Manajemen Resiko di Tingkat Petani

petanikelompok tani dengan pengusaha, maka bargaining power selalu dalam kondisi merugikan petani.

C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani

Di negara-negara berkembang, kegiatan manajemen resiko secara tradisional dilakukan sebelum ex-ante dan setelah ex-post resiko itu muncul. Siegel dan Alwang, 1999. Contoh strategi ex-ante mencakup akumulasi dari simpanan cadangan sebagai tabungan pencegahan dan diversifikasi pendapatan yang menghasilkan kegiatan melalui perubahan alokasi tenaga kerja bekerja pada on farm dan usaha kecil off farm, dan migrasi musiman atau berbagai praktek tanam menanam tanaman yang berbeda, seperti varian tahan kekeringan, penanaman di lahan yang berbeda, tumpang sari, dan mengandalkan input beresiko rendah. Demikian pula, perusahaan dapat mengasuransikan diri melalui kapitalisasi tinggi dan diversifikasi kegiatan usaha. Masyarakat secara kolektif mengurangi resiko cuaca dengan proyek irigasi dan pengolahan tanah konservasi yang melindungi tanah dan kelembaban. Contoh dari strategi ex-post adalah dengan petani melakukan pekerjaan yang bersifat off-farm, menjual hasil ternak atau asset pertanian lainnya, mengajak anak-anak bekerja sebagai buruh pertanian, dan meminjam uang kepada keluarga, teman atau tetangga Hanan and Skoufias, 1998. Manajemen resiko di tingkat petani di wilayah Bogor lebih difokuskan kepada pengurangan resiko produksi dan resiko keuangan. Hasil tabulasi manajemen resiko di tingkat petani berdasarkan Lampiran 4 dapat dilihat pada Gambar 10. Rata-rata pemberian skor pada skala 1-5 yaitu dari sangat penting 5 hingga tidak penting 1. Gambar 10. Skor manajemen resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan Manajemen resiko di tingkat petani lebih mengutamakan pada pendekatan secara teknik ataupun praktis dalam pengendalian resiko pertanian. Untuk mengurangi resiko produksi atau penurunan jumlah produksi akibat pengaruh serangan hama dan penyakit, petani lebih cenderung untuk memonitor lebih dahulu serangan hama dan penyakit untuk mengidentifikasi hama dan penyakit. Pengendalian yang dilakukan secara umum oleh petani adalah menyemprot dengan menggunakan pestisida atau insektisida. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman pangan relatif sangat tinggi Wigenasantana dan Waluyo, 1989. Selain itu petani juga melakukan penyiangan untuk menghilangkan gulma dari tanaman. Untuk mengurangi penggunaan pestisida dan insektisida yang mahal, maka petani melakukan diversifikasi usahatani dengan menanam lebih dari satu tanaman pada suatu lahan. Perubahan cuaca menyebabkan keterbatasan air dirasakan sangat berkurang terutama pada saat musim kemarau ditambah lagi dengan kurangnya infrastruktur, menyebabkan petani harus melakukan pengairan dengan langsung mengambil dari sumber-sumber air. Antisipasi lain untuk mengatasi berkurangnya jumlah produksi akibat resiko produksi, petani cenderung untuk menanam tanaman dalam kapasitas maksimum. Salah satu ciri pertanian rakyat Indonesia adalah manajemen dan permodalan yang terbatas. Kebutuhan petani terhadap uang tunai modal untuk membiayai usahataninya sangat menonjol dalam kegiatan pembelian benih berlabel mengingat kualitas benih sangat menentukan produktivitas usahatani, pupuk dan pestisida obat-obatan pemberantas hama penyakit. Masalah keuangan merupakan salah satu masalah utama bagi petani. Keperluan modal merupakan titik awal bagi petani untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan penggunaan kredit. Selama petani masih memiliki modal sendiri, petani cenderung untuk menghindari melakukan peminjaman atau kredit, kredit dari sumber manapun sangatlah beresiko. Petani lebih tertarik meminjammelakukan kredit dari pemerintah dibanding kredit dari sumber yang lainswasta. Namun kondisi di lapangan menyatakan kredit yang bersumber dari peroranganswasta lebih disukai karena lebih mudah dan cepat didapat. Sjah, Russell Cameron, 2003. Petani di wilayah Bogor sebagai petani umumnya di Indonesia tidak terlepas dari beban hutang untuk kehidupan sehari-hari dan untuk biaya produksi. Hal utama yang dilakukan petani untuk mengatasi resiko keuangan adalah dengan menjaga agar tidak berhutang terlalu banyak, kemudian mencoba mengatur pengeluaran. Apabila biaya untuk keperluan sehari-hari dan biaya produksi masih kurang, sedangkan modal untuk memenuhi keperluan tersebut sedikit atau tidak ada, petani akan melakukan pinjaman. Pinjaman uang yang dilakukan untuk modal usaha tani atau untuk keperluan sehari-hari biasanya ditujukan kepada keluarga terdekat, tentangga dan secara umum kepada tengkulak. Sebagian besar petani responden meminjam uang kepada tengkulak dan dibayar saat panen, dimana tengkulak yang akan membeli hasil tersebut, tentunya dengan harga yang rendah. Resiko pemasaran terutama harga produk merupakan salah satu masalah utama. Petani tidak mampu atau tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut petani umumnya mengikuti perkembangan harga produk pertanian secara umum. Untuk mengetahui kondisi pasar terutama harga produk, Pemerintah telah memberikan layanan informasi harga yang dapat diakses oleh petani langsung melalui sms ke operator Dinas Agribisnis maupun Dinas Pertanian dan Kehutanan di Wilayah Bogor. Untuk mengimbangi pendapatan petani apabila tidak mendapatkan hasil atau harga yang memadai dalam menanam tanaman pangan, maka petani melakukan diversifikasi usaha terutama pada tanaman palawija dan hortikultura khususnya sayuran. Untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan harga jual, sebagian petani mengikuti kelompok tani dan melakukan kesepakatan usaha dengan pengusaha. Lahan pertanian yang kian hari semakin sempit tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pendapatan yang cukup bagi keluarga. Petani responden umumnya melakukan pekerjaan tambahan di luar usahatani off farm. Pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian, seperti pekerjaan dalam industri rumah tangga atau industri kecil, sudah dikenal di daerah pedesaan sejak lama. Keberadaan pekerjaan di luar sektor pertanian ini penting artinya bagi rumah tangga petani. Hal ini berkaitan dengan sifat musim kegiatan di bidang pertanian. Pada umumnya keluarga petani membutuhkan pekerjaan di luar sektor pertanian untuk menambah penghasilannya. Mubyarto, 1985. Demikian pula halnya petani di wilayah Bogor, kepemilikan lahan pertanian semakin sempit karena berubah menjadi kawasan perumahan. Kepemilikan lahan rata-rata petani responden adalah 0,5 Ha per kepala keluarga. Melihat kenyataan yang demikian, pendapatan dari sektor pertanian tidak memungkinkan lagi sebagai penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu bukan saja kaum laki-lakinya, kaum wanitanya pun dituntut untuk mencari nafkah di sektor off farm.

D. Analisis Faktor Lingkungan