Identifikasi Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Pemikiran

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas, identifikasi masalah yang penulis dapat kemukakan antara lain sebagai berikut : 1 Apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan dengan HAM ? 2 Bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah: 1 Untuk mengkaji dan memahami kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM. 2 Untuk mengkaji dan memahami tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1. Kegunaan Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran yang dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai tolok ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 1.4.2. Kegunaan praktis Diharapkan penulisan tesis ini juga dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan penulis dalam hal yang berkaitan dengan karya ilmiah, serta mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan penegakan hukum sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan bertindak dalam melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK.

1.5. Kerangka Pemikiran

Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum rechtsstaat dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka machtsstaat. Dengan kata lain, Para penyusun UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka atau machtsstaat yang dalam bahasa Jerman mengandung arti bahwa negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan bukan berdasarkan atas hukum. Dalam machtsstaat penyelenggara negara dapat bertindak sewenang-wenang sesuai seleranya sendiri, Indonesia tentu bukan negara seperti itu. Digunakannya istilah rechtsstaat ini menunjukkan bahwa para penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum tentunya negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat pada semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Penyebutan Indonesia sebagai sebuah negara hukum atau rechtsstaat ini mengandung implikasi bahwa di negara ini penyelenggara negara harus dilandaskan atas UUD 1945 dan penyelenggara negara juga tentunya berkewajiban melindungi HAM. Indonesia sebagai negara hukum tentunya wajib menjamin hak asasi warga negaranya secara konstitusional. 15 Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM tentunya akan selalu menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara hukum dan juga dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum karena masyarakat akan menilai keberhasilan pembangunan hukum dengan melihat pada implementasinya berupa pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan penalaran yang logis dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum juga membawa implikasi berkenaan dengan aparatur penyelenggara negara tidak diperbolehkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Pada saat yang sama, pernyataan sebagai negara hukum juga membawa implikasi bahwa di negara ini tidak boleh ada peraturan perundang- undangan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat membuka peluang bagi penyelenggara negara untuk dapat bertindak sewenang-wenang dan diberi landasan hukum oleh norma undang-undang tersebut untuk melakukannya. 15 Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran PSKN FH UNPAD, Bandung, 2011, hlm.355. Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat dua belas prinsip pokok negara hukum. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Adapun dua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut : Supermasi hukum supermacy of law, persamaan dalam hukum equality before the law, asas legalitas due process of law, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara constitusional court, peradilan hak asasi manusia, bersifat demokratis democratische rechtsstaat, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara welfare rechtsstaat, dan transparansi dan kontrol sosial. 16 Berkenaan dengan dua belas prinsip pokok negara hukum yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie diatas dan dikaitkan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan, maka terdapat beberapa prinsip pokok yang berhubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yakni berkenaan dengan supermasi hukum supermacy of law, persamaan dalam hukum equality before the law, asas legalitas due process of law, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara welfare rechtsstaat, transparansi dan kontrol sosial. Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan yang mana menyatakan bahwa hukum terpaksa melakukan atau membuat aturan- aturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal 16 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 154-161. perseorangan. 17 Sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah hukum merupakan suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum yang mana selanjutnya hukum tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa seseorang atau perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang kepentingan individu demi tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum. Dari pemikiran Aristoteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa hukum ataupun peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum masyarakat luas dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu sehingga disini posisi hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu. Hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, maka hal tersebut sejalan dengan konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau individu. Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum substansi dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. 17 Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB. Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundang-undangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”. 18 Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan- ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas legalitas tersebut tercermin dari adanya pengaturan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat 1 huruf b, Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: 18 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” Selain substransi hukum, struktur atau aparat hukum juga merupakan suatu komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas. Dalam artian bahwa bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang tinggi, dapat dicari pada proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses pendidikan, khusus dirancang untuk penugasan tersebut. 19 Dengan banyaknya kasus korupsi saat ini, mengisyaratkan bahwa masih adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturan- peraturan. Hukum berfungsi sebagai social control yang bersifat memaksa agar masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur mengenai korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. 20 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan dengan penilaian yang mantap, mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir 19 Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm.160. 20 Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm.7. untuk menciptakan sebagai “social engineering”, memelihara dan mempertahankan sebagai “social control” kedamaian pergaulan hidup. 21 Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan karena : 1 Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, 2 Belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, dan 3 Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya. Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama. 22 Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi dan hukum harus dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan yang modern sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Law Enforcement dan Rule of Law menjadi sangat krusial. 23 21 Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm.80. 22 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.27. 23 Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press, Pekanbaru, 2003, hlm.29-30. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana. 24 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri. Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya 25 . Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi KPK dimaksudkan untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 empat subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan 24 Romli Atmasasmita, Op.cit. 25 Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm.25. di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut 26 : 1 Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2 Asas praduga tak bersalah. 3 Hak untuk memperoleh kompensasiganti rugidan rehabilitasi. 4 Hak untuk memperoleh bantuan hukum. 5 Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6 Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7 Peradilan yang terbuka untuk umum. 8 Pelanggaran atas hak-hak warga negara penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis. 9 Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 26 Yesmil Anwar Adang, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Widya Padjadjaran, 2009, hlm.67. 10 Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya. Berkenaan dengan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana, KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dapat dikatakan bertentangan dengan asas perlakuan yang sama dimuka hukum equality before the law dan asas praduga tak bersalah presumption of innocent. Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara tegas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dmiliki KPK dan terfokus pada tolak ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan bahwa : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kemudian hal yang perlu digaris bawahi kalimat “mencari dan menemukan” tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”. Dengan kata lain, “mencari dan menemukan” berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. 27 Pembatasan penelitian ini hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menarik ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh UUD 1945. Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan 27 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan Penyidikan, Sinar Grafika, 2008, hlm.6. setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dimana ada manusia disitu ada HAM yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. 28 Ketika kita berbicara mengenai HAM tentunya akan menjadi pembahasan yang sangat luas, namun dalam penelitian ini penulis akan berfokus kajian pelanggaran HAM yang diakibatkan pada pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dalam sistem peradilan pidana. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kira-kira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu melanggar HAM”. 29 28 Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.75. 29 WebsiteGOOGLE,httpberita.liputan6.comread...mahfud-md-kecam-masalah pencekalan...terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00. APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik di dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun di dalam dokumen internasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas dalam hal ini APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law sebagai HAM untuk menegakkan dan melindunginya sesuai dengan negara hukum yang demokratis adalah diperlukan. 30 Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil. Pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan yang mana keterlibatan seseorang atas suatu kasus masih mentah namun sudah dilakukan pembatasan hak nya untuk bepergian keluar negri dapat dinilai bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent. Selain itu, Pencekalan yang dilakukan KPK tanpa adanya batasan atau tolak ukur yang jelas mengenai siapa saja 30 Mien Rukmini, Op.cit. yang diperbolehkan untuk dicekal menurut analisis penulis akan bertentangan dengan APKDH atau equality before the law dan juga kepastian hukum yang adil. Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM. HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. 31 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D, Pasal 28 E ayat 1, Pasal 28I ayat 4 yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” 31 Yesmil Anwar, Op.cit.. “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...” Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah Presumption of innocent dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun. Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat 2 dan 3, kemudian Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum” “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan merupakan tindakan yang melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia” “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Selain melihat peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi United Declaration of Human Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang berbunyi sebagai berikut : “1 Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the borders of each state. 2 Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.” Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut : 1 Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masing- masing. 2 Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya sendiri. Di Indonesia, dalam praktik belum terdapat kesepakatan mengenai makna yang terkandung didalamnya dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kerancuan bahkan perbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan. 32

1.6. Metode Penelitian