Pelaksanaan Prinsip Efektif dan Relevan

A. Pelaksanaan Prinsip Efektif dan Relevan

Sejak pertama kali diterbitkan hingga tahun 2006 jumlah SNI yang disusun sekitar 6633 judul ditambah dengan penyelesaian standar baru berjumlah sekitar 200 judul per tahun. Data hasil survei BSN 2006 terhadap kelompok standar menunjukkan profil perkembangan standar yang dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Jumlah Penggunaan SNI diolah dari BSN, 2009 Dari total jumlah standar SNI, standar sektor pertanian dan pangan merupakan sektor dengan jumlah SNI terbanyak, yaitu 952 SNI pada tahun 2006. Hasil penelitian mengenai penerapan SNI oleh BSN 2006 menunjukkan bahwa belum seluruh SNI diterapkan dengan baik oleh para pelaku usaha dan pemangku kepentingan di masyarakat Indonesia. Gambar 27 menunjukkan proporsi penerapan standar dalam berbagai bidang. Untuk bidang pertanian dan pangan misalnya hanya 12 SNI yang diterapkan dari total 952 SNI bidang pertanian dan pangan hanya 118 SNI yang diterapkan, yang menunjukkan bahwa penerapan standar belum dilakukan secara optimal. Hal ini dapat disebabkan karena belum disadari sepenuhnya manfaat penerapan standar oleh masyarakat pelaku usaha, khususnya sebagai panduan dalam produksi dan acuan dalam transaksi perdagangan, terutama oleh industri kecil. Penyebab lain adalah ketentuan dan persyaratan di dalam standar masih sulit dipenuhi oleh para pelaku usaha. Untuk itu, keterlibatan pemangku kepentingan dalam perumusan standar masih perlu ditingkatkan, agar betul-betul dihasilkan SNI yang relevan dengan kondisi nyata dan sesuai dengan kebutuhan peningkatan daya saing produk. Berdasarkan pada hasil FGD dan survei yang menunjukkan bahwa tingkat relevansi yang masih rendah, maka penelitian ini lebih lanjut menggali aspek relevansi ini, dengan melihat beberapa data hasil kajian dan penelitian yang terkait. Adapun contoh kasus yang terkait dengan tingkat relevansi standar dan peraturan yang masih rendah dapat dilihat pada data berikut ini: 1. Standar tentang Susu Segar Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PT Indolakto dari beberapa peternak susu di Boyolali, Bandung, Jakarta, Bogor, Sumedang, Garut, dan Cikajang dari tanggal 20 Juni–3 Juli 2011 diperoleh data bahwa sebagian besar peternak memproduksi susu dengan nilai Total Plate Count TPC atau Angka Lempeng Total ALT di atas standar SNI. Berdasarkan standar SNI 01-3141- 1998 revisi SNI 3141.1:2011 batas TPC pada susu segar adalah 1 x 10 6 CFUml BSN, 1998; BSN, 2011a. Berdasarkan data sebaran, diperoleh angka bahwa rata-rata susu yang dihasilkan peternak di daerah sampling supplier PT Indolakto adalah 4,62 x 10 6 CFUml. Bahkan masih banyak susu dari peternak yang memiliki nilai TPC di atas 10 7 CFUml. Berdasarkan sumber data lain yang dikumpulkan dari penelitian berbagai badanlembaga penelitian dan pengembangan litbang, dinas peternakan daerah, dan beberapa perguruan tinggi Usmiati dan Widaningrum, 2005; Usmiati dan Nurdjannah, 2007; Budiyanto dan Usmiati, 2009; Disnak Jateng, 2010; Marlina, et al ., 2007; Balia, et al., 2008 diperoleh data bahwa sebagian besar peternak memproduksi susu dengan nilai TPCALT juga di atas standar SNI. Berdasarkan data tersebut, diperoleh angka bahwa rata-rata susu yang dihasilkan peternak di daerah penelitian Bandung, Semarang, dan Bogor adalah 2,38 x 10 7 CFUml. Bahkan masih banyak susu dari peternak yang memiliki nilai TPC di atas 10 7 CFUml. Secara kolektif data hasil sampling PT Indolakto dan data kolektif dari beberapa karya ilmiah dan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28. Hasil Pengujian TPC Susu Segar di Beberapa Daerah di Indonesia Diolah dari data PT Indolakto dan beberapa karya ilmiah Keterangan: Usmiati dan Widaningrum 2005, Usmiati dan Nurdjannah 2007, Budiyanto dan Usmiati 2009, Disnak Jateng 2010, Marlina, et al. 2007 Balia, et al. 2008 Hal ini menggambarkan bahwa standar yang saat ini diberlakukan masih terlalu tinggi, dan sangat berat jika diterapkan bagi peternak kecil. Akibatnya banyak peternak yang tidak dapat memenuhi standar tersebut. Kondisi tersebut menyalahi prinsip penerapan standar yang seharusnya memiliki dimensi pengembangan dengan memperhatikan kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM. 2. StandarPeraturan tentang Sari Buah Data dari Asosiasi Industri Minuman Ringan ASRIM dalam Poeradisastra 2011 menggambarkan beberapa produk sari buah dari produsen yang ada di Indonesia menghasilkan kualitas total padatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BPOM RI. Menurut Poeradisastra 2011 produk sari buah sirsak dan lemon yang dihasilkan produsen di Indonesia menghasilkan nilai total padatan Brix 12,0-14,0 dan 4,2; sedangkan menurut peraturan BPOM 2006 sari buah sirsak dan lemon berturut-turut harus memiliki nilai padatan minimal 14,5 dan 6. 3. StandarPeraturan tentang Penggunaan Pemanis Siklamat Data lain dari BPOM RI dalam Suratmono 2009 menyebutkan ketidaksesuaian penggunaan siklamat pada Pangan Jajanan Anak Sekolah PJAS yang beredar di Indonesia dengan standar. Data tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dan 2007 ditemukan 42,28 dan 42,88 dari seluruh PJAS yang disampling di seluruh Indonesia tidak memenuhi syarat penggunakan pemanis siklamat berdasarkan HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. 4. Standar tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu Dari parameter gizi, Herlina 2008 telah melakukan kajian kesesuaian produk makanan pendamping air susu ibu MP-ASI dengan SNI. Hasilnya menunjukkan bahwa 61 dari 100 produk MP-ASI bubuk lokal yang beredar memiliki kandungan vitamin B6 di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01- 7111.1-2005 yaitu minimal 0,7mg100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI bubuk instan lokal dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar 29. Kandungan Gizi MP-ASI Bubuk Instan Lokal Diolah dari Herlina, 2008 Selain itu, berturut-turut sebanyak 74, 74, 87, dan 74 dari 23 produk MP-ASI bubuk instan impor yang beredar di Indonesia memiliki kandungan vitamin E, vitamin B6, asam folat, dan iodium di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.1-2005 yaitu masing-masing minimal 4mg100g, 0,7mg100g, 27mg100g, dan 45mcg100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI bubuk instan impor dapat dilihat pada Gambar 30a, 30b, 30c, 30d. Gambar 30a. Kandungan Vitamin E pada MP-ASI Bubuk Instan Impor Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 30b. Kandungan Vitamin B6 pada MP-ASI Bubuk Instan Impor Gambar 30c. Kandungan Asam Folat pada MP-ASI Bubuk Instan Impor Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 30d. Kandungan Iodium pada MP-ASI Bubuk Instan Impor Diolah dari Herlina, 2008 Sebanyak 55 dan 50 dari 33 produk MP-ASI biskuit yang beredar memiliki kandungan Zink Zn dan Selenium Se di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.2-2005 yaitu masing-masing minimal 2,5mg100g dan 10mcg100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI biskuit dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31. Kandungan Zink MP-ASI Biskuit Diolah dari Herlina, 2008 Sebanyak 75, 100, 100, 100, 100, 100, 100, 63, dan 88 dari 8 produk MP-ASI siap masak yang beredar memiliki kandungan serat pangan, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, niasin, vitamin B6, vitamin C, natrium, dan iodium di luar batas standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.3- 2005 yaitu masing-masing maksimal 5g100g, minimal 5mg100g, 0,7mg100g, 0,7mg100g, 0,5mg100g, 1,2mg100g, dan 80mg100g, maksimal 100 mg100 kkal, dan minimal 55 mcg100 g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI siap masak dapat dilihat pada Gambar 32a, 32b, 32c, 32d, 32e, 32f. 32g, dan 32h. Gambar 32a. Kandungan Serat MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32b. Kandungan Vitamin E MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32c. Kandungan Vitamin B1 MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32d. Kandungan Vitamin B2 MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32e. Kandungan Niasin MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32f. Kandungan Vitamin B6 MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32g. Kandungan Vitamin C MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 Gambar 32h. Kandungan Iodium MP-ASI Siap Masak Diolah dari Herlina, 2008 5. StandarPeraturan tentang Makanan yang Dikalengkan Berdasarkan peraturan BPOM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, produk-produk pangan yang dikalengkan memiliki persyaratan batas maksimal cemaran mikrobiologi. Produk buah, sayuran, corned dan sosis dalam kaleng memiliki batas maksimal ALT Angka Lempeng TotalTPC Total Plate Count sebesar 1 x 10 2 kolonig; sedangkan untuk ikan dan produk ikan, serta sup dan kaldu dalam kaleng memiliki batas maksimal ALT sebesar 1 x 10 1 kolonig BPOM, 2009. Padahal produk-produk pangan berasam rendah yang dikalengkan low acid canned foods tersebut harus melalui pengolahan dan pengawetan untuk mencapai kondisi steril komersial. Kondisi steril komersial dapat diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme patogen dan pembusuk yang hidup. Kondisi steril komersial umumnya dicapai melalui proses sterilisasi dengan menerapkan konsep 12D. Konsep 12D merupakan konsep yang umum digunakan dalam sterilisasi komersial untuk menginaktifkan spora mikroorganisme yang berbahaya, yaitu Clostridium botulinum . Arti 12D di sini adalah bahwa proses termal yang dilakukan dapat mengurangi jumlah spora C. botulinum sebesar 12 siklus logaritma atau F=12D, yaitu mengurangi jumlah spora C. botulinum menjadi 10 -9 dengan asumsi jumlah spora awal sebesar 10 3 dalam satu kaleng. Nilai 10 -9 diartikan bahwa dari 10 9 satu miliar kaleng, hanya 1 kaleng yang berpeluang mengandung spora C. botulinum. Bila spora C. botulinum memiliki nilai D 121 =0.21 menit, maka dosis sterilisasi F o dengan menerapkan konsep 12D harus ekuivalen dengan pemanasan pada 121 o C selama 2,52 menit. Hariyadi, 2008. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Hariyadi 2008 dan 2011a terhadap 131 produk pangan yang dikalengkan di Indonesia, diperoleh angka kecukupan panas nilai F o antara 1,9 hingga 149 menit Gambar 33. Pengujian dengan parameter nilai F o tersebut lebih efektif dilakukan untuk menjamin keamanan pangan produk yang dikalengkan, dibandingkan dengan pengujian dengan parameter mikrobiologi dengan menghitung ALT dan menguji 1 miliar kaleng untuk menemukan 1 kaleng yang mengandung spora C. botulinum . Pengujian yang terdapat di dalam standarperaturan BPOM RI 2009 tidak relevan dengan tujuan proses sterilisasi dan tidak dapat mendorong produsen untuk meningkatkan keamanan pangan produknya. Gambar 33. Hasil Pengujian Kecukupan Panas pada Beberapa Produk Pangan yang Dikalengkan Hariyadi, 2011a 6 Standar Wajib Air Minum dalam Kemasan dan Garam Beryodium Permasalahan lain yang terjadi adalah rendahnya penegakkan hukum law enforcement pada peraturan yang telah mewajibkan standar. Jika dilihat dari beberapa data penerapan standar SNI wajib terlihat bahwa masih terdapat produk Air Minum dalam Kemasan AMDK dan garam beryodium yang tidak memenuhi standar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI melakukan pengujian pada produk Air Minum dalam Kemasan AMDK gelas tahun 2010. Dari 21 merek yang diuji ditemukan 2 merek yang melewati batas maksimum total koloni bakteri berdasarkan standar SNI 3553-2006, yaitu angka lempeng total akhir maksimal 1 x 10 5 koloniml. Penelitian lain yang dilakukan Saputra 2011 terhadap 13 garam yodium bermerek yang beredar di Denpasar, Bali, dengan jumlah 60 sampel, terdapat 2 merek garam beryodium yang mengandung iodium kurang dari standar SNI 3556:2010 yaitu minimal 30 ppm.

B. Pelaksanaan Prinsip Koheren