Merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap
kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi, dan eksistensi yang sama dimata Allah SWT. Dan posisi laki-laki dan
perempuan juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam, yang secara tekstual menempatkan perempuan sebagai second person.
3
Pergeseran sosiologis akibat sosial budaya dan kondisi yang senantiasa berubah menjadikan pemahaman atau interpretasi terhadap ajaran Islam menjadi
lebih dinamis. Karena sifat elastisitas dan dinamika bahasa, maka sesuatu yang wajar bila penafsiran terhadap sebuah teks selalu berkembang dan tidak selalu
melahirkan pemahaman tunggal, begitu pula dengan subtansi ayat dalam surat An- Nisa ayat 34.
مأ م قف ب ضعب ي ع م عب ه ف ب ء س ي ع م ق ج
ق تح ص ف م ت
فح ظ
ت ه ظفح ب بيغ
يف ه ر جه ه ظعف ه ش ف خت يب عج
غ ت اف م ع ف ه ب ض ء س ت ي ك ي ع ك ه اي س ي ع
۴۳ .
Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain wanita,
dank arena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka sebab itu maka wanita yang sholeh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri [289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka [290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya [291], maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya [292] .sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar. QS. An-Nisa :34.
Kalimat ar-rijal qawamun ala an-nisa yang terdapat dalam surat di atas,
selalu menjadi salah satu alasan dasar normatif superrioritas laki-laki atas perempuan. Dalam tafsir al-Manar disebutkan, bahwa laki-laki lebih utama dari
pada perempuan, sehingga lebih pantas untuk memimpin. Argumen yang
3
Tari Siwi Utami, Realitas Politik Perempuan Di Indonesia, Dalam Proseding Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum, Jakarta: National
Demokratis Pemberdayaan Perempuan RI, 2001, h. 106
dimunculkan dalam ayat ini, mengapa kaum laki-laki bisa menjadi kaum perempuan, adalah karena dua hal yang pertama, ketentuan Allah yang telah
melebihkan sebagian dari mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan. Kedua, karena kaum laki-laki suami memberikan nafkah kepada istri.
Akan tetapi Al- Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwah
lebih unggulkuat di mana menurut gramatikal bahasa Arab: posisi kata dalam kalimat tersebut sebagai khabar predikat dan tidak mengatakan bahwa mereka
“harus” menjadi qawwad. Bila susunan Al-Qur’an itu menyatakan “harus” maka ayat ini merupakan sebuah pernyataan normatif dan yang demikian ini akan
mengingat bagi kaum perempuan pada semua masa dan dalam semua keadaan, padahal sebetulnya tidak demikian. Peran suami memberi nafkah kepada istri
bukan merupakan keadaan “hakikat” melainkan hanya perbedaan “fungsional” saja.
4
Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa perempuan dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan
masyarakat Islam, sehingga kaum perempuan juga mempunyai tanggung jawab yang sama beratnya dengan laki-laki mengatasi problematika di pemerintahan
Islam.
5
Dalam realita sosial, banyak kaum perempuan yang mandiri secara ekonomi, bukan menjadi tulang punggung keluarga. Maka sosiologis atau laki-laki itu
berjalan bergerak dan berusaha di ruang publik, sedangkan perempuan tinggal di
4
Subhan Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan,Jakarta: LKIS Pelangi Aksara. 2004, cet-1, h. 26-31
5
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Lentera 2004, h. 79