberg (1994) melaporkan bahwa persyaratan nutraceutical yang telah berkembang pesat di Jepang dan Cina adalah (1) Produk tersebut haruslah produk pangan yang berasal dari bahan yang terdapat secara alami; (2) Produk tersebut dapat dan selayaknya dikonsumsi sebagai bagian diet atau menu sehari-hari dan (3) Produk tersebut mempunyai fungsi tertentu pada waktu cerna, memberikan peran dalam proses tubuh tertentu seperti memperkuat dan mempertahankan stamina tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu untuk memperbaiki kondisi tubuh setelah terserang penyakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental serta memperlambat proses penuaan. Sukirno (2007) mengatakan bahwa penelitian dan pengembangan bahan alam sebagai obat meliputi dua hal penting yakni penelitian penapisan senyawa aktif bahan alam tersebut serta pengujian khasiat dan keamanan produk tersebut.


(21)

Metode pengujian keamanan yang umum digunakan adalah pengujian toksisitas sub-kronis. Pengujian tersebut dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sampai 90 hari secara in vivo menggunakan hewan percobaan seperti tikus, mencit, monyet dan lainnya; yang diberi bahan uji secara berulang-ulang (Derelanko & Hollinger 1995; Lea et al. 2004). Pengujian tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keamanan suatu produk, apakah produk tersebut dapat menyebabkan kerusakan atau kematian sel, yang akan menyebabkan mekanisme karsinogenik. Dari pengujian tersebut sekaligus dapat diperoleh informasi tentang penggunaan dosis aman sesuai dengan kebutuhan pola diet.

1.2 Perumusan Masalah

Perairan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang besar, sehingga sangat berpotensi menghasilkan nutraceutical yang lebih bervariasi. Untuk itu, nutraceutical perlu terus dikembangkan agar bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Saat ini, nutraceutical merupakan produk yang diminati oleh masyarakat modern karena selain berkhasiat dalam pencegahan ataupun membantu penyembuhan suatu penyakit, bahan baku produk tersebut bersifat alami dan dapat digunakan sebagai menu diet sehari-hari.

Pada penelitian sebelumnya telah berhasil diidentifikasi kandungan senyawa aktif dan nutrisi tinggi dari kerang mas ngur. Agar kerang tersebut dapat digunakan sebagai nutraceutical, maka harus dilengkapi data ilmiah tentang keamanan dari produk tersebut. Data yang dimaksud hingga kini belum ada karena pada tahap ini belum dilakukan penelitian. Pengujian keamanan dapat dilakukan melalui pengujian toksisitas sub-kronis secara in vivo.

Secara habitat dan fisiologi, kerang mas ngur mudah terkontaminasi oleh shellfish toxin jenis PSP, DSP dan ASP dan logam berat jenis Hg, Pb dan Cd yang terdapat di sekitar hidupnya. Pengujian bahan-bahan berbahaya tersebut harus dilakukan agar persyaratan standar mutu kerang yang akan digunakan sebagai bahan nutraceutical dapat terpenuhi, sekaligus memastikan bahwa kerang yang akan digunakan sebagai bahan untuk pengujian toksisitas sub-kronis telah terbebas dari parameter pengganggu tersebut. Adapun roadmap penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji tingkat keamanan kerang mas ngur melalui 2 tahap pengujian, yaitu :

1.3.1 Pengujian persyaratan standar mutu produk kekerangan terdiri dari : ƒ Kandungan shellfish toxin jenis PSP, DSP dan ASP.

ƒ Kandungan logam berat jenis Hg, Pb dan Cd. 1.3.2 Pengujian toksisitas sub-kronis dengan parameter uji :

ƒ Pengamatan gejala klinis seperti tingkah laku tikus percobaan, kondisi mata dan bulu, bentuk feses, penimbangan berat badan tikus dan nilai FCR (food conversion ratios).

ƒ Analisis biokimia serum darah (SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin). ƒ Histopatologi organ hati dan ginjal.

1.4 Manfaat Penelitian

Diperoleh data keamanan (sifat toksik) kerang mas ngur yang meliputi jaminan keamanan standar mutu dan toksisitas sub-kronis. Apabila terbukti aman maka kerang tersebut dapat digunakan sebagai nutraceutical. Masyarakat dapat mengkonsumsi dengan aman sesuai pola diet.

1.5 Hipotesis Penelitian

Kerang mas ngurmemenuhi persyaratan :

ƒ Keamanan standar mutu produk kekerangan. Kandungan shellfish toxin (PSP, DSP dan ASP) kerang mas ngur di bawah MPL (maximum permitted limits) dan kandungan logam berat (Hg, Pb dan Cd) juga dibawah MRL (maximum residue limits).

ƒ Keamanan melalui pengujian toksisitas sub-kronis. Hasil pengamatan gejala klinis menunjukkan bahwa tikus percobaan dalam kondisi sehat dan memiliki berat badan yang normal; kadar SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin masih dalam batas normal serta pemeriksaan histopatologi organ hati dan ginjal ditandai tidak adanya kematian atau kerusakan sel melebihi perlakuan kontrol tanpa pemberian daging kerang mas ngur kering.


(23)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerang Mas Ngur

Kerang mas ngur (Atactodea striata) mempunyai ukuran cangkang hingga 25 mm. Kerang tersebut berwarna putih keemasan. Pada permukaan cangkangnya terdapat garis-garis halus yang tidak beraturan. Kerang ini umumnya hidup di pantai berpasir dan tahan terhadap arus yang kuat (Mc Lachlan et al. 1995).

Di Indonesia, A. striata (lihat Gambar 1) dijumpai dengan nama daerah berbeda-beda. Di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara kerang ini disebut sebagai kepah kecil (baby clam). Masyarakat Kei, Maluku Tenggara menyebutnya dengan kerang mas ngur (bia mas ngur). Sedangkan masyarakat Makasar mengenalnya dengan istilah kepah atau tude bombang. Menurut Marshall dan Williams (1972), klasifikasi A. striata adalah sebagai berikut :

filum : Moluska kelas : Bivalvia

ordo : Veneroidea

famili : Mesodesmatidae genus : Paphies

sub-genus : Atactodea spesies : striata

Gambar 1 Kerang mas ngur dari Pantai Desa Ohoililir, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara


(24)

Tirado et al. (2003) melaporkan bahwa Veneroidea dimana kerang mas ngur termasuk ordo tersebut melakukan pemijahan sepanjang tahun. Selanjutnya Nugranad dan Noodang (2000) melaporkan bahwa hewan tersebut bersifat dioecious, yakni setiap individu dapat menghasilkan spermatozoa dan juga dapat menghasilkan sel telur. Jenis kerang ini memijah sekitar bulan Mei-Agustus. Pemijahan terjadi jika sperma membuahi sel telur, kemudian telur yang dibuahi berkembang menjadi larva trochophore (veliger)berukuran 111,2±2,8 µm. Larva ini dikenal sebagai planktonik larva yang berenang bebas selama 5-7 hari hingga berkembang menjadi pediveliger dengan ukuran 170-190 µm dan sudah mulai memiliki kaki untuk berjalan pelan. Setelah 17 hari larva berkembang menjadi juvenil dengan ukuran 300-510 µm. Pada tahap ini kerang mulai mengalami settlement. Tahap akhir siklus hidup kerang terjadi setelah juvenil berumur 2,5 bulan, ditandai dengan variasi ukuran (0,4-4,5 mm) dan corak warna cangkang. Menurut Redfearn (1987), famili Mesodesmatidae termasuk Paphies spp. telah berhasil dibudidayakan di daerah Tua-Tua, Selandia Baru dengan bentuk larva veliger hingga pediveliger seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Larva veliger hingga pediveliger genus Paphies (A. striata)

2.2 Kandungan Senyawa Aktif dan Nutrisi Kerang Mas Ngur

Kerang merupakan salah satu produk perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Produk ini tidak hanya dikonsumsi lokal namun juga diekspor dalam bentuk segar, beku dan dikalengkan. Selain menghasilkan devisa, hewan ini memiliki rasa yang enak dan nilai gizinya yang tinggi yakni mengandung


(25)

protein tinggi dan asam-asam lemak tak jenuh esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Surh et al. 2003).

Waranmaselembun (2007) melaporkan bahwa ekstraksi senyawa aktif kerang mas ngur menggunakan tiga jenis pelarut organik dengan tingkat kepolaran berbeda yakni heksan, etil asetat dan metanol menghasilkan rendemen ekstrak yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rendemen ekstrak kerang mas ngur dengan metode bertingkat Ekstrak Berat Awal Pelarut Berat Rendemen Rendemen

Contoh (g) (ml) (g) (%)

Heksan 50 100 0,960 1,92

Etil asetat 50 100 0,655 1,31

Metanol 50 100 2,880 5,76

(sumber : Waranmaselembun 2007)

Hasil ekstraksi ketiga pelarut memiliki aktivitas sebagai inhibitor topoisomerase I dengan mekanisme poison yakni ditunjukkan oleh terbentuknya nick complex sesuai dengan kontrol positif camptothecin. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa ekstrak metanol memiliki MIC (minimum inhibitory concentration) sebesar 5 μg/ml. Nilai ini dikatakan aktif karena mempunyai nilai MIC < 10 μg/ml (Zahir 1996).

Pommier (1993); TopoGen (2006) mengatakan bahwa enzim topoisomerase berfungsi dalam replikasi DNA dan ditemukan dalam jumlah berlebihan pada sel kanker, sedangkan mekanisme poison berarti bahan inhibitor mampu menahan kompleks pembelahan terhadap ikatan enzim dan substrat yang telah terjadi sehingga menghambat replikasi DNA. Lebih lanjut Pommier (1993) mengatakan bahwa bahan yang positif sebagai inhibitor topoisomerase menunjukkan aktivitas anti kanker pada pengujian in vivo.

Waranmaselembun (2007) juga melaporkan hasil uji fitokimia dari ketiga ekstrak yang disajikan pada Tabel 2 dan kandungan nutrisi meliputi komposisi kimia dan asam-asam amino dapat dilihat pada Tabel 3.

Mutaqin et al. (2004) melaporkan bahwa kepah kecil (baby clam) dari Perairan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara yang dianalisis menggunakan metode HPLC mengandung senyawa domoic acid dengan konsentrasi rendah


(26)

sebesar 10 ng/g, masih jauh di bawah persyaratan keamanan standar mutu produk yakni maksimum 20 µg/g. Adapun analisis terhadap senyawa saxitoxin dan okadoic acid menggunakan metode mouse bioassay dilaporkan bahwa hasilnya masing-masing tidak terdeteksi dan negatif. Hal ini dapat dikatakan bahwa kepah kecil yang berasal dari perairan tersebut terbebas dari ketiga toksin dan aman untuk dikonsumsi.

Tabel 2 Fitokimia senyawa aktif kerang mas ngur

Uji Pereaksi Ekstrak

Heksan Etil asetat Metanol

Alkaloid Dragendrof - - -

Meyer - - +

Wagner + + +

Flavonoid H2SO4 - - -

Steroid Lieberman Burchad - +

Saponin Pengocokan + - +

(Sumber : Waranmaselembun 2007)

Tabel 3 Komposisi kimia dan asam-asam amino kerang mas ngur Komposisi Kimia AA Esensial AA Non Esensial

(%) (%) (%)

Protein : 56,08 Isoleusin : 4,82 Asam glutamat : 12,08 Lemak : 5,95 Leusin : 4,01 Sistein : 0,84 Air : 7,84 Valin : 2,29 Glisin : 2,28 Abu : 7,88 Treonin : 3,78 Asam aspartat : 6,65 Karbohidrat : 21,00 Metionin : 1,63 Serin : 1,36 Serat kasar : 1,25 Fenilalanin : 2,43 Alanin : 2,47 Lisin : 3,39 Prolin : 1,59 Histidin : 1,35 Tirosin : 3,30

Arginin : 0,95

Total : 40,46 Total : 59,54 (Sumber : Waranmaselembun 2007)

Feri (2003) mengekstraksi senyawa aktif tude bombang (A. striata) dengan 4 jenis pelarut berbeda yakni diklorometana, etil asetat, kloroform dan metanol. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa semua ekstrak mampu menghambat aktivitas bakteri Staphylococcus aureus. Sedangkan bakteri Diplococcus pneumonia hanya mampu dihambat oleh ekstrak diklorometana dan ekstrak heksan.


(27)

Yang et al. (2003) telah mengisolasi dan memurnikan enzim GST (glutation s-transferase) dari hepatopankreas A. striata. Enzim tersebut memiliki berat molekul 24 KDa dengan metode SDS-PAGE elektroforesis dan berat molekul 48 KDa dengan metode gel kromatografi. Enzim yang telah dimurnikan mempunyai aktivitas tinggi terhadap substrat 1-chloro-2,4-dinitrobenzene (CDNB) dan 7-chloro-4-nitrobenzo-2-oxa-1,3-diazole (NBD-Cl). Mempunyai nilai isoelektrik point 5,5 dengan aktivitas optimumnya pada suhu 38oC dan kisaran pH 8. Hodgson dan Levi (2000) mengatakan bahwa enzim GST merupakan famili enzim yang berfungsi mendetoksifikasi racun pada reaksi fase dua, dengan mekanisme yaitu mengkatalisis terhadap konjugasi racun atau metabolitnya dengan metabolit endogenous tubuh yaitu glutation.

Makkasau (2001) melaporkan bahwa kandungan asam-asam lemak utama kepah (A. striata) terdiri dari 2 asam lemak jenuh yaitu asam palmitat (asam heksadekanoat) dan asam stearat (asam oktadekanoat), serta 3 jenis asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat (asam 9-oktadekanoat); asam 9-oktadekanoat-12- asetil oksi, metil ester dan asam 11-oktadekanoat, metil ester.

2.3 Persyaratan Standar Mutu Kerang Mas Ngur

Di satu sisi kerang merupakan komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, tetapi di sisi lain bisa menjadi produk pangan yang berbahaya, karena toksin dan bahan pencemar lain dapat terkonsentrasi dalam tubuh kerang dan kemudian bertindak sebagai inang dalam proses penyampaiannya kepada manusia sebagai konsumen (Lusiastuti 2003). Oleh karena itu, negara penghasil kerang harus membuat “Program Sanitasi Kekerangan” untuk menjamin konsumen kekerangan domestik serta menjawab tantangan pasar internasional. Program tersebut meliputi : pembuatan kelas perairan bagi kekerangan, penetapan daerah pemberokan (relaying), standar pemanenan, standar pemurnian dan depurasi, pengawasan dan sertifikasi di unit pengolahan, standar uji laboratorium, pengaturan ekspor dan lain-lain (Achmad & Sunarya 1997).

Dalam standar perdagangan internasional, Uni Eropa sebagai negara importir meminta negara-negara eksportir kekerangan untuk mengikuti persyaratan sesuai regulasi UE : council directive 91/492/EEC dengan revisi no :


(28)

2002/225/EC tentang “Standar Mutu Produk Kekerangan” (European Commission 2002). Pada tahun 2003, Indonesia sebagai negara eksportir kekerangan melakukan beberapa perubahan kebijakan terkait dengan program sanitasi kekerangan. Salah satu kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 17/MEN-KP/2004 tentang “Sanitasi Kekerangan”, dengan harapan akan memberikan hasil yang terbaik bagi kegiatan ekspor produk kerang (Mutaqin et al. 2004). Dalam Kepmen tersebut pada BAB V dicantumkan persyaratan standar mutu produk kekerangan yang telah mengacu kepada persyaratan perdagangan internasional (DKP 2004), antara lain : ƒMemenuhi karakteristik secara visual yang berhubungan dengan kesegaran dan

kelangsungan hidup, termasuk cangkang bersih dari kotoran, memberikan reaksi terhadap ketukan dan mengandung cairan intravalvular yang normal.

ƒKandungan faecal coliform kurang dari 300 atau E. coli kurang dari 230/100 g daging kerang berdasarkan 5 seri tabung pengenceran pada uji MPN.

ƒTidak boleh mengandung Salmonella dalam 25 g daging kerang.

ƒKandungan total PSP (saxitoxin) dalam daging kerang tidak boleh lebih 80 µg/100 g daging kerang dengan menggunakan metode uji bioassay.

ƒMetode uji bioassay untuk DSP (okadoic acid) harus negatif.

ƒKandungan ASP (domoic acid) dalam daging kerang tidak boleh lebih dari 20 µg/g daging kerang dengan menggunakan metode HPLC.

ƒKandungan merkuri (Hg) tidak lebih dari 0,5 mg/kg berat bersih. ƒKandungan timbal (Pb) maksimum 1,5 mg/kg berat bersih. ƒKandungan kadmium (Cd) maksimum 1,0 mg/kg berat bersih. 2.3.1 Shellfish Toxin

Shellfish toxin atau disebut biotoxin adalah racun yang terdapat pada produk kekerangan, akibat kerang tersebut memakan fitoplankton beracun (Sato 2006). Casarett dan Doull’s (1986) melaporkan bahwa paling tidak terdapat 80 spesies fitoplankton yang diketahui toksik terhadap manusia melalui perantara organisme laut seperti ikan, kerang, kepiting dan rumput laut. Menurut European Commission (2002) terdapat tiga jenis shellfish toxin yang dipersyaratkan Uni Eropa untuk dilakukan deteksi pada setiap produk kekerangan yang akan


(29)

dikonsumsi, yaitu PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (diarrheic shellfish poisoning) dan ASP (amnesic shellfish poisoning).

Bhakuni dan Rawat (2005) mengatakan bahwa PSP dihasilkan oleh fitoplankton (mikroalga) Dinoflagellata yang umumnya beracun, bakteri jenis Vibrio spp. dan juga blue-green algae yang ditemukan di perairan tawar. Menurut Praseno (1996), spesies Dinoflagellata yang dapat mengeluarkan racun PSP antara lain Pyrodinium bahamense var. compressum, beberapa spesies dari genus Alexandrium (spesies : catenella, tamiyavanchii, tamarense) dan Gymodinium catenatum. Menurut Sato (2006) komponen racun yang ada pada Pyrodinium

bahamense var. compressum adalah GTX5, GTX6, neoSTX dan STX; A. catenella adalah GTX3 dan C2; A. tamiyavanchii adalah : GTX5, GTX4,

GTX3 dan C2; A. tamarense adalah GTX4 dan C2; Gymodinium catenatum adalah : GTX5, GTX, C2, GTX3, neoSTX dan STX. Menurut Martin et al. (2000), toksin DSP dihasilkan oleh fitoplankton beracun spesies Dinophysisfortii, D. acuminata, D. acuta, D. norvegica, D. mitra, D. rotundata, D. tripos dan Prorocentrum lima. Sedangkan toksin ASP dihasilkan oleh Diatom spesies Pseudonitzschia pungen multiseries dan P. Australis.

Berikut ini digambarkan contoh metabolisme toksin misalnya toksin PSP dalam tubuh kerang. PSP yang masuk ke dalam tubuh kerang tidak berpengaruh terhadap organisme tersebut dan akan menyebabkan keracunan serius bagi manusia yang mengkonsumsinya (Praseno 1996). Akan tetapi, saat ini telah diketahui adanya bukti terbaru bahwa kerang yang mengakumulasi fitoplankton beracun A. tamarense mengakibatkan aktivitas kerang menurun, seperti turunnya aktivitas pembukaan cangkang, konsumsi oksigen, aktivitas penyaringan makanan dan jumlah produksi byssus, namun belum ditemukan adanya kematian kerang seperti kasus keracunan pada manusia (Martin et al. 2000).

Semua kerang mengakumulasi dan mengeliminasi PSP. Proses fisiologi dalam mengakumulasi dan mengeliminasi PSP untuk masing-masing jenis kerang berbeda-beda. Jenis mussel menjadi sangat beracun selama beberapa hari pada saat terjadi red tide akan tetapi racun tersebut segera hilang dengan secepatnya. Sebagai contoh, mussel (Mytilus edulis dan Modiolus modiolus) tingkat racunnya menjadi sangat tinggi lebih dari 8000 µg/100 g contoh dalam 2 hari, pada hari


(30)

berikutnya racun berangsur-angsur menurun (Martin et al. 2000). Lebih lanjut dikatakan, soft clam (Mya arenaria) dan oyster (Crassostrea virginica) memerlukan waktu lebih lama untuk mengakumulasi PSP dan secara umum kandungan racunnya lebih rendah dari mussel. Mya arenaria menjadi beracun rata-rata satu minggu setelah mussel dan juga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengeliminasi racun. Sedangkan pengalaman di lapangan, ditampilkan data bahwa oyster dalam mengakumulasi A. tamarense (mengandung PSP) sangat sedikit yakni rata-rata dua minggu setelah mussel. Kemudian racun dari oyster dapat dihilangkan (didepurasi) rata-rata 2 hingga 4 minggu.

2.3.2 Logam Berat

Connell dan Miller (1995) melaporkan bahwa logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan tambang, vulkanisme dan sebagainya. Logam dapat dibagi menjadi tiga kelompok :

1. Logam ringan (seperti natrium, kalium, kalsium dan sebagainya), biasanya sebagai kation aktif di dalam larutan encer.

2. Logam transisi (seperti besi, tembaga, kabel dan mangan) diperlukan dalam konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang tinggi.

3. Logam berat dan metaloid (seperti merkuri, timbal, kadmium, selenium dan arsen), umumnya tidak diperlukan dalam kegiatan metabolisme dan merupakan racun bagi sel pada konsentrasi rendah.

Menurut Darmono (2001), logam berat adalah suatu logam dengan bobot jenis lebih besar. Logam ini memiliki karakter seperti berkilau, lunak atau dapat ditempa, mempunyai daya hantar reaksi dengan asam. Selain itu logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 gr/cm3, mempunyai nomor atom lebih besar dari 21 dan terdapat di bagian tengah daftar periodik.

Alloway dan Ayres (1993) mengatakan bahwa logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam dan metaloid dan seringkali ditemukan pada unsur seperti Hg, Pb, Cd, Cr, Ni, dan Zn. Unsur-unsur tersebut biasanya besar kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Logam berat secara alami ditemukan pada batu-batuan dan mineral lainnya, maka dari itu


(31)

logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah, sedimen, air dan organisme hidup serta akan menyebabkan pencemaran bila konsentrasinya telah melebihi batas normal.

2.4 Toksisitas

Hodgson dan Levi (2000) melaporkan bahwa satu hal yang perlu diperhatikan dengan toksisitas adalah nilai kuantitatif dosis yaitu suatu bahan akan berbahaya pada dosis tertentu, dan mungkin menjadi tidak berbahaya pada dosis yang lebih rendah. Untuk menentukan nilai kuantitatif dosis atau tingkat toksisitas suatu bahan terhadap organisme diperlukan pengukuran toksisitas yang tidak sederhana. Mengingat toksisitas mungkin bersifat akut ataupun kronis dan sangat dipengaruhi oleh variasi umur, jenis kelamin, pola makan dan kondisi fisiologi.

Lu (2006) menggolongkan pengujian toksikologi menjadi tiga jenis berdasarkan lama masa toksisitas yaitu toksisitas akut, toksisitas jangka pendek dan toksisitas jangka panjang. Sedangkan menurut pendapat Loomis (1978), pada umumnya pengujian toksisitas dapat dibagi menjadi dua golongan yakni uji toksikologi umum dan toksikologi spesifik. Uji toksikologi umum meliputi pengujian toksisitas akut, toksisitas kronis dan toksisitas sub-kronis; sementara pengujian toksikologi spesifik meliputi uji potensi, reproduksi, mutagenik dan uji perilaku.

Lu (2006) melaporkan bahwa toksisitas sub-kronis atau jangka pendek dilakukan dengan memberikan bahan yang diuji berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan uji, yaitu tiga bulan untuk tikus. Meskipun demikian, beberapa peneliti menggunakan waktu yang lebih pendek misalnya pemberian zat/ suatu bahan selama 14 dan 28 hari. Sedangkan pada toksisitas kronis atau jangka panjang, pemberian bahan yang diuji dilakukan selama masa hidup hewan uji atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidup hewan yang bersangkutan.

Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam pengujian toksisitas sub-kronis meliputi perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali, gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari, pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, yakni di awal dan akhir uji coba,


(32)

pemeriksaan biokimia serum darah, analisis urin dan pemeriksaan histopatologi pada akhir uji coba (Loomis 1978).

Beberapa jenis hewan dapat digunakan sebagai model hewan uji, seperti tikus, mencit, kelinci dan monyet. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar hewan tersebut dapat dipakai sebagai model hewan uji, antara lain mudah diperoleh, penanganan mudah, biaya perawatan relatif murah dan mempunyai ukuran yang tepat untuk mengikuti semua penyimpangan percobaan yang dapat diantisipasi. Secara ideal, hewan uji seharusnya mempunyai latar belakang sebagai keturunan hewan uji dan mempunyai karakteristik genetik yang diketahui dengan jelas (Malole & Pramono 1989).

Menurut pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988), tikus putih sangat baik sebagai hewan uji karena tikus dapat berkembang biak sama seperti mencit. Dalam beberapa percobaan, tikus lebih menguntungkan terutama karena tubuh tikus lebih besar jika dibandingkan dengan mencit.

Pada kenyataannya bila dibandingkan dengan tikus liar, tikus uji atau tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Berat badan tikus umur 4 minggu rata-rata mencapai 35-40 g dan berat badan tikus dewasa rata-rata-rata-rata 200-250 g, tetapi dapat lebih atau kurang dari batas tergantung pada galur (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Malole dan Pramono (1989) mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur yang mudah di dapat di toko makanan ayam. Dari pengalaman yang ada menunjukkan bahwa tingkat konsumsi makanan dipengaruhi oleh temperatur ruang pemeliharaan, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari.

2.5 Organ Hati

Hati (hepar) adalah organ terbesar dalam tubuh (Weiss & Greep 1977; Ressang 1984). Hati berada di dalam rongga perut, terletak di sebelah kanan ruang abdomen, tepat di bawah diafragma dan berwarna coklat kemerahan (Nabib 1987).


(33)

Aliran darah masuk ke dalam hati melalui dua sumber, bagian terbesar darah masuk melalui vena porta yang membawa darah kaya nutrisi dari usus. Aliran darah lain yang masuk ke hati adalah darah arteri melalui arteria hepatika (Weiss & Greep 1977). Sistem darah balik seluruhnya dialirkan ke luar hati melalui vena sentralis (Nabib 1987).

2.5.1 Histologi Hati

Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedang pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulatterdapat di tengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu anak inti (Hartono 1992).

Hati terbagi menjadi beberapa lobus. Secara histologi lobus dibalut oleh kapsula, ada dua macam kapsula yaitu kapsula fibrosa (glisson) dan kapsula serosa (Hartono 1992). Hati tikus terdiri dari 4 lobus (median, lateral kanan, lateral kiri dan kaudal). Bila dilakukan hepatektomi, sel hati mampu melakukan regenerasi meskipun hanya sebagian sel hati yang dapat diganti (Fox et al. 1984).

2.5.2 Patologi Hati

Hati merupakan organ yang sering mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan antara lain sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 2006). Beberapa kerusakan yang dapat ditemui di hati, antara lain :

a. Nekrosis hati

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit, dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau difus. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas regenerasi yang luar biasa (Lu 2006).

b. Sirosis

Sirosis merupakan bentuk peradangan kronis yang ditandai dengan fibrosis yakni pembentukan jaringan ikat (Nabib 1987). Sirosis ditandai dengan pengerasan hati yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab, umumnya bahan-bahan toksik dan parasit yang merusak hati secara menahun.


(34)

Pengerasan terjadi karena hati kehilangan parenkim disusul dengan pembentukan jaringan ikat secara luas (Ressang 1984). Menurut Lu (2006), sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati. Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat ini.

c. Degenerasi

Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid pada parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Toksikan menyebabkan kerusakan membran sel dan mengakibatkan masuknya cairan ekstraseluler ke dalam sel. Sel menjadi bengkak dan secara makroskopis hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh sedangkan bidang sayatan berkondisi belang atau beraspek seperti telah di masak (Ressang 1984). Cheville (2006) melaporkan bahwa degenerasi sel dalam bentuk hidropis adalah adanya akumulasi cairan pada sitoplasma sel sehingga tampak membentuk vakuola. Kadang-kadang vakuola kecil bersatu membentuk vakuola yang lebih besar sehingga inti sel terdesak ke tepi. Secara mikroskopis terlihat bahwa sel mengandung ruang-ruang jernih yang mengelilingi inti.

d. Steatosis (perlemakan hati)

Hati dikategorikan mengalami perlemakan bila mengandung berat lipid lebih dari 5% (Lu 2006). Hal yang dapat menyebabkan perlemakan patologi hati adalah hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak, akumulasi lemak intraseluler atau karena adanya toksin yang mengakibatkan penurunan fungsi metabolisme lemak hati. Alkohol, fosfor, arsen dan racun lain memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar. Toksin-toksin yang dapat menyebabkan perlemakan hati adalah antimon, arsen, kloroform, juga bahan-bahan septik atau toksik lainnya (Ressang 1984).

2.6 Organ Ginjal

Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai kemampuan menyaring dan menyerap kembali beberapa bahan dari sirkulasi darah dalam tubuh (Ressang 1984). Hartono (1992) mengatakan bahwa ginjal berperan utama dalam memelihara keseimbangan cairan serta elektrolit dan mengatur tekanan darah.


(35)

Nabib (1987) melaporkan bahwa secara anatomis, ginjal merupakan alat tubuh berpasangan, berwarna coklat, terletak dorsal di dalam rongga perut di sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal bagian kiri terletak lebih kaudal dari yang kanan. Bentuk ginjal pada hewan sedikit berbeda, namun pada umumnya berbentuk seperti kacang, berpermukaan rata kecuali pada sapi dan kerbau yang permukaannya berlobi. Menurut Hartono (1992), sebuah ginjal dengan potongan melintang memberi gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang beraspek gelap disebut korteks dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla, berbentuk piramida terbalik.

2.6.1 Histologi Ginjal

Kapsula membungkus seluruh ginjal kecuali daerah hilus renalis. Di daerah ini kapsula menyusup ke dalam sinus renalis dan selanjutnya berubah menjadi adventisia pelvis renalis. Ginjal terdiri dari dua bagian besar yaitu korteks dan medulla. Korteks renalis terdapat langsung di bawah kapsula, ditandai dengan adanya korpuskulus renalis dan tubulus kontorti. Bagian korteks langsung di bawah kapsula yang bebas dari korpuskulus renalis disebut korteks kortisis. Medula renalis dibentuk oleh satu (unipiramidal) atau banyak (multipiramidal) piramida, dimana apeks atau papili mengarah ke pusat ginjal (Hartono 1992).

Nefron merupakan unit inti pembentuk kemih, berbentuk buluh atau tubuli (Hartono 1992). Nefron terdiri atas :

ƒ Korpuskulus renalis, yang tersusun atas glomerulus dan kapsul bowman. ƒ Tubulus proksimal, terdiri atas bagian berliku-liku dan bagian lurus. ƒ Jerat henle, terbagi atas pars descendens dan pars ascendens.

ƒ Tubulus distalis.

Secara histologi, ginjal terdiri dari tiga unsur utama (Nabib 1987), yakni : ƒ Glomerulus, suatu gelung pembuluh darah yang masuk melalui arteriol

afferents dan keluar melalui arteriol efferents.

ƒ Tubuli, sebagian parenkim yang bersama glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal.


(36)

2.6.2 Patologi Ginjal

Menurut Ressang (1984), beberapa kejadian patologi yang dapat ditemui pada organ ginjal antara lain :

a. Nefrosis

Perubahan pada ginjal yang bersifat degeneratif atau yang tidak bersifat radang. Biasanya ditimbulkan oleh gangguan pertukaran zat.

b. Atrofi

Biasanya disebabkan oleh adanya tekanan seperti tumor, atau atrofi karena inaktivasi salah satu bagian nefron.

c. Degenerasi parenkim ginjal

Ginjal membengkak, pada bidang sayatan korteks terlihat suram dan tidak mengkilat. Secara mikroskopis terlihat butir-butir halus di dalam epitel, sedangkan pada degenerasi hialin butir-butir ini jauh lebih besar.


(37)

III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 s/d Juni 2008 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan - Departemen Teknologi Hasil Perairan - FPIK IPB; Laboratorium Bagian Patologi - Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi - FKH IPB; Laboratorium Kimia dan Hayati - BBP2HP DKP serta Laboratorium Klinik Mandapa, Bogor.

3.2 Bahan Penelitian

3.2.1Bahan Uji

Kerang mas ngur diambil dari Perairan Pantai Desa Ohoililir, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara.

3.2.2Hewan Percobaan

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley keturunan F1 secara outbreeding. Berat badan tikus antara 175-185 g dan berumur 7 minggu. Jumlah tikus yang dinekropsi sebanyak 12 ekor. Tikus percobaan tersebut diperoleh dari Laboratorium Hewan, PPOM - BPOM Jakarta.

3.2.3Pakan dan Minuman

Pakan yang diberikan adalah jenis pakan standar untuk tikus percobaan mengandung protein 18%, lemak 4%, abu 8%, serat kasar 5%, kalsium 1,5%, phospor 1% dan informasi kandungan kalori sebesar 2650 kal per 100 g. Pakan diperoleh dari Laboratorium Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB yang sudah biasa digunakan secara rutin untuk pakan tikus dengan tujuan growing. Sedangkan minuman yang diberikan secara ad libitum kepada tikus percobaan berasal dari air minum merk dagang komersial dengan kandungan mineral yang cukup dan mempunyai standar air minum.


(38)

3.2.4 Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan ialah aseton, tween 20%, dietil eter, metanol, aquades, asetonitril, buffer sitrat, H2SO4, HNO3, KMnO4, reagen pereduksi Hg, HCl, buffer netral formalin, parafin, hematosilin-eosin (HE), dan reagen untuk analisis biokimia serum darah (SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin).

3.3 Peralatan Penelitian

3.3.1 Peralatan Analisis Shellfish Toxin (PSP, DSP dan ASP)

Hewan uji mencit galur ddY sebanyak 6 ekor, HPLC UV-Vis, vacum rotary evaporator, corong pisah, waterbath, kolom LC-SAX, spuit 1 ml, pH meter, kandang pengamatan mencit, timbangan analitik dan peralatan gelas lainnya.

3.3.2 Peralatan Analisis Logam Berat (Hg, Pb dan Cd)

AAS flame dan non flame, graphite furnice, waterbath, tanur 6500C kondensor, hotplate, timbangan analitik, ruang asam, labu takar dan peralatan gelas lainnya.

3.3.3 Peralatan Pengujian Toksisitas Sub-kronis

Mikroskop cahaya pembesaran 40x, video mikrometer, autoanalyzer COBAS MIRA instrument, gelas preparat, sonde, kandang tikus, anaerobic jar, spuit 1 dan 5 ml, peralatan nekropsi, timbangan analitik, log book dan peralatan gelas lainnya.

3.4 Pengambilan dan Preparasi Contoh

Kerang mas ngur diambil dari dalam pasir putih tempat membenamkan diri antara kedalaman 0-5 cm, kemudian dicuci dengan air laut bersih untuk menghilangkan kotoran khususnya pasir yang masih menempel. Kerang dimasukkan ke dalam cool box yang telah berisi es curai kemudian ditutup lagi dengan lapisan es sampai menutupi seluruh permukaan kerang agar tetap dalam kondisi segar dan terjaga mutunya hingga dibawa ke Laboratorium Perikanan


(39)

(LPPMHP) Tual. Setelah sampai di laboratorium, kerang dibuka cangkangnya, kemudian dimasukkan ke plastik dan dibekukan pada suhu -18oC hingga dilakukan preparasi contoh.

Sebelum preparasi contoh, kerang mas ngur dikeringkan dengan bantuan sinar matahari hingga daging kerang terlihat kering berwarna coklat tua. Preparasi contoh dilakukan dengan memotong daging kerang kecil-kecil dan dihancurkan menggunakan blender hingga berbentuk serbuk kerang dan dibentuk tepung dengan saringan kasar. Bentuk tepung kasar ini akan memudahkan dalam melakukan pemberian secara oral kepada tikus percobaan sekaligus memudahkan dalam penyimpanan contoh.

3.5 Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap I ialah pengujian standar mutu kerang mas ngur meliputi analisis shellfish toxin jenis PSP, DSP dan ASP serta logam berat jenis Hg, Pb dan Cd.

Tahap II penelitian ialah pengujian toksisitas sub-kronis kerang mas ngur secara in vivo. Pada tahap ini dilakukan aklimatisasi dan pemeliharaan tikus percobaan. Bersamaan dengan aklimatisasi hewan uji dilakukan juga penelitian pendahuluan. Saat pemeliharaan tikus yang ditentukan sebagai masa percobaan, sebelumnya telah dibuat desain penelitian berdasarkan kelompok perlakuan. Parameter pengujiannya ialah pengamatan gejala klinis tikus percobaan terdiri dari pengamatan tingkah laku tikus, kondisi mata dan bulu, bentuk feses, penimbangan berat badan dan nilai FCR. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga 90 hari masa percobaan. Saat panen dilakukan analisis biokimia serum darah (SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin). Bagian terpenting dari pengujian toksisitas sub-kronis ialah histopatologi organ hati dan ginjal tikus percobaan.

3.5.1 Tahap I : Pengujian Standar Mutu Kerang Mas ngur

3.5.1.1 Analisis Shellfish Toxin

Analisis PSP (paralytic shellfish poisoning) dilakukan dengan cara contoh diekstrak dengan HCl 0,1 N. Hasil ekstrak yang diperoleh ditepatkan dengan


(40)

menggunakan HCl 0,003 N. Hasil filtrat selanjutnya disuntikan kepada 3 ekor mencit secara intra peritoneum (AOAC 1999).

Analisis DSP (diarrheic shellfish poisoning) dilakukan dengan cara contoh diekstrak menggunakan aseton perbandingan 1:3 (b/v). Contoh ekstrak yang diperoleh dimurnikan dengan dietil eter. Contoh yang telah murni, dilarutkan dalam tween 20% dan kemudian disuntikan kepada 3 ekor mencit secara intra peritoneum (IOC 2003).

Analisis ASP (amnesic shellfish poisoning) dilakukan dengan cara contoh diekstrak dengan metanol-air. Hasil ekstraksi kemudian dilewatkan ke kolom LC-SAX dan selanjutnya ditambah buffer sitrat. Hasil filtrat yang diperoleh diinjekkan ke alat HPLC UV-Vis (IOC 2003).

3.5.1.2Analisis Logam Berat

Analisis merkuri (Hg) dengan cara contoh diekstrak menggunakan H2SO4 pekat dan HNO3 pekat dengan bantuan pemanas bunsen. Setelah contoh jernih, kemudian ditambah 50 ml aquades dan pewarna KNO3 dalam labu takar hingga tepat. Contoh yang sudah siap, kemudian dibaca menggunakan ASS non flame dengan campuran bahan pereduksi (AOAC 1999).

Pada analisis timbal (Pb) dan kadmium (Cd), contoh diabukan terlebih dahulu sebelum diekstrak. Contoh yang telah berbentuk abu kemudian diekstrak dengan HNO3 dan HCl menggunakan bantuan hotplate hingga contoh berwarna jernih kehijauan. Hasil ekstrak kemudian ditambah 50 ml aquades dalam labu takar hingga tepat. Pembacaan Pb menggunakan AAS dengan bantuan graphite furnace, sedangkan pembacaan Cd dengan AAS flame (AOAC 1999).

3.5.2 Tahap II : Pengujian Toksisitas Sub-kronis Kerang Mas Ngur

3.5.2.1 Aklimatisasi Tikus Percobaan

Tikus sebelum digunakan untuk hewan percobaan, diaklimatisasi selama 3 minggu (Lea et al. 2004). Saat aklimatisasi di hari ke-7, tikus diberi beberapa jenis obat yakni pirantel palmoat dan albendazol (obat cacing), amoksilin (antibiotik) dan flagil (anti protozoa).


(41)

Tikus dipelihara pada kandang yang terbuat dari wadah plastik yang berukuran p x l x t (30 x 25 x 10 cm) dan tertutup kawat ram, serta disusun berdasarkan perlakuan percobaan, kondisi suhu ruangan 25-30oC, tingkat kelembaban 30-70% dan pencahayaan gelap-terang setiap 12 jam. Wadah pakan terbuat dari plastik berbentuk mangkok dan wadah minuman terbuat dari kaca berbentuk botol automatis sehingga akan keluar air minum saat ditekan oleh mulut tikus.

Penelitian pendahuluan dilakukan bersamaan saat aklimatisasi telah berjalan di hari ke-14, dengan harapan tikus sudah dapat beradaptasi dengan kondisi pemeliharaan yang baru. Pada penelitian ini dipilih metode terbaik untuk memberikan daging kerang mas ngur kepada tikus percobaan, yakni diberikan melalui campuran makanan atau diberikan secara cekok (cavage method). Jumlah tikus percobaan yang digunakan saat penelitian pendahuluan sebanyak 6 ekor. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan kelompok tikus yang berbeda dengan tikus yang akan digunakan sebagai hewan percobaan. Setelah dilakukan percobaan pendahuluan, akhirnya dipilih metode secara cekok karena memberikan hasil lebih efektif dan akurat.

3.5.2.2 Pemeliharaan Tikus Percobaan

Pengujian toksisitas sub-kronis memilih tikus sebagai hewan percobaan, maka tikus akan dipelihara selama 90 hari ( ± 1/3 masa kehidupan) dan waktu pemeliharaan tersebut ditentukan sebagai masa percobaan (Derelanko & Hollinger 1995).

Pada pengujian toksisitas sub-kronis kerang mas ngur digunakan tikus putih jantan sebanyak 16 ekor yang dipelihara selama 90 hari. Setelah panen, hanya 12 ekor tikus yang dinekropsi karena pertimbangan animal welfare. Desain penelitian pengujian toksistas sub-kronis dapat dilihat pada Gambar 3.

Bahan uji yang digunakan adalah daging kerang mas ngur kering. Tujuannya adalah menjadikan kerang mas ngur sebagai nutraceutical dengan memanfaatkan seluruh daging kerang (whole meat). Selain senyawa aktifnya, kandungan nutrisi yang tinggi (antara lain protein tinggi, karbohidrat tinggi dan asam-asam amino yang lengkap) tetap dapat dimanfaatkan.


(42)

Percobaan selama 90 hari

Gambar 3 Desain penelitian pengujian toksisitas sub-kronis

Desain penelitian terdiri dari 4 taraf dosis yakni kontrol, dosis rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Penentuan dosis didasarkan pada pemakaian kerang mas ngur secara tradisional oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara sebagai obat penyakit kuning, yakni sebesar 100 g daging basah kerang mas ngur/50 kg BB. Berdasarkan asumsi kadar air produk kekerangan basah sebesar ± 80%, dalam bentuk daging kering menjadi 20 g/50 kg BB atau 0,4 g/kg BB. Menurut Derelanko dan Hollinger (1995), dosis percobaan ditentukan berdasarkan pemanfaatan secara tradisional, yaitu dosis rendah; sedang dan tinggi. Penentuan dosis menggunakan kelipatan 10x (Baker & Hepburn 1997), sehingga menghasilkan dosis rendah sebesar 0,04 g/kg BB (D/0.04), dosis sedang 0,4 g/kg BB (D/0.4) dan dosis tinggi 4 g/ kg BB (D/4).

Tahap selanjutnya adalah memberikan dosis ke tikus percobaan dengan berat awal rata-rata sebesar 250 g, sehingga dosis yang diberikan ke tikus sebesar 10, 100 dan 1000 mg daging kerang mas ngur kering/250 g BB tikus. Bahan uji diberikan setiap hari sesuai perlakuan hingga selesai pada hari ke-90 (selama 13 minggu) masa percobaan.

™ Tikus putih jantan ™ Aklimatisasi 3 minggu, diberikan obat cacing, antibiotik & anti protozoa Kontrol :

tanpa daging mas ngur

Dosis rendah (D/0.04) : 0,04 g/kg BB/hari

Dosis sedang (D/0.4) : 0,4 g/kg BB/hari

Dosis tinggi (D/4) : 4 g/kg BB/hari

Dilakukan pengamatan dan analisis :

™ Tingkah laku ™ Kondisi mata &

bulu

™ Bentuk feses ™ Berat badan &

nilai FCR ™ Biokimia serum

darah (SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin) ™ Histopatologi

organ hati dan ginjal


(43)

3.5.2.3Parameter Pengujian Toksisitas Sub-kronis

Parameter pengujian toksisitas sub-kronis pada saat pemeliharaan tikus percobaan meliputi pengamatan gejala klinis tikus, penimbangan berat badan dan jumlah konsumsi pakan. Saat panen di hari ke-91, dilakukan pengambilan darah tikus dan nekropsi. Adapun uraian selengkapnya sebagai berikut :

a. Pengamatan gejala klinis tikus percobaan

Pada saat pemeliharaan, setiap tikus dari semua perlakukan diamati tingkah laku, kondisi mata dan bulu serta bentuk feses setiap hari hingga selesai dalam waktu 90 hari. Untuk memudahkan pengamatan, satu kandang terdiri dari dua ekor tikus saja yang dibedakan dengan kode tertentu pada ekornya.

b. Penimbangan berat badan tikus dan nilai FCR

Berat badan setiap ekor tikus dan jumlah konsumsi pakan dicatat ke dalam log book setiap hari hingga selesai pada hari ke-90. Jumlah konsumsi pakan diperoleh dengan cara menimbang pakan yang diberikan kepada tikus percobaan dikurangi dengan sisa pakan yang ada. Pada penelitian ini nilai FCR (food conversion ratios) dihitung setiap minggu. Nilai FCR diperoleh dari total konsumsi pakan setiap minggu dibagi dengan pertambahan berat badan tikus setiap minggu pemeliharaan.

Konsumsi Pakan (g) per minggu FCR =

Penambahan Berat Badan (g) per minggu

c. Analisis biokimia serum darah

Sebelum dilakukan pengambilan darah, tikus terlebih dahulu dibius menggunakan eter dosis tinggi dalam anaerobic jar. Setelah pingsan tikus diambil darahnya dari bagian atrium jantung dengan menggunakan spuit 5 ml. Paramater analisis biokimia serum darah yang diamati adalah SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin. Setiap parameter dipipet sebanyak 20 µl contoh serum, kemudian ditambahkan campuran reagen 1 (buffer) dan reagen 2 (starter)


(44)

dengan jenis reagen yang berbeda-beda untuk setiap parameter. Pencampuran antara contoh dan reagen serta pembacaan dilakukan secara automatis oleh Auto-analyzer Cobas Mira Instrument. Analisis ini menggunakan metode test kit Biocon Diagnostic secara kuantitatif.

d. Histopatologi organ hati dan ginjal

Setelah pengambilan darah selesai, kemudian tikus dibius kembali dengan eter dosis tinggi untuk beberapa saat hingga tikus mati. Organ hati dan ginjal diambil dengan cara nekropsi setelah tikus mati. Selanjutnya pembuatan preparat histopatologi kedua organ tersebut secara berurutan difiksasi di dalam larutan buffer netral formalin, trimming, dehidrasi, infiltrasi dengan parafin, diiris dengan mikrotom dan diwarnai dengan hematosilin-eosin (HE).

Perubahan hati yang diamati meliputi kejadian degenerasi dan nekrosis dari sel hati di sekitar vena porta dan vena sentralis. Perubahan ginjal yang diamati meliputi kejadian degenerasi dan nekrosis dari sel epitel tubulus ginjal di sekitar glomelurus (tubulus proksimal). Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya pembesaran 40x dengan bantuan video mikrometer, luas lapang pandang sebesar 176 µm2.

Pemeriksaan histopatologi organ hati dan ginjal dilakukan dengan menghitung jumlah sel normal serta sel yang mengalami kerusakan degenerasi dan nekrosis. Pemeriksaan pada masing-masing organ dilakukan sebanyak 20 lapang pandang untuk setiap sampel dengan 3 ulangan yang ada untuk masing-masing perlakuan kontrol, dosis rendah (D/0.04), dosis sedang (D/0.4) dan dosis tinggi (D/4). Penghitungan dilakukan pada setiap lapang pandang diperoleh sebanyak ± 100 sel sehingga setiap ulangan diperoleh ± 2000 sel. Hasil penghitungan kerusakan sel kedua organ dapat dilihat pada Tabel 9, Tabel 10 dan Lampiran 4, dihitung dengan rumus :

Rumus Penghitungan :

Σ KS

P (%) = x 100% Σ TS


(45)

Keterangan :

P (%) = persentase sel normal atau sel degenerasi atau sel nekrosis

Σ KS = jumlah total sel normal atau sel degenerasi atau sel nekrosis dalam 20 lapang pandang

Σ TS = jumlah total sel dalam 20 lapang pandang, ± 2000 sel

(20 lapang pandang dikalikan ± 100 sel per setiap lapang pandang)

3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan terhadap semua hasil pengujian toksisitas sub-kronis meliputi parameter berat badan tikus, konversi pakan (FCR), biokimia serum darah serta histopatologi organ hati dan ginjal. Masing-masing kelompok perlakuan diambil secara acak 3 ekor tikus untuk dilakukan pengujian biokimia serum darah dan histopatologi terhadap organ hati dan ginjal.

Metode penelitian menggunakan RAL (rancangan acak lengkap), analisis data menggunakan sidik ragam dengan uji-F. Suatu perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata apabila Fhitung < Ftabel dan berpengaruh nyata apabila

Fhitung > Ftabel dengan derajat bebas pada taraf 5%. Selanjutnya uji Duncan


(46)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data dan pembahasan mengenai keamanan (sifat toksik) kerang mas ngur melalui pengujian persyaratan standar mutu dan pengujian toksisitas sub-kronis secara in vivo dilaporkan sebagai berikut :

4.1 Standar Mutu Kerang Mas Ngur

Berdasarkan habitat dan fisiologi kebiasaan makan kerang mas ngur, menjadikan invertebrata laut ini sangat mudah tercemar oleh toksin, bakteri patogen maupun polutan yang berasal dari tempat hidupnya. Karena alasan tersebut maka pasar internasional mempersyaratkan pengujian standar mutu produk kekerangan baik dalam kondisi daging segar maupun bentuk olahan termasuk nutraceutical, sebelum produk tersebut dikonsumsi oleh manusia. Persyaratan standar mutu yang dimaksud ialah sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/MEN-KP/2004 yang mengacu pada peraturan perdagangan internasional. Kepmen tersebut menyatakan bahwa produk kekerangan sebelum dikonsumsi harus telah terbebas dari shellfish toxin jenis PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (diarrheic shellfish poisoning) dan ASP (amnesic shellfish poisoning) maupun logam berat jenis Hg (merkuri), Pb (timbal) dan Cd (kadmium).

Selain itu, untuk melakukan pengujian toksisitas sub-kronis secara in vivo terhadap bahan uji kerang mas ngur, diperlukan syarat bahwa parameter seperti shellfish toxin (PSP, DSP dan ASP) maupun logam berat (Hg, Pb dan Cd) harus diuji terlebih dahulu dan dinyatakan telah bebas. Parameter tersebut jika kandungannya melebihi batas aman konsumsi (MPL dan MRL), baik bersifat akut maupun kronis, secara automatis akan mengganggu hasil pengujian toksisitas sub-kronis.

Pengujian shellfish toxin dilakukan untuk mengetahui kandungan toksin yang terdapat pada kerang mas ngur. Pengujian PSP dan DSP dilakukan dengan metode mouse bioassay, menggunakan mencit percobaan sebagai hewan sasaran dan pengujian ASP menggunakan metode HPLC UV-VIS. Adapun hasil


(47)

pengujian kandungan PSP (saxitoxin), DSP (okadoic acid) dan ASP (domoic acid) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan shellfish toxin kerang mas ngur Parameter

Hasil Uji

Persyaratan Standar Mutu (KEPMEN DKP No.17/2004) PSP (µg/100 g) tidak terdeteksi maks 80

DSP (Mouse/unit) negatif negatif ASP (µg/g) tidak terdeteksi maks 20 Keterangan : Batas deteksi PSP : 40 µg/100 g contoh

Batas deteksi DSP : positif/ negatif Batas deteksi ASP : 0,10 ng/g contoh

Paralytic Shellfish Poisoning. Pada manusia, PSP bersifat akut dan sering fatal. Sampai saat ini belum ada cara efektif untuk menghilangkan racun (antidote) atau pengobatan ketika racun telah masuk ke dalam tubuh seseorang pasien. Oleh karena itu, keracunan PSP menjadi satu masalah yang sangat serius bagi kesehatan (Bhakuni & Rawat 2005). Dalam kriteria toksisitas, PSP dimasukkan pada kelompok pengujian toksisitas akut, karena pada dosis 80 µg/100 g contoh telah dapat menyebabkan kematian mencit dalam waktu 5-7 menit (Richard 1997). Sedangkan menurut Praseno (1996); Sato (2006) melaporkan bahwa gejala keracunan PSP sangat cepat sekitar 1-2 jam atau kurang dari 6 jam setelah manusia memakan kerang. Pada keracunan PSP, gejala awal yang dirasakan adalah kesemutan pada bibir, kemudian bibir dan rongga mulut akan kelu yang menjalar ke seluruh tubuh. Selanjutnya otot-otot tubuh akan mengalami kelumpuhan (paralisis), termasuk otot paru-paru sehingga penderita akan berhenti bernafas, sekalipun jantung masih berdetak dan otak masih berfungsi. Beberapa kasus kematian diakibatkan terjadinya proses paralisis dalam sistem pernafasan.

Pengujian kandungan PSP pada kerang mas ngur menggunakan mencit sebagai hewan sasaran dilaporkan bahwa hasilnya ttd (tidak terdeteksi) dengan batas deteksi 40 µg/ 100 g contoh. Ketiga mencit yang disuntik ekstrak PSP secara intra peritoneum tidak mati, sehingga dapat dikatakan bahwa kerang mas ngur bebas dari PSP. Hasil tidak terdeteksi terhadap kandungan PSP tersebut


(48)

didukung dengan hasil pengujian toksisitas sub-kronis. Tikus percobaan sebagai hewan sasaran diberi daging kerang mas ngur kering hingga dosis tinggi (4 g/kg BB/hari) sekalipun, tidak terdapat tanda-tanda tikus mengalami paralisis pada saluran pernafasan yang diakhiri dengan kematian.

Kandungan tidak terdeteksi PSP pada kerang mas ngur bukan berarti bahwa bahan uji telah benar-benar bebas dari racun tersebut, mengingat batas deteksi metode mouse bioassay masih cukup tinggi sebesar 40 µg/100 g contoh atau jika dilihat dengan tabel Sommer, mencit akan mati pada waktu ± 2 jam pengamatan (AOAC 1999). Hal ini berarti kemungkinan kerang mas ngur masih mengandung PSP akan tetapi dalam kadar rendah, di bawah 40 µg/100 g contoh.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa jika kandungan PSP (saxitoxin) dalam bahan uji tergolong rendah, maka toksin tersebut langsung dapat diekskresikan melalui urin tanpa dimetabolisme oleh tubuh dan tidak akan menyebabkan keracunan. Menurut Andrinolo dan Lagos (1987), saxitoxin (STX) danturunannya dieliminasi tanpa menghilangkan efek toksiknya dan tidak adanya proses metabolisme di dalam tubuh. Botana (2000) melaporkan bahwa pasien yang terkena toksin PSP dan mampu bertahan hingga 24 jam, maka pasien tersebut mengalami recovery dengan cepat karena racunnya mengalami ekskresi dengan cepat pula tanpa terjadi metabolisme. Lebih lanjut, Andrinolo dan Lagos (1987) melaporkan bahwa hewan uji kucing secara cepat akan mengeluarkan PSP kadar rendah melalui urin dengan waktu percobaan selama 4 jam. Pada intra peritoneum menggunakan PSP dosis rendah 2,7 µg STX/kg BB maka kandungan PSP yang diperoleh pada urin sebesar 25%, sedangkan pada dosis tinggi 10 µg

STX/kg BB dengan waktu yang sama hanya 10% total STX ditemukan pada urin.

Diarrheic Shellfish Poisoning. Toksin lain yang terdapat pada produk kekerangan adalah DSP, toksin ini dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan industri perikanan (Lusiastuti 2003). Martin et al. (2000); Bhakuni dan Rawat (2005) melaporkan gejala keracunan DSP adalah sebagai berikut, dimulai dengan waktu 30 menit hingga beberapa jam setelah keracunan DSP, maka akan timbul gejala kasus diare 92 %, mual-mual 82%, muntah-muntah 79%, sakit pada bagian abdominal 53% dan demam dingin 10%. Total recovery diharapkan selama 3 hari dengan atau tanpa bantuan medis.


(49)

Institut Penyidikan Perikanan Belanda berhasil mengembangkan bioassay non lethal menggunakan mencit. Metode ini kemudian digunakan oleh beberapa negara di Eropa dan dianggap spesifik untuk toksin DSP. Mencit dipuasakan terlebih dahulu, lalu diberikan makan pellet seafood yang diduga mengandung toksin DSP. Konfirmasi adanya toksin berdasarkan jumlah toksin yang ada di dalam pellet dikorelasikan dengan jumlah pellet yang dimakan dan konsistensi feses dalam bentuk diare (Draisci et al. 1998).

Pengujian DSP pada kerang mas ngur dilakukan dengan cara menyuntikan hasil ekstrak DSP secara intra peritoneum kepada 3 ekor mencit dan kemudian dilakukan pengamatan selama 72 jam (3 hari). Hasil pengujian kandungan DSP dari kerang tersebut dilaporkan negatif atau tidak didapatkan satu ekor mencitpun yang mengalami diare atau mati. Hal ini berarti bahwa kerang mas ngur yang diambil dari Perairan Pantai Desa Ohoililir, Kecamatan Kei Kecil, Maluku Tenggara tidak mengandung toksin DSP.

Amnesic Shellfish Poisoning. Selain PSP dan DSP, toksin yang ada pada produk kekerangan adalah ASP. Toksin ini muncul pertama kali pada tahun 1987. Dilaporkan terjadi 153 kasus keracunan setelah seseorang makan kerang dari Prince Edward Island, Canada. Banyak kasus menyebabkan amnesia dan sering mengakibatkan kehilangan memori (loss memory) pada orang yang telah berusia lanjut (Botana 2000). Sedangkan Martin et al. (2000) mengatakan bahwa ASP menyebabkan gejala saluran digesti dan gangguan syaraf khususnya pada organ otak. Gejala awal keracunan ASP biasanya dimulai dengan gangguan digesti dalam waktu 24 jam seperti : muntah-muntah, kram perut dan diare. Beberapa kasus ASP menyebabkan gangguan syaraf setelah mengkonsumsi selama 48 jam, seperti : sakit kepala, pusing, disorientasi secara mendadak, kehilangan memori, sulit bernafas dan koma.

Hasil pengujian ASP terhadap kerang mas ngur dilaporkan bahwa kerang tersebut mengandung ASP < 0,10 ppb. Hasil tersebut masih jauh dari standar mutu keamanan pangan yang dipersyaratkan yakni maksimal sebesar 20 µg/g daging kerang. Sehingga dapat dilaporkan bahwa kerang mas ngur aman dari toksin ASP.


(50)

Melihat tingkat bahayanya toksin PSP, DSP dan ASP bagi konsumen nutraceutical berbahan baku kerang mas ngur, maka untuk menjamin keamanan konsumen perlu dilakukan cara pencegahan agar kerang tidak mengandung toksin. Cara-cara tersebut diantaranya (1) Melakukan kegiatan monitoring di perairan tempat hidup kerang dan menguji secara rutin kandungan PSP dan toksin lainnya. Seperti telah diketahui bahwa keberadaan toksin PSP, DSP dan ASP disebabkan oleh adanya fitoplankton beracun yang ada di perairan tempat hidup kerang. Fitoplankton beracun tersebut lalu dimakan dan diakumulasi oleh kerang sehingga hewan tersebut menjadi toksik. (2) Metode relaying (pemberokan) yakni memindahkan hasil panen kerang yang masih hidup ke tempat perairan baru sekurang-kurangnya dalam waktu selama 2 bulan. Perairan tersebut minimal berjarak 300 m dari perairan asal dan terbebas dari fitoplankton beracun (DKP 2004). Akan tetapi, metode ini tidak efektif dan tidak ekonomis karena harus mencari lokasi perairan baru dan menunggu waktu lebih lama untuk memanen kerang. Selain itu, Fukuyo (2006) berpendapat bahwa fitoplankton beracun umumnya mampu membentuk dorman (kista) pada kondisi-kondisi tertentu seperti lingkungan yang tidak sesuai dan selanjutnya akan menempel pada tubuh kerang. Saat kerang dipindah ke perairan untuk tujuan pemberokan, maka kista tersebut akan kembali menjadi fitoplankton dan selanjutnya dapat berkembang sebagai sumber toksin yang baru di perairan tersebut, akibatnya metode pemberokan akan menimbulkan masalah yang baru. (3) Teknik pemurnian PSP dari tubuh kerang dengan metode Shimizu (Botana 2000). Teknik pemurnian dilakukan dengan cara menambahkan larutan alkohol-asam kuat encer (etanol-HCl) ke daging kerang pada pH 5,5. Kemudian dilewatkan melalui kolom amberlite IRC-50, Na+ mesh (20-45). Pada saat melewati kolom, dialiri secara bertahap asetat buffer pH 4; aquades dan asam asetat. Selanjutnya kembali dilewatkan ke kolom kromatografi amberlite CG-50, H+ dengan dialiri asam asetat hingga diperoleh toksin PSP.

Pengujian logam berat dilakukan untuk mengetahui kandungan merkuri, timbal dan kadmium pada kerang mas ngur. Metode pengujian yang digunakan adalah Atomic Absorbance Spektrofotometri. Hasil pengujian ketiga logam berat tersebut disajikan pada Tabel 5.


(51)

Tabel 5 Kandungan logam beratkerang mas ngur Parameter

Hasil Uji

Persyaratan Standar Mutu (KEPMEN DKP No.17/2004) Hg (mg/kg) tidak terdeteksi maks 0,5

Pb (mg/kg) 0,34 maks 1,5 Cd (mg/kg) 0,40 maks 1,0 Keterangan : Batas deteksi Hg : 0,05 mg/kg contoh

Batas deteksi Pb : 0,07 mg/kg contoh Batas deteksi Cd : 0,05 mg/kg contoh

Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup, tetapi sebagian logam-logam tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup, walaupun dalam jumlah yang sedikit (Palar 1994). Darmono (2001) melaporkan bahwa logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Effendi (2003) menyatakan bahwa di dalam tubuh makhluk hidup seperti kerang, logam berat akan mengalami biokonsentrasi dan bioakumulasi sehingga kadarnya di dalam tubuh lebih besar daripada lingkungan perairan. Sehingga hewan ini dapat digunakan sebagai indikator pencemaran suatu perairan. Logam berat juga mengalami biomagnifikasi yakni kadarnya akan semakin meningkat dengan peningkatan posisi organisme pada rantai makanan.

Merkuri. Logam Hg terdapat dalam bentuk Hg murni, Hg anorganik dan Hg organik. Merkuri organik seperti dalam bentuk metil merkuri, mempunyai daya racun tinggi dan sukar terurai dibandingkan Hg murni. Bila metil merkuri terakumulasi dalam tubuh, akan mengakibatkan keracunan yang bersifat akut antara lain mual, muntah-muntah, diare, kerusakan ginjal bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan keracunan kronis ditandai dengan peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar dan kerusakan ginjal (Darmono 2001).

Menurut Hodgson dan Levi (2000), organ ginjal adalah organ utama yang mengalami kerusakan akibat logam berat jenis merkuri dan kadmium, dengan bagian tubulus proksimal menjadi tempat sasaran utama.


(1)

Lampiran 4 Contoh penghitungan persentase histopatologi

Kontrol histopatologi organ hati ulangan ke-1

Lapang Pandang Normal Degenerasi Nekrosis

1 54 35 9

2 60 25 11

3 65 42 9

4 47 47 7

5 54 41 7

6 49 39 11

7 49 46 10

8 50 38 8

9 42 38 14

10 54 34 10

11 63 28 10

12 56 42 12

13 49 43 9

14 62 37 10

15 62 27 10

16 51 37 8

17 64 41 7

18 49 38 11

19 60 26 10

20 52 37 9 Σ Total :

Jumlah 1092 741 192 2025

Keterangan : Hasil penghitungan dapat dikonfirmasi pada Tabel 9

Penghitungan :

1) Persentase sel normal : 1092 x 100 = 53,9259% 2025

2) Persentase sel degenerasi : 741 x 100 = 36,5926% 2025

3) Persentase sel nekrosis : 192 x 100 = 9,4815% 2025


(2)

Lampiran 5 Analisis sidik ragam berat badan tikus dan nilai FCR

Analisis sidik ragam berat badan tikus Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 11064,76776 3688,25592 2,04 2,81

Galat 48 86894,47551 1810,30157 Total 51 97959,24327

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap berat badan, dimana F-hitung 2,04 < F-tabel α=5% = 2,81.

Analisis sidik ragam Nilai FCR Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 40,1883385 13,3961128 1,90 2,81

Galat 48 337,9656923 7,0409519 Total 51 378,1540308

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap nilai FCR, dimana F-hitung 1,90 < F-tabel α=5% = 2,81.


(3)

Lampiran 6 Analisis sidik ragam Kadar SGPT dan SGOT

Analisis sidik ragam kadar SGPT Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 1165,3333 388,4433 2,61 4,07

Galat 8 1192,0000 149,0000 Total 11 2357,3333

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap serum darah SGPT, dimana F-hitung 2,61 < F-tabel α=5% = 4,07.

Analisis sidik ragam kadar SGOT Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 3863,333 1287,778 1,26 4,07

Galat 8 8169,333 1021,167 Total 11 12032,67

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap serum darah SGOT, dimana F-hitung 1,26 < F-tabel α=5% = 4,07.


(4)

Lampiran 7 Analisis sidik ragam kadar BUN

Analisis sidik ragam BUN Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 775,3333 258,4444 8,38 4,07

Galat 8 246,6667 30,8333 Total 11 1022,0000

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan berbeda nyata terhadap serum darah BUN, dimana F-hitung 8,38 > F-tabel α=5% = 4,07.

ƒ Karena pada taraf nyata α=5% perlakuan berbeda nyata terhadap serum darah BUN maka dilakukan uji lanjut pada taraf nyata α=5%.

Uji lanjut Duncan kadar BUN Taraf α=5%

Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 76,333 3 D/0.04 A

A 76,333 3 K A

A 70,667 3 D/4

B 56,667 3 D/0.4

ƒ Dari uji Duncan, dapat dilihat bahwa pada taraf α=5% perlakuan K, D/0.04, D/4 tidak berbeda nyata. Tetapi perlakuan K, D/0.04, dan D/4 berbeda nyata dengan perlakuan D/0.4.


(5)

Lampiran 8 Analisis sidik ragam kadar kreatinin

Analisis sidik ragam kreatinin Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 0,29733333 0,0991 4,41 4,07

Galat 8 0,18 0,0225

Total 11 0,47733333

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan berbeda nyata terhadap serum darah Kreatinin, dimana F-hitung = 4,41 > F-tabel α=5% = 4,07.

ƒ Karena pada taraf nyata α=5% perlakuan berbeda nyata terhadap serum darah kreatinin maka dilakukan uji lanjut pada taraf nyata α=5%.

Uji lanjut Duncan kadar kreatinin Taraf α=5%

Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 1,0000 3 K A

A 0,8667 3 D/0.04 A

A 0,8333 3 D/4 A

B A 0,8000 3 D/0.4

ƒ Dari uji Duncan, dapat dilihat bahwa pada taraf α=5% perlakuan K, D/0.04, D/4 tidak berbeda nyata. Tetapi perlakuan K, D/0.04, dan D/4 berbeda nyata dengan perlakuan D/0.4.


(6)

Lampiran 9 Analisis sidik ragam histopatologi organ hati dan ginjal

Analisis sidik ragam histopatologi hati Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 0,000067 0,000022 0,00 4,07

Galat 8 4491,220800 561,402600 Total 11 4491,220867

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap hasil histopatologi hati, dimana F-hitung = 0,00 < F-tabel α=5% = 4,07.

Analisis sidik ragam histopatologi ginjal Sumber

Keragaman DB

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung

F Tabel

α = 5% Perlakuan 3 0,00016667 0,00005556 0,00 4,07

Galat 8 6521,874333 815,234292 Total 11 6521.,874500

ƒ Pada taraf nyata α=5% perlakuan tidak berbeda nyata terhadap hasil histopatologi ginjal, dimana F-hitung = 0,00 < F-tabel α=5% = 4,07.