2. Karakteristik Responden
Karakteristik petani di wilayah Bogor, sebagaimana petani-petani tanaman pangan yang ada di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir sama
homogen. Ada beberapa karakteristik yang melekat pada petani tanaman pangan di wilayah Bogor terutama dilihat dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status dan
luas lahan, pengalaman usahatani, pola tanam serta pendapatan petani. Hasil olah data tentang karakteristik petani responden di wilayah Bogor dapat ditunjukkan
pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Karakteristik responden
Keterangan Kategori
Jumlah org
Persentase
Jenis Kelamin Laki-laki
43 87.76
Perempuan 6
12.24 Usia tahun
31-40 7
14.29 41-50
16 32.65
51-60 11
22.45 60
15 30.61
Pendidikan Tidak sekolah
11 22.45
SDMI 22
44.90 SMP
7 14.29
SMA 9
18.37 Luas lahan
0,5 ha 31
63.27 0,5 - 1,0
12 24.49
1,0 ha 6
12.24 Status lahan
Sewa 18
36.73 milik sendiri
31 63.27
Pengalaman usahatani 5 tahun
10 20.41
5 - 10 th 17
34.69 10 th
22 44.90
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat pada umumnya petani di Bogor adalah laki-laki yaitu 87,76 dari seluruh jumlah responden yang dipilih, namun juga
terdapat 12,24 dari responden adalah perempuan. Hal ini kelihatan tidak lazim, namun 6 orang perempuan tersebut menjadi petani karena suaminya telah
meninggal dan ada juga yang disebabkan perceraian, namun semua responden perempuan ini merupakan anggota kelompok tani.
Usia petani responden rata-rata di atas 30 tahun, dimana sekitar 46,93 berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun, sedangkan sebagian besar petani
responden yaitu 53,07 berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia, terutama di Bogor cenderung tidak diminati oleh pemuda.
Ada anggapan bahwa petani atau pertanian itu identik dengan pekerjaan bercocok tanam dan kemiskinan. Hal ini menyebabkan pemuda lebih cenderung untuk
mencari pekerjaan lain selain bekerja di bidang pertanian. Dari sisi tingkat pendidikan formal, petani responden di Bogor sebagian
besar hanya sampai sekolah dasar 67,35, dan sekolah lanjutan 32,65. Tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tidak selalu berarti kurang
pengetahuan. Namun demikian, pendidikan formal yang tinggi akan sangat berperan dalam kemampuan menganalisis berbagai situasi, wawasan berpikir dan
pemanfaatan teknologi terkini. Seperti umumnya ciri petani Indonesia memiliki lahan rata-rata 0,5 ha, begitu juga petani responden di Bogor dengan pemilikan
lahan rata-rata di Bogor adalah 0,5 ha dengan status kepemilikan lahan tersebut rata-rata adalah milik petani sendiri 63,27 meskipun ada juga yang berupa
tanah sewa. Sebagian besar responden 44,90 telah melakukan usahatani 10
tahun, sedangkan yang berpengalaman 5-10 tahun sebanyak 34,69 dan sisanya baru berpengalaman 5 tahun. Dilihat dari persentase pengalaman usahatani,
menunjukkan bahwa petani di Bogor sudah memiliki pengalaman yang cukup dalam usahatani. Sehingga dapat dikatakan petani sudah memiliki pengalaman
serta pengetahuan yang cukup tentang resiko pertanian. Petani di Bogor melakukan penanaman polikultur yaitu dengan pola tanam
bergantian atau menanam pada saat yang sama pada suatu lahan pertanian antara tanaman padi, palawija dan sayuran. Pola tanam tanaman pangan di wilayah
Bogor dapat dilihat pada Gambar 6. Dari keseluruhan petani yang menjadi responden, hanya 1 orang atau 2,04 menanam padi saja. Untuk tanaman padi
yang diikuti dengan tanaman palawija sebanyak 16,33. Sedangkan untuk tanaman padi yang diikuti dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran sekitar
24,49 dan ini merupakan pola tanam paling tinggi persentasenya dibanding pola tanam yang lain. Petani responden yang hanya menanam palawija saja sekitar
14,29. Responden yang melaksanakan pola tanam palawija yang diikuti dengan padi 12,24, palawija dan sayuran 20,41, sedangkan pola tanam palawija, padi
dan sayuran 10,20.
Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor
Pola tanam padi – palawija – sayur lebih diminati oleh petani
dibandingkan hanya bertanam padi saja, atau palawija saja. Hal ini dikarenakan menurut pendapat petani bahwa usahatani dengan pola tanam yang demikian lebih
menguntungkan. Keputusan petani untuk melakukan penanaman satu atau beberapa jenis tanaman pangan serta untuk melakukan polikulturdiversifikasi
usahatani paling dominan didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman berusahatani.
Dari sisi biaya produksi, sebanyak 67 petani mengeluarkan biaya kurang dari Rp 1 juta selama 1 kali produksi tanaman Gambar 7. Hal ini dapat dipahami
mengingat rata-rata luasan lahan pertanian adalah 0,5 Ha. Pendapatan sebagian besar petani 91,84 sebesar lebih dari Rp 1.000.000 diperoleh dari hasil
penjualan produk pertanian.
Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden
Keuntungan petani tanaman pangan di wilayah Bogor Rp 500.000 –
Rp 2.000.000 per satu kali musim tanam. Menurut pengakuan sebagian petani, terutama petani yang memiliki lahan pertanian kecil, dengan keuntungan yang
demikian kecil tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Hal ini memaksa petani untuk melakukan pekerjaan selain di ladang, yaitu mengerjakan
pengolahan pasca panen, atau kegiatan yang bersifat off farm seperti buruh tani, buruh di pasar, berjualan, tukang bangunan dan pekerjaan lainnya.
B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian