Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di

Dengan demikian, suatu perkawinan haruslah dicatatkan sehingga menjadi perkawinan yang diakui secara legal-formal. Perkawinan yang dicatatkan mendapatkan akte nikah, di mana akte tersebut adalah merupakan bentuk pengakuan negara secara legal-formal sebagaimana dimaksud. Suatu waktu akte tersebut dapat digunakan sebagai bukti, misalnya, jika terjadi perceraian antara suami isteri. Memang dalam hukum perkawinan Islam, pembuktian dengan akte nikah tidak ditemukan, yang ada hanyalah pembuktian dengan saksi. Kedudukan saksi dalam perkawinan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari. 24 Di samping itu, keberadaan saksi menurut Ahmad Safwat 25 bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai public. 26 Namun demikian, posi atau kedudukan saksi yang masuk dalam satu syarat sah perkawinan menghalangi masuknya akte perkawinan sebagai salah satu syarat sah perkawinan. Bila disandingkan, saksi dan akte memiliki posisi yang sama penting dalam sebuah perkawinan, yaitu sebagai alat bukti. Bahkan, menurut Khoiruddin Nasution, kehadiran pencatatan perkawinan dapat 24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.81. 25 Ahmad Safwat adalah seorang sarjana Mesir yang mendorong pembaruan hukum perkawinan di Mesir. Menurutnya, dalam hukum perkawinan, pencatatan perkawinan diharuskan berdasarkan pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum ini tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna efisien. Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. 26 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.161. mengganti kehadiran saksi sebagai rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya perkawinan. 27 Bila dibandingkan, antara urgensitas saksi dan pencatatan perkawinan, maka pencatatan berdasarkan pendapat di atas, lebih relevan dalam penegakan hukum di Indonesia. Urgensitas itu terlihat dari maslahat pencatatan, yang oleh Rafiq disebut manfaat berisfat preventif dan represif. Secara preventif, pencetatan perkawinan dilakukan untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum dan kepercayaan itu, maupun menurut per-UU-an. 28 Secara represif, pencatatan bertujuan untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dapat dibuktikan karena tidak dicatat. 29 Perkawinan tidak dicatat merupakan perkawinan yang sering kali menimbulkan madharrat terhadap istri danatau anak. 30 Perkawinan seperti ini jelas bertentangan dengan maqashid al- syari’ah dalam mewujudkan maslahat manusia, tertuama dalam rangka hifdz an-nafs, hifdz al-nasl, dan hifdz al-mal. Dalam rangka hifdz an-nafs, melalui perkawinan seorang laki-laki dan perempuan hidup saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan 27 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h.165. 28 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.111. 29 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117. 30 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49. spiritual dan materil. 31 Keadaaan tersebut tentu harus ditopang dan diperkuat oleh norma hukum yang berlaku. Kemudian, dalam rangka hifdz al-nasl, pencatatan merupakan salah satu sarana untuk melindungi keturunan dalam perkawinan. Pencatatan dirasa perlu untuk memberi kepastian hukum terhadap kedudukan nasab. 32 Dalam kasus perkawinan tidak dicatat, kedudukan anak menjadi terancam dalam beberapa hal tertentu, seperti hilangnya hak nafkah dan waris. Jika ini terjadi, tentu bertentang dengan ajaran Islam yang memandang bahwa kemurnian nasab sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya. 33 Dan dalam rangka hifdz al-mal, bawha dalam kasus seorang istri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suami, maka berhak atas segala harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan. Pentingnya harta adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari demi keberlangsungan hidup. Hal ini perlu disadari, sebab salah satu kebutuhan fundament manusia adalah safety of self and property. 34 Karena harta merupakan hak yang harus diperoleh istri sepeninggalan suami baik karena cerai atau meninggal dunia, maka ia harus dibuktikan status perkawinannya. 31 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.25. 32 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2013, h.10. 33 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, h. 7. Beberapa derivasi dari hak kewarisan meliputi hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan warisan, bahkan konsep kemurhiman dalam Islam akibat hubungan perkawinan persemendaan. 34 Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, h.5. Dalam masyarakat Islam tradisional, pembuktian perkawinan cukup dengan memanggil saksi saat perkawinannya mereka dilakukan. Melalui jalan musayawarah dari kedua belah pihak, permasalahan pembuktian dapat terselesaikan. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat Islam modern, ketika perselisihan harta tidak dapat terselesaikan dengan jalan musyawarah keluarga, maka penyelesaiannya dilakukan di pengadilan. Dalam penyelesaian di pengadilan ini, baik pihak suami maupun istri harus mampu membuktikan perkawinan mereka. Bila perkawinan mereka dapat dibuktikan dengan akta nikah, penyelesaian perselisihan harta akan menjadi mudah dan pasti. Adapun jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, penyelesaian perselisiahan menjadi sulit, bahkan menimbulkan kerugian kepada pihak istri. Telah kita ketahui bersama, bahwa perkawinan yang tidak memiliki akta nikah, cenderung dilakukan di bawah tangan atau tanpa sepengetahuan Pegawai Pencatat Nikah. Jika merujuk pada fatwa MUI, perkawinan di bawah tangan ini hukumnya adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat, tetapi menjadi haram jika menimbulkan madharrat. Oleh sebab itu, maka perkawinan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah untuk menolak dampak negatifnya. 35 Dampak negatif timbul manakala terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan atau syiqaq antara suami dan istri, maka pihak lain tidak dapat 35 Asrorun Ni’am Sholeh,Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.49. melakukan upaya hukum “pembelaan diri”, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. 36 Lebih memprihatinkan lagi adalah jika tidak diakuinya seorang istri, tidak berhak atas nafkah, dan waris serta anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah. 37 Padahal, pencatatan secara administratif dilakukan oleh negara dengan maksud agar perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Di samping itu, pembuktian otentik ini melindungi kepentingan masing-masing suami-istri sehingga terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses permbuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU No. 11974. 38 Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan apek fikih saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang. Dengan demikian dapat terwujud ketertiban dan keadilan dalam perkawinan. 39 Kebijakan tersebut, tentu tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip hukum Islam, bahkan dapat dikatakan sejalan. Sebab, suatu tindakan peraturan 36 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.110. 37 Muhammad Zain, dkk, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, 2005, h.39 38 Nurul Irfan, Nasab Status Anak dalam Hukum Islam, h.145. 39 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h.117. pemerintah berintikan jaminan kepentingan dan kemaslahatan umat manusia, “ ةةحلصاالطونملةيعرلاليعل املإلالفرت ”, 40 Melalui pencatatan perkawinan juga, segala mudharat yang timbul dalam perkawinan dapat diminimalisir. Sebaliknya, jika perkawinan tidak dicatat akan timbul mudharat daripadanya. Potensi mudharat ini dalam hukum Islam harus dihilangkan, sebagaimana dikenal dalam kaidah fiqh “ ازيلررلا ”. Lebih dari itu, bahkan Islam sendiri memerintahkan agar tidak melakukan kemudharatan kepada orang lain danatau membalas kemudharatan dengan kemudharatan “ رارلول ررل ”. 41 Selain itu, menurut Bagir Manan, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban hukum legal order yang berfungsi sebagai instrument kepastian hukum dan kemudahan hukum. 42

C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan

Di Indonesia, pencatatan perkawinan merupakan norma yang terkodifikasi dalam peraturan per-UU-an 43 , yaitu dalam UU No. 1 Tahun 1974, Permen No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam. Norma berlaku secara nasional, karena, hukum dalam artian undang-undang adalah hukum nasional. Dikatakan demikian karena 40 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h.130. 41 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam,h.78. 42 Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.159. 43 Lihat pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan, pasal 5 Kompilasi Hukum Islam hukum macam ini diberlakukan sebagai standar untuk rujukan sentral perilaku warga negara. Hukum ini dibentuk secara sengaja dan rasional melalui kesepakatan antara wakil-wakil rakyat dalam badan legislative. 44 Rasionalitas Pen-taqnin-an pencatatan perkawinan ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan hukum modern, yaitu hukum tertulis codified law sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. 45 Upaya kodifikasi ini dilakukan secara lengkap dan sistematis dalam undang-undang, dengan tujuan untuk memperoleh kepastian hukum, pernyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. 46 Menurut Amin Suma, kodifikasi hukum dalam pandangan hukum Islam sesungguhnya didukung sebagai respon perkembangan zaman modern. 47 Dengan demikian, dapat dikonklusikan, bawah tidak terdapat pertentangan tentang norma pencatatan perkawinan antara hukum nasional dan hukum Islam. Sebab itu, menaati perintah norma tersebut berarti menaati ajaran agama Islam dan melaksanakannya merupakan suatu keharusan. Karena, hukum “pencatatan perkawinan” melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, keturunan, dsb. terhadap yang merugikannya. 48 44 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyrakat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, h.19. 45 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 46 C.S.T. Kansil, Penganar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1989, cet. Ke-8, h.72. 47 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.171. 48 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011, cet. Ke- 34, h.11. Dalam ikatan perkawinan, terdapat kewajiban yang harus ditunaikan baik suami maupun istri, begitu pula hak masing-masing yang dapat dituntut sewaktu-waktu jika tidak dipenuhi. Dalam sistem hukum kekeluargaan di Indonesia, 49 hak dan kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 50 Manakalah kewajiban tidak ditunaikan atau sulitnya memperoleh hak oleh salah satu pihak, maka pihak lain dapat menuntut dengan dalih bahwa mereka benar-benar memiliki hubungan yang sah dengan dibuktikan melalui akta nikah. Namun, menjadi persoalan adalah ketika salah satu pihak tidak dapat menuntut haknya karena perkawinan tidak dapat dibuktikan atau tidak valid. Hal semacam ini tentu memicu konflik hubungan perkawinan di antara keduanya. Secara teoritis, dalam Islam ketika timbul konflik antara suami istri, maka penyelesaiannya dengan mamanggil keluarga dari kedua belah pihak menjadi hakam, yaitu dari pihak perempuan dan laki, untuk memberikan nasihat. 51 Penyelesaian konflik semacam ini bersifat tradisional sebab tidak memerlukan proses litigasi. 52 49 Hukum kekeluargaan yang dimaksud adalah hukum tertulis codified law. 50 Lihat pasal 30 sd 34 UU No. 11974 dan pasal 77, 78, 79, 80, 81, dan 83 Kompilasi Hukum Islam. 51 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 242. Proses penyelesaian seperti ini ditemukan dalam al-Quran, surat an-Nisa ayat 35. 52 Penyelesaian kasus dengan cara non-litigasi ini bersifat sederhana dan tidak memakan waktu dan biaya banyak. Penyelesaiannya cenderung lebih cepat. Namun bukan berarti penyelesaian konflik perkawinan dengan cara ini bukan berarti tidak mengandung persoalan, jika konflik selesak dengan perceraian maka akan menimbulkan kerugian terutama kaum wanita.