Karya al-Syathibi KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI

Di bagian kedua, al-ahkam, al-Syathibi berbicara tentang hukum taklifi dan hukum wadh‟i. pada hukum taklifi, ia banyak menguraikan hukum mubah dikaitkan dengan kewenangan manusia untuk boleh memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Menurutnya, perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau punya tujuan tertentu bi al-maqashid. Dalam hal ini, al-Syathibi mengemukakan tiga alasan bahwa setiap perbuatan hukum harus deserta dengan niat, lahir dari akal yang sehat, dan tidak merupakan pembenaran di luar kemampuan manusia taklif bi ma la yathaq. Sedangkan pada hukum wadh‟i, al-Syathibi memusatkan perhatiannya pada hukum asbab sebab-sebab. Di sini, ia mengemukakan analisis baru yang bercorak filosofis-teologis. Hukum asbab diuraikannya dalam pengertian hukum kausalitas yang menentukan terjadinya suatu perbuatan dan keadaan. Dalam hal ini, ia menetapkan adanya musabbib Allah sebagai pencipta sebab, tasabbub proses sebab-akibat, dan mutasabbib manusia sebagai pelaku sebab. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asbab tidak dipandang melalui perspektif fikih semata, melainkan juga dengan pemahaman teologis menyangkut hukum kausalitas atau sunatullah pada perbutan manusia. Dalam bagian ketiga, al-maqashid, al-Syathibi membahas maksud Allah dalam menciptakan syariat maqashid al-mukallaf. Dalam menguraikan hal ini, ia menyatakan bahwa Allah menciptakan syariat adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia mengaitakannya dengan pemahaman teologis tentang adanya tujuan Allah dalam berbuat dan mencitpta seperti umumnya dibahas dalam ilmu kalam dan filsafat. Begitupun urainnya mengenai maksud hamba dalam melaksanakan syariat, ia mengaitkannya dengan kemaslahatan. Menurutnya perbuatan manusia haruslah sesuai dengan maksud Allah, yakni menjaga kemashlatahan. Pada bagian keempat, al-adillah, al-Syathibi menguraikan ragam bentuk dan sifat nas yang ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Di samping itu, ia juga mengemukakan peranan akal dalam memahami makna dalil-dalil yang bersifat absolut. Dalam hal ini, akal dapat memahami nilai-nilai universal yang terkandung dalam nas, seperti nilai keadilan, kebaikan, pengampunan, kesabaran, dan kesyukuran yang terdapat pada sesuatu yang diperintahkan; begitu juga nilai kezaliman, kekejian, kemungkaran, penyimpangan dan pelanggaran janji yang terdapat pada sesuatu yang terlarang. Uraian ini menunjukkan bahwa al-Syathibi mengakui kemampuan akal dalam mengetahui nilai baik dan jahat suatu perbuatan. Pada bagian ini pula, ia menunjukkan perbedaan mendasar antara ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah. Menurutnya bahwa ayat-ayat makkiyyah bersifat menetapkan pokok-pokok agama, khususnya pokok-pokok syariat yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di sisi lain, ayat-ayat madaniyyah bersifat merinci dan menyempurnakan. Dan di bagian terakhir, al-ijtihad, al-Syathibi menegaskan bahwa pengetahuan tentang mashlahah sebagai syarat utama seorang mujtahid. Kesesuaian antara hasil ijtihat dan mashlahah sebagai tujuan syariat menjadi kriteria kuatnya ijtihad itu. Dengan demikian, pandangan al-Syathibi tentang mashalahah dalam al-Muwafaqat secara keseluruhan berkaitan dengan paham teologis yang dianutnya 17 Adapun dalam kitab I‟tisham, lebih dari ingin menguraikan perbedaan bid‟ah, mashlalah mursalah, dan istihsan dengan berbagai kaitannya, al- Syathibi membuktikan tuduhan yang berlebihan kepadanya bahwa ia telah melenceng dari jalur agama yang benar dan bahwa ia adalah seroang ahli bid’ah mubdi‟. Ia mengemukan enam buah pandangan yang menyebabkan ia dianggap sebagai mempertahankan kesalahannya itu. Tiga pendapat pertama di antaranya terdiri dari pendapat yang membuatnya dianggap memiliki pandangan yang subversif. Sedangkan pandangan yang keempat, dari kumpulan ahli hukum, ia dianggap terlalu ketat dalam pandangan hukumnya, ia dituduh menghendaki penerapan hukum yang membawa pada penderitaan. Dan pandangan kelima, adalah tuduhan bahwa ia memiliki sikap yang bermusuhan dengan kaum sufi dan menyebarluaskan sikap permusuhan terhadap praktik- praktik bid’aj mereka. Serta terkahir ia dituduh telah keluar dari jama‟ah. Yang menurut al-Syathibi sendiri tuduhan ini didasarkan pada sumsi bahwa jamaah yang harus diikuti didefinisikan sebagai mayoritas umat. 18 17 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.24-27. 18 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, ed. Terjemah, cet. Ke-2, h.241.

C. Metodologi Istinbat Hukum

Salah satu cara untuk dapat memahami hukum Islam adalah dengan mempelajari ushul fiqh, yakni suatu ilmu dasar dalam pembentukan dan pemahaman hukum Islam . 19 Ushul fiqh meletakkan dasar metodologis yang harus digunakan oleh seorang “hakim” dalam menemukan dan menerapkan hukum, dengan kata lain ushul fiqh berupaya untuk menentukan to govern. Di samping itu, ushul fiqh juga merupakan bagian dari epistemologi hukum Islam. 20 Ushul fiqh berupaya menjelaskan asal-usul, hakikat, dan sistem hukum Islam, juga menjelaskan secara terperinci cara menganilisis hukum dalam kategorisasi yang berbeda-beda. Secara epistemologis, hukum Islam harus digali dari sumber-sumbernya yang dibantu dan disempurnakan oleh sistem penafsiran yang otoritatif. 21 Untuk memahami makna ushul fiqh, dapat dilihat dari pengertian ushul fiqh itu sendiri. Yaitu, “pengtahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum- hukum syara‟ mengenai perbuatan manusia dari dalil- dalilnya yang terinci.” Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah “himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil 19 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 20 Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, Jakarta: CV Artha Rivera, h.3. 21 Abdul Mugits, Ushul Fikih Bagi Pemula, h. 4. Penafsiran otoritatif merupakan penafsiran yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip metodologis yang diberikan ushul fiqh yang berperan sebagai acuan teoritis dan praktis yang bersifat standar. dalil hukum- hukum syara‟ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.” 22 Pengertian ini menunjukkan bahwa ushul fiqh berbicara pada bidang muamalah yang dalam pengertian umumnya yaitu mengatur tata hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat 23 dengan menggunakan dalil-dalil atau sumber-sumber yang terperinci. Dalam hukum Islam, dalil-dalil atau sumber-sumber yang dimaksud adalah ada yang berasal dari dimensi Ilahi atau disebut dengan istilah al-wahyu al-Ilahy dan ada yang berasal dari potensi insani yang disebut dengan al-ijtihady. 24 Yang termasuk al-wahyu al-Ilahy adalah al-Quran sebagai wahyu langsung dari Allah Swt, dan sunnah hadits Nabi sebagai wahyu yang tidak langsung yang menjelaskan al-Quran. Sedangkan al-ijtihady adalah proses upaya penggalian melalui akal pikiran manusia ra‟yu dari al-wahyu al-Ilahy bagi masalah-masalah yang belum jelas atau tidak secara tegas disebut hukumnya dalam al-Quran. Jika dilihat menurut urutan tertib sistematikan dalil hukum Islam, maka al-Quran menempati dalil yang utama dalam urutan mashadir al-ahkam. Adapun sunnah hadits menempati posisi kedua dalam dalil hukum atau mashadir al-ahkam. 25 Sedangkan al-ijtihady berada pada 22 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, edisi terjemah, h.2. lihat juga buku asli dalam bahasa arab, Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Daar al-tTaraatsi, h.11. 23 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.72. 24 Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h.35. 25 Suparman Usman, Hukum Islam, h.36. urutan ketiga. Ia digunakan manakala suatu masalah belum ditemukan atau belum dijelaskan hukumnya dalam al-Quran atau sunnah. 26 Kedudukan al-ijtihad pada posisi ketiga menempati posisi yang ideal mengingat bahwa al-Quran sebagai sumber utama dalam hukum Islam, bukanlan sumber yang memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terinci. Umumnya ia hanya memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat fundamental. Begitu pula sunnah Nabi, sepanjang mengenai soal „muamalah’, pada umumnya, hanya mengatur kaidah-kaidah yang bersifat umum pula. Oleh karena itu, al-ijtihad sebagaimana disebutkan di atas berfungsi memperjelas secara rinci. Dengan maksud agar kedua sumber, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi dapat diterpakan pada atau dalam kasus-kasus tertentu dalam kehidupan masyarakat. 27 Dengan demikian dapat kita katakan bahwa al-ijtihad merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan adanya. Al-ijtihad dalam kajian ushul fiqh dapat dilakukan oleh secara kolektif atau ijtihad jama‟iy yang dikenal dengan ijma‟, atau secara individual ijtihad fardyi yang selanjutnya dikenal dengan qiyas. 28 Ijtihad jama‟iy atau ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah tentang suatu 26 Suparman Usman, Hukum Islam, h.37. 27 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.75. 28 Suparman Usman, Hukum Islam, h.52.