logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah, sedimen, air dan organisme hidup serta akan menyebabkan pencemaran bila konsentrasinya telah
melebihi batas normal.
2.4 Toksisitas
Hodgson dan Levi 2000 melaporkan bahwa satu hal yang perlu diperhatikan dengan toksisitas adalah nilai kuantitatif dosis yaitu suatu bahan akan
berbahaya pada dosis tertentu, dan mungkin menjadi tidak berbahaya pada dosis yang lebih rendah. Untuk menentukan nilai kuantitatif dosis atau tingkat toksisitas
suatu bahan terhadap organisme diperlukan pengukuran toksisitas yang tidak sederhana. Mengingat toksisitas mungkin bersifat akut ataupun kronis dan sangat
dipengaruhi oleh variasi umur, jenis kelamin, pola makan dan kondisi fisiologi. Lu 2006 menggolongkan pengujian toksikologi menjadi tiga jenis
berdasarkan lama masa toksisitas yaitu toksisitas akut, toksisitas jangka pendek dan toksisitas jangka panjang. Sedangkan menurut pendapat Loomis 1978, pada
umumnya pengujian toksisitas dapat dibagi menjadi dua golongan yakni uji toksikologi umum dan toksikologi spesifik. Uji toksikologi umum meliputi
pengujian toksisitas akut, toksisitas kronis dan toksisitas sub-kronis; sementara pengujian toksikologi spesifik meliputi uji potensi, reproduksi, mutagenik dan uji
perilaku. Lu 2006 melaporkan bahwa toksisitas sub-kronis atau jangka pendek
dilakukan dengan memberikan bahan yang diuji berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10 dari masa
hidup hewan uji, yaitu tiga bulan untuk tikus. Meskipun demikian, beberapa peneliti menggunakan waktu yang lebih pendek misalnya pemberian zat suatu
bahan selama 14 dan 28 hari. Sedangkan pada toksisitas kronis atau jangka panjang, pemberian bahan yang diuji dilakukan selama masa hidup hewan uji atau
sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidup hewan yang bersangkutan. Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam pengujian toksisitas
sub-kronis meliputi perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali, gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari, pemeriksaan
hematologi paling tidak diperiksa dua kali, yakni di awal dan akhir uji coba,
pemeriksaan biokimia serum darah, analisis urin dan pemeriksaan histopatologi pada akhir uji coba Loomis 1978.
Beberapa jenis hewan dapat digunakan sebagai model hewan uji, seperti
tikus, mencit, kelinci dan monyet. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar hewan tersebut dapat dipakai sebagai model hewan uji, antara lain mudah
diperoleh, penanganan mudah, biaya perawatan relatif murah dan mempunyai ukuran yang tepat untuk mengikuti semua penyimpangan percobaan yang dapat
diantisipasi. Secara ideal, hewan uji seharusnya mempunyai latar belakang sebagai keturunan hewan uji dan mempunyai karakteristik genetik yang diketahui
dengan jelas Malole Pramono 1989. Menurut pendapat Smith dan Mangkoewidjojo 1988, tikus putih sangat
baik sebagai hewan uji karena tikus dapat berkembang biak sama seperti mencit. Dalam beberapa percobaan, tikus lebih menguntungkan terutama karena tubuh
tikus lebih besar jika dibandingkan dengan mencit. Pada kenyataannya bila dibandingkan dengan tikus liar, tikus uji atau tikus
laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Berat badan tikus umur 4 minggu rata-
rata mencapai 35-40 g dan berat badan tikus dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi dapat lebih atau kurang dari batas tergantung pada galur Smith
Mangkoewidjojo 1988. Malole dan Pramono 1989 mengatakan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur yang mudah di dapat di toko makanan ayam. Dari pengalaman yang ada menunjukkan
bahwa tingkat konsumsi makanan dipengaruhi oleh temperatur ruang pemeliharaan, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai
hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari.
2.5 Organ Hati