dimunculkan dalam ayat ini, mengapa kaum laki-laki bisa menjadi kaum perempuan, adalah karena dua hal yang pertama, ketentuan Allah yang telah
melebihkan sebagian dari mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan. Kedua, karena kaum laki-laki suami memberikan nafkah kepada istri.
Akan tetapi Al- Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwah
lebih unggulkuat di mana menurut gramatikal bahasa Arab: posisi kata dalam kalimat tersebut sebagai khabar predikat dan tidak mengatakan bahwa mereka
“harus” menjadi qawwad. Bila susunan Al-Qur’an itu menyatakan “harus” maka ayat ini merupakan sebuah pernyataan normatif dan yang demikian ini akan
mengingat bagi kaum perempuan pada semua masa dan dalam semua keadaan, padahal sebetulnya tidak demikian. Peran suami memberi nafkah kepada istri
bukan merupakan keadaan “hakikat” melainkan hanya perbedaan “fungsional” saja.
4
Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa perempuan dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan
masyarakat Islam, sehingga kaum perempuan juga mempunyai tanggung jawab yang sama beratnya dengan laki-laki mengatasi problematika di pemerintahan
Islam.
5
Dalam realita sosial, banyak kaum perempuan yang mandiri secara ekonomi, bukan menjadi tulang punggung keluarga. Maka sosiologis atau laki-laki itu
berjalan bergerak dan berusaha di ruang publik, sedangkan perempuan tinggal di
4
Subhan Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan,Jakarta: LKIS Pelangi Aksara. 2004, cet-1, h. 26-31
5
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Lentera 2004, h. 79
rumah. Konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah jika pertempuan lebih aktif bergerak, maka ia menjadi rijal secara sosiologis. Sedangkan kalau laki-
laki berada di rumah, maka secara sosiologis ia menjadi nisa. Berdasarkan kajian gender, tipologi laki-laki seperti itu secara biologis ia tetap laki-laki adz-dzakar,
namun secara sosiologis ia adalah nisa; begitu pula sebaliknya.
6
B. Partisipasi Perempuan dalam Berpolitik
Membahas tentang partisipasi politik perempuan di ranah perpolitikan nasional, selama ini selalu mengalami dinamika dan konstelasi yang tidak dapat
difahami oleh kaum laki-laki yang selalu memiliki persepsi bahwa perempuan adalah mahluk yang diciptakan dengan memiliki kodrat dan naluri lemah serta
terlalu halus. Sehingga kemungkinan untuk dapat terlibat secara langsung dan aktif di lapangan memiliki peluang yang sangat tipis.
Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai fakta sering dipakai sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung
kehidupan kaum perempuan. Laporan United Nations Development Program UNDP tahun 1996, misalnya menyebut bahwa 20 dari 1,3 miliar penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk
miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67 dari total penduduk dunia yang buta huruf sekitar 600 juta jiewa juga dari kalangan perempuan. Di
6
Subhan zaitunah.Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan Jakarta: LKIS Pelangi Aksara. 2004, cet-1, h. 33
Indonesia sendiri, perempuan menempat sekitar 70 dari penduduk yang buta hurup
7
Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan di eksploitas. Oleh karena itu,
harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitas.
8
Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidak adilan gender, akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidak adilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan mereka.
9
Di abad globalisasi seperti saat ini, golongan feminisme terus berupaya mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial yang sebenarnya dibuat oleh kaum laki-
laki yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Akhir dari tuntunan feminism adalah terbebasnya kaum perempuan
dari berbagai
macam belenggu,
diskriminasi, keterbelakangan,
dan terakomodirnya kepentingan perempuan dalam kontek kehidupan rill sebuah
system kenegaraan. Di Indonesia isu keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang
publik; dimana komitmen partai politik belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan, dan kendala nilai-nilai
budaya dan interpretasi ajaran agama yang sangat tidak mendukung atas
7
Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah. Revisi Politik Perempuan, Bercermin Pada Shahabiyat, Bogor: Idea Pustaka Utama 2003, h. 26
8
Mansour Fakih. Analisis Gender dan Tranformasi sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar 2003, h. 79
9
Yunaha Ilyas. Feminism dalam Kajian Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 1997, h. 46
kesetaraan gender dan animo para perempuan untuk terjun dalam kancah perpolitikan nasional rendah, merupakan inti pokok permasalahan yang dihadapi
saat ini. Akan tetapi, animo kaum perempuan untuk terjun secara praktis dalam ranah politik masih memerlukan kajian khusus dan penelitian yang matang.
Hak-hak politik perempuan hak asasi yang paling mendasar, sementara hak asasi perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan adalah
syarat mutlak di dalam demokrasi. Pada tahun-tahun terakhir ini, pembicaraan tentang keterwakilan dan partisipasi politik perempuan menjadi signifikan.
Kendati berbagai langkah mobilisasi dan advokasi telah ditingkatkan, namun, masih banyak politisi yang sangat rendah pemahamannya tentang isu ini.
10
Padahal dalam agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk di Indonesia, jelas dikatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan
diberi hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di mata Allah kecuali keimanannya. Akan tetapi
walaupun begitu, masih banyak kalangan yang memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap partisipasi perempuan dalam politik.
11
Terpenuhnya hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada draft instrument internasional mengenai Hak asasi Manusia juga harus
mengacu kepada pancasila sebagai ideologi dan konstitusi Negara Khususnya
10
Internasional IDE. Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Jakarta: AMEPRO, 2005, h. 1
11
Jalaludin Rahmat. Islam Aktual, Bandung: Mizan, 2003 hlm. 194
UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal 28 A sampai J tentang Hak Asasi Manusia.
12
Pergerakan perempuan di Indonesia memiliki beberapa persamaan arah tujuannya dengan gerakan-gerakan perempuan di belahan dunia lain, yaitu
bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga yang tersubordinasi. Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum perempuan di
Indonesia, karena pada waktu itu segelintir perempuan Indonesia telah mengeyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan perempuan
Indonesia, pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini yang lahir pada 1879 adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feudal Jawa dan
ingin mengangkat martabat perempuan melalui bidang pendidikan.
13
Nasionalisme yang diperjuangkan Kartini dalam beberapa hal menjiwai berdirinya Boedi Otomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Otomo
pada tahun 1912.
14
Mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Ketika Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 dikumandangkan sebagai pertanda persatuan Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut para perempuan Indonesia
12
Mujibur Rahman Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Politik dalam Pemerintahan daerah sebuah kajian dengan pendekatan berfikir system, Malang: Bayumedia Publishing,
2007, h. 79
13
Marlita dan Porwandari. Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965, Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, h. 83
14
Mu’min Rauf dan Tati Harminah. Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, h. 20