5.2. Gaya Manajemen Konflik Kepala Ruangan di Rumah Sakit
Secara berurutan mulai dari rerata tertinggi sampai terendah, gaya manjemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan rumah sakit di Medan
adalah integrating 4,42; SD 0,44, compromising 4,37; SD 0,55, obliging 3,36; SD 0,53, avoiding 2,78; SD 0,60, dan dominating 2,44; SD 0,54.
1. Integrating
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan oleh kepala ruangan adalah integrating 4,42; SD 0,44.
Menurut Rahim 2001 integrating sering juga disebut problem solving. Dalam gaya ini ditemukan adanya keterbukaan, bertukar informasi, mencari alternatif,
dan mencari perbedaan untuk mencapai suatu solusi efektif yang dapat diterima oleh kedua pihak. Gaya ini lebih efektif dibandingkan dengan gaya lainnya untuk
menjadikan subsistem dalam suatu organisasi lebih kompak. Gaya ini merupakan gaya yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik sosial dan cocok diterapkan
untuk menangani isu-isu strategis mengenai tujuan, kebijakan dan perencanaan jangka panjang organisasi.
Hasil penelitian lain yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan pada perawat manejer Rumah Sakit di Oman. Perawat manejer
Rumah Sakit di Oman secara berturut-turut menggunakan integrating, kemudian disusul oleh compromising, obliging, dominating, dan avoiding Al-Hamdan et
al., 2011. Berbeda dengan hasil penelitian ini, beberapa penelitian pada perawat
menemukan bahwa integrating berada pada posisi ke empat Cavanagh, 1991;
Universitas Sumatera Utara
Kunaviktikul et al., 2000; Morrison, 2008; Whitworth, 2008. Menurut Valentine 2001 penggunaan yang jarang gaya integrating mengindikasikan bahwa
perbedaan pendapat tidak dianggap sebagai proses pembelajaran dan problem solving.
2. Compromising
Compromising merupakan pilihan kedua yang paling banyak digunakan oleh kepala ruangan Rumah Sakit pada penelitian ini 4,37; SD 0,55. Menurut
Rahim 2001 gaya ini disebut juga give and take, dimana semua pihak menginginkan keputusan yang secara bersama-sama saling menguntungkan. Gaya
ini sangat berguna ketika tujuan pihak yang sedang konflik saling eksklusif atau kedua pihak seperti manajer dan karyawan sama kuatnya dan menemukan jalan
buntu dalam proses negosiasi. Hasil penelitian lain yang menghasilkan compromising pada posisi kedua
adalah penelitian yang dilakukan pada 82 perawat manejer di salah satu Rumah Sakit di Amerika Serikat Cavanagh, 1991, 349 perawat pelaksana di Thailand
Kunaviktikul et al., 2000, dan 271 perawat manejer di Oman Al-Hamdan et al., 2011. Menurut Valentine 2001 sering menggunakan gaya compromising
merupakan indikasi fokus utama pada aspek praktik. Gaya ini dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan bersifat sementara, akan tetapi tidak tepat
digunakan untuk menghadapi isu-isu yang yang sangat penting seperti prinsip, nilai, tujuan jangka panjang, dan kesejahteraan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Obliging
Obliging merupakan gaya manajemen konflik yang menempati peringkat ketiga pada penelitian ini 3,36; SD 0,53. Menurut Rahim 2001 gaya ini
berguna diterapkan apabila suatu pihak tidak menguasai isu yang menjadi konflik atau isu tersebut lebih penting bagi pihak lain. Gaya ini perlu digunakan ketika
satu pihak berkeinginan memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan dari pihak lain pada saat dibutuhkan. Gaya ini
cocok diterapkan pada saat suatu pihak berada pada posisi yang lebih lemah. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika suatu pihak merasa bahwa pihak lain bersalah
atau tidak beretika. Hasil penelitian lain yang menempatkan obliging pada peringkat ketiga
adalah penelitian pada 84 perawat manjer di salah satu Rumah Sakit di Amerika Serikat Cavanagh, 1991, 97 perawat pelaksanan di Amerika Serikat Whitworth,
2008, dan 271 perawat manejer di Oman Al-Hamdan et al., 2011. Valentine 2001 menyatakan bahwa penggunaan yang jarang gaya ini merupakan suatu
indikasi adanya kesulitan untuk melepaskan suatu isu, kesulitan untuk menentukan tujuan yang baik, dan kesulitan menerima bahwa seseorang telah
berbuat kesalahan.
4. Avoiding
Avoiding berada pada urutan keempat sebagai gaya manajemen konflik pada penelitian ini 2,78; SD 0,60. Menurut Rahim 2001 orang dengan gaya
avoiding adalah orang yang gagal memenuhi keinginan dirinya sendiri dan gagal juga memenuhi keinginan orang lain. Gaya ini cocok digunakan ketika ada
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan efek yang disfungsional bila melakukan konfrontasi dengan pihak yang lebih kuat yang memiliki kepentingan terhadap konflik yang dihadapi. Gaya
ini juga berguna untuk menyelesaikan isu-isu yang tidak terlalu pentingminor atau memerlukan periode pendinginan sebelum masalah yang kompleks
diselesaikan secara efektif. Hasil penelitian lain yang sama menempatkan avoiding pada posisi keempat adalah 60 orang perawat manejer Rumah Sakit di
Israel Hendel et al., 2005. Menurut Valentine 2001 penggunaan yang sering gaya ini mengindikasikan bahwa keputusan terhadap masalah yang penting tidak
langsung diperdebatkan, tapi dibiarkan datang dengan sendirinya.
5. Dominating
Dominating merupakan posisi terakhir dari kelima gaya manajemen konflik pada penelitian ini 2,44; SD 0,54. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kepala ruangan jarang menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan suatu konflik di Rumah Sakit. Hal ini didukung oleh berbagai hasil
penelitian ditemukan bahwa masih banyak perawat manajer dan perawat pelaksana memilih obliging pada posisi terakhir Cavanagh, 1991; Kunaviktikul et
al., 2000; Whitworth, 2008; Woodtli, 1987 dan tidak pernah pada posisi pertama Al-Hamdan et al., 2011; Cavanagh, 1991; Hendel et al., 2005; Kunaviktikul et
al., 2000; Morrison, 2008; Whitworth, 2008; Woodtli, 1987. Selain itu, Valentine 2001 menyatakan bahwa penggunaan yang jarang gaya ini mengindikasikan
bahwa adanya kesulitan untuk mempertahankan suatu isu. Hal ini dapat disebabkan tidak memiliki kekuasaan dan keterampilan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rahim 2001 gaya ini disebut juga orientasi win-lose atau menggunkan kekuatan untuk medapatkan suatu posisi. Orang yang dominating
atau competing ingin memenangkan tujuannya, dan akibatnya sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain. Gaya ini cocok digunakan ketika isu yang
menjadi konflik penting bagi pihak sendiri ataupun keputusan dari pihak lain akan merugikan pihak sendiri. Seorang supervisor bisa menggunakan gaya ini pada isu-
isu yang dilaksanakan secara rutin ataupun pada kondisi-kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cepat.
Dalam suatu organisasi, individu yang mampu menangani konflik secara efektif dianggap sebagai komunikator yang efektif dan pemimpin yang mumpuni
capable. Mereka yang tidak dapat menangani konflik dengan secara efektif akan mengalami hambatan untuk mencapai tujuan organisasi, mempertahankan
relasi yang positif dan keterpaduan atau kedekatan, dan problem solving Gross Guerrero, 2000.
4.1.2. Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari keempat karakteristik demografi umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan, ditemukan
bahwa jenis kelamin yang berbeda secara signifikan dalam pemilihan gaya manajemen konflik, yaitu gaya obliging p0,05. Hasil penelitian ini hampir
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendel et al. 2005 pada perawat manejer di lima Rumah Sakit Umum di Israel. Dia menemukan bahwa mayoritas
Universitas Sumatera Utara
karakteristik demografi tidak ada korelasi secara signifikan dengan pemilihan gaya manajemen konflik. Karakteristik demografi yang signifikan mempengaruhi
gaya manajemen konflik hanya masa kerja, makin lama masa kerja makin sering perawat manejer menggunakan gaya integrating p0,05.
Hasil penelitian Al-Hamdan, Shukri, Anthony 2011 menemukan bahwa tingkat pendidikan berbeda secara signifikan pada gaya manajemen konflik
dominating dan obliging p0,05. Karakteristik demografi lain yang secara signifikan mempengaruhi gaya manajemen konflik adalah jenis kelamin, dimana
rerata skor compromising responden laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan nilai p0,05.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN