Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional

terlaksananya perkawinan agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan- ketentuan agama Islam. Undang-Undang tersebut di atas kini telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang ini, pencatatan perkawinan diposisikan pada tempat yang urgen. Di mana ia menjadi bukti atas perkawinan yang telah dilaksanakan. Sungguh pun demikian, menurut Sayuti Thalib pencatatan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. 47 Artinya, dicatat atau tidak, suatu perkawinan tetaplah sah dan diakui. Perkawinan tetap sah bila dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftar. Hal ini didasarkan pada Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 Nomor. 2319 yang menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak didaftarkannya nikah tersebut. 48 47 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.70. 48 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.64. 41

BAB III KONSEP MASHLAHAH AL-SYATHIBI

A. Biografi al-Syathibi

Nama lengkap al-Syathibi adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al Lakhmi al-Syatibi al Gharnathi. Menurut kebanyakan pengamat dan ulama, ia dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan meninggal 790 H atau 1388 M. 1 Masa pendidikannya tidak begitu diketahui dengan jelas. Namun, satu hal yang patut diketahui adalah, bahwa pada masanya, Granada menjadi pusat pendidikan di Spanyol ditandai dengan berdirinya Universitas Granada pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajjaj. Sehubungan dengan itu, menurut Hamka Haq, dapat diduga bahwa proses belajar mengajar yang dijalani al-Syathibi banyak terkait dengan universitas tersebut. Al-Syathibi belajar pada sejumlah guru, antara lain adalah Ibn al- Fakhkhar al-Ilbri, 2 Abu al-Qasim al-Sabti, 3 Abu Abdillah al-Balinsi, Abu Abdillah al-Syarif al-Tilimsani, 4 Abu „Abdullah al-Muqqari, 5 al-Khathib Ibn al- 1 Sebenarnya tempat kelahiran al-Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau di JativaXativaSyatibah. Sebab dalam bebera literature hanya disebutkan bahwa al-Syathibi hanya nasya’a bi Gharnathah, hanya tumubuh bukan lahir. Lihat Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.82. 2 Ia terkenal sebagai guru tatabahas syaikh al-nuhat di Andalusia, dari guru ini pula al- Syathibi belajar bahas Arab. 3 Adalah pengarang kita tafsir terkenal menganai Maqshurah-nya Ibn Hazm, juga guru al- Syathibi dalam bahasa Arab. 4 Dari Abu Abdillah al-Syarif al-Tilimsani, al-Syathibi belajar filsafat. al-Talimsani merupakan orang ya ng bersifat kritis terhadap Raziisme bermazhab kalam Mu’tazilah. Ia menguasai ilmu-ilmu Marzuq, Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi, 6 Abu al-Abbas al-Qabab, dan Abdillah al-Hifar. Selain berguru al-Syathibi juga memiliki murid, antara lain adalah Abu Bakr ibn „Ashim 7 dan, saudaranya, Abu Yahya ibn „Ashim, serta Abu „Abdillah al-Bayani. 8 Ketika ia hidup di Granada yang saat itu dipimpin di bawah keperintahan Bani Ahmar, 9 kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan Islami, bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi tersebut semakin parah ketika tumpu kekuasaan dipegang oleh Muhammad al Khamis yang bergelar al Ghany Billah. 10 Al-Syathibi juga sering mendapat tuduhan bahwa ia berbuat bid’ah. 11 tradisional maupun rasional. Sebagai guru ia mengajarkan kepada muridnya dengan menggunakan buku-buku Ibn Sina dan Ibn Rusyd. 5 Juga pengarang sebuah kitab tatabahasa Arab dan terkenal sebagai pemegang muahaqqiq, ahli dalam penerapan prinsip-prinsip umum mazhab Maliki pada kasus-kasus tertentu. sebagai guru, ia memperkenalkan kepada al-Syathibi Raziisme dalam ushul fiqh-nya dan filsafat, kalam, serta ilmu- ilmu rasional al-ulum al- „aqliyah. Maqqari dikenal karena bukunya al-Haqa‟iq wa‟I-raqa‟iq fi al- thasawwuf. 6 Abu „Ali al-Manshur al-Zawawi, al-Syathibi belajar Filsafat dan ilmu kalam. Dia datang ke Granana pada tahun 7531352, dikenal dan dipuji karena kesarjanaannya dalam ilmu-ilmu tradisional dan rasional dan sering juga terlibat dalam petentangan pendapat dengan yuris-yuris di Granada. 7 Abu Bakr ibn „Ashim pernah menjabat sebagai kadi di Granada, dan terkenal dengan karyanya, Tuhfaf al-Hukkam, yang merupakan kompilasi hukum dan menjadi pegangan hakim di Granada. 8 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, Erlangga, 2007, h.17-18. 9 Daulah ini Berjaya selama dua abad enampuluh tahun, yaitu sejak tahun 635-897 H. dengan runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di Andalusia. Granada merupakan kerjaan Islam Spanyol yang didirikan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn Nashr, yang dikenal dengan panggilan Ibn al-Ahmar. Menjelang akhir kekuasaan Bani Ahmar ini, dalam kota tersebut terdapat sekitar setengah juga jiwa penduduk, terdiri dari orang-orang Syiria dan Yahudi. 10 Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaaan, 2008, h.183. 11 Hamka Haq, Al-Syathibi, Apek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat, h.20. Dikisahkan, bahwa pada saat itu sering terjadinya pertumpahan darah dan pemberontakan, dan penghukuman kepada setiap orang yang menyeru kepada cara beragama yang menyimpang dari agama. Hampir semua ulama saat itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup, bahkan tak jarang mereka yang tidak tahu menahu soal agama diangkat oleh raja sebaga dewan fatwa. Alhasil, tidak mengherankan jika fatwa-fatwa yang dihasilkan saat itu sangat jauh dari kebenaran. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, al-Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama tersebut dengan mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah, serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Pertentangan pendapat antara al Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dihindarkan. Terlihat dalam setiap kali al-Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena melihat setiap fatwa al Syathibi yang bertentangan dengan mereka, akhirnya mereka melecehkan, mencerca, mengucilkan al Syathibi dan bahkan ia dianggap telah murtad. Selain persoalan fatwa, praktik tasawuf ulama dan ta‟ashub berlebihan ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap mazhab Maliki juga menjadi hal lain disoroti al Syathibi saat itu. Ia mengharamkan praktik tasawuf tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesungguhnya. 12 12 Praktek tasawuf yang dianggap sesat dan diharamkan oleh al-Syathibi karena mereka berkumpul di malam hari, kemudian berzikir bersama dengan suara yang sangat keras dan diakhiri