Pelaksanaan Prinsip Koheren Pelaksanaan Prinsip Berdimensi Pengembangan

beberapa data penerapan standar SNI wajib terlihat bahwa masih terdapat produk Air Minum dalam Kemasan AMDK dan garam beryodium yang tidak memenuhi standar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI melakukan pengujian pada produk Air Minum dalam Kemasan AMDK gelas tahun 2010. Dari 21 merek yang diuji ditemukan 2 merek yang melewati batas maksimum total koloni bakteri berdasarkan standar SNI 3553-2006, yaitu angka lempeng total akhir maksimal 1 x 10 5 koloniml. Penelitian lain yang dilakukan Saputra 2011 terhadap 13 garam yodium bermerek yang beredar di Denpasar, Bali, dengan jumlah 60 sampel, terdapat 2 merek garam beryodium yang mengandung iodium kurang dari standar SNI 3556:2010 yaitu minimal 30 ppm.

B. Pelaksanaan Prinsip Koheren

Saat ini masih terjadi kendala harmonisasi dalam penerapan standar dan peraturan di tingkat internasional. Dapat diambil contoh adalah standarperaturan penggunaan bahan tambahan pangan pewarna dan pengawet di negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan standar tersebut dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 17. Standar Penggunaan Pewarna Pangan di Negara-Negara ASEAN Fardiaz, 2009 Tabel 17 menunjukkan contoh kasus ketidakharmonisan standarperaturan di beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam mengatur atau melarang penggunaan pewarna sintetis. Tabel 18 menunjukkan contoh kasus ketidakharmonisan standar di beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam mengatur atau melarang penggunaan pengawet pangan. Tabel 18. Standar Penggunaan Pengawet Pangan di Negara-Negara ASEAN Fardiaz, 2009 Kasus lain terkait dengan harmonisasi standarperaturan di tingkat internasional adalah kasus mi instan. Kasus mi instan dari Indonesia yang diekspor ke Taiwan akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dimana terjadi perbedaan standar mengenai penggunaan Methyl-p-hydroxy Benzoate pada produk mi instan dari Indonesia di Taiwan.

C. Pelaksanaan Prinsip Berdimensi Pengembangan

Berdasarkan hasil survei, terlihat bahwa hampir seluruh responden sepakat bahwa faktor pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Selain itu, pihak-pihak yang memiliki keterbatasan akses dan kemampuan untuk terlibat dalam perumusan dan pengembangan standar perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Kelompok yang perlu mendapatkan perhatian tersebut adalah kelompok industri UMKM dan kelompok instansi yang berada di daerah. Dengan peningkatan partisipasi, peran serta, dan keterlibatan kelompok ini dalam usulan, perumusan dan pengembangan standar diharapkan proses pembahasan standar menjadi efektif dan standar yang dihasilkan relevan untuk diaplikasikan oleh semua pihak yang berkepentingan. Untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam penerapan standar keamanan pangan, sedapat mungkin saat perumusan standar disediakan data yang valid mengenai kondisi penggunaan suatu bahan pangan yang akan dibuatkan standarnya, terutama penggunaannya oleh UMKM. Jika jumlah penggunaan suatu bahan pangan tertentu masih besar oleh UMKM yang juga jumlahnya banyak, maka perlu dipertimbangkan kesiapan UMKM dalam menyesuaikan standar yang akan diterapkan dan kesiapan lembaga pengawas yang akan menegakan peraturan pemberlaku wajib standar. Sebagai contoh, saat ini kondisi peternak kecil masih banyak yang menghasilkan susu sapi segar dengan nilai TPC di atas 1 x 10 6 cfug, sehingga peternak tersebut kesulitan dalam menerapkan standar yang ada. Agar penerapan standar oleh pelaku usaha peternak tersebut efektif dan fungsi pengawasan juga mudah dilakukan, seharusnya standar dibuat dengan cara bertahap. Standar seharusnya ditetapkan secara gradual dengan tujuan membina dan meningkatkan kualitas produk para pelaku usaha agar sesuai dengan standar. Jika, kualitas produk para pelaku usaha sudah meningkat, kemudian standar dapat digeser lagi sampai batas yang diinginkan. Ilustrasi penetapan secara bertahap gradual sebagai salah satu penerapan prinsip berdimensi pengembangan dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34. Dimensi Pengembangan Standar Hariyadi, 2011b Setiap lima tahun sekali suatu standar seharusnya dievaluasi pelaksanaannya. Jika ada hambatan di dalam penerapannya, standar tersebut perlu direvisi. Evaluasi yang menghasilkan revisi harus berdasarkan pada pertimbangan tertentu yang memperhatikan dimensi pengembangan agar penerapan standar tersebut menjadi lebih efektif. Standar seharusnya mampu mendorong pelaku usaha untuk memperbaiki kualitas produknya. Jika dilihat dari data BSN 2011c masih banyak SNI pangan yang berumur lama lebih dari 5 tahun dan belum dilakukan kaji ulang revisi, amandemen, atau abolisi. Untuk itu, otoritas pembuat standar BSN perlu melakukan kaji ulang terhadap SNI yang telah ditetapkan terutama untuk SNI yang telah berumur paling lama. Kaji ulang tersebut juga berfungsi untuk mengevaluasi tingkat penerapan SNI oleh pelaku usaha. Kaji ulang akan semakin mendesak diperlukan sebagai upaya persiapan menghadapi perdagangan bebas misal CAFTA dan APEC dimana standar SNI berfungsi untuk menjamin produk pangan yang dihasilkan produsen Indonesia memiliki kualitas dan daya saing dalam menghadapi era perdagangan bebas tersebut. Kondisi banyaknya umur SNI bidang Pangan yang sudah lama dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35. Umur SNI Pangan Hingga November 2011 diolah dari BSN, 2011d

4.3.2. Rekomendasi Prinsip-Prinsip