Karakteristik Matematika Sekolah Memperhatikan Semesta Pembicaraan

42 diselesaikan seperti biasa, tanpa menghiraukan semesta pembicaraanya, maka diperoleh x = 1,5. Tetapi 1,5 bukan bilangan bulat. Maka dikatakan bahwa model tersebut tidak memiliki penyelesaian dalam semesta pembicaraan bilangan bulat, atau penyelesaiannya a dalah “himpunan kosong”.

2.2.7 Karakteristik Matematika Sekolah

Sehubungan dengan karakteristik umum matematika di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus memperhatikan ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika yang dibelajarkan di sekolah, dalam beberapa hal, yaitu: 1 Penyajian. Penyajian matematika harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual peserta didik. Contoh penyajian topik tentang perkalian di SD; pengertian perkalian seharusnya tidak langsung disajikan dalam bentuk matematika, misalnya 3 × 4 = 12, tetapi hendaknya didahului dengan melakukan penjumlahan berulang menggunakan peraga, misalnya kelereng. Dengan peragaan itu, peserta didik mendapatkan pemahaman bahwa walaupun 3 × 4 dan 4 × 3 bernilai sama, yaitu 12, tetapi makna perkaliannya berbeda. Dengan demikian, sudah sejak dari awal pembelajaran, peserta didik diperkenalkan dengan konsep tentang perkalian secara tepat. 2 Pola pikir. Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir induktif, disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual peserta didik. Biasanya di SD menggunakan pendekatan induktif lebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik menangkap 30 43 pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif sudah semakin ditekankan. 3 Semesta Pembicaraan. Semakin meningkat tahap perkembangan intelektual peserta didik, maka semesta pembicaraannya semakin diperluas. Contoh: operasi bilangan bulat pada Kurikulum 2004 di SD dibatasi pada operasi penjumlahan dan pengurangan, di SMP belum diperkenalkan tentang bilangan imajiner atau kompleks. 4 Tingkat keabstrakan. Tingkat keabstrakan matematika juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik. Contoh: di SD dimungkinkan untuk mengkonkretkan objek-objek matematika agar peserta didik lebih memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan objek semakin diperjelas. Contoh: Dalam pembelajaran fakta mengenai bilangan di SD, peserta didik tidak langsung diperkenalkan simbol “2”, “3”, beserta sifat urutannya, tetapi dimulai dengan menggunakan benda-benda konkret dan menyuguhkan sifat urutanrelasi sebagai sifat “lebih dari” atau “kurang dari”.

2.3 Karakter