Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah periode sahabat dan tabi’in, juga tidak ditemukan pembahasan yang berkaitan dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Hal ini mengambarkan, seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan merupakan aspek yang terlupakan dalam pembahasan di kitab-kitab fiqh klasik, bahkan dalam kitab- kitab fiqh yang datang kemudian. 39 Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pencatatan perkawinan tidak begitu mendapat perhatian dalam hukum Islam, walaupun ada ayat dalam Al- Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Utang piutang misalanya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebutkan bahwa apabila kita bermuamalah melakukan hubungan keperdataan tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan hendaklah kita menuliskannya atau mencatatkannya. Mengenai pencatatan perkawinan yang tidak begitu mendapat perhatian dalam hukum Islam, mungkin dapat dikemukakan beberapa analisis. Pertama, adanya larangan menulis sesuatu selain Al- Qur’an yang mengakibatkan budaya tulis menulis tidak begitu berkembang dibandingkan budaya hafalan oral; kedua, lanjutan dari yang pertama, akibat dilarangnya menulis selain Al- Qur’an 39 M. Yusar, Makalah, Pencatatan Perkawinan: Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka mereka lebih mengandalkan hafalan ingatan; ketiga, tradisi walimat al- ‘ursy yang merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah perkawinan; keempat, terdapat kesan perkawinan yang berlangsung pada masa- masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda. 40 Namun, Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika yang terus berubah, empat analisis yang dikemukakan tadi dianggap tidak relevan lagi sehingga memuntut perubahan-perubahan yang lebih relevan dan sesuai kebutuhan zaman kekinian. Pergeseran budaya lisan oral kepada budaya tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akad, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta. 41 Akta merupakan bukti otentik dari sebuah perkawinan. Tanpa akta, pengakuan terhadap sebuah perkawinan tidak mendapatkan legitimasi yang kuat di mata hukum. Dengan demikian, maka pencatatan perakawinan dirasa perlu untuk menjadi dasar legitimasi sebuah perakwinan. Semestinya kita tahu, bahwa dimuatnya pencatatan perakawinan ke dalam UU No. 11974 adalah untuk untuk mewujudkan ketertiban perkawinan. Di sisi lain, dengan dimuatnya ketentuan pencatatan perakawinan dalam UU tersebut, adalah sebagai upaya 40 Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta; Kencana, 2006, cet. Ke- 3, h.120. 41 Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.121. untuk menjaga kesucian mitasaqan galidzan aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. 42

D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional

Pasal 2 ayat 2 dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundanga-undangan yang berlaku. 43 UU ini menghendaki perkawinan dicatatakan dengan tujuan agar tiap-tiap perkawinan tertib, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum Islam. 44 Perkawinan yang dilakukan dengan sistem perkawinan Islam dicatatkan di kantor urusan agama KUA kecamatan setempat. Adapun perkawinan yang dilakukan menurut hukum perdata Burgeriljk Weetbook dicatatkan di Kantor Catatan Sipil demikian menurut Arso Sostroatmodjo dan Wasit Aulawi dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia. 45 Di samping adanya pandangan tentang keharusan pencatatan perkawinan, terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan merupakan suatu keharusan tetapi sesuatu yang hukumnya sunnah. Pandangan tersebut dikemukan oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatatkan. Pandangan ini didasarkan pada 42 Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, 2007, cet. Ke-2, h.26. 43 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, h. 64. 44 Zanuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.26. 45 Arso Sostroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 h.51. argumentasi bahwa pencatatan perkawinan dapat dikategorikan sebagai implementasi hukum pesta perkawinan atau walimah. Yakni di mana Islam memandang walimah yang dilaksanakan setelah akad nikah memiliki tujuan agar masyarakat mengtahui kedudukan suami isteri bersangkutan telah sah. 46 Sejatinya ketentuan tentang pencatatan perkawinan dahulu telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tetang Pencatatan Nikah, Talaq, dan Rujuk. Yang kemudian berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2 Novemeber 1954 melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talaq, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura. Keberadaan Undang-Undang tersebut kemudian mencabut peraturan perundangan mengenai pencatatan perkawinan yang telah ada sebelumnya, yaitu Huwelijks Ordonantie Stbl. 1929 – 348, Vorstenladsche Huwelijks Ordonnantie Stbl. 1938 -98 dan Huwelijks Ordonantie Buitengewesten Stbl 1932 -482. Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang dikemukan di atas dalam pasal 1 ayat 1 menentukan bahwa, “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pegawai pencatatan nikah bertugas mengawasi 46 Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatatkan, h.152. terlaksananya perkawinan agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan- ketentuan agama Islam. Undang-Undang tersebut di atas kini telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang ini, pencatatan perkawinan diposisikan pada tempat yang urgen. Di mana ia menjadi bukti atas perkawinan yang telah dilaksanakan. Sungguh pun demikian, menurut Sayuti Thalib pencatatan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. 47 Artinya, dicatat atau tidak, suatu perkawinan tetaplah sah dan diakui. Perkawinan tetap sah bila dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftar. Hal ini didasarkan pada Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 Nomor. 2319 yang menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak didaftarkannya nikah tersebut. 48 47 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.70. 48 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.64.