Tolok Ukur KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam

Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional. 118 Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur secara tegas oleh undang-undang, tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab kebebasan bergerak bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

4.2. Tolok Ukur KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam

Proses Penyelidikan Berkenaan dengan tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah teori penegakan hukum, asas legalitas, teori penyelidikan dan pencekalan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Analisis penulis mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan berkaitan dengan teori penegakan hukum adalah sebagai berikut : 118 Ajat Sudrajat Havid, Op.cit, hlm.105. Korupsi merupakan tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 119 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa extra ordinary crime 120 , untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. Dalam rangka melakukan penegakan hukum diperlukan adanya harmonisasi dari unsur-unsur yakni mulai dari substansi, strukturaparaturnya, dan juga didukung oleh kulturnya. Menurut Lawrence Meir Fridman menyatakan bahwa sistem hukum itu harus memenuhi : Substansi Subtance yang berupa peraturan perundang- undangan atau isi dari sebuah peraturan, Struktur Structure adalah aparat penegak hukum beserta sarana dan prasarananya., dan Kultur hukum Legal Culture berupa prilaku dari anggota masyarakat itu sendiri. 121 Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan luas yang dimiliki badan khusus yakni KPK ini dan terfokus pada tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Sehubungan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, kewenangan yang diberikan oleh UU kepada KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan ini tentunya dilakukan untuk meningkatkan 119 Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.98. 120 Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.9. 121 Yesmil Anwar Adang, Op.cit. kualitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia, namun jika kewenangan tersebut dilakukan tanpa adanya batasan, tolok ukur atau pun kriteria yang dapat dijadikan patokan atau pedoman yang lebih dapat menjamin kepastian dan keadilan bagi masyarakat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan kewenangannya yakni pencekalan pada tahap penyelidikan khusus nya dalam hal ini adalah KPK, maka tentunya dikhawatirkan institusi KPK ini akan berpotensi melakukan kesewenang-wenangan dengan mengatasnamakan kewenangannya yang diberikan UU dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, sebenarnya pada institusi KPK ini memang telah dirumuskan dan telah ada pengaturan mengenai tolok ukur ataupun kriteria yang dijadikan pegangan bagi pihak KPK dalam melakukan pencekalan. Hal ini tertuang dalam Standard Operational Procedure SOP internal KPK, namun pengaturan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan ini bersifat rahasia. Masyarakat dalam hal ini tidak diperkenankan untuk mengetahui secara jelas mengenai tolok ukur pencekalan tersebut, hal ini menurut analisis penulis bertentangan dengan asas-asas yang dianut oleh institusi KPK itu sendiri yakni mengenai asas keterbukaan atau transparansi. Dengan suatu kewenangan melakukan pencekalan pada proses penyelidikan yang notabenenya belum tentu seseorang yang dikenai pencekalan tersebut terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, ditambah lagi dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas dan trasparan mengenai siapa saja yang boleh dilakukan pencekalan pada tahap ini maka hal ini tentu nya dapat mencederai penegakan hukum itu sendiri. Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan asas legalitas adalah sebagai berikut : Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. 122 Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Didalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum equality before the law, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi. 123 Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan memiliki sifat dinamis harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum supremacy of law, kesetaraan dihadapan hukum equality before the law, dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum due process of law. 122 Soedikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.145. 123 Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik ”, Jakarta, 2005, hlm.4. Prinsip penegakan hukum yang mendasarkan pada prinsip the rule of law harus selalu menjunjung tinggi asas legalitas. Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi : “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjun . jung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks hukum acara pidana berlaku prinsip lex scripta bahwa hukum itu harus tertulis, berlaku prinsip lex certa hukum itu harus jelas dan berlaku lex stricta bahwa hukum itu ketat dan tidak boleh di interpretasikan lain selain apa yang tertulis. Ini adalah wujud dari asas legalitas dalam hukum pidana. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum substansi dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan Undang- Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pada Pasal 43, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Asas legalitas tersebut juga tercermin dari adanya pengaturan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat 1 huruf b, Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” Seperti yang telah diketahui bahwa KPK diberi kewenangan melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan, namun mengenai tolok ukur atau kriteria KPK dalam menentukan siapa yang boleh dicekal dan yang tidak boleh cekal pada tahap ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan yang juga dilakukan untuk meningkatkan upaya penegakan hukum di Indonesia sebaiknya adanya aturan yang menentukan kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat diperlukan adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap tindakan aparat penegak hukum yang berwenang sehingga meminimalisir terjadinya kesewenang-wenangan yang dapat melanggar hak asasi seseorang. Aturan sebagaimana yang dimaksud diatas adalah aturan mengenai tolok ukur atau kriteria seseorang pada tahap penyelidikan dapat dikenai pencekalan. Menurut analisis penulis, kriteria atau alasan seseorang yang dapat dikenakan pencekalan adalah sebagai berikut : 1 Orang yang diduga dapat melarikan diri keluar negri. 2 Orang yang diduga berpergian keluar untuk menghilangkan barang bukti. 3 Seseorang yang diduga terlibat kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1 Miliar atau lebih. Selain mengenai kriteria orang yang dapat dikenai pencekalan, hal yang perlu dirumuskan lebih lanjut dalam UU adalah pengecualian terhadap orang yang dikenai pencekalan antara lain sebagai berikut : 1 Tidak terindikasi keterlibatannya dalam suatu tindak pidana korupsi. 2 Telah 2x dua kali dikenai pencekalan oleh KPK. 3 Berpergian keluar negeri terkait tugas negara yang tidak bisa diwakilkan oleh pihak manapun. 4 Menderita sakit yang mengharuskan orang yang dikenai pencekalan tersebut berobat keluar negri tidak ada obat dan atau dokter untuk penyakit itu di Indonesia dan tergolong penyakit parah yang dapat membahayakan nyawa. Untuk pengecualian terhadap orang yang dikenai pencekalan khusus nya pada poin ke 3 dan ke 4, pihak tersebut diharuskan untuk mengajukan surat permohonan kepada pimpinan KPK agar surat pencekalannya tersebut dapat dicabut atau dilonggarkan. Berkenaan dengan pendapat penulis mengenai kriteria seseorang yang dapat dikenai pencekalan di sertai dengan pengecualian dari tindakan upaya paksa pencekalan ini, penulis berharap hal tersebut dapat dijadikan masukan bagi pembentuk undang-undang dan atau mahkamah konstitusi agar dapat memasukkan rumusan tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sehingga asas transparansi dan kepastian hukum yang adil dapat terpenuhi. Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan teori penyelidikan adalah sebagai berikut : Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundang- undangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem yang disebut sebagai sistem peradilan pidana criminal justice system. Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen- instrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Kewenangan menolak orang bepergian keluar wilayah Indonesia yang sedang diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan adalah merupakan bagian kecil dari proses penegakan hukum pidana di Indonesia yang dikenal dengan mekanisme integrated criminal justice system. Bahwa mekanisme integrated criminal justice system adalah sistem yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu kesatuan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, sampai dengan pemidanaan dan penyelesaiannya di tingkat pemasyarakatan, yang didalamnya terdapat kewenangan-kewenangan pembatasan berupa tindakan pencegahan danatau penahanan. Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam Pasal 12 ayat 1 huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum. Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dimiliki KPK dan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan yang terfokus pada dalam tahap penyelidikan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menjadi permasalahan yakni ketika pencekalan dilakukan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan maka pemberlakuan asas praduga tak bersalah presumption of innocent , asas persamaan dihadapan hukum equality before the law dam kepastian yang adil tentu diragukan untuk dapat diaplikasikan oleh masyarakat melalui UU ini. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah presumption of innocence sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak seseorang dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Hal tersebut yang menjadi alasan diperlukannya suatu pengaturan yang jelas mengenai tolak ukur, batasan atau kriteria pencekalan yang dilakukan oleh KPK dalam tahap penyelidikan. Pembahasan mengenai tolok ukur KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan pencekalan dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah sebagai berikut : Selain diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam Pasal 12 ayat 1 huruf b, dasar hukum seseorang dikenai pencekalan juga dilakukan berdasarkan Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dinyatakan bahwa Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. Namun berdasarkan putusan No. 40PUU-IX2011, majelis MK menyatakan pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK maka secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Konteks penolakan pada Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang setelah adanya permintaan Pejabat yang berwenang. Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2011, menteri atau pejabat imigrasi dapat melakukan pencekalan berdasarkan permintaan atau keputusan dari : Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala kepolisian RI, Ketua KPK, Kepala BNN. Namun, pencekalan yg dilakukan KPK lah yang menjadi sentral dalam penelitian ini. Penggunaan pencekalan ini tidak boleh digunakan sewenang-wenang oleh suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik. Adapun dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencekalan KPK ini merujuk pada beberapa peraturan diantaranya adalah Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Putusan MK tentang jangka waktu pencekalan, PP No. 30 tahun 1994 tentang tata cara pelaksanaan pencekalan dan penangkalan, Mou KPK dengan KemenkumHAM yang mengatur mengenai koordinasi antara keduanya, dan juga standard operational procedure SOP internal KPK. Mengenai mekanisme dilakukannya pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dapat dimulai dari adanya laporan masyarakat. Laporan dari masyarakat ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti “petunjuk” seperti yang tertuang pada Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Setelah itu dilakukan verifikasi yakni pembuktikan kebenaran atau untuk menentukan atau menguji akurasi, pada tahap penyelidikan ini pihak KPK mencari dan menemukan mengenai apakah suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana atau tidak. Kemudian dilakukan gelar perkara yang melibatkan pimpinan KPK, penyelidik dan penyidik guna menentukan apakah seseorang yang terkait tersebut dapat dikenai pencekalan atau tidak. Dalam menentukan seseorang dapat dikenai pencekalan atau tidak, KPK berpedoman pada Standard Operational Procedure SOP internal KPK. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pihak KPK, Standard Operational Procedure SOP merupakan alur atau tindakan yang dijalani untuk melaksanakan kewenangan yang mana KPK harus menelaah lebih lanjut mengenai pantas atau tidak nya seseorang dikenai pencekalan, tentunya di dalam SOP tersebut tertera syarat-syarat mengenai siapa yang harus dicekal. Standard Operational Procedure SOP internal KPK ini bersifat rahasia kecuali ada permintaan tertulis kepada pimpinan KPK atau sejken mengenai hal ini, namun presentase kemungkinan diketahui oleh masyarakat sangat tipis. Jika berdasarkan hasil gelar perkara menentukan bahwa seseorang tersebut pantas dikenai pencekalan, maka pimpinan KPK akan segera mengirim surat permohonan cekal kepada Dirjen Imigrasi dan termaktub juga didalam nya mengenai jangka waktu pencekalan tersebut. Berdasarkan pasal 97 ayat 1 UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Jangka waktu pencekalan dilakukan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan berikutnya atau 2 kali pencekalan berdasarkan putusan MK pada pencekalan kasus Mantan Meteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Pengajuan permohonan pencekalan yang dilakukan secara manual rentan terhadap kebocoran informasi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dapat mengajukan permohonan pencegahan ke Direktorat Imigrasi secara online melalui surat elektronik alias email. Sistem online ini bisa mengantisipasi ter- jadinya kebocoran informasi. Dengan sistem online status pencegahan seseorang langsung tersambung ke semua pintu perlintasan ke luar negeri. Mengingat modus operandi tindak pidana semakin canggih, maka keputusan eksekusi pencegahan pun harus cepat. Pencekalan secara manual rentan terhadap kebocoran informasi. Seperti yang terjadi pada pencegahan terhadap bekas Bendahara Umum Demokrat M Na- zaruddin dan Nunun Nurbaeti, istri dari bekas Wakapolri Adang Darajatun yang berhasil kabur sebelum surat cekal diterbitkan. Ditjen Imigrasi hanya bisa menerbitkan surat pencekalan apabila ada per- mohonan pengajuan dan memenuhi persyaratan. masa pencekalan hanya berlaku selama enam bulan. Jika dilakukan perpanjangan pencekalan maka harus ada permintaan dari lembaga pemohon. Perpanjangan pencekalan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga pemohon. Kalau tidak diperpanjang, maka otomatis cekalnya berakhir. Pencabutan cekal berasal dari lembaga yang mengusulkan. Kalau masa berlakunya sudah berakhir. Maka harus dicabut pencekalannya untuk menghargai hak asasi manusia seseorang. Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M.Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur ataupun kriteria yang dapat dijadikan pegangan oleh KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan juga aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah ke luar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Ketua DPRD Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar, Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli Walid. Pada kasus lain KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Kemenkum HAM telah melakukan cekal terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada Selasa 22052012 lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama enam bulan ke depan. 124 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. 125 124 WebsiteGOOGLE,httpwww.beritabogor.com201206kronologiskasushambalang.htmlter akhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00. 125 Website GOOGLE,httpwww.beritawmc.com201206...soal-hambalang-kpk-dinilai- tidak-jelasterakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00. Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan yakni Ridwan Hakim putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin, Ahmad Zaky Swasta, Rudy Susanto Swasta, Jerry Roger Swasta, Soraya Kusuma Effendy Komisaris PT. Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman Dirut PT. Indoguna Utama. Sedangkan nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda Pegawai Negeri Sipil, Ahmad Junaedi Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian, Syahrudin swasta, Elda Deviane Adiningrat swasta, Soewarso swasta, Melani karyawan PT. Indoguna Utama, Dina zelvia swasta, Eka Pratiwi swasta, Anna Retnowati swasta, Mimin Juni Atin swasta. Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya dengan penyidikan. Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh pemerintah. 126 126 Mien Rukmini, Op.cit, hlm.24. Berkenaan dengan pembahasan terdahulu mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dikaitkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana, tentu nya dapat kita ketahui bahwa tindakan pembatasan kebebasan seseorang untuk bepergian keluar negri dapat dibatasi oleh negara atas dasar untuk kepentingan umum, menjaga stabilitas keamanan negara dan untuk mempermudah proses penegakan hukum di Indonesia. Hal yang lebih lanjut yang akan dibahas pada penelitan tesis ini mengenai kriteria atau tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman oleh KPK untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang pada proses penyelidikan. Seperti yang kita ketahui dan sebagai mana yang telah penulis paparkan diatas dalam bentuk kasus terlihat bahwa tidak semua orang yang dikenai pencekalan pada tahap penyelidikan, artinya bahwa terhadap seseorang individu dalam status nya sebagai saksi dapat dikenai pencekalan, namun pada kasus yang sama terhadap seorang individu yang lain tindakan pencekalan ini dilakukan pada status nya sebagai tersangka. Tentu nya hal yang semacam ini akan menimbulkan suatu permasalahan dalam konteks hukum pidana itu sendiri yakni mencederai asas persamaan kedudukan dihadapan hukum. Dengan tidak diatur secara jelas dan transparan mengenai batasan atau tolok ukur dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan, maka hal ini tentunya bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil. Hal ini yang menjadi alasan untuk dapat memperjelas ketentuan mengenai tolok ukur atau kriteria bagi KPK dalam melakukan tindakan pencekalan terhadap seseorang pada tahap penyelidikan agar kemudian asas kepastian hukum yang adil, transparansi dan persamaan kedudukan dihadapan hukum dapat terpenuhi. 168

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan