Menurut Randel 2000 setiap negara memiliki standar yang berbeda, hal ini tidak dapat dihindari. Untuk itu, diperlukan harmonisasi dan adanya saling
pengakuan oleh setiap negara pada standar yang dibuat negara lain. Masalah harmonisasi standar ini juga dialami oleh Indonesia. Standar yang ditetapkan di
Indonesia diharapkan dapat memperlancar perdagangan internasional, produk dalam negeri dapat diekspor ke negara lain, sehingga meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Standar yang ditetapkan di Indonesia diharapkan dapat diterima oleh negara lain, terutama di negara tujuan
ekspor produk dari Indonesia dan negara asal impor produk pangan ke Indonesia.
F. Prinsip Berdimensi Pengembangan
Indonesia masih dianggap sebagai negara yang masih berkembang. Di dalam mengembangkan standar
keamanan pangan, kondisi potensi dan kemampuan negara Indonesia perlu dipertimbangkan. Untuk itu, dimensi
pengembangan dalam perumusan standar di Indonesia perlu diperhatikan dengan melihat faktor-faktor yang ada di dalam negeri. Menurut Marovatsanga 2000
beberapa permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia di dalam pengembangan peraturan atau standar di bidang pangan
adalah: Ketidakcukupan dan ketidaksesuaian peraturan dengan kebutuhan
Tidak cukupnya sumber daya danatau ketidakmampuan memaksimalkan
sumber daya yang tersedia Kegagalan mengembangkan strategi pengawasan pangan nasional dan
rendahnya penerapan serta manajemen program dan aksi Ketidakcukupan laboratorium dan lembaga inspeksi
Ketidakcukupan jumlah personal teknis yang terlatih Rendahnya koordinasi antara badan pengawas, pemerintah, akademisi, industri,
dan konsumen di dalam menyesuaikan dengan standar internasional Lemahnya kemauan politik dan komitmen terhadap keamanan pangan dan
standar
Kondisi tersebut menjadi perhatian di dalam mengembangkan standar keamanan pangan di Indonesia. Pada Gambar 25 dan Gambar 26 diperlihatkan
pendapat responden dari pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam perumusan standar.
Faktor-faktor tersebut meliputi pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia.
Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Pentingnya Faktor-Faktor Tertentu sebagai Penerapan Prinsip Berdimensi Pengembangan di dalam Perumusan Standar
Gambar 25 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan
peningkatan daya saing produk Indonesisa adalah hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan suatu standar keamanan pangan. Sebagian
responden menyatakan bahwa pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia sangat
penting diperhatikan dengan masing-masing jumlah 85,25 dari 61 responden, 75 dari 60 responden, dan 98,35 dari 61 responden.
Pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal perlu diperhatikan dalam perumusan dan penetapan standar di bidang pangan. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Pemberdayaan kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UMKM perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu standar. Mengingat sebagian besar
pelaku usaha yang memproduksi pangan termasuk kelompok UMKM ini. Berdasarkan data dari BPS 2009 menunjukkan bahwa lebih dari 99 jenis usaha
pangan yang diusahakan masyarakat Indonesia memiliki skala usaha kecil dan rumah tangga. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pengambil kebijakan
terutama perumus standar untuk memperhatikan kepentingan UMKM yang jumlahnya sangat besar. Di sisi lain, hasil kajian Othman 2006 yang meneliti
kondisi keamanan pangan di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menyatakan bahwa UMKM di Asia Tenggara memiliki tingkat apresiasi yang
rendah terhadap penerapan good hygienic practices GHP, good agricultural practices
GAP, dan good manufacturing practices GMP. Hal ini menjadi tantangan bagi para perumus kebijakan standar pangan di Indonesia untuk lebih
memperhatikan kepentingan UMKM dan terus membina mereka agar dapat menerapkan standar keamanan pangan.
Gambar 26. Perankingan Beberapa Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar
Berdasarkan Gambar 26 di atas terlihat bahwa urutan total ranking dari yang paling
kecil berturut-turut
adalah faktor
perlindungan kesehatan
konsumenmasyarakat, perlindungan produk dalam negeri, kesiapan laboratorium uji, dan kesiapan adopsi teknologi. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap
kelompok responden setuju bahwa faktor yang utama dan pertama dipertimbangakan di dalam perumusan standar adalah perlindungan kesehatan
masyarakat.
4.2.3. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku dan Pelaksanaannya
Hasil Focus Group Discussion FGD dan survei merupakan gambaran dari pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan.
Gambaran dari pelaksanaan perumusan dan pengembangan standar dan perturan tersebut dibandingan dengan dokumen yang telah ditetapkan oleh BSN dan
BPOM RI. Hasil analisis gap antara perumusan standar dan peraturan berdasarkan dokumen yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel
16.
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya
No Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar
Berdasarkan Naskah Peraturan Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil
FGD dan Survei Rekomendasi
BSN BPOM
1 Trans-
paran Prosedur perumusan
standar dapat diakses di website:
http:bsn.or.id dan
telah ditetapkan oleh kepala BSN
Prosedur perumusan
peraturan pemberlakuan
standar belum diketahui secara
luas oleh pihak yang
berkepentingan FGD: pihak industri menyatakan masih banyak kebijakan yang
dikeluarkan BPOM tidak melalui prosedur yang baku dan tidak diketahui
oleh pengguna industri 18,33 total responden 13,04 pemerintah
i
, 8,33 industri, 0 akademisi, 37,5 lembaga konsumen
i
menyatakan tidak mengetahui prosedur perumusan
standar Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah
dan industri mengenai kemudahan dalam memperoleh informasi perumusan standar:
3,28 total responden 0 pemerintah, 4,35 industri, 0 akademisi, 12,5 lembaga konsumen menyatakan sangat sulit
untuk mendapatkan informasi perumusan standar
34,43 total responden 17,39 pemerintah, 56,52 industri, 42,86 akademisi, 12,5 lembaga konsumen menyatakan sulit
untuk mendapatkan informasi perumusan standar
47,54 total responden 60,87 pemerintah, 39,13 industri, 28,57 akademisi, 50 lembaga konsumen menyatakan mudah
untuk mendapatkan informasi perumusan standar
14,75 total responden 21,74 pemerintah, 0 industri, 28,57 akademisi, 25 lembaga konsumen menyatakan sangat
mudah untuk mendapatkan informasi perumusan standar
40,91 total responden 40,74 pemerintah, 36,84 industri, 62,5 akademisi, 33,33 lembaga konsumen menyatakan bahwa
mengetahui prosedur penyusunan standar dari informasi website.
Otoritas pembuat standar dapat memberikan informasi prosedur
perumusan standar dan kebijakan lainnya, sehingga semua pihak
dapat mengikuti perkembangan dan terlibat di dalamnya
Media yang dapat digunakan untuk penyebaran informasi
perumusan standar adalah melalui internetwebsite
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya Lanjutan
No Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar
Berdasarkan Naskah Peraturan Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil
FGD dan Survei Rekomendasi
BSN BPOM
2 Terbuka
Mengakomodir kepentingan
Produsen, Konsumen, Pakar,
dan Regulator; serta MASTAN
Masyarakat Standardisasi
Nasional Adanya
keterlibatan dari BPOM,
perwakilan industri,
konsumen, dan akademisi dalam
penyusunan peraturan
standar
FGD: pihak industri menginginkan agar pakar mereka yang berasal
dari RD misalnya dapat berperan aktif dalam membuat konsep standar
Sebagian besar responden dalam survei pernah terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar, yaitu sebesar 60 total responden 63,64
pemerintah, 43,48 industri, 85,71 akademisi, 75 lembaga konsumen
18,64 total responden 23,81 pemerintah
i
, 17,39 industri, 0 akademisi, 25 lembaga konsumen
i
menyatakan tidak pernah dimintakan masukan
terkait pembuatan suatu standar Keaktifan responden, terutama kelompok responden industri, dalam
mengusulkan standar masih rendah, yaitu sebesar 54,39 total responden 36,84 pemerintah
i
, 65,22 industri, 57,14
akademisi, 62,5 lembaga konsumen
i
menyatakan belum aktif dalam mengusulkan
pembuatan standar. Perlu diperkuat posisi pakarahli
yang merumuskan kajian risiko dengan dukungan data yang valid
dan ahli yang kredibel, sehingga hasil kajiannya dapat dipercaya
oleh semua pihak
Perlu mengoptimalkan peran semua stakeholder melalui
penguatan peran asosiasi
3 Konsen-
sus dan Tidak
Memi- hak
Rapat konsensus hanya dapat
dilakukan apabila rapat mencapai
kuorum. Belum secara
eksplisit dijelaskan
Jumlah responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar
jumlahnya hampir sama, yaitu sebesar 43,33 total responden 50 pemerintah
i
, 43,48 industri, 28,57 akademisi, 37,5 lembaga
konsumen menyatakan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan
saat penetapan suatu standar. Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah
dan industri mengenai pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan standar:
55,56 dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar 25 pemerintah
i
, 92,31 industri
, 40 akademisi, 50 lembaga konsumen menyatakan
hanya sebagian aspirasinya diterima atau diakomodasi.
Penetapan standar harus memastikan bahwa semua
stakeholder terlibat dan berdasarkan keputusan bersama
dari semua stakeholder. Masukan dari berbagai pihak harus
dipertimbangkan
Pedoman perumusan standar yang telah ditetapkan BSN perlu
dilaksanakan dengan lebih efektif dengan menjamin terjadinya
konsensus saat penetapan standar
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya Lanjutan
No Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar
Berdasarkan Naskah Peraturan Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil
FGD dan Survei Rekomendasi
BSN BPOM
61,76 dari total responden yang terlibat dalam pengambilan
keputusan saat penetapan standar 90,91 pemerintah, 46,15 industri, 40 akademisi, 60 lembaga konsumen menyatakan
bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan sudah berimbang
. 38,24 dari total responden yang terlibat dalam pengambilan
keputusan saat penetapan standar 9,09 pemerintah, 53,85 industri
, 60 akademisi, 40 lembaga konsumen menyatakan
bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan tidak berimbang
4 Efektif
dan Relevan
Ketentuan dalam perumusan SNI:
Tidak dimaksudkan atau berpotensi
menimbulkan hambatan
perdagangan yang berlebihan atau
yang tidak diperlukan
Dukungan ilmiah dari individupakar
perorangan Dukungan
ilmiah dari individupakar
perorangan dan tim mitra bestari
Selaras dengan kajian BSN 2009 yang menunjukkan rendahnya penerapan SNI oleh pelaku usaha terutama UMKM, berdasarkan
hasil survei penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden kelompok industri hampir semuanya kelompok skala usaha menengah
ke atas menunjukkan masih rendahnya penerapan SNIstandar BPOM di instansinya. Sebesar 30,43 responden kelompok industri
menyatakan hanya sebagian standar yang dikeluarkanditetapkan BPOM dan BSN diterapkan di instansinya.
58,62, 31,03, dan 10,35 industri responden kelompok industri
menyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam penerapan standar berturut-turut adalah kesiapan lab uji, biaya dan teknologi
Seluruh kelompok responden sepakat menyatakan bahwa faktor
perdagangan, kesehatan, kesiapan teknologi, gizi, dan lingkungan penting dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan masing-
masing berjumlah lebih dari 50. Seluruh kelompok responden 98,28 dari 58 responden juga sepakat bahwa kesehatan adalah
faktor utama
yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan standar. Perlu dilakukan analisis risiko,
terutama kajian risiko dalam perumusan standar
Sebelum standar diberlakukan, perlu dilakukan analisis kajian
dampak dan kesiapan infrastruktur. Kajian yang dapat
dilakukan adalah RIA Regulatory Impact Analysis
Kesepakatan responden terhadap pentingnya mempertimbangkan
faktor perdagangan, kesiapan teknologi, gizi, lingkungan dan
terutama kesehatan dapat dijadikan titik tolak untuk
mencari kesamaan persepsi saat penetapan kriteriaketentuan di
dalam standar
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya Lanjutan
No Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar
Berdasarkan Naskah Peraturan Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil
FGD dan Survei Rekomendasi
BSN BPOM
5 Koheren
Sedapat mungkin harmonis dengan
standar internasional yang telah ada
mengadopsi satu standar internasional
yang relevan Melalui
Pemetaan dan Kaji Banding
Nasional, Regional,
Internasional Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah
dan industri dalam menilai kajian terhadap peraturanstandar yang berlaku di dalam negeri dalam perumusan suatu standar, yaitu sebesar
6,90 total responden 13,64 pemerintah, 0 industri, 16,67 akademisi, 0 lembaga konsumen, 41,38 total responden 63,64
pemerintah
, 18,18 industri, 50 akademisi, 37,5 lembaga
konsumen, 32,76 total responden 13,64 pemerintah, 50 industri
, 16,67 akademisi, 50 lembaga konsumen, dan 18,96 total responden 9,09 pemerintah, 31,82 industri, 16,67
akademisi, 12,5 lembaga konsumen menyatakan bahwa kajian terhadap regulasistandar lain yang belaku di dalam negeri
berturut-turut ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup”, dan ”kurang” diperhatikan dalam perumusan standar.
74,65 total responden 76 pemerintah, 84,62 industri, 85,71
akademisi, 46,15 lembaga konsumen menyatakan bahwa standar Codex
adalah rujukan utama dalam penetapan standar Peraturanstandar negara tujuan ekspor juga perlu
menjadipertimbangan dalam perumusan standar, yaitu sebesar 28,77 total responden 33,33 pemerintah, 32 industri, 30 akademisi,
9,09 lembaga konsumen menyatakan peraturanstandar negara tujuan ekspor
perlu dipertimbangkan dalam perumusan standar. Jika data di Indonesia belum
tersedia, rujukan utama yang dapat digunakan adalah standar
Codex Peraturanstandar negara
tujuantarget ekspor komoditas pangan perlu dipertimbangakan
dalam perumusan suatu standar komoditas pangan tersebut.
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya Lanjutan
Keterangan:
i
sebagian besar responden pemerintahlembaga konsumen yang menyatakan hal tersebut berasal dari daerah
No Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar
Berdasarkan Naskah Peraturan Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil
FGD dan Survei Rekomendasi
BSN BPOM
6 Berdi-
mensi Pengem-
bangan Mempertimbangkan
kepentingan UMKM dan daerah dengan
memberikan peluang untuk dapat
berpartisipasi dalam proses perumusan
SNI. Secara eksplisit
belum dicantumkan
mengenai faktor sebagai dimensi
pengembangan dalam
perumusan standar
Seluruh kelompok responden menyatakan bahwa faktor
pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia
adalah sangat penting diperhatikan sebagai dimensi pengembangan dengan jumlah berturut-
turut 85,25, 75, dan 98,36; sisanya menyatakan “agak penting” dan “cukup penting”.
Akumulasi ranking yang diberikan oleh seluruh responden dan masing-masing kelompok responden dari ranking terkecil berurut-turut
adalah perlindungan kesehatan konsumen, perlindungan produk dalam negeri, kesiapan lab uji, dan kesiapan adopsi teknologi.
Perlu penetapan di dalam prosedur perumusan standar
bahwa faktor-faktor tertentu perlu diperhatikan sebagai dimensi
pengembangan dalam perumusan standar agar standar yang
ditetapkan dapat berfungsi melindungi kesehatan konsumen
dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
Kesepakatan semua kelompok responden dapat menjadi titik
tolak untuk mempertimbangkan faktor pengembangan bahan baku
lokal, pengembangan UMKM, peningkatan daya saing produk
Indonesia, dan terutama perlindungan kesehatan
konsumen dalam perumusan suatu standar keamanan pangan
4.3. Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia
Prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan secara umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu prinsip yang berkaitan dengan proses
perumusan dan prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan. Prinsip yang terkait dengan proses perumusan adalah prinsip transparan, terbuka,
dan konsensus dan tidak memihak. Prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan adalah prinsip efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi
pengembangan.
4.3.1. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan