Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia

perkawinan tidak dicatatkan tidak demikian. Akibatnya manakala salah satu pihak melalaikan kewajiban, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinannya. 7 Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri. Dalam konteks Rechtstate “Negara Hukm”, perkawinan tidak dicatatkan pada dasarnya bertentang dengan tujuan-tujuan hukum, yaitu kesejahteraan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Begitu pula dalam doktrin maqashid al- syar’iyah yang dikemukakan oleh al-Syathibi. 8 Bahwa, dalam perkawian tidak dicatatkan terdapat beberapa tujuan syari’ah yang dihilangkan sehingga menyebabkan ketidaksesuaian sebagai berikut: 9 1. Dalam kasus perkawinan tidak dicatatkan, perkawinan cenderung disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan diragukan. Padahal, Islam mensyariatkan bahwa Perkawinan itu harus diumumkan diketahui halayak ramai, maksudnya agar orang-orang mengetahui bahwa perkawinan telah terjadi dan itu sah. 2. Adanya perlindungan hak perempuan yang diabaikan. Dalam perkawinan tidak dicatatkan, pihak perempuan banyak dirugikan hak-haknya, karena 7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. lihat tujuan perkawinan menurut hukum Islam dalam bab 2 8 Memang dalam karyanya al-Syathibi tidak merumuskan pendapatnya tentang pencatatan perkawinan. Tapi, di sini penulisnya hanya ingin mengkorelasikan teorinya dengan topik yang diangkat dengan menggunakan bahan-bahan bacaan terkait. 9 Sumber; http:www.nasihudin.compencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di- indonesia49, diakses pada tanggal 20-7-2014 kalau terjadi perceraian pihak perempuan tidak mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya sebab tidak dapat dibuktikan perkawinannya. 3. Banyak menimbulkan madlarat terhadap keturunan dari pada maslahatnya. Perkawinan tidak dicatat, menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak mempunyai surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal duniacerai, anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut harta warisan dari ayahnya. 4. Dalam kasus poligami, seorang suami yang tidak mendapatkan izin dari istri biasanya melakukan perkawinan tapi tidak dicatatkan. Perkawinan seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu berbohong kepada istri pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak akan mendapat rahmat dari Allah. Secara umum, menurut Jasmani Mujazim, bahwa perkawinan tidak dicatat di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 10 a. Kesadaran hukum yang tidak diimbangi dengan pemahaman hukum masyarakat yang baik; b. Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap hukum; c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas; 10 Jasmani Muzajin, Fenomena Nikah Sirri dalam Sebuah Negara Hukum, Makalah d. Ketatnya Izin Poligami Pencatatan perkawinan adalah suatu upaya untuk menciptakan ketertiban perkawinan, 11 mengingat bahwa perkawinan merupakan peristiwa hubungan hukum 12 . Persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional sebagaimana diuraikan di atas merupakan hal persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Persoalan tidak hanya ditemukan dalam tataran pengimplentasian norma hukm pencatatan perkawinan. Namun pula muncul dalam perdebatan-perdebatan yang berisfat akademis, yang pembahasannya berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan. 13 Perdebatan-perdebatan tersebut sampai saat ini belum selesai. terlihat dari pembahasan ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan dalam RUU Hukum Materil Peradilan Agama yang hingga saat ini belum disahkan. Bagi kalangan yang mendukung, berpendapat bahwa pencatan perkawinan bertujuan melindungi semua pihak, tidak hanya perempuan namun juga laki-laki dan keturunan. Mengingat perkawinan tidak dicatat alias perkawinan di bawah tangan cenderung menimbulkan mudarat dari pada maslahatanya. Kemudaratan tidak saja terjadi kepada kaum perempuan, namun dapat terjadi pula pada kaum laki-laki dan keturunan. Dalam kasus perceraian, perkawinan tidak tercatat 11 Lihat pasal 5 ayat 1 KHI, “Agar terjadi ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat” 12 Lihat Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, cet. Ke-12, h.556. 13 Sumber: http:www.nasihudin.compencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional- dan-pergulatannya43, diakses pada 18 Juli 2014 lebih mudah bagi pasangan suami istri untuk melakukan percaraian. Sementara perkawinan yang tercatat relatif tidak semudah itu. karena, perceraian harus di pengadilan dimana mereka mendapat nasihat sehingga berdamai. 14 Pencatatan perkawinan juga mempersulit terjadinya poligami. Sebab dalam pencatatan, sebuah kehendak perkawian harus diberitahukan terlebih dahulu dan diperiksa oleh Pegawai Pencatat Nikah. 15 Dalam Islam, memang poligami dibolehkan. Namun, poligami yang dipraktekan sekarang berbeda dengan yang dipraktekkan di masa Rasul. Di masa Rasul, poligami dilakukan secara terang-terangan, berbeda dengan sekarang, praktek poligami sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau tidak dicatatkan di KUA sehingga menimbulkan mudlarat di kemudian hari. 16 Oleh sebab itu poligami dibatasi dan dipersulit melalui pencatatan perkawinan. Kesulitan berpoligami karena pencatatan tersebut terlihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berpoligami. Bagi kelompok yang menolak, yaitu masyarakat muslim yang masih berpegang teguh kepada perspektif fikih tradisional 17 berpendapat bahwa diperketatnya perkawinan melalui pencatatan perkawinan akan lebih besar 14 Sumber: http:www.scribd.comdoc58154536KOMENTAR-RUU-HMPA, diakses pada tanggal 24 Juli 2014 15 Lihat Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahnu 1975 pasal 6 ayat 1 jo pasal 7 jo pasal 8 ayat 2. 16 Sumber: http:www.nasihudin.compencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan- di-indonesia49, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 17 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h.47. menimbulkan mudarat. Apalagi dalam RUU tersebut terdapat ketentuan pidana bagi pelakunya. Menurut mereka, perkawinan tidak dicatatkan selama ini dipahami masyarakat adalah pernikahan yang absah secara agama, sebab memenuhi syarat dan rukunnya secara syar’i. Demikian pula dengan poligami yang telah memenuhi syarat- syarat sah secara syar’i. Kemudian kewajiban pencatatan perkawinan dan pemberian sanksi pidana bagi yang melanggarnya menurut mereka menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini sebagian masyarakat telah mempraktikkan bentuk pernikahan tersebut selama puluhan tahun. 18 Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku, di satu sisi perkawinan harus dicatatkan dan di sisi lain perkawinan tanpa dicatatkan pun tetap diakui dimasyarakat. Sebenarnya, jika ditinjau dari perspektif hukum nasional dan hukum Islam, pencatatan perkawinan memiliki tujuan-tujuan kemaslahatan. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, perkawinan haruslah dicatatkan, sebab tujuan hukum pencatatan dalam sistem hukum nasional ialah demi tercapainya kedamaian hidup antar pribadi 19 dan ketertiban perkawinan. 18 Sumber: http:kabarnet.in20100223nikah-siri-diributkan-zina-siri-dibebaskan diakses pada tanggal 24 Juli 2014 19 Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, h.50. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kedamaian hidup meliputi 2 dua hal, yaitu ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenagan intern pribadi. Kedua hal ini memiliki hubungan dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi- tunggal yang merupakan sepasang nilai yang tidak jarang bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam hukum certaintyzekerheid, memberikan kesebandingan dalam hukum equitybillijkheid, disamping itu juga memberikan nilai keakhlakan spiritualism dan nilai kepentingan kebendaan materialism, dan nilai kebaruan inovatism dan nilai kelanggengan conservatism. Ditinjau dari perspektif hukum Islam, pencatatan perkawinan sebagai kebijakan pemerintah mengandung kemaslahatan, sebagaimana dikenal dalam kaidah fiqih “ل ال طونمل ةيعرلال يعل امل إلال فرت ةةحلص ” , suatu tindakan peraturan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan umat. 20 Dengan demikian, ketundukan terhadap peraturan tersebut merupakan suatu keharusan. 21 Menurut Quraish Shihab, perintah pencatatan perkawinan tidak bertentangan bahkan sejalan dengan semangat al-Quran. 22

B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di

Indonesia. Di dalam hukum pencatatan perkawinan terkandung nilai kepastian hukum. Hal ini dapat ditemukan pada salah satu prinsip perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974, yaitu asas legalitas. Selain berfungsi sebagai penertiban administrasi dan perlindungan hukum bagi masing-masing suami istri, asas legalitas dalam perkawinan juga mempermudah para pihak dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan. Menurut Amin Suma, asas legalitas dalam perkawinan seyogianya dipahami tidak dalam 20 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2003, h.130. 21 Lihat Quran Surat al- Nisa ayat 59 :”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” 22 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.158. Disadur dari M. Quraish Shihab, Wawasan al- Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 1996 h.204. konteks admintrasi semata, idealnya juga harus dipahami bahwa ia memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian pencatatan perkawinan. Labih lanjut, menurut beliau, pencatatan perkawinan justru turut menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilangsungkan sepasang laki- laki dan perempuan. Sehingga, dengan penerapan asas legalitas ini sebagai salah satu asas dalam perkawinan, maka perkawinan tidak tercatat atau perkawinan di bawah tangan di masyarakat manapun dapat ditekan sedemikian rupa. Dari sisi syar ’i, pelegal-fomalan asas legalitas juga sangat ditopang oleh teks wahyu dalam kaitan ini surat al-Baqarah ayat 282:            …….  Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya……. Q.S. Al-Baqarah [2]: 282 Walaupun ayat di atas diturunkan dalam konteks pencatatan dan pembukuan ekonomi perdagangan, khususnya yang dilakukan dalam bentuk perkreditanhutang-piutang, namun tidak ada hambatan apa pun untuk menerapkan aktivitas administrasi catat-mencatat ini dalam transaksi-transaksi lainnya, termasuk di dalamnya akad nikah. 23 23 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, h.188. Dengan demikian, suatu perkawinan haruslah dicatatkan sehingga menjadi perkawinan yang diakui secara legal-formal. Perkawinan yang dicatatkan mendapatkan akte nikah, di mana akte tersebut adalah merupakan bentuk pengakuan negara secara legal-formal sebagaimana dimaksud. Suatu waktu akte tersebut dapat digunakan sebagai bukti, misalnya, jika terjadi perceraian antara suami isteri. Memang dalam hukum perkawinan Islam, pembuktian dengan akte nikah tidak ditemukan, yang ada hanyalah pembuktian dengan saksi. Kedudukan saksi dalam perkawinan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari. 24 Di samping itu, keberadaan saksi menurut Ahmad Safwat 25 bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai public. 26 Namun demikian, posi atau kedudukan saksi yang masuk dalam satu syarat sah perkawinan menghalangi masuknya akte perkawinan sebagai salah satu syarat sah perkawinan. Bila disandingkan, saksi dan akte memiliki posisi yang sama penting dalam sebuah perkawinan, yaitu sebagai alat bukti. Bahkan, menurut Khoiruddin Nasution, kehadiran pencatatan perkawinan dapat 24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.81. 25 Ahmad Safwat adalah seorang sarjana Mesir yang mendorong pembaruan hukum perkawinan di Mesir. Menurutnya, dalam hukum perkawinan, pencatatan perkawinan diharuskan berdasarkan pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna efisien. Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. 26 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.161.