Biografi al-Syathibi KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI

Dikisahkan, bahwa pada saat itu sering terjadinya pertumpahan darah dan pemberontakan, dan penghukuman kepada setiap orang yang menyeru kepada cara beragama yang menyimpang dari agama. Hampir semua ulama saat itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup, bahkan tak jarang mereka yang tidak tahu menahu soal agama diangkat oleh raja sebaga dewan fatwa. Alhasil, tidak mengherankan jika fatwa-fatwa yang dihasilkan saat itu sangat jauh dari kebenaran. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, al-Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama tersebut dengan mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah, serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Pertentangan pendapat antara al Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dihindarkan. Terlihat dalam setiap kali al-Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena melihat setiap fatwa al Syathibi yang bertentangan dengan mereka, akhirnya mereka melecehkan, mencerca, mengucilkan al Syathibi dan bahkan ia dianggap telah murtad. Selain persoalan fatwa, praktik tasawuf ulama dan ta‟ashub berlebihan ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap mazhab Maliki juga menjadi hal lain disoroti al Syathibi saat itu. Ia mengharamkan praktik tasawuf tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesungguhnya. 12 12 Praktek tasawuf yang dianggap sesat dan diharamkan oleh al-Syathibi karena mereka berkumpul di malam hari, kemudian berzikir bersama dengan suara yang sangat keras dan diakhiri Menurutnya, cara mereka mendekatkan diri tidak seperti yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, cara mereka adalah bathil dan terlarang. Begitu pula ta‟ashub yang berlebihan, dimana mereka memandang setiap orang yang bukan mazhab Maliki adalah sesat. 13 Pola pikir masyarakat Andalusia ini berbeda dengan al-Syathibi yang juga seorang ulama Maliki,. al- Syathibi tetap menghargai ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menadi sasaran tembak nomor satu.

B. Karya al-Syathibi

Al-Syathibi menulis sejumlah karya, beberapa di antaranya ialah: Syarh al- Jalil „ala al-Khulashah fi al-Nahwi, al-Muwafaqat, al-I‟tisham, al-Ifadah wa al-Insyadah, Unwan al- Ittifaq fi „Ilm al-Isytiqaq, Ushul al-Nahwi dan sejumlah fatwanya. Dari beberapa karyanya tersebut, terdapat dua karyanya yang telah diterbitkan, yaitu al-Muwafaqat dan al- I‟tisham. Sedangkan karya-karyanya yang lain diketahui hanya melalui beberapa catatan sejarah. Al-muwafaqat dengan tarian serta nyanyian bersama sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul- memukul dadanya bahkan kepalnya sendiri. 13 Sebagaimana diketahui, masyarakat Andalusia memegang erat madzhab Maliki sejak mereka dipimpin oleh raja Hisyam al-Ahwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180 H yang menjadikan madzab ini sebagai madzab resmi negara. Seoalah sudah amat resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki dan saking berlebihannya, mereka tidak lagi mengenal, bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya, terutama madzhab Hanafi. Sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka sebagai masyarakat yang tidak lagi mengenal al-Quran dan al- Muwattha’ Imam Malik. Dikutip dari Muhammad Fadhil bin Asyur, A‟lam al Fikr al Islamy, Tunisia: Maktabah an Najah, tt., h.10. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.183. merupakan karya monumental al-Syathibi tentang mashlahah 14 , yang di dalamnya tertuang konsep teologi dan ushul fiqh-nya. 15 Sedangkan kitab al- I’tisham yang juga merupakan kitab ushul fiqh, mengandung pembahasan tentang arti bidah dan bagian-bagiannya, baik secara hakiki maupun idhafi. Di dalamnya pula diuraikan perbedaan antara bid’ah, mashlalah mursalah, dan istihsan dengan berbagai kaitannya. 16 Kitab al-Muwafaqat mengandung lima pokok bahasan, yaitu 1 muqaddimah; 2 al-ahkam; 3 al-maqashid; 4 al-adalah; dan 5 al-ijtihad. Menurut Hamka Haq, pada bagian pertama, al-Syathibi mengemukakan beberapa kaidah pokok yang menjadi dasar pemikirannya secara umum dan sebagai pengantar bagi uraian-uraian pada bagian selanjutnya. Dari tiga belas muqaddimah, ia menunjukkan bahwa konsep mashlahah adalah didasarkan pada dalil-dalil yang pasti qath‟i. Dalil-dalil qath‟i yang dimaksud bukanlah satuan-satuan nas atau teks, melainkan hasil induksi istiqra‟i yang ditarik dari makna keseluruhan nas. Di samping itu juga menggunakan dalil akal yang melahirkan hukum-hukum akliah yang banyak digunakan dalam ilmu kalam, yaitu wajib, boleh, dan mustahil. 14 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.21. 15 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h. 24. Sebagai karya yang bernuansa filosofis-teologis, al-Muwafaqat tidak mudah dicerna. Kesulitan memahaminya bukan karena gaya bahasa dan susunannya, meliankan karena buku tersebut mengandung aspek lain di luar ushul fiqh. Menurut Khalid Mas’ud, untuk memahami kitab ini disamping kita memiliki pengatahuan fikih dan ushul fiqh, kita perlu memiliki pengetahuan di bidang teologi, filsafat, dan tasawuf untuk memahami kandungan buku tersebut. 16 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.20-23. Di bagian kedua, al-ahkam, al-Syathibi berbicara tentang hukum taklifi dan hukum wadh‟i. pada hukum taklifi, ia banyak menguraikan hukum mubah dikaitkan dengan kewenangan manusia untuk boleh memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Menurutnya, perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau punya tujuan tertentu bi al-maqashid. Dalam hal ini, al-Syathibi mengemukakan tiga alasan bahwa setiap perbuatan hukum harus deserta dengan niat, lahir dari akal yang sehat, dan tidak merupakan pembenaran di luar kemampuan manusia taklif bi ma la yathaq. Sedangkan pada hukum wadh‟i, al-Syathibi memusatkan perhatiannya pada hukum asbab sebab-sebab. Di sini, ia mengemukakan analisis baru yang bercorak filosofis-teologis. Hukum asbab diuraikannya dalam pengertian hukum kausalitas yang menentukan terjadinya suatu perbuatan dan keadaan. Dalam hal ini, ia menetapkan adanya musabbib Allah sebagai pencipta sebab, tasabbub proses sebab-akibat, dan mutasabbib manusia sebagai pelaku sebab. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asbab tidak dipandang melalui perspektif fikih semata, melainkan juga dengan pemahaman teologis menyangkut hukum kausalitas atau sunatullah pada perbutan manusia. Dalam bagian ketiga, al-maqashid, al-Syathibi membahas maksud Allah dalam menciptakan syariat maqashid al-mukallaf. Dalam menguraikan hal ini, ia menyatakan bahwa Allah menciptakan syariat adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ia mengaitakannya dengan