Jenis-jenis konflik Model gaya manajemen konflik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gaya Manajemen Konflik 2.1.1. Pengertian konflik Konflik adalah suatu proses interaktif yang ditandai dengan adanya ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, perselisihan di dalam atau di antara entitas sosial individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya. Konflik bisa muncul apabila satu atau dua entitas: 1 dituntut untuk melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau kepentingannya, 2 mempertahankan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, 3 merasa tidak merasa puas terhadap pembagian sumber daya, 4 menerapkan sikap, nilai, keterampilan, dan tujuan yang dianggap bersifat eksklusif, 5 berperilaku eksklusif terhadap kerjasama yang telah disepakati, 6 saling ketergantungan dalam melaksanakan aktivitas Rahim, 2001, 2002.

2.1.2. Jenis-jenis konflik

Konflik pada organisasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu konflik interorganisasi dan konflik intraorganisasi. Berdasarkan levelnya, konflik intraorganisasi diklasifikasikan menjadi konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intrakelompok, dan konflik interkelompok. Studi mengenai konflik pada organisasi mengarah kepada dua hal. Yang pertama adalah mengukur jumlah konflik pada berbagai level organisasi dan yang kedua adalah gaya manajemen konflik interpersonal Rahim, 2001, 2002. Sesuai dengan tujuan Universitas Sumatera Utara penelitian, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai gaya manjemen konflik interpersonal.

2.1.3. Model gaya manajemen konflik

Gaya manajemen konflik interpersonal dalam organisasi pertama sekali diperkenalkan oleh Mary P. Follet pada tahun 1926. Dalam konsepnya, dia mengemukakan tiga cara primer untuk menangani konflik yaitu domination, compromise, dan integration, serta dua cara sekunder untuk menangani konflik yaitu avoidance dan supression. Pada tahun 1964, Blake dan Mouton mempresentasikan skema konseptual untuk mengklasifikasikan manajemen konflik interpersonal yang terdiri dari lima gaya yaitu: forcing, withdrawing, smoothing, compromising, dan problem solving. Kelima gaya manajemen konflik tersebut disusun berdasarkan dua sikap manajer, yaitu berfokus pada produksi concern for production dan berfokus pada orang concern for people. Pada tahun 1976 Kenneth W. Thomas menerjemahkan ulang skema Blake dan Mouton. Dia mengklasifikasikan lima gaya manajemen konflik berdasarkan cooperativeness berusaha memenuhi keinginan pihak lain dan assertiveness berusaha memenuhi keinginan pihak sendiri. Lima gaya manajemen konflik menurut Thomas adalah collaborating, accommodating, competing, avoiding dan compromising Rahim, 2001, 2002. Rahim dan Bonoma pada tahun 1979 menerjemahkan kembali skema Blake dan Mouton dengan cara membedakan manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu: berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain cocern for self dan concern for others. Dimensi pertama menjelaskan derajat tinggi atau Universitas Sumatera Utara rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan sendiri. Dimensi kedua menjelaskan menjelaskan derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan orang lain. Kedua dimensi ini menggambarkan orientasi motivasional yang dilakukan individu pada saat terjadinya konflik. Kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising beserta penjelasannya di bawah ini Rahim, 2001, 2002: 1. Integrating. Fokus tinggi pada diri dan tinggi pada orang lain. Gaya ini sering juga disebut problem solving. Dalam gaya ini ditemukan adanya keterbukaan, bertukar informasi, mencari alternatif, dan mencari perbedaan untuk mencapai suatu solusi efektif yang dapat diterima oleh kedua pihak. Gaya ini efektif untuk menyelesaikan masalah yang rumit, ataupun pada saat salah satu pihak tidak dapat memecahkan suatu masalah. Gaya ini dapat digunakan apabila kita ingin memanfaatkan keterampilan, informasi, dan sumber daya pihak lain untuk merumuskan solusi alternatif yang efektif untuk menangani suatu masalah. Gaya ini lebih efektif dibandingkan dengan gaya lainnya untuk menjadikan subsistem dalam suatu organisasi lebih kompak. Gaya ini merupakan yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik sosial dan cocok diterapkan untuk menangani isu-isu strategis mengenai tujuan, kebijakan dan perencanaan jangka panjang organisasi. 2. Obliging. Fokus rendah pada diri dan tinggi pada orang lain. Gaya ini berguna diterapkan apabila suatu pihak tidak menguasai isu yang menjadi konflik atau isu tersebut lebih penting bagi pihak lain. Gaya ini perlu Universitas Sumatera Utara digunakan ketika satu pihak berkeinginan memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan dari pihak lain pada saat dibutuhkan. Gaya ini cocok pada saat suatu pihak berada pada posisi yang lebih lemah. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika suatu pihak merasa bahwa pihak lain bersalah atau tidak beretika. 3. Dominating. Fokus tinggi pada diri dan rendah pada orang lain. Gaya ini disebut juga orientai win-lose atau menggunkan kekuatan untuk medapatkan suatu posisi. Orang yang dominating atau competing ingin memenangkan tujuannya, dan akibatnya sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain. Gaya ini cocok digunakan ketika isu yang menjadi konflik penting bagi pihak sendiri ataupun keputusan dari pihak lain akan merugikan pihak sendiri. Seorang supervisor bisa menggunakan gaya ini pada isu-isu yang dilaksanakan secara rutin ataupun pada kondisi-kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cepat. Supervisor dapat menggunakan gaya ini kepada bawahan yang sangat asertif atau kepada orang- orang yang tidak ahli untuk mengambil keputusan teknis. Gaya ini juga baik digunakan untuk melaksanakan suatu program yang belum populer. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika isu konflik bersifat kompleks dan ketika kita masih memiliki banyak waktu untuk mencari keputusan yang lebih baik. Ketika kedua pihak sama kuatnya, penggunaan gaya ini oleh salah satu pihak atau kedua pihak akan mengakibatkan jalan buntu. Apabila mereka tidak mengubah gaya mereka maka mereka tidak akan bisa memecahakan jalan buntu tersebut. Gaya ini juga tidak tepat digunakan apabila isu yang menjadi Universitas Sumatera Utara konflik tidak penting bagi suatu pihak. Bawahan yang memiliki kompetensi tingkat tinggi, tidak akan suka terhadap atasan yang bersifat otoriter. 4. Avoiding . Fokus rendah pada diri dan rendah pada orang lain. Gaya ini disebut juga situasi withdrawal, buckpassing, atau sidestepping. Orang yang avoiding adalah orang yang gagal memenuhi keinginan dirinya sendiri dan gagal juga memenuhi keinginan orang lain. Gaya ini cocok digunakan ketika ada kemungkinan efek yang disfungsional bila melakukan konfrontasi dengan pihak yang lebih kuat yang memiliki kepentingan terhadap konflik yang dihadapi. Gaya ini juga berguna untuk menyelesaikan isu-isu yang tidak terlalu pentingminor atau memerlukan periode pendinginan sebelum masalah yang kompleks diselesaikan secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan ketika konflik penting bagi satu pihak, ketika satu pihak bertanggung jawab untuk mengambil keputusan, tidak ingin menunggu, atau memerlukan tindakan yang segera. 5. Compromising. Fokus menengah pada diri sendiri dan pada orang lain. Gaya ini disebut juga give and take, dimana semua pihak menginginkan keputusan yang secara bersama-sama saling menguntungkan. Gaya ini sangat berguna ketika tujuan pihak yang sedang konflik saling eksklusif atau kedua pihak seperti manajer dan karyawan sama kuatnya dan menemukan jalan buntu dalam proses negosiasi. Gaya ini dapat digunakan ketika konsensus tidak bisa dicapai, semua pihak memerlukan solusi yang bersifat sementara untuk memecahkan masalah yang kompleks, atau gaya manajemen konflik yang lain sudah semua digunakan tapai tidak menyelesaikan masalah dengan Universitas Sumatera Utara efektif. Gaya ini tampaknya paling berguna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Gaya ini tidak cocok digunakan untuk menangani masalah yang kompleks yang memerlukan pendekatan problem solving. Sayangnya, sering sekali praktisi manajemen menggunakan gaya ini untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, sehingga pada akhirnya gagal menemukan masalah yang sebenarnya dan gagal merumuskan penanganan masalah secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan bila satu pihak lebih kuat dari pihak lain. Penjelasan tentang lima gaya manajemen konflik interpersonal dapat dilakukan dengan cara mengatur kelima gaya tersebut sesuai dengan dimensi integratif dan distributif. Skema di bawah ini menunjukkan lima gaya manajemen konflik yang telah diklasifikasi ulang menjadi dimensi integratif dan distributif Rahim, 2001, 2002. Skema 1. Model Dual Concern: Dimensi pemecahan masalah dan perundingan gaya penanganan konflik interpersonal. Sumber: M. Afazur Rahim. 2002. Toward a Theory of Managing Organizational Conflict. International Journal of Conflict Management, 133, 206–235. Universitas Sumatera Utara Dimensi integratif adalah gaya integrating dikurang gaya avoiding, yang menggambarkan tentang tingkat tinggi-rendah kepuasan yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Dimensi distributif adalah gaya dominating dikurang gaya obliging, yang menggambarkan tentang rasio kepuasan tinggi- rendah yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Kedua dimensi ini secara berturut-turut merepresentasikan gaya problem solving dan gaya bargaining dalam menangani konflik. Gaya problem solving menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima oleh kedua pihak diri sendiri dan orang lain. Penggunaan gaya problem solving yang Tinggi-Tinggi, mengindikasikan bahwa adanya usaha yang nyata untuk meningkatkan kepuasan kedua belah pihak dengan berusaha menemukan solusi yang tepat dalam memecahkan masalah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Penggunaan gaya problem solving yang Rendah-Rendah, mengindikasikan bahwa adanya penurunan kepuasan pada kedua pihak akibat dari kegagalan dalam menemukan dan memecahkan masalah. Gaya bargaining menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima hanya oleh salah satu pihak diri sendiri atau orang lain. Penggunaan gaya bargaining yang Tinggi-Rendah, mengindikasikan usaha satu pihak untuk memperoleh kepuasan yang tinggi pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang rendah terhadap orang lain. Penggunaan gaya bargaining yang Rendah-Tinggi, mengindikasikan usaha satu pihak untuk memperoleh kepuasan yang rendah pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang tinggi Universitas Sumatera Utara terhadap orang lain. Compromising merupakan titik temu antara kedua dimensi, yaitu posisi tengah dimana suatu pihak memiliki fokus pada level menengah pada diri sendiri dan orang lain. Dimensi problem solving merupakan dimensi yang tepat digunakan untuk menangani konflik yang strategis dalam rangkan peningkatan pembelajaran dan efektifitas organisasi. Dimensi bargaining merupakan dimensi yang tepat untuk menangani konflik yang bersifat taktis atau konflik yang rutin terjadi setiap hari.

2.1.4. Gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit.