dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa extraordinary crime. Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK
yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super super body.
2.5. Pencekalan Dalam Hukum Acara Pidana
Tindakan pemolisian dapat berwujud tindakan pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Pada lingkup yang lebih luas, tindakan itu
mencakup pula tindakan pencekalan dan penangkalan. Dalam KUHAP, tindakan pemolisian minus pencekalan dan penangkalan yang diatur dalam UU No. 6 tahun
2011 tentang Imigrasi tersebut dilakukan oleh Penyidik dan atau penyelidik atas perintah penyidik. Meskipun merupakan bagian dari kewenangan penegak hukum,
tindakan pemolisian tidak dapat dilakukan secara serampangan karena berkaitan dengan hak-hak asasi manusiawarga negara. Setiap tindakan pemolisian harus
dilakukan atas dasar yang logis dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Tindakan pemolisian tidak boleh didasarkan pada faktor like dan dislike yang
cenderung subyektif dan tidak memiliki parameter yang jelas. Intinya, kewenangan yang dilakukan secara serampangan dan tidak terkontrol akan menghasilkan
tindakan yang sewenang-wenang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
Pengertian dari pencekalan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian atau alasan lain yang
ditentukan oleh UU. Pencegahan merupakan larangan yang bersifat sementara
terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu dalam waktu tertentu dan orang tertentu dalam
pengertian di atas ditujukan kepada Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia yang akan keluar Wilayah Indonesia. Pengaturan mengenai pencekalan ini
di tuangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai
berlaku, maka peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini. Berdasarkan Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan
penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Konteks penolakan tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang
setelah adanya permintaan Pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang yang dimaksud dalam Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat 2
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terdiri atas: a. Menteri Keuangan;
b. Jaksa Agung; c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
e. Kepala Badan Narkotika Nasional; atau f. Pimpinan kementerianlembaga yang berdasarkan undang-undang
memiliki kewenangan Pencegahan. Kewenangan pejabat berwenang untuk meminta danatau memerintahkan
pencekalan terhadap orang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tersebar dalam berbagai Undang-Undang yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92 yang berbunyi:
Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat 2 dapat meminta secara langsung kepada Pejabat
Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan.
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 12 ayat 1 huruf b yang berbunyi:
1 Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 16 ayat 1 huruf j yang berbunyi:
1 Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk:
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Badan Narkotika Nasional Pasal 71 yang berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pasal 35 huruf f yang berbunyi:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: f. mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Setiap wewenang yang diberikan kepada pejabat-pejabat tersebut dan dalam menggunakan kewenangannya untuk melakukan pencegahan harus benar-benar
didasarkan pada keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, moral masyarakat dan kepentingan masyarakat dengan alasan yang rasionil dan jelas karena hal ini
menyangkut hak asasi setiap orang. Alasan yang rasionil dan jelas ini bersifat relative, karena besarnya tingkat keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan
dan moral dan kepentingan masyarakat itu relatif bergantung dari keadaan Negara tersebut. Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para pejabat-pejabat tersebut dalam
melaksanakan kewenangannya harus dilandaskan pada rasio yang matang dan hati nurani.
Permintaan pejabat yang berwenang disampaikan secara tertulis baik kepada Menteri untuk melaksanakan pencegahan danatau bersifat langsung kepada Pejabat
Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi TPI atau unit pelaksana teknis yang membawahi TPI dalam keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Pasal 92 yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam keadaan yang mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat 2 dapat meminta secara langsung kepada Pejabat
Imigrasi tertentu untuk melakukan Pencegahan.
Keadaan yang mendesak yang dimaksud pada UU ini misalnya seseorang yang akan dikenakan pencegahan tersebut dikhawatirkan melarikan diri keluar negeri pada
saat itu juga atau telah berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi untuk keluar negeri sebelum keputusan pencegahan ditetapkan. Kepentingan yang ingin dilindungi disini
dengan pengaturan penolakan orang untuk keluar wilayah Indonesia di TPI berkaitan dengan kepentingan nasional meliputi keamanan nasional ketertiban umum, dan
kepentingan masyarakat. Dengan demikian penolakan oleh pejabat imigrasi kepada orang yang akan keluar wilayah Indonesia dilaksanakan dalam konteks pencegahan.
Pencegahan yang dilaksanakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian, yaitu:
1. Harus ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh Pejabat yang berwenang;
2. Keputusan tertulis tersebut memuat sekurang-kurangnya: a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta
foto yang dikenai Pencegahan; b. alasan Pencegahan; dan
c. jangka waktu Pencegahan. 3. Keputusan Pencegahan disampaikan kepada orang yang dikenai
Pencegahan paling lambat 7 tujuh hari sejak tanggal keputusan ditetapkan.
4. Dalam hal keputusan Pencegahan dikeluarkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat 2, keputusan tersebut
juga disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 tiga hari sejak tanggal
keputusan ditetapkan
dengan permintaan
untuk dilaksanakan.
5. Menteri dapat menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan apabila keputusan Pencegahan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2.
6. Pemberitahuan penolakan pelaksanaan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 harus disampaikan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat 2 paling lambat 7 tujuh hari sejak tanggal permohonan pencegahan diterima disertai
dengan alasan penolakan.
7. Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas orang yang dikenai keputusan pencegahan ke dalam daftar
Pencegahan melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian.
Apabila tidak dipenuhinya kriteria tersebut, menteri dapat menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan yang akan disampaikan kepada pejabat yang berwenang
dalam waktu paling lambat 7 tujuh hari sejak tanggal permohonan diterima disertai dengan alasan penolakan.
Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang
bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak. Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights
dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang
membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap Negara mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu
diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini.
Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap negara dengan cara pencegahan dan penangkalan, pencegahan dan penangkalan
adalah untuk menghentikan seseorang untuk masuk atau keluar wilayah negara yang bersangkutan atas dasar alasan-alasan yang secara rasional untuk keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Definisi Pencegahan menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang
keimigrasian adalah Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Sedangkan
penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh suatu Negara, Negara harus tetap menjamin hak atas
kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan
alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik.
Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan
kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang
berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia. Selain itu disisi lain pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan yang efektif terhadap pelaku-
pelaku tindak pidana agar pelaku-pelaku tindak pidana tidak dapat kabur keluar negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung ke
daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian- kejadian seperti
perginya pelaku tindak pidana keluar negeri dapat dicegah.
2.6. Teori Penyelidikan