128
BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI
YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
4.1. Kewenangan KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam
Proses Penyelidikan Dikaitkan Dengan HAM
Korupsi di Indonesia telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat dan dilakukan secara sistematis, sehingga dapat merusak perekonomian dan
menghambat pembangunan serta memunculkan stigma negatif bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional. Korupsi yang
melanda negara Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime serta menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena perilaku korupsi merusak berbagai macam tatanan dalam kehidupan seperti tatanan hukum, tatanan
politik, dan tatanan sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi terkendala dan terus berpacu dengan munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih sophisticated.
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi
masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi tersebut digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa extra ordinary
crime, extra ordinary action, extra ordinary court . Penanganan tindak pidana
korupsi ini tidak boleh hanya dilakukan dengan cara-cara biasa ordinary action seperti penanganan terhadap tindak pidana umum. Logikanya, kalau suatu tindak
pidana sudah digolongkan ke dalam tindak pidana yang luar biasa extra ordinary crime
, sedangkan penanganannya hanya dilakukan melalui cara-cara yang biasa ordinary action melalui pengadilan biasa ordinary court maka sudah pasti
hasilnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Untuk mewujudkan negara hukum, tidak hanya diperlukan norma-norma
hukum atau peraturan perundang-undangan saja sebagai subtansi hukum tetapi juga diperlukan aparatur penegak hukum sebagai penggeraknya atau sebagai struktur
hukum dengan didukung oleh perilaku seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh
belum adanya keinginan dari aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah bergesernya nilai-nilai yang dianut pengembang
profesi hukum dan degradasi kualitas penegak hukum sendiri dan belum adanya niat untuk melakukan perubahan terhadap instansinya masing-masing.
Faktor penyebab tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya menemukan formula
yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistematik. endemik disini
dimaksudkan bahwa korupsi sudah menyebar secara luas widespread keseluruh lapisan birokrasi, khususnya lembaga peradilan Judicial corruption dan definisi
dari sistematik adalah korupsi sudah masuk ke seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia.
Pembersihan dan reformasi institusi hukum diperlukan untuk meningkatkan peranan penegak hukum dalam penegakan hukum law enforcement, sehingga
penegakan hukum tidak akan dapat dilakukan jika aparat penegak hukum itu sendiri melakukan korupsi dan tidak ada kemauan untuk menegakkan hukum. Maka
manusia SDM disini sangat penting untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Kelambanan pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain disebabkan faktor
manusia yaitu aparat penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak
tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada
umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem
peradilan pidana.
111
Aplikasi atau penegakan hukum pidana yang tersedia tersebut dilaksanakan oleh instrumen-instrumen yang diberi wewenang oleh UU untuk
melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya masing-masing dan harus dilakukan dalam suatu upaya yang sistematis untuk dapat mencapai tujuannya. Upaya yang
sistematis ini dilakukan dengan mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan interelasi, serta saling
mempengaruhi satu sama lain. Upaya yang demikian harus diwujudkan dalam sebuah sistem yang bertugas menjalankan penegakan hukum pidana tersebut, yaitu
111
Romli Atmasasmita, Op.cit.
Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice Sytem yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”.
112
Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya
keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana
itu sendiri. Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk juga penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, selain dibutuhkan seperangkat peraturan perundang-
undangan tentunya dibutuhkan juga instrumen penggeraknya yaitu institusi-institusi penegak hukum dan implementasinya melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem
yang disebut sebagai sistem peradilan pidana criminal justice system. Berbicara mengenai konstelasi penegakan hukum tindak pidana korupsi tentunya semua akan
kembali dalam suatu sistem yang kemudian kita sebut sebagai Criminal Justice System
atau sistem peradilan Pidana di Indonesia.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia juga telah memperlihatkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keseriusan itu terlihat dengan
dikeluarkannya berbagai macam kebijakan baik dalam hal pencegahan preventif maupun penanganan represif tindak pidana korupsi antara lain ada nya Undang-
undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Memperhatikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 maka terdapat lembaga lain yang berwenang dalam hal
penanganan perkara tindak pidana korupsi di luar sistem peradilan pidana yang ada
112
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hlm.28.
di Indonesia selama ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Dalam hal ini, KPK sudah cukup banyak mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap di
Indonesia. KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar
pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan
secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode baru dan
lembaga baru.
113
KPK hadir sebagai lembaga yang memiliki tugas yang sangat besar. Masyarakat menumpukkan harapan pemberantasan korupsi kepada KPK. Pemberian
kewenangan yang begitu luas, mengakibatkan KPK disebut-sebut sebagai superbody. Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK
diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada penelitian tesis ini, penulis akan membatasi penelitian pada tahap penyelidikan.
Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau
tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas
praduga tak bersalah presumption of innocence sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP.
113
Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm.40.
Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini khususnya dalam
Pasal 12 ayat 1 huruf b, KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan
maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum. Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap
sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi pemberantasan
Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” : “Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri” Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dilakukan untuk
membantu proses penegakan hukum yang mana korupsi merupakan extraordinary crime
maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa. Namun disisi yang lain pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan dengan
asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah, equality before the law
, asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi BAB XA tentang HAM, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before
the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.
HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
114
Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk
kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada
Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D, Pasal 28 E ayat 1, Pasal 28I ayat 4 yang berbunyi :
“Negara Indonesia adalah negara hukum” “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum” “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”
Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak
secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang
114
Yesmil Anwar, Op.cit.
huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...”
Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat
manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah Presumption of
innocent dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.
Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap
penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat 2 dan 3, kemudian Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi
sebagai berikut : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”
“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”
“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”.
Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dinilai merupakan tindakan yang
melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of innocent
dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan
Pasal 27 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi :
“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik
Indonesia” “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk
kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Melihat Peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of
Human Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi Universal Declaration of Human Rights
. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Human Rights yang berbunyi sebagai berikut :
“1 Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the borders of each state”
“2 Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.”
Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut : “1 Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat
tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masing-masing.
”2 Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya
sendiri”
Bila kita melihat dari logika hukum, hal ini dirasa tidak tepat pencekalan seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan hal
ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatan
dalam suatu kasus masih sangat mentah atau prematur. Pada pasal 16 ayat 1 UU Keimigrasian dan UU tentang KPK, maka dapatlah ditarik penafsiran bahwa pejabat
Imigrasi dan atau KPK menolak untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan, pejabat imigrasi dapat menolak
orang untuk keluar wilayah Indonesia jika ada dugaan tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan hukum mengingat sifatnya yang sangat prematur atau dini.
Bagaimana mungkin semata-mata karena adanya dugaan tindak pidana, seseorang dapat ditolak untuk keluar wilayah Indonesia. Belum berarti belum ada bukti yang
cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada saat proses penyelidikan. Sehubungan dengan hal ini, tentunya akan dapat menimbulkan
gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh UUD 1945.
Secara harfiah, HAM adalah hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu
keharusan conditio sine qua non dan tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan, harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan,
dan gangguan dari sesamanya.
115
Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam
tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum.
Penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap
penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk keluar negeri. Apalagi dalam tahap penyelidikan, seseorang belum mengetahui
apakah dirinya sedang dalam proses penyelidikan atau tidak dan proses penyelidikan itu tidak ada jangka waktu yang pasti sehingga tidak diketahui kapan harus berakhir.
Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah tindakan yang melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab khusus
tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Seseorang yang hanya karena terkait belum tentu pula jadi tersangka dengan
sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat
dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut.
Ketentuan tersebut di atas sangat membuka ruang dan peluang bagi lembaga- lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi KPK untuk
dengan mudahnya melarang hak asasi seseorang untuk bepergian dalam rangka melangsungkan hidup dan kehidupannya.
115
Ibid , hlm.60.
Berkaitan dengan adanya asas-asas yang menggambarkan penerapan HAM dalam proses peradilan pidana tersebut, asas yang paling penting adalah asas praduga
tak bersalah Presumption of innocent dan asas persamaan kedudukan dalam hukum Equality before the law. Pada dasarnya, kedua asas tersebut harus saling mengisi,
sejalan dan harmonis yang kemudian diimplementasikan dalam peraturan-peraturan demi tegaknya hukum dan keadilan.Tanpa diterapkannya kedua asas ini mustahil
peradilan yang adil dan benar dapat diwujudkan.
116
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, yang dikenal dengan kejahatan ”kerah putih” extra ordinary crime sangat sulit untuk menemukan buktinya, maka dari itu
harus pula dihadapi dengan upaya luar biasa juga, salah satunya adalah dengan cara pencekalan. Gangguan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
berasal dari undang-undang disebabkan karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang dan belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan tidak mencerminkan perhatian terhadap asas hukum
pidana yang berlaku seperti yang telah dijelaskan diatas. Kemudian mengenai Peraturan pelaksana dari pengaturan pencekalan yakni Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini belum ada, sehingga pada saat Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ini mulai berlaku, maka
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474 dinyatakan berlaku.
116
Ibid, hlm.85.
KPK sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tentunya harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam sistem
peradilan pidana. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang- Undang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas yang diantaranya adalah perlakuan
yang sama dimuka hukum atau tanpa diskriminasi equality before the law apapun dan juga asas praduga tak bersalah presumption of innocent.
Berkenaan dengan pencekalan KPK dikaitan dengan teori penyelidikan, Bila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan
penyelidik kepada penyidik, salah satu syarat “tindakan lain” yang merupakan tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan berdasarkan penjelasan Pasal 5
huruf a angka 4 KUHAP adalah harus Menghormati HAM. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak
bersalah presumption of innocence sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi
kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini
disampaikan kepada penyidik. Selain ketidakberlakuannya asas Equality before the law dan Presumption of
innocent merupakan gangguan penegakan hukum, kemudian termasuk sebagai asas-
asas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan juga sebagai pedoman penyelidik untuk melakukan penyelidikan seperti yang dimaksud dalam Pasal 5
huruf a angka 4 KUHAP dan penjelasan umum butir 3c KUHAP, asas Equality before the law
dan Presumption of innocent juga termaktub pada penjelasan
KUHAP yang mana ditemukan 10 sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan putusan No. 40PUU-IX2011, majelis MK menyatakan
pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam
sidang putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh
penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar
penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.
117
Namun menurut analisis penulis disertai dengan adanya kegiatan wawancara langsung penulis dengan salah
satu staf biro hukum KPK, Institusi KPK masih diperbolehkan mengajukan pencekalan dalam proses penyelidikan karena Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu. KPK boleh mencekal karena UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis derogate lex generalis.
Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak
pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK.
Undang-Undang KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan khusus pula, sama halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat
penghentian penyidikan perkara SP3 dan diperbolehkan menyadap. Undang-
117
Website GOOGLE,
httpwww.beritasatu.com...30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat penyelidikan terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00.
Undang yang dilakukan yudicial review adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan.
Kewenangan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan sebagaimana yang telah diatur dalam UU no. 30 tahun 2002 ini telah di implementasikan oleh KPK
pada beberapa kasus, diantaranya seperti yang telah penulis paparkan pada BAB terdahulu mengenai pencekalan terhadap Gubernur Riau bernama H.M. Rusli Zainal
terkait PON XVIII di Provinsi Riau dan pencekalan KPK terhadap Mahfud Suroso terkait kasus Hambalang. Pada tanggal 10 April 2012, KPK telah mengajukan
permohonan pencekalan terhadap Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dengan alasan pencekalan dilakukan untuk membantu KPK dalam kelancaran proses penyelidikan
kasus dugaan korupsi pembangunan venue PON dan jika sewaktu-waktu yang bersangkutan dimintai keterangan tidak sedang berada di luar negeri. Gubernur Riau
H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya sebagai saksi. Tidak jauh berbeda dengan Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dicekal oleh KPK dalam status nya
sebagai saksi, Direkur PT. Dutasari Citralaras bernama Mahfud Suroso juga dicekal pada tanggal 27 April dan berakhir setelah enam bulan kedepan yakni pada bulan
Oktober untuk membantu proses penyelidikan kasus Hambalang. Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait
kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim putra Ketua Majelis Syuro PKS
bernama Hilmi Aminuddin, Ahmad Zaky Swasta, Rudy Susanto Swasta, Jerry
Roger Swasta, Soraya Kusuma Effendy Komisaris PT. Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman Dirut PT. Indoguna Utama.
Sehubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dinilai bertentangan dengan HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, maka dengan
penelitian ini penulis akan memberi edukasi dan pandangan yang lebih luas pada khalayak pembaca dan tentunya juga berdasarkan hukum mengenai apakah
pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini benar-benar telah mencederai hak dasar setiap manusia atau tidak.
Berangkat dari pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dirasa bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah
Presumption of innocent, asas persamaan dihadapan hukum equality before the law
, asas kepastian hukum yang adil, yang mana kesemua asas ini diatur dalam bab khusus konstitusi BAB XA tentang HAM UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seperti yang telah penulis paparkan diatas, akhirnya perlu kita pahami bahwa
asas-asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah Presumption of innocent, asas persamaan dihadapan hukum equality before the law, asas kepastian hukum
yang adil ini merupakan salah satu hak yang bisa dikurangi atau dibatasi derogable right
dengan UU sebagaimana diatur Pasal 28I ayat 1 jo Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
Manusia merupakan makhluk yang mengalami pergerakan dari suatu tempat ketempat lain apapun itu alasannya. Dikarenakan hal ini sudah menjadi hak yang
bersifat kodrati bagi manusia untuk mempunyai hak atas kebebasan bergerak. Kebebasan ini telah dinyatakan di dalam Universal Declaration of Human Rights
dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun kebebasan ini bukan berarti bebas sebebas-bebasnya bergerak tanpa adanya aturan yang
membatasinya. Dunia internasional juga memahami keberadaan setiap negara mempunyai kepentingannya masing-masing, sehingga kebebasan bergerak itu
diseimbangkan dengan kepentingan-kepentingan setiap negara. Dengan hal ini maka dunia internasional juga memberikan batasan terhadap kebebasan bergerak ini.
Pembatasan hak atas kebebasan bergerak ini dapat dilakukan oleh setiap negara dengan cara pencegahan dan penangkalan
Hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah
yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh
karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang
diatur dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan
Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3PUU-V2007, maka secara penafsiran sistematis sistematische interpretatie, hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi
manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights
yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat 2.
Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on
Civil and Political Rights ICCPR. Pasal 12 International Covenant On Civil and
Political Rights ICCPR yang telah diratifikasi Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, bunyi Pasal 12 ICCPR
adalah sebagai berikut: 1 Setiap orang yang berada dalam wilayah suatunegara secara sah, memiliki
hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal di dalam wilayah negara tersebut.
2 Setiap bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negaranya, sendiri.
3 Hak-hak yang telah disebutkan di atas tidak dapat dilarang kecuali jika diatur oleh hukum, dianggap perlu untuk melindungi keamanan nasional,
keamanan publik, kesehatan, atau moral publik, hak dan kebebasan orang lain, dan sesuai dengan hak-hak lain yang diakui oleh kovenan ini.
4 Tidak seorangpun dapat melarang hak warga negara untuk memasuki negaranya sendiri secara sewenang-wenang.
Dalam konteks international human rights, hak kebebasan bergerak dibatasi Pasal 12 poin 3 International Covenant on Civil and Political Rights.
Keseluruhannya menunjuk pada suatu pembatasan kebebasan bergerak harus berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional berkaitan dengan upaya
melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum. Kebebasan bergerak setiap orang yang diakui sebagai hak asasi manusia
sebagaimana dicantumkan dalam konvensi internasional antara lain Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political
Rights , juga dalam ketentuan Pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hak asasi manusia mengakui dan menjamin kebebasan setiap orang untuk bergerak namun kebebasan yang dimaksud
bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya kebebasan mutlak. Dalam hal ini negara dapat membatasi kebebasan bergerak manusia didasarkan pada pertimbangan
kepentingan suatu negara berdasarkan alasan yang jelas secara hukum dan rasional yakni antara lain untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan
moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan membahas lebih jauh mengenai
kewenangan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikaitkan dengan teori-teori yang dipakai
sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi pisau analisis
dalam penelitian ini antara lain ialah : korupsi sebagai ekstraordinary crime, penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK dalam sistem peradilan pidana, teori
penyelidikan, dan teori HAM.
Kewenangan KPK yang begitu luas salah satu nya adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan ini tentunya tidak terlepas dari alasan bahwa korupsi
merupakan salah satu kejahatan extraordinary crime yang mana korupsi telah merusak seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas. Disatu sisi pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan
dilakukan untuk mempermudah proses penegakan hukum, namun yang perlu menjadi perhatian adalah diperlukannya pengaturan yang lebih jelas dan transparan
mengenai siapa saja yang dapat dilakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dan siapa saja yang tidak diperlukan dilakukannya pencekalan terhadap saksi dalam
tahap penyelidikan tersebut sehingga asas kepastian hukum yang adil, transparansi, dan equality before the law yang dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-
undangan lainnya sebagai HAM dapat terpenuhi. Dengan diberikannya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan termasuk wewenang melakukan pencekalan oleh UU baik dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan, KPK secara otomatis termasuk
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang tentunya mempunyai tugas dan atau tujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah merajalela ini.
Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap
sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut analisis penulis, latar belakang dilakukannya pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah sebagai berikut :
1 Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak melarikan diri keluar
negeri. 2
Untuk membantu proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK. 3
Agar seseorang yang dikenai pencekalan ini tidak menghilangkan barang bukti.
4 Terlibat kasus yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1
Miliar atau lebih. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, KPK sebagai lembaga yang termasuk
dalam sistem peradilan pidana tentu nya harus melindungi dan menghormati hak asasi setiap warga negaranya artinya bahwa KPK harus memperhatikan dengan jeli
mengenai pengenaan upaya paksa pencekalan dalam tahap penyelidikan terhadap seseorang tersebut. Hal ini dikarenakan keterlibatan seseorang dalam tahap
penyelidikan itu masih sangat prematur dan tidak semua peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai
tindak pidana. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini tidak boleh digunakan
sewenang-wenang oleh suatu negara, negara harus tetap menjamin hak atas kebebasan bergerak setiap individu namun juga harus menjalankan kepentingan
nasionalnya. Penggunaan pencegahan dan penangkalan ini harus benar-benar dengan
alasan yang kuat dan rasionil dan berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat yang sesuai dengan kovenan internasional dalam hak sipil dan politik. Selama KPK melakukan pencekalan demi kepentingan hukum dan pengungkapan
kasus pidana, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM. Pencekalan memang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang kecuali dengan alasan yang
dibenarkan hukum, karena orang dapat melakukan pencekalan dengan maksud- maksud tertentu diluar kepentikan penegakan hukum.
Dalam rangka menghormati dan memenuhi hak asasi manusia dalam rangka penerapan dan penggunaan pencekalan sebaiknya adanya aturan yang menentukan
kriteria-kriteria yang menjadi patokan dalam menentukan alasan terkait keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan
masyarakat, perlu adanya definisi lebih lanjut yang dituangkan didalam suatu peraturan. Hal ini berguna untuk membatasi setiap diskresi pejabat-pejabat yang
berwenang yang terlampau jauh melanggar hak asasi manusia.
Selain itu disisi lain pemerintah juga harus membangun sistem pencekalan yang efektif terhadap orang yang dikenakan pencekalan agar tidak dapat kabur
keluar negeri. Dengan sistem pencekalan yang baik yang dapat terintegrasi langsung ke daftar pencekalan pusat disetiap wilayah kantor keimigrasian didaerah diharapkan
langsung dapat melakukan kewenenangannya. Sehingga kejadian-kejadian seperti perginya orang yang dikenai pencekalan keluar negeri dapat dicegah
Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap
hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan
pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional.
118
Pembatasan kebebasan bergerak dalam hal ini adalah pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yang dilakukan oleh KPK
merupakan pembatasan dalam suatu proses hukum dan diatur secara tegas oleh undang-undang, tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab kebebasan bergerak
bukanlah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
4.2. Tolok Ukur KPK Melakukan Pencekalan Terhadap Saksi Dalam