Terdapat alasan yang menyebabkan terjadinya gejala klinis pada pemberian dosis tinggi D4. Gejala klinis tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kerusakan organ pencernaan dan organ hati tikus percobaan akibat senyawa saponin yang dimiliki kerang mas ngur. Robinson 1995 melaporkan bahwa
saponin dalam bentuk sapogenin yaitu saponin yang tidak berikatan dengan glikosidanya molekul gula akan bersifat toksik. Pada pemberian kerang mas
ngur dosis tinggi akan diikuti dengan jumlah saponin yang tinggi pula. Diduga, saponin sebelum masuk ke vena porta dan dimetabolisme oleh
organ hati terlebih dahulu terjadi pemecahan saponin di lambung menjadi sapogenin dan molekul gula. Saponin atau sapogenin seperti deterjen bersifat
menurunkan tegangan permukaan cairan sehingga berakibat toksik pada organ pencernaan. Pemberian saponin dalam jumlah banyak dan secara terus-menerus
akan menyebabkan kerusakan kronis organ pencernaan dan mengganggu dalam penyerapan makanan. Selain itu, gejala klinis diduga disebabkan oleh kerusakan
organ hati tikus percobaan lihat Tabel 7, Tabel 9 dan pembahasannya. Menurut Lu 2006, fungsi utama hati adalah melakukan metabolisme dan detoksifikasi
racun .
Diduga setelah minggu ke-6, pakan yang dikonsumsi oleh tikus percobaan tidak diserap dengan baik oleh organ pencernaan dan tidak dimetabolisme secara
sempurna oleh hati maka berakibat mempengaruhi perubahan berat badan tikus menjadi paling rendah dan nilai FCR tertinggi diantara kontrol dan kedua
perlakuan lainnya.
4.2.3 Serum Darah Tikus Percobaan
Girindra 1989, menyatakan bahwa analisis biokimia serum darah baik untuk kepentingan diagnosis maupun untuk suatu tujuan penelitian. Penentuan
kandungan biokimia serum darah merupakan hal yang sangat biasa dikerjakan karena darah merupakan jaringan yang paling mudah diambil contohnya tanpa
menyakiti hewan bersangkutan dan keadaan kimiawi darah dapat menggambarkan keadaan atau kesehatan hewan pada waktu diambil darahnya. Adapun parameter
biokimia serum darah yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain kadar SGPT, SGOT, BUN dan kreatinin.
SGPT dan SGOT. Analisis biokimia serum darah terhadap kadar SGPT
dan SGOT merupakan salah satu pemeriksaan klinis untuk mengetahui adanya kelainan pada organ hati. Wibowo 2007 melaporkan bahwa peningkatan kadar
SGPT dan SGOT akan terjadi jika adanya pelepasan enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan nekrosis sel-sel hati atau adanya kerusakan hati
secara akut misalnya nekrosis hepatoselular atau infark miokardial. SGPT Serum glutamat piruvat transaminase atau ALT alanin amino
transferase merupakan enzim yang khas ada pada hati Girindra 1989. Widmann
1985 melaporkan bahwa peningkatan kadar enzim tersebut dalam darah dapat menunjukkan adanya kerusakan pada hati. Enzim ini mengkatalis reaksi
pemindahan gugus amino antara L-alanin dan asam α-ketoglutarat menjadi piruvat
dan glutamat. Sedangkan SGOT serum glutamat oksaloasetat transaminase atau AST asam aspartat transferase merupakan salah satu enzim yang sering
dikaitkan dengan nekrosis atau matinya sel hati apabila semua jaringan lain daripada hati diketahui bebas dari keadaan patologi. Enzim ini mengkatalis
pemindahan gugus amino dari asam aspartat dengan asam α-ketoglutarat
menghasilkan oksaloasetat dan glutamat Girindra 1989. Hadi 2002 melaporkan bahwa SGPT adalah ukuran nekrosis
hepatoseluler yang paling spesifik dan paling luas digunakan, sedangkan SGOT bekerja serupa tetapi kurang spesifik. Menurut Widmann 1985, enzim SGOT
tidak spesifik untuk disfungsi hati, karena enzim ini juga ditemukan pada beberapa organ seperti otot, tulang, ginjal dan pankreas. Sedangkan Friberg
1992 melaporkan bahwa salah satu pemeriksaan klinis untuk mengetahui adanya kelainan hati hewan percobaan adalah dengan memeriksa kadar SGPT dan SGOT,
sebagai contohnya kerusakan hati akut pada anjing mengakibatkan meningkatnya aktivitas SGPT dan SGOT, demikian juga pada kucing yang mengalami
peradangan hati yang akut. Tingkat kerusakan hati dapat digambarkan dengan besarnya kadar kedua enzim tersebut dalam serum.
Hasil analisis kadar SGPT dan SGOT penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar SGPT tertinggi terjadi pada dosis
tinggi D4 sebesar 71,33±18,15 IUL dan melebihi kontrol sebesar 54,00±9,54 IUL. Sedangkan kadar enzim tersebut pada dosis rendah D0.04 dan dosis
sedang D0.4 berurutan sebesar 45,33±10,16 IUL dan 50,67±6,51 IUL, kadar
enzim kedua dosis tersebut lebih rendah dari kontrol. Begitu pula, pada kadar SGOT terjadi pola yang sama yakni aktivitas tertinggi pada dosis tinggi D4
sebesar 151,00±48,00 IUL dan melebihi kontrol sebesar 121,33±17,10 IUL.
Sedangkan kadar enzim tersebut pada dosis rendah D0.04 dan dosis sedang D0.4 berurutan sebesar 105,33±22,37
IUL dan 109,00±31,43 IUL, kadar enzim kedua dosis tersebut lebih rendah dari kontrol.
Tabel 7 Kadar SGPT dan SGOT tikus percobaan Perlakuan
No Parameter
SGPT IUL SGOT IUL
Kontrol 1 43
110 2
59 141
3 60
113 Rata-rata±SD 54,00±9,54
a
121,33±17,10
a
D0.04 1 39
95 2
40 90
3 57
131 Rata-rata±SD 45,33±10,16
a
105,33±22,37
a
D0.4 1 57
95 2
44 145
3 51
87 Rata-rata±SD 50,67±6,51
a
109,00±31,43
a
D4 1 88
151 2
74 199
3 52
103 Rata-rata±SD 71,33±18,15
a
151,00±48,00
a
Keterangan a: tidak berbeda nyata p0.05 Analisis sidik ragam terhadap kadar SGPT dan SGOT antar kelompok
perlakuan memberikan hasil tidak berbeda nyata p0.05. Akan tetapi, terdapat kecenderungan bahwa aktivitas enzim SGPT maupun SGOT pada dosis tinggi
D4 mengalami kenaikan aktivitas paling tinggi dan kadarnya melebihi kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pada pemberian dosis tersebut mengakibatkan
kelainan fungsi hati. Menurut Noer 1996, aktivitas enzim SGPT dan SGOT dipilih sebagai tolak ukur kemungkinan terjadinya kelainan hati karena
peningkatan aktivitas enzim-enzim tersebut merupakan indikator yang kuat dan
peka terhadap adanya kelainan sel-sel hati, kenaikan kadar enzim transaminase dalam serum darah disebabkan oleh sel-sel yang kaya akan transaminase
mengalami nekrosis atau hancur. Gambaran lain pada Tabel 7 ialah pemberian kerang mas ngur hingga dosis tertentu D0.04 dan D0.4, mengindikasikan
bahwa hati tikus membaik atau kemungkinan dapat berfungsi memperbaiki atau meregenerasi sel hati karena kadar kedua enzim tersebut berada di bawah kontrol.
Dari hasil analisis kadar SGPT dan SGOT dalam serum darah, diyakini bahwa kerang mas ngur apabila diberikan pada dosis tinggi D4 akan cenderung
menjadi toksik pada organ hati dan apabila diberikan pada dosis rendah D0.04 dan dosis sedang D0.4 tidak bersifat toksik pada organ hati dan cenderung
meningkatkan fungsi metabolisme, membantu regenerasi sel hati dan juga proses detoksifikasi organ hati.
BUN dan Kreatinin. Hodgson dan Levi 2000 melaporkan bahwa
analisis biokimia serum darah terhadap kadar BUN blood urea nitrogen dan kreatinin merupakan salah satu pemeriksaan klinis untuk mengetahui adanya
kegagalan fungsi ginjal. Casarett dan Doull’s 1986 mengatakan bahwa kegagalan fungsi ginjal pada filtrasi dapat diketahui melalui pengujian laju filtrasi
glomerulus. Penilaian GFR glomerular filtration rate dilakukan dengan mengukur nitrogen non-protein hasil metabolisme protein yang dicerna atau hasil
perombakan protein jaringan BUN dan kreatinin. Hasil pengujian kadar BUN dan kreatinin penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8.
Kadar BUN tikus percobaan bervariasi tergantung kepada jenis dan jumlah protein yang dikonsumsi serta jarak antara pengambilan darah dan waktu makan
Coles 1986. Girindra 1989 melaporkan bahwa ureum dalam darah bukan saja dipengaruhi oleh perubahan fungsi ginjal, tetapi juga oleh beberapa faktor
fisiologi atau penyakit bukan penyakit ginjal. Secara fisiologi, nitrogen urea darah naik bila protein tinggi kadarnya dalam makanan. Misalnya apabila hewan banyak
makan daging, nitrogen urea darah bisa meningkat sampai 10 mg100 ml. Sebaliknya jika kurang makan protein, nitrogen urea darah juga akan turun. Coles
1986; Robinson dan Huxtable 1988; Girindra 1989 melaporkan bahwa kejadian uremia yakni kadar urea lebih tinggi dari kadar normal terjadi akibat
penyakit ginjal kronis; kerusakan katabolik jaringan akibat demam, stress dan
infeksi; adanya senyawa katabolisme protein seperti kortikosteroid, steroid dan senyawa anabolisme protein seperti tetrasiklin serta peristiwa prerenal yaitu
berkurangnya cairan yang mengalir ke ginjal akibat shock, dehidrasi, penyakit jantung dan hipoadrenokortisme.
Tabel 8 Kadar BUN dan kreatinin tikus percobaan Perlakuan
No Parameter
BUN mgdL Kreatinin mgdL
Kontrol 1 79
1,0 2
80 1,2
3 70
0,8 Rata-rata±SD
76,33±5,51
a
1,00±0,20
a
D0.04 1 79
0,9 2
80 0,8
3 70
0,9 Rata-rata±SD
76,33±5,51
a
0,87±0,06
a
D0.4 1 52
0,8 2
57 0,9
3 61
0,7 Rata-rata±SD
56,67±4,51
b
0,80±0,10
b
D4 1 64
1,0 2
77 0,7
3 71
0,8 Rata-rata±SD
70,67±6,51
a
0,83±0,15
a
Keterangan a : tidak berbeda nyata p0.05 b : berbeda nyata p0.05
Dari Tabel 8 diketahui bahwa kadar BUN perlakuan kontrol sebesar 76,33±5,51 mgdL, kemudian kadarnya cenderung menurun pada pemberian
kerang mas ngur ketiga perlakuan
D0.04; D0.4 dan D4 berurutan sebesar 76,33± 5,51 mgdL; 56,67±4,51 mgdL dan 70,67±6,51 mgdL. Hasil kadar BUN
ketiga perlakuan yang lebih rendah dari kontrol mengindikasikan bahwa pemberian kerang mas ngur tidak menyebabkan lesio ginjal.
Hasil analisis sidik ragam kadar BUN antar kelompok perlakuan menunjukkan hasil berbeda nyata p0.05. Karena berbeda nyata, kemudian
dilanjutkan uji Duncan. Pada taraf 5 menunjukkan bahwa hasilnya berbeda nyata antara perlakuan dosis sedang D0.4 dengan perlakuan kontrol; dosis
rendah D0.04 dan dosis tinggi D4. Meskipun ditemukan hasil berbeda nyata pada perlakuan dosis sedang D0.4, akan tetapi pada dosis tersebut dapat
dipastikan tidak bersifat toksik pada organ ginjal karena kadar BUN dalam serum darah lebih rendah dari kedua perlakuan lainnya D0.04 dan D4, bahkan dengan
perlakuan kontrol. Kreatinin ialah senyawa nitrogen non-protein yang diproduksi selama
metabolisme kreatin dan fosfokreatinin otot Coles 1986. Poedjiadi dan Supriyanti 2006, kreatin dibentuk dari asam amino jenis glisin, arginin dan
metionin, dengan fosfat membentuk kreatinin fosfat. Kaneko 1980; Coles 1986 melaporkan bahwa jaringan otot mengandung fosfokreatinin yang secara spontan
mengalami proses siklikasi yang mengakibatkan kehilangan fosfat inorganik sehingga membentuk kreatinin. Produksi kreatinin harian hasil metabolisme otot
relatif konstan. kreatinin difiltrasi glomerulus dan tidak diekskresikan ataupun direabsorbsi tubulus. Oleh karena itu, kreatinin sering digunakan untuk
mengetahui laju filtrasi glomerulus. Girindra 1989 mengatakan bahwa peningkatan konsentrasi kreatinin
mengindikasikan adanya penurunan laju filtrasi glomerulus. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi kreatinin dalam darah sama dengan BUN, hanya
kreatinin tidak dipengaruhi oleh diet dan faktor katabolisme protein. Tidak seperti kadar BUN, kadar kreatinin dalam serum terbilang stabil, hampir tidak
dipengaruhi oleh kreatinin dari makanan dan juga tidak dipengaruhi oleh umur, seks, aktivitas atau diet. Karena itu peningkatan kadar kreatinin hanya terjadi jika
fungsi ginjal terganggu. Peningkatan kreatinin dalam serum merupakan tanda yang buruk. Peningkatan kreatinin sampai 6 mg100 ml memberi tanda bahwa
ginjal telah rusak. Secara umum, kadar kreatinin tikus percobaan menunjukkan pola yang
sama dengan kadar BUN. Ketiga perlakuan D0.04, D0.4 dan D4 mempunyai kadar kreatinin sebesar 0,80±0,10 sd 0,87±0,06 mgdL lebih rendah dari kontrol
sebesar 1,00±0,20 mgdL. Sehingga dapat dilaporkan bahwa pemberian kerang mas ngur dosis tinggi D4 sekalipun tidak bersifat toksik pada organ ginjal.
Analisis sidik ragam kadar kreatinin antar perlakuan mempunyai hasil yang sama seperti pada kadar BUN. Ditunjukkan bahwa terdapat hasil berbeda
nyata pada taraf 5. Setelah dilanjutkan uji Duncan ternyata ditemukan hasil berbeda nyata pada perlakuan dosis sedang D0.4.
Hasil berbeda nyata kadar BUN dan kreatinin yang terjadi pada perlakuan dosis sedang D0.4 menunjukkan kadar yang lebih rendah dari kontrol dan
kedua perlakuan lainnya D0.04 dan D4. Karena kadarnya jauh lebih rendah maka dapat dikatakan bahwa perlakuan dosis sedang D0.4 tidak menunjukkan
adanya sifat toksik terhadap organ ginjal. Dari hasil analisis kadar BUN dan kreatinin dalam serum darah, diyakini
bahwa pemberian kerang mas ngur tidak bersifat toksik untuk organ ginjal meskipun diberikan pada dosis tinggi D4, bahkan terdapat kecenderungan
mampu meregenerasi sel-sel ginjal yang rusak secara alamiah atau sebab lain.
4.2.4 Histopatologi Organ Hati dan Ginjal