Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden
Keuntungan petani tanaman pangan di wilayah Bogor Rp 500.000 –
Rp 2.000.000 per satu kali musim tanam. Menurut pengakuan sebagian petani, terutama petani yang memiliki lahan pertanian kecil, dengan keuntungan yang
demikian kecil tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Hal ini memaksa petani untuk melakukan pekerjaan selain di ladang, yaitu mengerjakan
pengolahan pasca panen, atau kegiatan yang bersifat off farm seperti buruh tani, buruh di pasar, berjualan, tukang bangunan dan pekerjaan lainnya.
B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian
Usahatani di subsektor tanaman pangan termasuk salah satu jenis usahatani yang memiliki resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Resiko-resiko
tersebut dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan alam terutama iklim, bencana alam, ataupun serangan hama dan penyakit; perubahan lingkungan sosial
ekonomi terutama yang terkait dengan perilaku pasar, input maupun output
usahatani, dinamika usaha antara sektor pertanian dan non pertanian, perubahan kebijakan di bidang ekonomi, konflik sosial dan sebagainya.
Negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan terhadap resiko-resiko pertanian karena masih minimnya instrumen-instrumen pengendalian resiko.
Untuk itu perlu dilakukan kajian awal untuk mengidentifikasi resiko-resiko tersebut. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan sejumlah petani
responden di wilayah Bogor teridentifikasi resiko-resiko pertanian dan tingkat resiko pertanian seperti yang disampaikan pada Gambar 8 yang merupakan hasil
tabulasi berdasarkan Lampiran 3. Rata-rata skor yang digunakan skala 1-5 yaitu dari sangat penting 5 hingga tidak penting 1.
Gambar 8. Skor Resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan Gambar 8 menunjukkan bagaimana persepsi petani berdasarkan tingkat
kepentingan dari berbagai resiko. Berdasarkan pendapat petani responden di wilayah Bogor, resiko produksi merupakan resiko yang paling berpengaruh diikuti
dengan resiko pemasaran, resiko finansial, resiko manusia serta resiko sosial dan institusional. Adapun resiko yang paling sering dihadapi oleh petani adalah resiko
produksi terutama dari serangan hama dan penyakit tanaman atau organisme pengganggu tanaman OPT serta iklim atau cuaca seperti hujan dan kekeringan.
Resiko pemasaran juga merupakan resiko yang dominan, terutama disebabkan oleh harga produk yang sering berubah serta distribusi komoditas yang selain
mahal karena biaya transportasi tinggi akibat infrastruktur yang tidak memadai, serta sering juga dimonopoli oleh pengusaha besar. Resiko keuangan didominasi
oleh lemahnya permodalan petani dan lemahnya akses terhadap permodalan petani.
Berdasarkan persepsi petani di wilayah Bogor, penurunan jumlah produksi pertanian merupakan hal utama yang dialami oleh petani. Penurunan jumlah
produksi ini terutama disebabkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman. Organisme pengganggu tanaman OPT merupakan salah satu faktor penghambat
utama usaha peningkatan produksi pertanian. Serangan OPT menyebabkan penurunan kuantitas hasil dan penurunan kualitas produksi pertanian. Jenis-jenis
Organisme pengganggu tumbuhan OPT yang sering menyerang lahan pertanian tanaman pangan utama di wilayah Bogor adalah : penggerek batang, tikus, tungro,
wereng coklat, blast, kresek, hama putih, ulat grayak, trips, hawar bakteri, lalat bibit, hama putih palsu, keong mas, BRS dan perikularia. Serangan hama dan
penyakit ini menyerang terutama saat musim hujan yaitu pada bulan Oktober sampai Maret.
Penurunan pertumbuhan produksi juga disebabkan oleh faktor penting lainnya yaitu perubahan iklim global yang menyebabkan anomali iklim dan
pemanasan global. Berbagai bentuk anomali iklim seperti curah hujan yang tinggi saat musim hujan dan kemarau yang panjang hingga menyebabkan kerusakan
pada tanaman. Anomali iklim juga mengganggu jadwal pola tanam petani. Bencana alam juga sering terjadi seperti banjir dan kekeringan bahkan kebakaran
serta gempa bumi yang berpotensi merusak infrastruktur dan jaringan irigasi yang akhirnya merusak dan menurunkan produksi tanaman pangan.
Tanaman pangan dengan peranannya yang sangat penting di dalam konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia perlu mendapatkan perhatian.
Berbagai faktor yang mempengaruhi tanaman pangan baik berupa stok, produksi nasional dan harga di pasar internasional menjadi faktor kritis bagi ketahanan
pangan Indonesia. Hal ini karena faktor-faktor ini akan berdampak pada harga domestik tanaman pangan tersebut. Harga domestik yang tinggi akan berakibat
pada daya konsumsi masyarakat menjadi rendah dan dalam jangka waktu panjang kondisi ini akan melemahkan ketahanan pangan nasional terutama akibat dari
bencana kelaparan. Sedemikian strategisnya komoditas tanaman pangan ini sehingga memiliki sifat strategis dan politik. Jatmiko, 2004.
Gambar 9. Perbedaan harga di tingkat petani dan pasar
Selain harga hasil pertanian tanaman pangan yang sering berubah, apalagi pada saat panen raya menyebabkan harga hasil pertanian akan semakin rendah.
Adanya permainan harga oleh para tengkulak yang menyebabkan harga produk pertanian jauh berada di bawah harga pasar. Petani tidak mempunyai kekuatan
tawar menawar, karena petani telah menjual produk pertaniannya sebelum panen, yaitu di saat petani meminjam uang kepada tengkulak untuk keperluan sehari-hari
dan sebagai modal petani untuk membeli input produksi. Infrastruktur yang masih rendah, merupakan salah satu sebab distribusi
komoditas pertanian semakin panjang. Tidak tersedianya infrastruktur jalan usahatani menyebabkan biaya transportasi untuk memasarkan produksi tanaman
semakin besar. Hal ini dimanfaatkan oleh pengusaha yang memiliki modal yang besar untuk membeli produk pertanian dengan harga rendah di tingkat petani dan
menjualnya dengan harga yang tinggi di pasar dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Meskipun tidak mengetahui secara rinci pengaruh perubahan ekonomi nasional oleh petani, namun petani merasakan dampak dari kenaikan harga BBM
yang diikuti oleh kenaikan harga input produksi dan transportasi. Resiko keuangan utama yang teridentifikasi oleh petani responden di
wilayah Bogor adalah modal. Permodalan petani sangat terbatas, hal ini dilihat dari kemampuan petani untuk membiayai usahatani sehingga produktivitas yang
dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Kesulitan permodalan yang dialami petani akan mempengaruhi ruang
gerak aktifias produksi usahatani dari petani. Salah satu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada umumnya dan pertanian pada
khususnya adalah melalui kredit. Kredit adalah salah satu syarat pelancar dalam pembangunan pertanian, karena tanpa adanya kredit pertanian, pertumbuhan
ekonomi dalam bidang pertanian akan berjalan lambat. Untuk produksi yang lebih baik, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang sarana produksi. Petani
dengan uang banyak akan mampu membeli sarana produksi yang produktif sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Namun kenyataannya
kredit dari lembaga keuangan seperti bank tidak menarik untuk digunakan oleh petani tanaman pangan yang kebanyakan adalah petani berlahan sempit dan
sedang. Hal ini dapat dimaklumi karena selain tingkat bunga yang tinggi juga diakibatkan oleh administrasi yang berbelit-belit oleh bank. Petani lebih memilih
untuk meminjam kepada tetangga, saudara atau tengkulak. Untuk petani yang sudah bergabung dengan kelompok tani dan telah membentuk gabungan
kelompok tani serta telah melakukan kegiatan simpan pinjam, maka petani cenderung meminjam untuk sarana produksi maupun keperluan sehari-hari kepada
kelompok tani dengan tingkat bunga rendah yaitu 2 dengan agunan kartu tanda penduduk KTP dan kartu keluarga KK.
Resiko finansial penting lainnya di wilayah Bogor adalah lahan, yaitu pemilikan lahan yang sempit dan terjadinya konversi lahan untuk pembangunan
industri serta pemukiman di lahan pertanian. Peningkatan produksi pangan memang terjadi walaupun sedikit, namun hal ini tidak seimbang dengan tingginya
peningkatan permintaan pangan daerah dan nasional.
Rata-rata petani responden di Bogor mengusahakan lahan sawah 0,5 Ha dan luas lahan tersebut cenderung mengecil karena adanya proses fragmentasi
lahan sebagai akibat dari sistempola warisan. Selain itu juga disebabkan oleh alih fungsi lahan. Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya
alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian contohnya untuk pembangunan industri, pemukiman di lahan pertanian. Penyempitan luas lahan
ini diikuti dengan naiknya harga sewa lahan dan harga lahan itu sendiri. Resiko manusia dapat dilihat dari tenaga kerja yang merupakan faktor
penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Pada umumnya tenaga kerja di sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengandalkan
keterampilan yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri atau orang lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun.
Walaupun jumlah tenaga kerja di sektor pertanian jumlahnya lebih banyak daripada jumlah tenaga kerja di sektor lain, ada kecenderungan penurunan dari
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat secara sederhana dari karakteristik petani. Kecenderungan penurunan ini disebabkan paradigma berpikir masyarakat
bahwa petani identik dengan pekerjaan bercocok tanam, tradisional membuat masyarakat muda tidak tertarik bekerja di bidang pertanian. Kecenderungan
penurunan jumlah petani ini membuat upah tenaga kerja di bidang pertanian semakin tinggi.
Melihat kondisi umur petani responden yang sebagian besar berumur lebih dari 50 tahun, maka tingkat kesehatan petani juga menurun. Hal ini dapat
menurunkan daya konsentrasi waktu bekerja yang akhirnya dapat mengakibatkan kecelakaan dalam bekerja. Kondisi ini dipersulit lagi dengan tidak adanya jaminan
kesehatan yang memadai dan petani tidak mampu untuk membeli asuransi kecelakaan.
Dari sisi resiko institusional, sebagian petani responden beranggapan bahwa kebijakan pemerintah tidak terlalu berpihak kepada pertanian. Hal ini
terlihat dari infrastruktur pendukung pertanian yang belum memadai seperti jalan dan irigasi. Di sisi lain, karena sebagian besar petani di Bogor adalah petani
dengan tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan untuk melakukan kesepakatan masih kurang. Namun, apabila terjadi kesepakatan antara
petanikelompok tani dengan pengusaha, maka bargaining power selalu dalam kondisi merugikan petani.
C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani