kualitas penegak hukum sendiri, dan belum adanya niat untuk melakukan perubahan reform terhadap instansinya masing-masing.
2.3. Asas Legalitas
Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Asas legalitas
merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality.
Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundang-
undangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege
” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.
61
Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa
terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana.
Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Perumusan asas legalitas menurut Nyoman
Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-
61
Moeljatno, Op.cit, hlm.23.
undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas
legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana nonretroactive
application of criminal laws and criminal sanctions .
62
Sedangkan Andi Hamzah
menerjemahkan dengan terminologi asas legalitas yakni “Tiada suatu perbuatan feit yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang mendahuluinya”.
63
Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
64
Asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana hukum pidana formal. Andi Hamzah
kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena
istilah dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP sama dengan Belanda “ketentuan perundang- undangan” wettelijk strafbepaling sedangkan dalam hukum acara pidana disebut
undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana
tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.
65
62
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm.1.
63
Andi Hamzah, Op.cit, hlm.41.
64
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm.3.
65
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.43.
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana tempus delicti.
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan
dilakukan. Menurut Lamintang, asas legalitas ini yang dalam rumusan bahasa latin yaitu
nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali yang diciptakan oleh Paul
Johan Anselm von Feuerbach” pada abad ke-19 dalam bukunya yang berjudul lehrbuch des Peinlichen Rechts 1801
, yang artinya tidak ada nullum delik, tiada pidana poena tanpa sine terlebih dahulu diadakan preavia ketentuan lege
poenali . Ajaran Feuerbach ini dikemukannya sehubungan dengan pembatasan
keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori Psychoolgise zwang
yang memuat tiga ketentuan yaitu : 1 Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman
haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana. 2 Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan
hukuman hanyalah
dapat dilakukan,
apabila perbuatan
yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.
3 Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbutan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila
dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan undang-undang terhadap pelanggarnya.
66
Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2 Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas.
3 Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
67
Selain itu, menurut Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas, antara lain :
1 Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1 :
Ketentuan Pasal 1 Sv KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, berdasarkan. Pasal 3 KUHP menetapkan bahwa hanya perundang-
undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan wettelijk dalam ketentuan
Pasal 1 KUHP menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate.
Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang- undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh
66
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.132-134.
67
Moeljatno , Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25.
pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten kotamadya dan seterusnya.
2 Lex Certa undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat nilai relatif dari ketentuan ini. Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot
merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan pidana karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna
sebagai pedoman perilaku. 3 Dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan
ketentuan pidana secara analogis nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit ketat di dalam
peraturan perundang-undangan.
68
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat
1 KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “non retroaktif”. Asas legalitas formal
lex scripta dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang statutory, law harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan
undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar nullum crimen sine lege
68
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm.220.
stricta .
69
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidana
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan
peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut retroaktif
akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 empat larangan
prohibitions yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
70
1 “Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law.
2 “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta larangan untuk melakukan analogy
.
3 “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut.
4 “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas.
69
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm. 1.
70
Ibid.
2.4. KPK Dalam Sistem Peradilan Pidana