Pengertian Perkawinan Pengertian, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan

kalangan ulama Muta’akhirin, bahwa perkawinan adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga suami- istri dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban-kewajiban masing-masing. 6 Berbagai macam perspektif di atas, pandangan penulis tidak jauh berbeda, bahkan antara satu pendapat dan pendapat lain saling mendukung dan melengkapi. Artinya, esensi pengertian perkawinan tetaplah sama. Dimana perkawinan sebagai lembaga sosial 7 adalah cara untuk mempertemukan seorang laki dengan seorang perempuan melalui akad atau perjanjian untuk memenuhi naluri kemanusiaannya. Seperti menyalurkan hasrat seksualnya, ingin berkembang biak dan melestarikan kehidupannya melalui keturunan, memimpin dan lainnya. Namun, dafinisi perkawinan menurut para ulama fiqh di muka, memberi kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki. Di mana perempuan dilihat dari aspek biologisnya semata. Ini terlihat dalam penggunaan kata al- wat’ atau istimta’ yang semua konotasinya seks. Implikasi lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan. 8 6 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h.4. 7 Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987. h.92. 8 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h. 4. Disadur dari Amiur Nurdin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004 h.45. Berbeda halnya dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 9 Pengertian perkawinan dalam UU tersebut, memiliki implikasi makna yang berbeda dari pengertian perkawinan dalam fiqh. Di mana makna pengertian perkawinan dalam UU itu tidak hanya dilihat dari aspek fiqih, tapi juga dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial dan agama. Dengan maksud agar pemahaman kita tentang pengertian perkawinan tidak hanya seperti yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Tiga segi pandangan tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut: 10 a Perkawinan dilihat dari segi hukum. Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat atau “mitsaqon ghalizhan”. Terlihat dalam firman Allah Swt pada Q.S. an-Nisa ayat 21.             9 Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat 2. Sekiranya perkawinan berarti hubungan lahir dan batin, maka perkawinan bukan berarti permainan. Fuad Moh. Fachrudiin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, h.4. 10 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.47. Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. Q.S. an- Nisa [4]: 21 Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya: - Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlabih dahulu yaitu dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu; - Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur thalaq, kemungkinan fasaq, syiqaq dan sebagainya. b Perkawinan dari segi sosial Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. c Perkawinan dari segi agama Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Q.S. an-Nisa ayat 1.  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  لل  ل  ل  ل  ل  ل  لل  ل  ل  ل  ل  ل  للل ل Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Q.S. an-Nisa [4]: 1

2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan sebab perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani. Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta dan ridha Ilahi. 11 Oleh karena itu, aturan perkawinan dalam Islam merupakan tuntutan agama yang patut mendapat perhatian, sebab tujuan melangsungkan perkawinan ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama di samping untuk memenuhi naluri kemanusiaan. Pentingnya aturan perkawinan terlihat dari sifat dasar manusia itu sendiri, yaitu mencintai kepada apa-apa yang diingini seperti perempuan-perempuan, anak-anak dan harta yang banyak. 11 Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, , h.33.                            Artinya: Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa- apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik surga. Ali ‘Imran [3]: 14 Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tersebut dalam surat ar- Rum 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahamu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tigak mengetahui. ” Pengenalan terhadap Tuhan ini, menurut Abdul Rahman Ghazali ialah dalam bentuk pengamalan agama. Melihat tujuan-tujuan perkawinan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan 12 adalah 1 untuk mendapatkan keturunan yang sah dan melangsungkan keturunan, 13 2 memenuhi hajat manusia untuk 12 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2012, cet. ke-5, h.22-24. 13 An-Nisa ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya, 14 3 memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, 15 4 menumbuhkan kesungguhan bertanggungjawab juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan 5 membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang. 16

3. Asas-asas Perkawinan

Terdapat beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia dalam melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan. Prinsip-prinsip perkawinan tersebut antara lain: 17 1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama; Melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. Agama mengatur perkawinan dengan memberi batasan melalui rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila rukun dan kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan me ngawasi kamu.” 14 Al-Baqarah ayat 187: 187. “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu……” 15 Sebuah hadis Nabi Saw yang menyatakan “sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan ” 16 Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” 17 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.32-43.