57 menurunkan manfaat ekonomi yang seharusnya didapat oleh masyarakat.
Kerugian ekonomi terhadap pengguna kendaraan bermotor dilihat dari jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Kerugian Ekonomi
Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Dampak Jenis Pekerjaan
Total PS
PM PNS S W
Boros Bensin
65 27,08
13 5,42 15 6,25
116 48,33 31 12,92 240
Mengurangi Penghasilan
0,00 0 0,00
0 0,00 116
100 0 0 116
Sumber : Data Primer, 2011
Keterangan : PS
= Pegawai
Swasta S
= Supir
PM = Pelajar atau Mahasiswa
W = Wiraswasta
PNS = Pegawai Negeri Sipil
Responden menggunakan kendaraan sebagai alat transportasinya untuk memobilisasi ke tempat tujuan mereka masing-masing sehingga saat mereka
terjebak kemacetan, kerugian yang paling berpengaruh yaitu boros bensin. Seluruh responden setuju bahwa kemacetan membuat boros bensin karena
sebagian besar kendaraan berada pada posisi menyala saat terjebak macet
sehingga konsumsi bensin pun bertambah.
Seluruh supir angkutan umum menyatakan bahwa penghasilan mereka berkurang karena sering terjebak kemacetan. Supir angkutan umum menyatakan
mereka harus menambah uang bensin agar mereka bisa beroperasi seperti biasa atau harus mengurangi operasional rit kendaraan dari yang biasanya rata-rata 12
kali trip menjadi delapan trip.
6.2.1. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Kendaraan
Bermotor Kemacetan yang sering terjadi tidak hanya berdampak pada sisi sosial,
namun juga pada sisi ekonomi. Kendaraan yang melaju pada saat lalu lintas normal akan mengkonsumsi BBM lebih hemat dibanding dengan konsumsi BBM
58 saat macet. Meningkatnya pengeluaran biaya BBM ini merupakan kerugian yang
harus ditanggung oleh setiap pengguna kendaran bermotor. Hasil penelitian terhadap 240 responden terdapat 130 responden yang
mengendarai kendaraan roda empat atau lebih, dan 110 responden yang mengendarai kendaraan roda dua. Seluruh responden dihitung pengeluaran BBM
mereka dengan menggunakan rumus rata-rata contoh sehingga didapat pengeluaran rata-rata kerugian individu pengguna kendaraan bermotor tersebut
dengan asumsi pengeluaran biaya untuk pembelian BBM digunakan untuk semua titik kemacetan yang ada di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda Tabel 12.
Tabel 12. Perhitungan Rata-Rata Pengeluaran Responden untuk Pembelian BBM untuk satu kali trip
Pengeluaran Rata-Rata Kendaraan roda empat
atau lebih n=130 unit Kendaraan roda dua n=
110 unit
Pengeluaran rata-rata normal per kendaraan Rp per trip
40.358,65 5.259,09
Pengeluaran rata-rata macet per kendaraan Rp per trip
53.110,58 7.740,91 Rata-rata kerugian per kendaraan
Rp per trip 12.751,93 2.481,82
Jumlah kendaraan pada Peak hours
unit per jam 616 1.923
Jumlah kerugian BBM per hari Rp per peak hour
7.855.188,88 4.772.539,86
Total kerugian pembelian BBM per bulan Rp
235.655.666,40 143.176.195,80 Total kerugian per tahun Rp
2.867.143.941,20 1.741.977.048,90
Total kerugian kendaraan bermotor per tahun Rp
4.609.120.990,10
Sumber : Data Primer, 2011 Keterangan :
= Jumlah kendaraan pada pukul 06.00-07.00 WIB menurut data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Kab.Sukabumi, 2011.
Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata dalam
kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 40.358,65 per kendaraan roda empat atau lebih. Namun bila terjebak kemacetan biaya untuk pembelian BBM pun
59 meningkat menjadi Rp 53.110,58 per kendaraan roda empat atau lebih sehingga
kerugian yang ditanggung yaitu sebesar Rp 12.751,92 untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih dengan asumsi pengeluaran BBM tersebut digunakan untuk
melewati semua titik kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda. Kendaraan roda dua seperti motor, penggunaan bahan bakarnya lebih
efisien dibanding dengan kendaraan roda empat atau lebih. Pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar
Rp 5.259,09 per motor. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya untuk pembelian BBM pun meningkat menjadi Rp 7.740,91 sehingga kerugian
yang ditanggung yaitu sebesar Rp 2.481,82 untuk setiap kendaraan roda dua. Data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi 2011
bahwa jumlah kendaraan bermotor yang melewati jalan Cicurug-Parungkuda pada peak hour
yaitu pukul 06.00-07.00 WIB berjumlah 616 unit untuk kendaraan roda empat atau lebih dan 1.923 unit untuk kendaraan roda dua. Apabila jumlah
tersebut dikalikan dengan rata-rata kerugian untuk kendaraan roda empat atau lebih yaitu sebesar Rp 12.751,92, maka total kerugian BBM untuk kendaraan roda
empat atau lebih yaitu sebesar Rp 7.855.188,88 per hari dan Rp 4.772.539,86 per hari untuk kendaraan roda dua.
Total kerugian BBM per bulan sebesar Rp 235.655.666,40 untuk
kendaraan roda empat atau lebih dan Rp 143.176.195,80 untuk kendaraan roda dua sehingga total kerugian per tahun sebesar Rp 2.867.143.941,20 untuk
kendaraan roda empat atau lebih dan Rp 1.741.977.048,90 untuk kendaraan roda dua. Hal ini berarti potensi ekonomi yang hilang dari penggunaan BBM akibat
kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda mencapai Rp
60 4.609.120.990,10
per tahun. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar untuk wilayah yang termasuk daerah sub-urban.
Pengeluaran dalam penelitian ini lebih besar dibanding dengan penelitian sebelumnya untuk kendaraan roda empat atau lebih yaitu sebesar
Rp 12.751,93 karena jumlah kendaraan roda empat dan kendaraan besar seperti kendaraan barang yang banyak tidak sebanding dengan kapasitas jalan sehingga
terjadi banyak penumpukan kendaraan. Jalan Cicurug-Parungkuda hanya memiliki satu jalan utama untuk menghubungkan Bogor dengan Kabupaten
Sukabumi sehingga jalan tersebut sudah pasti memiliki kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kemacetan sepanjang waktu.
Pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor Barat dalam Marwan 2011 hampir sama dengan pertambahan pembelian BBM di Cicurug-
Parungkuda yaitu sebesar Rp 11.659,00. Hal ini terjadi karena jarak tempuh di Kecamatan Bogor Barat yang sangat jauh dan hanya memiliki satu jalan utama
walaupun volume kendaraan roda empat di daerah ini tidak sebanyak di Cicurug- Parungkuda. Oleh sebab itu, pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor
Barat cukup besar walaupun kemacetan yang terjadi tidak separah di daerah Cicurug-Parungkuda.
Berbeda dengan daerah Cicurug-Parungkuda dan Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dalam Sapta 2009 mengalami pertambahan pembelian BBM sebesar
Rp 5.237,87 . Kota Bogor memiliki banyak jalan utama untuk tiba di kotanya yaitu Baranan Siang sehingga tidak terjadi kemacetan setinggi di daerah Cicurug-
Parungkuda. Jumlah kendaraan besar yang sedikit dibanding dengan daerah Cicurug-Parungkuda juga menjadikan kemacetan di Kota Bogor tidak separah
61 kemacetan di daerah Cicurug-Parungkuda. Hal inilah yang menyebabkan
pertambahan untuk pembelian BBM di daerah Cicurug-Parungkuda lebih besar dibanding dengan Kota Bogor dan Kecamatan Bogor Barat.
Pertambahan pembelian BBM untuk kendaraan roda dua dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian Sapta 2009 di Kota Bogor yaitu sebesar
Rp 2.481,82. Berbeda dengan Cicurug dan Kota Bogor, Marwan 2011 dalam penelitiannya di Kecamatan Bogor Barat mengalami pertambahan pembelian
BBM tertinggi untuk roda dua. Hal ini karena jarak tempuh Kecamatan Bogor Barat yang lebih jauh dan titik rawan kemacetan yang lebih banyak dibanding
dengan Cicurug-Parungkuda dan Kota Bogor sehingga pertambahan pembelian BBM di Kecamatan Bogor Barat ini paling tinggi dibanding dengan kedua daerah
tersebut. Potensi yang hilang dalam penelitian ini relatif kecil bila dibandingkan
dengan Kota Surabaya. Potensi ekonomi yang hilang akibat penambahan pembelian BBM yaitu sebesar kurang lebih Rp 102 Triliun per tahun. Nilai yang
sangat besar bila dibandingkan dengan potensi ekonomi yang hilang di jalan Cicurug-Parungkuda yaitu sebesar Rp 4 Milyar. Nilai yang sangat besar di
Surabaya karena Surabaya merupakan daerah urbanisasi, selain itu Surabaya merupakan Ibukota Propinsi Jawa Timur sehingga nilai penambahan BBM yang
didapat sangat besar. Kemacetan menimbulkan banyak kerugian ekonomi seperti pengeluaran
pembelian BBM. Hal ini akan berdampak pada persediaan sumberdaya yang semakin menipis karena terjadi eksploitasi sumberdaya yang berlebihan dan pada
lingkungan yang semakin rusak karena terjadinya daya dukung lingkungan yang
62 melebihi batas. Keadaan ini bertolak belakang dengan konsep ekonomi
sumberdaya dan lingkungan itu sendiri yaitu pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemacetan
yang terjadi di setiap tempat agar pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.
6.2.2. Perhitungan Besarnya Penghasilan yang Hilang Akibat Kemacetan